LOGINMeix menatap Elena dalam. Entah bagaimana perasaannya saat ini.
"Kau tidak sedang menyusun rencana kan, Meix?" tanya Erich meyakinkan diri bahwa cucunya ini tak akan berulah lagi.
Meix menyeringai, penuh siasat. "Tentu saja tidak. Aku akan memikirkan tempat terindah untuk bulan madu kami."
Ia menyuruput kopinya dengan lirikan tajam.
'Aku harus mencari cara agar Kakek tidak ikut,' batinnya.
"Kau sudah tahu aturannya, Meix. Tidak ada cicit, tidak ada warisan. Lebih baik aku memberikan seluruh kekayaanku pada yayasan, dari pada terbuang sia-sia," ancam Erich.
"Salah satu kesalahanku adalah, hanya memiliki satu anak. Dan aku harus kehilangan dia lebih cepat." Nada suara Erich melirih, sebersit kesedihan melintas di wajah tuanya.
Meix menunduk. Ia meremas cangkir kopi dengan keras, membuat urat-urat di tangannya menonjol. Matanya terlihat basah, seolah menahan luka yang mendadak muncul.
Elena yang menyadari hal itu, menggenggam tangan Meix pelan.
"Kakek tenang saja. Kami pasti akan cepat memberi kakek cicit," hibur Elena.
Meix meliriknya. Kehangatan sentuhan Elena sejenak menahan amarah yang bergejolak di dalam dirinya, namun sedetik kemudian, matanya justru terlihat membara. Ia menarik tangannya dari genggaman Elena dengan sentakan kasar, lalu pura-pura membenahi jasnya, seolah ingin menyingkirkan kotoran.
"Aku akan mengantarmu sekarang. Cepatlah!" Ia beranjak dari kursinya dan segera meninggalkan ruangan itu. Seakan ingin segera bebas dari hal yang membelenggu jiwanya.
Elena segera bangkit dan mengikuti langkah cepat Meix. Namun sebelumnya, ia sempat berpamitan pada Erich.
"Kakek... Aku permisi dulu."
Erich mengangguk, tersenyum getir. Raut wajahnya terlihat sama dengan Meix. Seperti menyimpan luka yang sulit diobati.
"Baiklah Elena. Jangan lupa beli gaun yang bagus. Malam ini, ayahmu akan datang berkunjung."
Elena mematung mendengar kabar itu. Mata lembutnya berkaca-kaca. "Ayah..." bisiknya lirih.
"Cepatlah Elena..." teriak Meix.
Ia segera tersadar, lalu berlari kecil menyusul Meix.
Tepat di sebuah lorong yang sepi, Meix mendadak menghentikan langkahnya. Elena yang tak sadar, membentur dinding kokoh milik Meix.
Pria itu membalikkan badannya. Tatapannya tajam bak bilah pisau. Matanya merah, seolah siap memberi perhitungan. Aura mengancam terpancar jelas di wajahnya.
Pandangan Elena getir. Jantungnya kembali berdegup kencang.
'Apa salahku kali ini. Kenapa dia terlihat sangat marah?' batinnya.
Ia berusaha menjauhi Meix yang mendekatinya, terus melangkah mundur hingga tubuhnya membentur dinding.
Meix memukul keras tembok di belakangnya. Elena tersentak, menjatuhkan pandangannya ke lantai, tak berani menatap mata Meix yang penuh bara.
"Apa maksudmu akan segera memberikan cicit. Siapa yang mengizinkanmu bicara, huh?!" bentak Meix.
"M-maaf. Aku... aku hanya mencoba mendinginkan suasana. Aku tidak bermaksud apapun," ujar Elena dengan suara bergetar.
Meix mengangkat dagu Elena kasar. "Kau tahu? Pernikahan kita tidak lebih dari sebuah transaksi. Lancang sekali kau bicara mendahuluiku."
Tubuh Elena bergetar hebat, hampir merosot. Ia tidak tahu, jika niat baiknya akan membuat Meix semarah ini.
"M-maaf..." bisik Elena lirih.
"Maaf?" Meix menyeringai dingin. "Apa hanya itu yang bisa kau katakan?"
"A-apa yang harus... aku lakukan?"
Meix menatap mata Elena yang mulai basah. Mungkin ia tahu, saat ini Elena tengah terluka. Tapi hati Meix, jauh lebih perih karena teringat orang tuanya. Bukannya melepas, ia justru melumat bibir Elena--keras dan tergesa. Seolah ingin membungkam luka yang meronta dalam dadanya.
Elena tersentak. Ia berusaha mendorong Meix karena shock, tapi tubuh kecilnya tak mampu menggeser Meix yang dikuasai badai emosi. Ciuman itu terus menjalar, menyusuri leher dan telinganya.
