"Ibu... bangun, Bu..." bisik Elena dalam tidurnya.
Matanya masih terpejam. Namun ia terus memanggil ibunya. Keningnya basah oleh keringat hingga menetes ke lehernya. Elena terus bergerak gelisah, wajahnya berkerut cemas, sampai membuat Meix terbangun.
Pria itu duduk setengah sadar. Ia menggosok matanya perlahan, lalu melempar pandangannya pada Elena.
"Ibu... bangun, Bu. Aku takut. Di sini gelap," bisik Elena terdengar.
Meix memicingkan mata. "Kenapa wanita itu," desisnya. "Hei... bangunlah. Kau berisik sekali."
Tak ada jawaban.
Badan Elena terus bergerak gelisah sembari membisikkan kata-kata yang sama. "Ibu... jangan tinggalkan aku. Bangun, Bu. Aku takut..."
Meix menggaruk kepalanya yang tak gatal. Tangannya terulur menyalakan lampu. Ia menyibak selimutnya kasar, lalu turun dari ranjang dengan raut kesal.
"Wanita ini menganggu saja."
Ia duduk di samping Elena. Menggoyangkan tubuhnya beberapa kali agar terbangun. "Hei... Apa yang kau lakukan. Bangun..."
"Ibu.. Tidak. Jangan pergi. Ibu..." teriak Elena. Ia tersentak. Seketika bangkit dan memeluk Meix dengan erat.
"Ibu... Jangan tinggalkan aku. Jangan pergi. Aku mohon jangan pergi..."
Air matanya berderai membasahi punggung Meix yang tak mengenakan apapun. Namun anehnya, pria itu tak terlihat marah. Ia justru membeku, membiarkan Elena memeluknya.
'Apa yang terjadi padamu. Siapa kau sebenarnya,' batin Meix.
Ia merasakan kehangatan tubuh Elena yang menggigil dalam pelukannya. Untuk sesaat, ia seolah teringat sesuatu, sebuah perasaan asing yang menusuk hatinya yang dingin. Entah apa yang mengetuk, namun Meix mengangkat tangannya—membalas pelukan Elena seolah ingin memberinya ketenangan.
Beberapa menit kemudian, Elena tersadar. Ia melonggarkan dekapannya. Menatap dengan jelas wajah pria arogan yang baru dikenalnya.
Mata mereka saling bertaut, menatap dalam seolah ingin menyelami perasaan masing-masing.
"Tuan..." bisik Elena lirih.
Meix menatap lekat mata Elena yang basah. Seolah pernah merasakan luka yang sama, ia mengusap air mata Elena dengan lembut. Gerakan itu begitu tak terduga, membuat wanita di hadapannya itu terperangah.
Kejadian langka itu hanya terjadi sesaat. Setelah tersadar, Meix langsung bangkit—bergerak tak jelas seolah kebingungan. Ia kembali ke ranjangnya.
'Bodoh! Apa yang aku lakukan?' batinnya.
"Tuan... terima kasih," ucap Elena tulus.
"Tidurlah! Dan jangan coba-coba mengigau lagi. Kalau tidak, aku sumpal mulutmu," ucap Meix sarkas. Nada suaranya dingin, seolah sentuhan lembut tadi tak pernah ada.
Ia merebahkan tubuhnya, memunggungi Elena. "Mungkinkah dia takut kegelapan?" gumamnya. "Ah... Terserahlah. Aku mau tidur."
Elena hanya bisa menelan ludah, menatap punggung Meix yang memunggunginya.
Dan Meix, kembali merajut mimpinya tanpa mematikan lampu.
---
Keesokan paginya. Meix berdiri di depan cermin sembari menyisir rambut hitamnya ke belakang. Sebuah jam tangan mewah klasik bertengger di lengan kanannya. Ia mengenakan jas tailor-made berwarna hitam tanpa dasi, mencerminkan kekayaan yang tak perlu dipamerkan.
Sedetik kemudian, Elena keluar dari toilet. Membuat Meix seketika menghentikkan aktifitasnya. Bola matanya membulat saat melihat pantulan Elena di dalam cermin. Lalu dengan cepat memutar badannya seolah tak sabar menghakimi.
"Apa yang kau pakai?" tanyanya sinis.
Elena menyeringai sembari berusaha menarik ujung kemejanya lebih rendah. "Maaf, Tuan. Aku pinjam bajunya."
Elena mengenakan kemeja putih Meix yang kebesaran, dengan panjang sepaha. Ia menggulung bagian lengannya ke atas lalu membuka sedikit kancing bagian leher—membuat lekuk leher dan tulang selangkanya terlihat, menambah kesan seksi dan menggoda.
"Kau mau turun ke bawah mengenakan ini?" tanya Meix tak habis pikir.
Elena menggaruk kepalanya kasar—membuat gulungan rambutnya terlepas. Helaian cokelat panjang itu tergerai hingga pinggang.
