Amora tak mengerti ke mana Aiden akan membawanya. Sekarang dia membiarkan make-up artist yang diminta Aiden datang, merias wajahnya. Dalam benak Amora, mungkin saja Aiden membawanya ke pesta. Namun, entah pesta apa. Pria itu benar-benar misterius tidak bilang apa pun padanya.“Perfect,” ucap sang make-up artist memuji kecantikan Amora.Amora tersenyum menatap dirinya ke cermin. “Apa ini tidak berlebihan?”“Tidak berlebihan sama sekali, Nona. Anda sangat cantik,” jawab sang make-up artist tulus memuji kecantikan Amora.Amora kembali tersenyum lembut. “Terima kasih.”“Mari saya antar untuk menemui Tuan Reficco. Beliau sudah menunggu Anda,” ucap sang make-up artist sopan.Amora mengangguk paruh merespon ucapan sang make-up artist. Dia melangkah keluar dari kamar bersama dengan sang make-up artist. Jauh dari dalam lubuk hati Amora terdalam, dia sangat malu. Penampilannya kali ini menurutnya sangat berlebihan.Aiden duduk di sofa ruang tengah menunggu Amora muncul. Pria tampan itu berkuta
Kata-kata sarkas Aiden, membuat Nalani bungkam dengan raut wajah yang menunjukkan jelas keterkejutan bercampur dengan emosi. Aiden menghina dan menyindirnya secara terang-terangan. Tak hanya Nalani saja yang bungkam terkejut, tapi Amora juga sama. Bahkan Amora tak mengira Aiden akan mengatakan hal seperti itu pada Nalani.Amora ingat pertama kali dia melihat Aiden mengobrol akrab dengan Nalani di pesta ulang tahun Richard. Pria itu mengabaikannya demi berbincang akrab dengan Nalani. Namun, kenapa sekarang malah Aiden menyerang Nalani secara personal? Menyerang dalam arti melontarkan kata-kata kejam. Wait! Apa semua ini Aiden lakukan, karena membela dirinya yang selalu dihina Nalani? Jutaan pertanyaan muncul di dalam benak Amora. Napas Nalani seakan panas mendengar kata-kata pedas dari Aiden Reficco. Tidak pernah dia sangka Aiden akan mengatakan hal seperti itu padanya. Tampak kilat matanya menajam. Rahang mengetat menahan emosi, dan tangannya menekan pisau dan garpu yang dia pegang.
Gerak Aiden terhenti mendengar apa yang ditanyakan oleh Amora. Pria tampan itu kini memberikan tatapan semakin dingin di balik aura tegasnya pada Amora. Hal yang selalu dia tak suka adalah Amora kerap menanyakan hal-hal yang menurutnya tidak perlu.“Aku rasa pertanyaanmu tidak perlu aku jawab,” ucap Aiden seraya mendorong tubuh Amora, masuk ke dalam mobil, memaksa wanita itu.Amora sedikit tersentak di kala Aiden memaksanya masuk ke dalam mobil. Dia berusaha kembali bersuara, tapi sayangnya lidahnya langsung kelu di kala Aiden memasangkan seat belt untuknya. Tiba-tiba saja Amora merasakan jantungnya berdebar tak karuan, seakan ingin loncat dari tempatnya.Saat Amora sudah duduk di dalam mobil, dan sudah memakai seat belt—Aiden masuk ke dalam mobil. Pria tampan itu melajukan mobilnya meninggalkan halaman parkir restoran.Keheningan membentang dari dalam mobil. Belum ada suara apa pun, karena Amora sejak tadi takut untuk mengeluarkan suara. Sementara Aiden fokus melajukan mobilnya—denga
Amora tersentak hampir terjatuh dari tangga. Namun, keterkejutannya hanya sebentar saja, karena Aiden memeluk pinggangnya. Sesaat, mata mereka saling beradu pandang. Wanita berparas cantik itu menatap dalam manik mata cokelat gelap Aiden.Iris mata Aiden begitu dingin, tajam dan menusuk, tapi entah kenapa mampu membuat Amora hanyut serta tenggelam melihat iris mata pria itu. Bahkan Amora sampai tak sadar sejak tadi dirinya tak lepas menatap Aiden dengan tatapan penuh arti khusus. Meskipun tatapan itu tajam, seolah membawa keindahan dan kesejukan di hati Amora.“Bisakah kau berhati-hati?!” seru Aiden dengan nada geraman kesal, karena kecerobohan yang Amora lakukan.Amora tersentak mendengar ucapan tajam yang lolos dari bibir Aiden. Pun dia menyadari posisinya dengan pria itu sangat intim dan dekat. Buru-buru, Amora menjauh dari Aiden, tapi sebelumnya tentu Aiden sudah membenarkan posisi berdiri Amora agar aman.Amora sedikit menunduk. “M-maafkan aku, Aiden. Maaf, aku sudah ceroboh.”Ai
