Share

BAB 5 SEBATAS SANDIWARA

last update Last Updated: 2025-07-07 09:31:54

"Selamat pagi, Meix."

Erich berbinar menyaksikan cucu satu-satunya menggandeng mesra Elena. Wanita yang ia pilih sebagai istri Meix. Mata birunya sangat terang penuh semangat, meski kulitnya sudah keriput.

"Selamat pagi, Elena..." sapanya, tersenyum sumringah.

Elena menundukkan wajahnya seraya tersenyum samar, sedikit ragu. "Pagi, Tuan..."

Mata Erich menegang. Keningnya berkerut. "Tuan? Kenapa kau memanggilku Tuan. Panggil aku... kakek. Kita ini keluarga, Elena."

Meix mencuil pinggang Elena. Mereka sempat bertatapan lama sebelum Elena menjawab. "Ah... Maksudku, Kakek..."

Erich mengangguk senang. Lalu pandangannya tertuju pada baju yang dikenakan Elena. "Kenapa kau mengenakan baju Meix. Apa ini... semacam perayaan malam pertama?"

Elena menarik kembali ujung kemejanya lebih rendah. "Oh tidak, tidak begitu, Kek. Maaf, aku... aku hanya belum sempat membawa bajuku sendiri," ucap Elena, rona merah tipis menjalar di pipinya.

Erich mengangguk, seolah mengerti. "Duduklah. Mari kita nikmati sarapan pagi ini."

Di ruang makan yang besar itu, beberapa pelayan berjejer siap melayani kebutuhan keluarga Dalton.

Suara musik klasik terdengar mendayu—memberikan nuansa mewah.

Meix menarik kursi untuk Elena sebelum mempersilahkannya duduk.

Elena sempat tercengang, sebelum akhirnya sadar bahwa ini hanya bagian dari sandiwara.

Dan hal itu, telah berhasil menyita perhatian Erich. "Aku sangat senang melihat kalian," ujarnya, tersenyum lebar. "Elena, kau pasti kaget karena tiba-tiba menikah."

Elena membeku. Ia hanya tersenyum samar, lalu menunduk.

"Elena... Awalnya aku ragu, saat Vladimir memohon padaku untuk mengganti calon istri Meix," imbuh Erich. "Lalu saat aku tahu itu kau, aku justru sangat yakin dan bahagia."

Elena hanya terdiam. Pandangannya kosong. Namun dalam hatinya bicara, 'Tapi aku sama sekali tidak senang. Bagiku, pernikahan ini hanya penjara baru yang diciptakan Vladimir.'

Erich mencondongkan wajahnya, menatap Elena dengan penuh harapan. "Aku harap, kau akan sabar menghadapi tingkah arogan Meix."

Elena hanya tersenyum, lalu mengangguk samar. 'Aku juga berharap begitu,' batinnya.

"Ayo. Nikmati sarapanmu Elena," pinta Erich.

Elena mengangguk seraya tersenyum. Ia meraih roti gandum lalu mengoles madu ke atasnya. Dan sebelum menyantapnya, ia teringat kesepakatan dengan Meix.

Elena bermaksud memberikan roti itu pada Meix, untuk menyempurnakan sandiwara. "Ini untukmu..." bisiknya, tersenyum lebar.

Namun bukannya senang, Meix justru terlihat menegang. Alisnya bertaut, matanya menatap tajam roti di tangan Elena lalu berpindah ke wajahnya.

"Dasar anak kecil," ujarnya, mengabaikan roti di tangan Elena. Matanya menunjukkan sedikit kekesalan karena mungkin ia tidak menyukai roti itu.

Ia memutar cangkir kopi hitam tanpa gula di depannya, lalu menyeruputnya pelan.

Hal itu menjadi perhatian bagi Erich yang melihat kejadian itu secara langsung. "Meix... Apa kau tidak bisa lembut padanya?"

Meix terbatuk. Seolah lupa dengan kesepakatan yang dibuatnya sendiri. Ia meraih roti gandum tanpa mengolesinya apapun.