Meix membeku menatapnya. Waktu seolah berjalan melambat. Pandangan di sekitarnya mengabur dan hanya terfokus pada Elena yang tengah sibuk membenahi rambutnya.
"Biarkan..." gumamnya.
"Hump?" sahut Elena, menghentikan gerakan tangannya.
"Biarkan tetap begitu," ucap Meix datar.
Elena mematung. Tak mengerti maksud perkatannya.
Meix mendekatinya. Tatapannya tajam laksana belati. Ia berdiri tepat di depan Elena. Menyingkirkan tangan wanita itu hingga rambut panjangnya kembali jatuh dan tergerai.
"Kau masih ingat perjanjian kita, kan?"
Elena hanya mengangguk pelan.
Meix menyibak rambut Elena lembut, lalu perlahan mengangkat dagunya.
"Hari ini... sandiwara kita dimulai. Bersikaplah manis di depan kakek."
Ia mendekatkan wajahnya hingga bibirnya hampir menyentuh milik Elena. "Kita harus bersikap mesra. Sampai tak ada celah yang bisa terlihat."
Elena menelan ludah, lalu mengangguk tanpa suara.
Meix tersenyum puas. Ia mengambil tas kerjanya lalu berjalan keluar kamar.
"Hufh... Dia benar-benar tidak terduga," gumam Elena.
Mereka menuruni tangga melingkar, kemudian terus berjalan menuju ruang makan. Sesaat sebelum memasuki ruangan, Meix menghentikan langkah Elena yang berjalan jauh di depannya, dengan cara yang unik.
"Patung!" teriaknya.
Seketika, Elena berhenti laksana patung. Ia benar-benar tidak bergerak, persis seperti yang Meix harapkan.
Meix berdiri di hadapannya—mengulum senyum. "Bagus. Ternyata ini bekerja," ucapnya puas.
Ia berbalik, lalu kembali memberi perintah. "Hidup."
Elena bergerak seraya menghembuskan napas panjang. "Sial..." bisiknya.
"Apa kau bilang?" tanya Meix penasaran.
"Tidak, Tuan. Aku hanya..." Bola matanya melirik ke atas, mencari alasan. "Bernafas..." dustanya, menyeringai.
"Berhenti panggil aku Tuan. Panggil aku, Meix... Aku tidak mau kakek menceramahiku."
Ia menggandeng tangan Elena mesra, lalu masuk ke dalam ruang makan.
Di meja panjang itu Kakek Erich sudah menunggunya cukup lama. Ia duduk di ujung meja sembari sibuk memeriksa pekerjaannya di tablet.
"Selamat pagi, Kakek..." sapa Meix.
Elena terperanjat, ia segera menutup mulut—terkejut dengan perintah refleksnya sendiri. 'Ups... Apa yang aku katakan? Kenapa aku malah melarangnya pergi?' batinnya.Bola matanya berputar ke segala arah, mencoba mencari alasan. Jangan sampai Meix sadar dengan pikiran-pikiran konyolnya."Emm.... M-maksudku... Aku mau mengobati lukamu. Iya... Itu. Aku mau mengobati lukamu," katanya gugup, pipinya kembali merona.Meix tersenyum simpul, sebuah senyum kecil yang berhasil ia sembunyikan. "Oke," jawabnya singkat.Ia duduk di sofa, menunggu Elena mengambil kotak pengobatan.Tak lama kemudian, Elena kembali dengan kotak obat di tangannya. Ia mengeluarkan sebuah salep untuk luka memar, mengambil kapas, lalu mengoleskannya pada memar di lengan Meix."Terima kasih..." kata Elena lirih, suaranya nyaris berbisik."Untuk apa?" tanya Meix, tatpannya lurus ke depan."Karena kau sudah menyelamatkanku," jawab Elena, sembari meniup luka Meix.
