Sesaat, kening Meix berkerut halus, ujung alisnya terangkat. Kemudian melanjutkan kembali ciumannya, menyesap bibir Elena penuh gairah.
Tangan beruratnya kembali melanjutkan membuka kancing kemeja Elena.
Namun sekali lagi, Elena menghentikan ciuman itu. Ia mendorong tubuh Meix, lalu bangkit. Ia duduk di atas meja dengan napas tersengal, menahan hasrat.
"Meix... Kita hentikan hari ini, ya?"
Bola mata Meix membulat sebentar, lalu menyipit seolah mencium sesuatu mencurigakan. "Kenapa? Apa kau mau melakukan itu di rumah saja?"
Ia menoleh, bola matanya melirik ke atas sembari menjentikkan jarinya. "Oh... Atau ke hotel?"
Elena terdiam. Bibirnya bergetar, namun tak ada satu katapun yang mampu terucap.
'Tidak. Aku tidak bisa mengatakan itu sekarang. Yang aku tahu, Meix mandul. Bagaimana caranya aku bicara?'
"M-meix... A-aku..." Suaranya sempat tercekat, lalu keluar ragu.
Matanya berulang kali berkedip, seakan mencoba
Keesokan harinya di restoran Chez Nous, Meix sedang melakukan pertemuan bisnis dengan Presdir Medicuse Care di ruangan VVIP.Di atas meja yang lebar, telah tersaji dengan beberapa menu khas restoran tersebut. Di antaranya: Escargots, Ratatouille, Foie gras dan aneka menu lainnya.Tak lupa juga, beberapa botol anggur Burgundy dan Vintage ikut bertengger menemani pembicaraan santai mereka. Alunan musik klasik kesukaan Meix juga diputar, mengisi ruangan dengan melodi yang menenangkan dan membuat suasana hati pria itu semakin berseri."Maafkan aku, Tuan Pierre. Aku telat melakukan tanda tangan karena terlalu sibuk," ucap Meix. Ia memilih anggur Vintage, lalu menuangnya ke dalam gelas untuk diberikan pada Pierre.Raut wajah Pierre terlihat berseri saat menerima anggur itu. Senyumnya yang lebar tak pernah lepas dari bibirnya. "Tidak masalah Meix. Aku rela terlambat tanda tangan kontrak, asal kau memberiku dua kontrak sekaligus," ujarnya. Terkekeh senang.
Sesaat, kening Meix berkerut halus, ujung alisnya terangkat. Kemudian melanjutkan kembali ciumannya, menyesap bibir Elena penuh gairah.Tangan beruratnya kembali melanjutkan membuka kancing kemeja Elena.Namun sekali lagi, Elena menghentikan ciuman itu. Ia mendorong tubuh Meix, lalu bangkit. Ia duduk di atas meja dengan napas tersengal, menahan hasrat."Meix... Kita hentikan hari ini, ya?"Bola mata Meix membulat sebentar, lalu menyipit seolah mencium sesuatu mencurigakan. "Kenapa? Apa kau mau melakukan itu di rumah saja?"Ia menoleh, bola matanya melirik ke atas sembari menjentikkan jarinya. "Oh... Atau ke hotel?"Elena terdiam. Bibirnya bergetar, namun tak ada satu katapun yang mampu terucap.'Tidak. Aku tidak bisa mengatakan itu sekarang. Yang aku tahu, Meix mandul. Bagaimana caranya aku bicara?'"M-meix... A-aku..." Suaranya sempat tercekat, lalu keluar ragu.Matanya berulang kali berkedip, seakan mencoba
"Apa kau bercanda? Bukankah keluarga Vorontsov dan Dalton itu adalah besan?"Suara riuh dari para pemegang saham kembali memecah keheningan yang sempat terjadi."Benar. Kami tidak akan percaya?!" teriak salah satu di antara mereka."Iya... benar! Kenapa Tuan Vladimir mau mencelakai anaknya sendiri?"Tubuh Elena membeku, kepalanya tertunduk tak berdaya. Kelopak matanya bergerak cepat, menghalau cairan itu tumpah. Tangannya yang gemetar meremas sisi roknya. "Andai aku tahu alasannya..." bisiknya lirih.Meix berjalan pelan, menghampiri Elena yang terlihat rapuh. Jemarinya menggenggam erat tangan wanita itu. Meski tak ada satu katapun yang terucap dari bibirnya, namun sorot matanya yang teduh seolah berkata: 'Aku di sini, kau aman bersamaku.'Elena menoleh, membalas tatapan Meix dengan binar cinta yang mendalam. Bibirnya dipaksa untuk tersenyum, meski hatinya terasa lebur oleh penghianatan.Meix kembali mengalihkan pandangannya ke d