"Elena, mulai sekarang ingatlah. Aku hanya sarapan dengan roti tawar dan kopi pahit," ujarnya, tersenyum pahit.

Elena hanya mengangguk, sembari menyantap roti kesukaannya.

"Elena, apa dia selalu kasar padamu?" tanya Erich.

Elena tersedak.

Dengan cepat, Meix memberinya susu hangat. Lalu menepuk pundaknya pelan.

"Kakek... kenapa bertanya begitu?" protes Meix.

"Kau mungkin selalu kasar padanya. Itu sebabnya dia tertekan," ujar Erich.

Elena menimpali. "Tidak. Dia sangat baik padaku. Aku hanya tersedak karena makan terlalu cepat."

Erich melipat tangan di dada. Ia menyenderkan tubuhnya ke kursi. "Benarkah? Apa kebaikannya?" tanyanya penasaran. Seolah mengerti bahwa kemungkinan besar cucunya telah memberi tekanan pada Elena untuk berbohong.

Elena menatap wajah Meix. Mengingat kejadian semalam yang membuat hatinya terasa teduh.

"Dia... memberiku ketenangan saat panik."

Meix menoleh menatapnya. Pandangan mereka bertaut, seolah sama-sama hanyut dalam perasaan semalam.

Saat Elena dipeluk dengan tulus. Saat jemari Meix mengusap lembut air matanya. Baginya, pria itu sama sekali tidak arogan. Mungkin, Meix hanya ingin melindungi dirinya agar tak dimanfaatkan.

Suara musik klasik di ruangan itu mengalun semakin lembut, seolah mengiringi perasaan dua insan yang sedang memadu kasih.

Erich tersenyum lebar melihat pemandangan itu. Hal besar yang ia harapkan dalam hidupnya akhirnya benar-benar terjadi.

"Aku sangat senang melihat kalian berdua," ujarnya.

Membuyarkan lamunan Elena dan Meix yang saling pandang. Meix berdeham, memutar cangkir kopinya tidak jelas. Elena menunduk, memutar telunjuknya pada bibir gelas. Mereka terlihat salah tingkah, lalu kembali menikmati sarapannya masing-masing.

"Meix, hari ini antar Elena belanja baju di mall kita. Kau harus isi penuh lemarinya," tambah Erich.

Meix mengangguk. "Baik, Kek. Aku akan suruh pelayan untuk menemaninya."

"Aku menyuruhmu, Meix," bentak Erich.

Meix melemah. Ia berdeham sebelum akhirnya bicara. "Baiklah. Aku akan temani dia."

Erich mengangguk puas. "Bagus. Ini adalah masa cutimu. Apa yang kau kenakan ini. Apa kau masih berniat pergi ke kantor?"

"Kakek... Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan."

"Apa kau tidak punya karyawan? Kau ini presdir. Berhentilah gila kerja, Meix."

Meix mengeluh samar. "Baiklah..."

Erich menyantap roti bakar dengan toping caviar yang baru saja disajikan pelayan. "Oh ya. Kapan rencana bulan madu kalian?"

Meix memandang Elena. Ia menyeret kursinya sebelum menjawab. "Kakek... Mungkin aku akan menunda bulan madu. Mengingat, jadwal kerjaku sangat padat."

Erich menggeprak meja, namun tidak begitu keras. "Kau masih mencoba melarikan diri?"

Meix menegakkan punggungnya, mengusap tengkuknya yang berkeringat. "T-tidak, Kek. Aku hanya—"

Belum selesai Meix bicara, Erich memotong. "Segera jadwalkan bulan madu kalian. Aku akan ikut."

Meix terbelalak. "Kakek mau ikut kami bulan madu?" 

"Tentu saja," jawab Erich mantap. "Apa kau pikir Kakek tidak tahu rencanamu? Ingat Meix. Kakek mau segera mendapat cicit."

Dahi Elena berkerut mendengar itu. Potongan rotinya terjatuh.