Elena mengangguk, ragu. "I-iya, Kek."Suara pintu ditutup, dan keheningan yang menyesakkan segera menyelimuti ruangan. Elena menunduk, menggaruk kepalanya yang tak gatal, berbagai ilusi kotor beterbangan di benaknya.Meix menghela napas panjang, tatapannya menyapu sekeliling sebelum akhirnya beranjak dari sofa, lalu berjalan pelan menuju Elena. Ia berdiri tepat di depan istrinya, memperpendek jarak di antara mereka.Elena mengangkat wajahnya perlahan. Matanya meneliti tubuh Meix yang masih basah bermandikan keringat, otot-ototnya yang terbentuk sempurna terlihat jelas.Pandangannya kemudian menyentuh bibir Meix, dan seketika, rona merah menyebar di pipinya. Ia buru-buru membuang muka, jantungnya berdebar kencang."Kau tidak dengar apa yang Kakek bilang?" ucap Meix akhirnya, suaranya datar, namun ada nada tuntutan yang tak terbantahkan."Dengar," jawab Elena singkat, masih enggan menatap Meix."Kalau begitu kenapa diam saja
Dokter itu mengangguk. "Ya... Tentu saja. Saya melihatnya sendiri. Bahkan, dia menolak diobati bahunya yang memar, karena mengutamakan keselamatan Elena."Erich terperanjat, tangan tuanya mencengkeram lengan dokter. Ia menatap lekat-lekat, seolah ingin menarik lebih banyak detail dari setiap kata. "Meix memar? Kenapa? Apa yang terjadi padanya?""Itu... Dia bilang harus mendobrak pintu kamar mandi untuk menyelamatkan Nona Elena," jelas sang dokter.Erich membeku, matanya berkedip lambat. Ia menelan ludah, seolah berusaha mencerna setiap kata yang baru saja didengarnya.Tangan keriputnya menyentuh dada, napasnya terasa sesak. Ia menatap kosong ke arah pintu, seolah bisa melihat Meix yang baru saja dibentaknya di balik sana. Penyesalan menggerogoti hatinya. "Meix... Kakek sudah salah menilaimu," gumamnya, suaranya parau.Elena menunduk dalam, bahunya merosot seolah menahan beban. 'Meix menolongku? Tapi bukankah dia yang mengunciku di kamar mandi?' bat
Meix berlari dengan napas tersengal. "Dokter... tolong Elena."Dokter mengambil stetoskop dari meja, lalu segera berlari menuju ranjang Elena. "Tuan Meix. Silahkan tunggu di luar."Meix mengangguk, lalu melangkah lemas ke luar ruangan. Ia berjalan mondar-mandir dengan gelisah, sambil sesekali melirik ke dalam IGD lewat kaca kecil di pintu.Tak lama kemudian, dokter keluar memanggilnya. "Tuan Meix. Pasien sudah sadar."Mata Meix berbinar. "Benarkah, Dok? Apa aku boleh menemuinya?"Dokter mengangguk seraya tersenyum hangat. "Tentu... Silahkan, Tuan..."Meix tersenyum lebar, lalu segera berlari menuju Elena. "Elena..." panggilnya lirih.Namun di luar dugaan. Elena membuang muka—tak mau melihatnya.Ujung alis Meix sedikit terangkat. Ia tersenyum tipis, lalu duduk di dekat Elena. Tangannya menggenggam hangat jemari istrinya itu. "Elena... Bagaimana keadannmu?"Elena menarik tangannya kasar. Raut wajahnya datar, ta
Di dalam ruang IGD, selang infus tertancap ke pembuluh darah Elena. Ia belum sadar sejak delapan jam yang lalu, tubuhnya demam dan sesekali kejang hebat, akibat syok berat setelah terkurung dalam kegelapan.Bibirnya terlihat kering, matanya sembab. Keringat dingin menetes di pelipisnya, seolah kegelapan masa lalu itu kembali mencekiknya.Malam itu, saat tubuhnya berjuang melawan syok, pikiran Elena kembali diseret paksa dalam memori kelam. Mimpi buruk kembali datang, memenjarakannya dalam kegelapan yang ia takuti lebih dari apapun."Kau harus hitung yang benar, ya... Aku akan bersembunyi."Teriak Elena menjauh dari dua temannya. Ia berlari mencari tempat bersembunyi."Baiklah... Cepat sembunyi. Kalau tidak, aku akan segera menemukanmu," sahut teman prianya."Jangan intip, ya!" teriak Elena sambil tertawa kecil. Ia berlari menunduk ke kolong meja, berharap teman-temannya tak menemukannya terlalu cepat.Lalu tiba-tiba, seluruh cah
Jack berlari terengah-engah, masuk ke dalam kerumunan pesta. Matanya menyapu seluruh ruangan, berharap segera menemukan tuannya."Jack, ada apa?" Suara Meix tiba-tiba terdengar di belakangnya. "Kenapa kau terburu-buru. Apa kau mencariku?""Elena, Tuan. Elena..." ujarnya, dengan napas tersengal. Ia menunjukkan ponselnya pada Meix.Kening Meix berkerut, lalu mengambil ponsel Jack. "Ada apa dengan Elena? Dia meneleponmu?""Iya, Tuan. Tapi tidak ada suara. Saya khawatir terjadi sesuatu padanya," ujar Jack.Meix mencoba mendengarkan ponsel Jack. Dan benar saja. Panggilannya terhubung, namun tak ada suara. Bersama dengan itu, Meix melihat Lucien yang tiba-tiba berlari ke arah toilet.Ia mengembalikan ponsel Jack ke dadanya, matanya membelalak tajam ke arah bayangan Lucien. "Ah... sial! Aku lupa Elena sedang di toilet." Nada suaranya terdengar khawatir, ia segera berlari menyusul Lucien menuju toilet.Sesampainya di sana, Meix sudah me