Napas Elena mulai terengah, air matanya menetes hingga terjatuh pada bibir Meix yang masih menahannya dalam ciuman kelam, getir dan tak tahu arah.
Meix akhirnya menghentikan gerakannya. Ia terdiam sejenak, lalu perlahan melepas cengkeramannya dari tubuh Elena.
Namun napasnya masih memburu. "Apa kau tadi dengar apa yang kakek bilang? Ayahmu... akan berkunjung. Mereka bertemu untuk membicarakan kerjasama bisnis. Seperti yang mereka sepakati dari pernikahan kita. Kau... tidak lebih dari alat transaksi. Dan keluargamu itu, hanya memanfaatkan kekayanku untuk membesarkan perusahaannya."
Meix terbahak. "Apa kau bilang? Akan segera memberi cicit? Kau kemaren bersikap seolah-olah tak menginginkan pernikahan ini. Tapi nyatanya, kau sama saja dengan mereka."
Meix melepas cengkeramannya, lalu meninggalkan Elena begitu saja.
"Mungkinkah aku bisa punya anak?" teriak Elena dari kejauhan.
Meix menghentikan langkahnya.
Elena menatap punggung Meix. Air matanya berderai. "Meski aku bicara begitu, mungkinkah aku bisa memberikan Kakek cicit?"
Meix membalikkan badannya. Menatap Elena dalam, dan penuh tanda tanya.
"Kau menganggapku sama dengan mereka. Menurutmu, apa aku masih bisa tinggal di rumah ini tanpa anak?" isaknya.
Ia perlahan berjalan mendekati Meix. Lalu berhenti tepat di hadapannya. Dengan air mata yang terus jatuh, ia menatap Meix penuh keyakinan. "Itu tidak akan pernah terjadi. Karena menjadi istrimu, tak akan pernah membuatku menjadi ibu."
Elena pergi meninggalkan Meix dalam kekalutan. Baginya tuduhan Meix tadi benar-benar membuat hidupnya semakin terluka.
"Jahat sekali kau menuduhku menikah demi harta," bisiknya. Ia menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang—masih melihat punggung Meix yang mematung.
"Aku hanya alat transaksi. Iya. Tapi aku juga tidak pernah mau dijadikan sebagai alat." Napas Elena bergetar, tangannya meremas ujung kemeja.
"Baik, Tuan!" Jack segera berlari ke halaman, lalu menyalakan mobil.Meix menyusul di belakang, napasnya terengah saat berusaha membawa Elena masuk ke dalam mobil. "Cepat, Jack!""Siap, Tuan!"Jack segera menginjak gas dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit Anak dan Bunda.Sesampainya di sana, Meix segera berlari. Ia menggendong tubuh Elena yang tak sadarkan diri menuju ruang IGD. Setiap langkahnya terasa berat, seolah sedang berjalan di tepian jurang."Dokter! Tolong, Dokter!" teriaknya dengan napas tersengal-sengal.Beberapa orang perawat datang, mendorong sebuah ranjang rumah sakit. Meix segera meletakkan tubuh Elena yang lemas dan berwajah pucat."Tolong tunggu di luar, Tuan. Kami akan segera menindak pasien," ucap sang dokter.Meix hanya mengangguk. Wajahnya dipenuhi keringat dingin. Kelopak matanya bergerak cepat, ia berusaha menahan air mata yang mendesak keluar sambil menatap dokter yang menutup pintu IGD.'Elena... Kau akan baik-baik saja, kan?' batinnya.Ia berjalan monda
Meix dan Jack tiba di Dalton Estate. Jack sibuk memarkirkan mobil, sementara Meix langsung masuk ke dalam mansion. Wajah pria itu terlihat datar dan dingin, seolah raga tanpa nyawa. Ia mengunjungi Erich di kamarnya sebelum naik ke lantai dua. "Kakek... Aku pulang." Nada suaranya lembut, hampir berbeda dengan Meix sebelumnya.Erich yang tengah duduk santai di kursi goyang, seketika terperanjat. Ia bangkit dengan wajah berseri sambil menghampiri cucunya. "Meix? Kau sudah pulang?"Kekehan kecil lolos dari bibirnya saat ia memeluk cucunya itu. "Cucuku... Apa kau sudah sehat?"Meix membalas dekapan itu, senyum lega tersungging di wajahnya. "Sudah, Kek. Dokter sudah menyatakan—mentalku sepenuhnya sehat."Erich melepas pelukannya. Ia menatap Meix haru dengan senyum yang tak pernah lepas. "Syukurlah."Lalu tiba-tiba, kepalanya miring ke kiri dan ke kanan, seolah mencari sesuatu di belakang cucunya itu. "Tapi, di mana Elena? Apa kau... belum menjemputnya?"Meix menggeleng pelan, lalu menunduk
