"Selamat pagi, Meix."
Erich berbinar menyaksikan cucu satu-satunya menggandeng mesra Elena. Wanita yang ia pilih sebagai istri Meix. Mata birunya sangat terang penuh semangat, meski kulitnya sudah keriput.
"Selamat pagi, Elena..." sapanya, tersenyum sumringah.
Elena menundukkan wajahnya seraya tersenyum samar, sedikit ragu. "Pagi, Tuan..."
Mata Erich menegang. Keningnya berkerut. "Tuan? Kenapa kau memanggilku Tuan. Panggil aku... kakek. Kita ini keluarga, Elena."
Meix mencuil pinggang Elena. Mereka sempat bertatapan lama sebelum Elena menjawab. "Ah... Maksudku, Kakek..."
Erich mengangguk senang. Lalu pandangannya tertuju pada baju yang dikenakan Elena. "Kenapa kau mengenakan baju Meix. Apa ini... semacam perayaan malam pertama?"
Elena menarik kembali ujung kemejanya lebih rendah. "Oh tidak, tidak begitu, Kek. Maaf, aku... aku hanya belum sempat membawa bajuku sendiri," ucap Elena, rona merah tipis menjalar di pipinya.
Erich mengangguk, seolah mengerti. "Duduklah. Mari kita nikmati sarapan pagi ini."
Di ruang makan yang besar itu, beberapa pelayan berjejer siap melayani kebutuhan keluarga Dalton.
Suara musik klasik terdengar mendayu—memberikan nuansa mewah.
Meix menarik kursi untuk Elena sebelum mempersilahkannya duduk.
Elena sempat tercengang, sebelum akhirnya sadar bahwa ini hanya bagian dari sandiwara.
Dan hal itu, telah berhasil menyita perhatian Erich. "Aku sangat senang melihat kalian," ujarnya, tersenyum lebar. "Elena, kau pasti kaget karena tiba-tiba menikah."
Elena membeku. Ia hanya tersenyum samar, lalu menunduk.
"Elena... Awalnya aku ragu, saat Vladimir memohon padaku untuk mengganti calon istri Meix," imbuh Erich. "Lalu saat aku tahu itu kau, aku justru sangat yakin dan bahagia."
Elena hanya terdiam. Pandangannya kosong. Namun dalam hatinya bicara, 'Tapi aku sama sekali tidak senang. Bagiku, pernikahan ini hanya penjara baru yang diciptakan Vladimir.'
Erich mencondongkan wajahnya, menatap Elena dengan penuh harapan. "Aku harap, kau akan sabar menghadapi tingkah arogan Meix."
Elena hanya tersenyum, lalu mengangguk samar. 'Aku juga berharap begitu,' batinnya.
"Ayo. Nikmati sarapanmu Elena," pinta Erich.
Elena mengangguk seraya tersenyum. Ia meraih roti gandum lalu mengoles madu ke atasnya. Dan sebelum menyantapnya, ia teringat kesepakatan dengan Meix.
Elena bermaksud memberikan roti itu pada Meix, untuk menyempurnakan sandiwara. "Ini untukmu..." bisiknya, tersenyum lebar.
Namun bukannya senang, Meix justru terlihat menegang. Alisnya bertaut, matanya menatap tajam roti di tangan Elena lalu berpindah ke wajahnya.
"Dasar anak kecil," ujarnya, mengabaikan roti di tangan Elena. Matanya menunjukkan sedikit kekesalan karena mungkin ia tidak menyukai roti itu.
Ia memutar cangkir kopi hitam tanpa gula di depannya, lalu menyeruputnya pelan.
Hal itu menjadi perhatian bagi Erich yang melihat kejadian itu secara langsung. "Meix... Apa kau tidak bisa lembut padanya?"
Meix terbatuk. Seolah lupa dengan kesepakatan yang dibuatnya sendiri. Ia meraih roti gandum tanpa mengolesinya apapun.
"Elena, mulai sekarang ingatlah. Aku hanya sarapan dengan roti tawar dan kopi pahit," ujarnya, tersenyum pahit.
Elena hanya mengangguk, sembari menyantap roti kesukaannya.
"Elena, apa dia selalu kasar padamu?" tanya Erich.
Elena tersedak.
Dengan cepat, Meix memberinya susu hangat. Lalu menepuk pundaknya pelan.
"Kakek... kenapa bertanya begitu?" protes Meix.
"Kau mungkin selalu kasar padanya. Itu sebabnya dia tertekan," ujar Erich.
Elena menimpali. "Tidak. Dia sangat baik padaku. Aku hanya tersedak karena makan terlalu cepat."
Erich melipat tangan di dada. Ia menyenderkan tubuhnya ke kursi. "Benarkah? Apa kebaikannya?" tanyanya penasaran. Seolah mengerti bahwa kemungkinan besar cucunya telah memberi tekanan pada Elena untuk berbohong.
Elena menatap wajah Meix. Mengingat kejadian semalam yang membuat hatinya terasa teduh.