Tatapan Aiden menatap dingin dokter yang memeriksa keadaan Amora. Pria tampan itu tenang di balik wajahnya yang tersirat cemas. Aiden sangat pandai menutupi kekhawatiran dan kecemasan dalam dirinya. Terbukti, jika orang melihat pastinya pria itu seolah tak memiliki rasa khawatir. “Bagaimana keadaannya?” tanya Aiden dingin, dengan raut wajah datar.Sang dokter menatap sopan Aiden. “Tuan, demam istri Anda sudah turun. Istri Anda pasti kelelahan. Saya sarankan untuk dua hari ke depan, istri Anda lebih banyak beristirahat. Dan jangan lupa minta istri Anda untuk menghabiskan obat yang sudah saya berikan.”Aiden mengangguk singkat. “Aku paham. Thanks.”“Dengan senang hati, Tuan. Saya permisi.” Dokter itu pamit undur diri dari hadapan Aiden.Aiden menatap dingin Amora yang masih belum membuka mata. Pria itu duduk di pinggir ranjang, menyentuh kening Amora. Benar apa yang dikatakan sang dokter, demam wanita itu sudah turun.“Kau selalu menyusahkan hidupku, Amora,” geram Aiden kesal.Aiden ba
“Amora, kau harus menggantikan Trice menikah dengan putra dari keluarga Reficco.”Mata Amora membulat sempurna akibat keterkejutannya, mendengar ucapan Nolan, sang ayah. Tubuhnya membeku tak berkutik sama sekali. Kalimat yang lolos di bibir ayahnya seperti hantaman keras ke kepalanya.Bibir Amora bergetar. “Dad, b-bagaimana bisa kau memintaku menggantikan Trice?”“Apa kau tidak lihat Trice melarikan diri?!” Nolan membentak keras seraya menunjukkan surat yang ditinggalkan oleh Trice. Surat itu berisikan tentang permintaan maaf Trice mundur di hari pernikahan. Bahkan Trice—adik tiri Amora—tidak memberikan alasan kenapa mundur di hari pernikahan.Amora menelan salivanya susah payah dengan mata berkaca-kaca. “Dad, kita bisa mencari Trice. Kita bisa berusaha untuk—”“Usaha macam apa yang kau maksud, Amora?! Upacara pernikahan sebentar lagi akan dimulai! Dan kau masih berpikir untuk mencari Trice?! Kau sengaja ingin mempermalukan keluarga kita, hah?!” bentak Nolan keras.Air mata jatuh memb
“Tidurlah di ranjang, aku akan tidur di sofa.”Suara berat Aiden begitu menusuk ke indra pendengaran Amora. Pasangan yang baru saja menikah itu, masuk ke dalam kamar pengantin mereka. Tampak jelas kegugupan dan ketakutan di wajah Amora, sedangkan Aiden menunjukkan aura arogan dan amarah tertahan.Amora menatap Aiden dengan tatapan bingung. “Kita tidur terpisah?” “Kau pikir aku mau tidur denganmu?” seru Aiden dengan nada dingin dan sorot mata tajam.Amora menggigit bibir bawahnya. “T-tapi b-bukankah kita sudah menjadi suami istri?”Rangkaian resepsi mewah telah selesai. Amora dan Aiden berada di kamar pengantin mereka. Tentu malam pertama adalah hal yang ditakutkan oleh Amora. Namun, Aiden tiba-tiba mengatakan mereka tidur secara terpisah. Hal tersebut membuat Amora senang bercampur dengan kebingungan. Aiden melangkah mendekat ke arah Amora. Refleks, wanita itu melangkah mundur hingga punggungnya terbentur ke dinding. Aiden mengungkung tubuh Amora, membuat wanita itu gelagapan dan ta
Langkah kaki Amora begitu pelan, melangkah masuk ke dalam mansion milik Aiden. Desain elegan dan tertata sangat rapi dan sempurna. Bahkan debu pun tak terlihat. Bisa dikatakan Aiden adalah sosok pria yang perfectionist.“Kamarmu ada di ujung kanan,” ucap Aiden di kala sudah tiba di lantai tiga.Amora menatap Aiden dengan tatapan bingung. “Kamarku? Maksudmu, kita tidur terpisah?” tanyanya memastikan sambil mengerjapkan mata.Aiden membalas tatapan Amora dengan tatapan tajam. “Kau berharap kita tidur bersama?!”Amora tersentak karena nada bicara Aiden satu oktaf lebih tinggi. “A-aku hanya memastikan saja, Aiden.”Aiden melangkah mendekat. Refleks, Amora mundur dengan wajah panik.Amora menelan salivanya susah payah, dan mengangguk di balik wajah ketakutan. Detik selanjutnya Aiden melangkah pergi meninggalkan Amora yang bergeming di tempatnya, dengan raut wajah ketakutan.“Nyonya,” sapa sang pelayan sontak membuat Amora terkejut.“M-maaf, Nyonya. Saya tidak bermaksud membuat Anda terkeju