Tubuh Elena semakin lemas. Udara yang bisa ia hirup semakin menipis. Napasnya tersengal-sengal. Ingatan saat Anastasia meregang nyawa, menyayat dirinya hingga remuk. Ditambah sebuah kenyataan pahit yang baru saja ia dengar dari Camille, 'Kau anak haram, Elena. Ibumu berselingkuh.' Kenyataan itu bagai palu godam yang menghantam hatinya.Air matanya jatuh dengan deras. Ia meremas dadanya yang terasa sesak sambil terus berbisik, "Ibu... Siapa aku sebenarnya?"Elena memejamkan mata, sebelah tangannya mengepal kuat di lantai yang kotor dan dingin, sedang tangan yang lain masih meremas dadanya yang terasa nyeri.Tepat saat tubuhnya hampir roboh, lampu gudang tiba-tiba menyala disusul dengan suara panggilan dari balik pintu."Elena. Apa kau baik-baik saja?"Elena sontak membuka mata, lalu mengatur napasnya perlahan. Matanya menyapu setiap sudut ruangan yang lembap dan menyesakkan itu.Tok! Tok!"Elena. Apa kau mendengarku?!" teriak Lucien sambil mengetuk pintu berulang kali.Elena menghapus
"Baik, Tuan," sahut Jack sambil terus mengikuti Meix menuju mobil. Ia mengeluarkan ponselnya, lalu menghubungi seorang pelayan di Ravenhall Estate.Meix lebih dulu masuk ke dalam mobil. Pandangannya lekat pada Jack yang berdiri di luar sambil serius berbicara di telpon.Beberapa menit kemudian, Jack terlihat menyelesaikan teleponnya, lalu masuk ke dalam mobil."Bagaimana, Jack?" tanya Meix. Kepalanya agak miring, menatap Jack yang duduk di kursi pengemudi.Jack menoleh sedikit, kedua tangannya meremas setir mobil. "Nona Elena—" suara Jack tercekat, seolah berat untuk menyampaikannya. Ia menunduk sebentar, menimang kata yang ingin diucapkan. "—sedang menyiram tanaman. Ditemani... oleh Lucien."Meix menjatuhkan tubuhnya di jok mobil. Pandangannya kosong ke luar jendela. Raut wajahnya datar, namun jemarinya meremas celana di pahanya. "Antar aku ke Ravenhall, Jack," pintanya. Nada suaranya datar, tak terdengar emosi seperti sebelumnya."Baik, Tuan."Jack memindah tuas ke huruf D, lalu me
"Kau gila, Elena!" teriak Lucien sambil mendorong sedikit tubuh Elena. "Kenapa kau tetap mencurigai Ibuku?"Elena menegakkan tubuhnya, tatapannya menghunus bak bilah pedang. "Kau masih ingin melindungi ibumu? Apa ini yang kau bilang cinta?"Ia melangkah pelan mendekati Lucien. Jarak diantara mereka hanya sejengkal. Elena dapat merasakan deru napas Lucien yang memburu, panas dan penuh amarah. "Kau tahu betul janin yang kukandung adalah bayi Meix. Kau sengaja memalsukannya untuk menghancurkan hubunganku dengannya."Elena menarik napas panjang sambil meremas sisi gaunnya. "Jika kau lebih menyayangi keluargamu dari pada aku—" ucapnya penuh tekanan. "Akan aku umumkan ke publik, bahwa bayi ini milik Meix."Elena hendak pergi setelah menyatakan ancamannya, namun dengan cepat Lucien menarik tangannya, mengunci tubuh adik tirinya itu ke dinding. "Katakanlah! Apa yang harus kulakukan?"Elena menyeringai dingin sambil membuang muka. "Cari cara, agar Vladimir menghukumku di gudang."Mata Lucien m
Vladimir melihat video yang diputar di ponsel Elena. Dalam rekaman tersebut terlihat Viviane datang menemui seorang wartawan, lalu membagikan sebuah flashdisk sambil berkata—"Video ini harus viral. Buat judul yang besar. 'Meix mandul. Elena Vorontsov sengaja hamil dengan Kakak tirinya.' Gunakan huruf besar. Supaya semua orang melihat tingkah buruknya."Vladimir mengalihkan pandangannya pada Viviane yang terlihat ketakutan. "Tidak... Itu tidak benar, Ayah..." Kakinya melangkah mundur. Ia merentangkan kedua tangannya ke depan, seolah membangun perisai tak terlihat untuk menghalau langkah Vladimir yang menghampirinya.Namun terlambat. Sorot mata Valdimir terlanjur mengandung bara. Kedua tangannya mengepal—siap memberi Viviane pelajaran."Dasar anak bodoh!"TARR!Tamparan keras dilayangkan oleh Vladimir kepada Viviane. Membuat wajah wanita itu terhempas seketika.Camille yang melihat hal itu menjadi gusar. Ia buru-buru mengha