"Dia... memberiku ketenangan saat panik."
Meix menoleh menatapnya. Pandangan mereka bertaut, seolah sama-sama hanyut dalam perasaan semalam.
Saat Elena dipeluk dengan tulus. Saat jemari Meix mengusap lembut air matanya. Baginya, pria itu sama sekali tidak arogan. Mungkin, Meix hanya ingin melindungi dirinya agar tak dimanfaatkan.
Suara musik klasik di ruangan itu mengalun semakin lembut, seolah mengiringi perasaan dua insan yang sedang memadu kasih.
Erich tersenyum lebar melihat pemandangan itu. Hal besar yang ia harapkan dalam hidupnya akhirnya benar-benar terjadi.
"Aku sangat senang melihat kalian berdua," ujarnya.
Membuyarkan lamunan Elena dan Meix yang saling pandang. Meix berdeham, memutar cangkir kopinya tidak jelas. Elena menunduk, memutar telunjuknya pada bibir gelas. Mereka terlihat salah tingkah, lalu kembali menikmati sarapannya masing-masing.
"Meix, hari ini antar Elena belanja baju di mall kita. Kau harus isi penuh lemarinya," tambah Erich.
Meix mengangguk. "Baik, Kek. Aku akan suruh pelayan untuk menemaninya."
"Aku menyuruhmu, Meix," bentak Erich.
Meix melemah. Ia berdeham sebelum akhirnya bicara. "Baiklah. Aku akan temani dia."
Erich mengangguk puas. "Bagus. Ini adalah masa cutimu. Apa yang kau kenakan ini. Apa kau masih berniat pergi ke kantor?"
"Kakek... Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan."
"Apa kau tidak punya karyawan? Kau ini presdir. Berhentilah gila kerja, Meix."
Meix mengeluh samar. "Baiklah..."
Erich menyantap roti bakar dengan toping caviar yang baru saja disajikan pelayan. "Oh ya. Kapan rencana bulan madu kalian?"
Meix memandang Elena. Ia menyeret kursinya sebelum menjawab. "Kakek... Mungkin aku akan menunda bulan madu. Mengingat, jadwal kerjaku sangat padat."
Erich menggeprak meja, namun tidak begitu keras. "Kau masih mencoba melarikan diri?"
Meix menegakkan punggungnya, mengusap tengkuknya yang berkeringat. "T-tidak, Kek. Aku hanya—"
Belum selesai Meix bicara, Erich memotong. "Segera jadwalkan bulan madu kalian. Aku akan ikut."
Meix terbelalak. "Kakek mau ikut kami bulan madu?"
"Tentu saja," jawab Erich mantap. "Apa kau pikir Kakek tidak tahu rencanamu? Ingat Meix. Kakek mau segera mendapat cicit."
Dahi Elena berkerut mendengar itu. Potongan rotinya terjatuh.
'Ingin segera mendapat cicit? Apa Kakek tidak tahu, kalau Meix mandul?' batinnya.
Elena terperanjat, ia segera menutup mulut—terkejut dengan perintah refleksnya sendiri. 'Ups... Apa yang aku katakan? Kenapa aku malah melarangnya pergi?' batinnya.Bola matanya berputar ke segala arah, mencoba mencari alasan. Jangan sampai Meix sadar dengan pikiran-pikiran konyolnya."Emm.... M-maksudku... Aku mau mengobati lukamu. Iya... Itu. Aku mau mengobati lukamu," katanya gugup, pipinya kembali merona.Meix tersenyum simpul, sebuah senyum kecil yang berhasil ia sembunyikan. "Oke," jawabnya singkat.Ia duduk di sofa, menunggu Elena mengambil kotak pengobatan.Tak lama kemudian, Elena kembali dengan kotak obat di tangannya. Ia mengeluarkan sebuah salep untuk luka memar, mengambil kapas, lalu mengoleskannya pada memar di lengan Meix."Terima kasih..." kata Elena lirih, suaranya nyaris berbisik."Untuk apa?" tanya Meix, tatpannya lurus ke depan."Karena kau sudah menyelamatkanku," jawab Elena, sembari meniup luka Meix.