'Ingin segera mendapat cicit? Apa Kakek tidak tahu, kalau Meix mandul?' batinnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin Pengganti Milioner Mandul   BAB 108 MISTERI YANG TERUNGKAP

    "Baik, Tuan!" Jack segera berlari ke halaman, lalu menyalakan mobil.Meix menyusul di belakang, napasnya terengah saat berusaha membawa Elena masuk ke dalam mobil. "Cepat, Jack!""Siap, Tuan!"Jack segera menginjak gas dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit Anak dan Bunda.Sesampainya di sana, Meix segera berlari. Ia menggendong tubuh Elena yang tak sadarkan diri menuju ruang IGD. Setiap langkahnya terasa berat, seolah sedang berjalan di tepian jurang."Dokter! Tolong, Dokter!" teriaknya dengan napas tersengal-sengal.Beberapa orang perawat datang, mendorong sebuah ranjang rumah sakit. Meix segera meletakkan tubuh Elena yang lemas dan berwajah pucat."Tolong tunggu di luar, Tuan. Kami akan segera menindak pasien," ucap sang dokter.Meix hanya mengangguk. Wajahnya dipenuhi keringat dingin. Kelopak matanya bergerak cepat, ia berusaha menahan air mata yang mendesak keluar sambil menatap dokter yang menutup pintu IGD.'Elena... Kau akan baik-baik saja, kan?' batinnya.Ia berjalan monda

  • Pengantin Pengganti Milioner Mandul   BAB 107 KETEGANGAN DI DALAM GUDANG

    Meix dan Jack tiba di Dalton Estate. Jack sibuk memarkirkan mobil, sementara Meix langsung masuk ke dalam mansion. Wajah pria itu terlihat datar dan dingin, seolah raga tanpa nyawa. Ia mengunjungi Erich di kamarnya sebelum naik ke lantai dua. "Kakek... Aku pulang." Nada suaranya lembut, hampir berbeda dengan Meix sebelumnya.Erich yang tengah duduk santai di kursi goyang, seketika terperanjat. Ia bangkit dengan wajah berseri sambil menghampiri cucunya. "Meix? Kau sudah pulang?"Kekehan kecil lolos dari bibirnya saat ia memeluk cucunya itu. "Cucuku... Apa kau sudah sehat?"Meix membalas dekapan itu, senyum lega tersungging di wajahnya. "Sudah, Kek. Dokter sudah menyatakan—mentalku sepenuhnya sehat."Erich melepas pelukannya. Ia menatap Meix haru dengan senyum yang tak pernah lepas. "Syukurlah."Lalu tiba-tiba, kepalanya miring ke kiri dan ke kanan, seolah mencari sesuatu di belakang cucunya itu. "Tapi, di mana Elena? Apa kau... belum menjemputnya?"Meix menggeleng pelan, lalu menunduk

  • Pengantin Pengganti Milioner Mandul   BAB 105 SEBUAH RAHASIA DI GUDANG BAWAH TANAH

    Tubuh Elena semakin lemas. Udara yang bisa ia hirup semakin menipis. Napasnya tersengal-sengal. Ingatan saat Anastasia meregang nyawa, menyayat dirinya hingga remuk. Ditambah sebuah kenyataan pahit yang baru saja ia dengar dari Camille, 'Kau anak haram, Elena. Ibumu berselingkuh.' Kenyataan itu bagai palu godam yang menghantam hatinya.Air matanya jatuh dengan deras. Ia meremas dadanya yang terasa sesak sambil terus berbisik, "Ibu... Siapa aku sebenarnya?"Elena memejamkan mata, sebelah tangannya mengepal kuat di lantai yang kotor dan dingin, sedang tangan yang lain masih meremas dadanya yang terasa nyeri.Tepat saat tubuhnya hampir roboh, lampu gudang tiba-tiba menyala disusul dengan suara panggilan dari balik pintu."Elena. Apa kau baik-baik saja?"Elena sontak membuka mata, lalu mengatur napasnya perlahan. Matanya menyapu setiap sudut ruangan yang lembap dan menyesakkan itu.Tok! Tok!"Elena. Apa kau mendengarku?!" teriak Lucien sambil mengetuk pintu berulang kali.Elena menghapus

  • Pengantin Pengganti Milioner Mandul   BAB 105 ELENA ANAK HARAM?