Elena menegakkan bahunya, ia menatap Jack dengan penuh keyakinan. "Jack. Apa kau bisa mengatur wartawan?"Jack mengangguk tegas. "Bisa, Nona.""Datangkan mereka ke rumah sakit ini, Jack. Minta mereka merekam aku dan Meix secara diam-diam," perintah Elena. Nada suaranya tegas. Tatapannya melayang pada sebuah rencana yang tergambar jelas di otaknya.Jack mengangguk samar, kelopak matanya tak berkedip menatap Elena—penuh tanda tanya. "Apa yang akan Anda rencanakan, Nona?"Elena menatap kosong ke arah lorong rumah sakit. Jemarinya mengusap pelan dagunya, seolah tengah menyusun rencana. "Nama Meix sekarang tercemar hanya karena insiden itu. Masyarakat menganggapnya sebagai pria kasar dan arogan."Ia menoleh pelan, menatap Jack untuk meyakinkannya. Ada tekad yang tak tergoyahkan di matanya. "Aku akan berusaha mengembalikan nama baiknya, Jack. Semua orang... Harus bersimpati padanya."Jack mulai tersenyum tipis, pelan-pelan ketegangan di waja
Meix menoleh. Suara Elena mengalun lembut di telinganya, meniup segala kegelisahan dalam batinnya. "Elena..." bisiknya lirih.Kelopak matanya bergerak cepat, bibirnya bergetar samar. Ia bangun sambil tertatih, melebar bibirnya yang masih pucat. "Elena... Kau-" suaranya tercekat di tenggorokan. Perasaannya yang begitu bahagia seolah membuat bibirnya kacau untuk menyusun kata-kata.Senyum Elena pecah begitu saja, matanya berkilau, dan langkahnya tanpa sadar mempercepat jarak antara dirinya dan Meix."Meix..." desahnya. Ia merangkul tubuh suaminya dengan erat, menenggelamkan kepalanya dalam dada bidangnya. "Apa kau baik-baik saja? Aku sangat merindukanmu, Meix..."Meix sempat membeku sesaat. Tangannya bergetar saat terangkat untuk membalas dekapan Elena. Bibirnya tak mampu berucap, hanya suara batin yang menggema dalam relung hatinya.'Elena... Akhirnya kau datang padaku. Aku juga sangat merindukanmu.'Napasnya terlepas panjang, bahunya j
"Bangsat kau, Lucien!"Meix spontan melempar ponselnya, lalu mencabut selang infus di tangannya. Ia segera turun dari ranjang hendak menghampiri Elena.Namun Jack segera merangkul tubuh tuannya itu, menghalanginya untuk pergi. "Tuan... Tenanglah. Anda tidak bisa pergi.""Lepaskan aku, Jack! Tidak akan kubiarkan pria sialan itu menyentuh istriku!" Meix meronta berusaha melepaskan diri dari rangkulan sekretarisnya.Tapi lebih berusaha keras untuk menahannya. Meski tubuhnya kalah besar dari Meix, ia tetap berusaha sekuat tenaga untuk melarang Meix pergi."Tidak, Tuan. Kalau Anda pergi, dokter akan memborgol Anda lagi!" teriaknya, napasnya terengah menahan berat tubuh Meix yang kekar.Mendadak, kekuatan tubuh Meix melemah. Ia tiba-tiba membeku, lalu menjatuhkan tubuhnya ke lantai seolah tak berdaya.Sementara itu di ruangan Elena. Ia mendorong tubuh Lucien menjauh, lalu bergegas duduk. "Apa yang kau lakukan, Lucien ?!" bentaknya.L