Elena mengangguk, ragu. "I-iya, Kek."Suara pintu ditutup, dan keheningan yang menyesakkan segera menyelimuti ruangan. Elena menunduk, menggaruk kepalanya yang tak gatal, berbagai ilusi kotor beterbangan di benaknya.Meix menghela napas panjang, tatapannya menyapu sekeliling sebelum akhirnya beranjak dari sofa, lalu berjalan pelan menuju Elena. Ia berdiri tepat di depan istrinya, memperpendek jarak di antara mereka.Elena mengangkat wajahnya perlahan. Matanya meneliti tubuh Meix yang masih basah bermandikan keringat, otot-ototnya yang terbentuk sempurna terlihat jelas.Pandangannya kemudian menyentuh bibir Meix, dan seketika, rona merah menyebar di pipinya. Ia buru-buru membuang muka, jantungnya berdebar kencang."Kau tidak dengar apa yang Kakek bilang?" ucap Meix akhirnya, suaranya datar, namun ada nada tuntutan yang tak terbantahkan."Dengar," jawab Elena singkat, masih enggan menatap Meix."Kalau begitu kenapa diam saja
Dokter itu mengangguk. "Ya... Tentu saja. Saya melihatnya sendiri. Bahkan, dia menolak diobati bahunya yang memar, karena mengutamakan keselamatan Elena."Erich terperanjat, tangan tuanya mencengkeram lengan dokter. Ia menatap lekat-lekat, seolah ingin menarik lebih banyak detail dari setiap kata. "Meix memar? Kenapa? Apa yang terjadi padanya?""Itu... Dia bilang harus mendobrak pintu kamar mandi untuk menyelamatkan Nona Elena," jelas sang dokter.Erich membeku, matanya berkedip lambat. Ia menelan ludah, seolah berusaha mencerna setiap kata yang baru saja didengarnya.Tangan keriputnya menyentuh dada, napasnya terasa sesak. Ia menatap kosong ke arah pintu, seolah bisa melihat Meix yang baru saja dibentaknya di balik sana. Penyesalan menggerogoti hatinya. "Meix... Kakek sudah salah menilaimu," gumamnya, suaranya parau.Elena menunduk dalam, bahunya merosot seolah menahan beban. 'Meix menolongku? Tapi bukankah dia yang mengunciku di kamar mandi?' bat
Meix berlari dengan napas tersengal. "Dokter... tolong Elena."Dokter mengambil stetoskop dari meja, lalu segera berlari menuju ranjang Elena. "Tuan Meix. Silahkan tunggu di luar."Meix mengangguk, lalu melangkah lemas ke luar ruangan. Ia berjalan mondar-mandir dengan gelisah, sambil sesekali melirik ke dalam IGD lewat kaca kecil di pintu.Tak lama kemudian, dokter keluar memanggilnya. "Tuan Meix. Pasien sudah sadar."Mata Meix berbinar. "Benarkah, Dok? Apa aku boleh menemuinya?"Dokter mengangguk seraya tersenyum hangat. "Tentu... Silahkan, Tuan..."Meix tersenyum lebar, lalu segera berlari menuju Elena. "Elena..." panggilnya lirih.Namun di luar dugaan. Elena membuang muka—tak mau melihatnya.Ujung alis Meix sedikit terangkat. Ia tersenyum tipis, lalu duduk di dekat Elena. Tangannya menggenggam hangat jemari istrinya itu. "Elena... Bagaimana keadannmu?"Elena menarik tangannya kasar. Raut wajahnya datar, ta
Di dalam ruang IGD, selang infus tertancap ke pembuluh darah Elena. Ia belum sadar sejak delapan jam yang lalu, tubuhnya demam dan sesekali kejang hebat, akibat syok berat setelah terkurung dalam kegelapan.Bibirnya terlihat kering, matanya sembab. Keringat dingin menetes di pelipisnya, seolah kegelapan masa lalu itu kembali mencekiknya.Malam itu, saat tubuhnya berjuang melawan syok, pikiran Elena kembali diseret paksa dalam memori kelam. Mimpi buruk kembali datang, memenjarakannya dalam kegelapan yang ia takuti lebih dari apapun."Kau harus hitung yang benar, ya... Aku akan bersembunyi."Teriak Elena menjauh dari dua temannya. Ia berlari mencari tempat bersembunyi."Baiklah... Cepat sembunyi. Kalau tidak, aku akan segera menemukanmu," sahut teman prianya."Jangan intip, ya!" teriak Elena sambil tertawa kecil. Ia berlari menunduk ke kolong meja, berharap teman-temannya tak menemukannya terlalu cepat.Lalu tiba-tiba, seluruh cah
Jack berlari terengah-engah, masuk ke dalam kerumunan pesta. Matanya menyapu seluruh ruangan, berharap segera menemukan tuannya."Jack, ada apa?" Suara Meix tiba-tiba terdengar di belakangnya. "Kenapa kau terburu-buru. Apa kau mencariku?""Elena, Tuan. Elena..." ujarnya, dengan napas tersengal. Ia menunjukkan ponselnya pada Meix.Kening Meix berkerut, lalu mengambil ponsel Jack. "Ada apa dengan Elena? Dia meneleponmu?""Iya, Tuan. Tapi tidak ada suara. Saya khawatir terjadi sesuatu padanya," ujar Jack.Meix mencoba mendengarkan ponsel Jack. Dan benar saja. Panggilannya terhubung, namun tak ada suara. Bersama dengan itu, Meix melihat Lucien yang tiba-tiba berlari ke arah toilet.Ia mengembalikan ponsel Jack ke dadanya, matanya membelalak tajam ke arah bayangan Lucien. "Ah... sial! Aku lupa Elena sedang di toilet." Nada suaranya terdengar khawatir, ia segera berlari menyusul Lucien menuju toilet.Sesampainya di sana, Meix sudah me