    "Baik, Tuan," sahut Jack sambil terus mengikuti Meix menuju mobil. Ia mengeluarkan ponselnya, lalu menghubungi seorang pelayan di Ravenhall Estate.Meix lebih dulu masuk ke dalam mobil. Pandangannya lekat pada Jack yang berdiri di luar sambil serius berbicara di telpon.Beberapa menit kemudian, Jack terlihat menyelesaikan teleponnya, lalu masuk ke dalam mobil."Bagaimana, Jack?" tanya Meix. Kepalanya agak miring, menatap Jack yang duduk di kursi pengemudi.Jack menoleh sedikit, kedua tangannya meremas setir mobil. "Nona Elena—" suara Jack tercekat, seolah berat untuk menyampaikannya. Ia menunduk sebentar, menimang kata yang ingin diucapkan. "—sedang menyiram tanaman. Ditemani... oleh Lucien."Meix menjatuhkan tubuhnya di jok mobil. Pandangannya kosong ke luar jendela. Raut wajahnya datar, namun jemarinya meremas celana di pahanya. "Antar aku ke Ravenhall, Jack," pintanya. Nada suaranya datar, tak terdengar emosi seperti sebelumnya."Baik, Tuan."Jack memindah tuas ke huruf D, lalu me

  • Pengantin Pengganti Milioner Mandul   BAB 104 MEIX SUDAH KEMBALI

    "Kau gila, Elena!" teriak Lucien sambil mendorong sedikit tubuh Elena. "Kenapa kau tetap mencurigai Ibuku?"Elena menegakkan tubuhnya, tatapannya menghunus bak bilah pedang. "Kau masih ingin melindungi ibumu? Apa ini yang kau bilang cinta?"Ia melangkah pelan mendekati Lucien. Jarak diantara mereka hanya sejengkal. Elena dapat merasakan deru napas Lucien yang memburu, panas dan penuh amarah. "Kau tahu betul janin yang kukandung adalah bayi Meix. Kau sengaja memalsukannya untuk menghancurkan hubunganku dengannya."Elena menarik napas panjang sambil meremas sisi gaunnya. "Jika kau lebih menyayangi keluargamu dari pada aku—" ucapnya penuh tekanan. "Akan aku umumkan ke publik, bahwa bayi ini milik Meix."Elena hendak pergi setelah menyatakan ancamannya, namun dengan cepat Lucien menarik tangannya, mengunci tubuh adik tirinya itu ke dinding. "Katakanlah! Apa yang harus kulakukan?"Elena menyeringai dingin sambil membuang muka. "Cari cara, agar Vladimir menghukumku di gudang."Mata Lucien m

  • Pengantin Pengganti Milioner Mandul   BAB 103 MENCARI BARANG BUKTI

    Vladimir melihat video yang diputar di ponsel Elena. Dalam rekaman tersebut terlihat Viviane datang menemui seorang wartawan, lalu membagikan sebuah flashdisk sambil berkata—"Video ini harus viral. Buat judul yang besar. 'Meix mandul. Elena Vorontsov sengaja hamil dengan Kakak tirinya.' Gunakan huruf besar. Supaya semua orang melihat tingkah buruknya."Vladimir mengalihkan pandangannya pada Viviane yang terlihat ketakutan. "Tidak... Itu tidak benar, Ayah..." Kakinya melangkah mundur. Ia merentangkan kedua tangannya ke depan, seolah membangun perisai tak terlihat untuk menghalau langkah Vladimir yang menghampirinya.Namun terlambat. Sorot mata Valdimir terlanjur mengandung bara. Kedua tangannya mengepal—siap memberi Viviane pelajaran."Dasar anak bodoh!"TARR!Tamparan keras dilayangkan oleh Vladimir kepada Viviane. Membuat wajah wanita itu terhempas seketika.Camille yang melihat hal itu menjadi gusar. Ia buru-buru mengha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status