“Aksen benar-benar menyebalkan! Bahkan sampai sekarang dia belum mengabariku untuk meminta maaf!” Aurelia mengotak-atik ponselnya untuk memastikan Aksen benar-benar tidak memberinya kabar sama sekali hari ini. Padahal kemarin malam, ia sudah dibuat marah oleh Amora, tapi Aksen tampaknya tidak memperdulikan perasaannya.
“Kenapa denganmu, Aurel?” Seseorang menghampiri Aurelia kemudian duduk bersebrangan dengan wanita itu. Saat ini mereka tengah beristirahat untuk pemotretan selanjutnya.Aurelia menghela nafas. “Aksen tak menghubungiku,” singkatnya.“Hei, kenapa kau kesal ia tak menghubungimu? Bukankah kau selalu mengeluh jika dia terus menghubungimu?”Aurelia langsung menatap kesal rekan sesama modelnya yang duduk berhadapan dengannya. Benar juga apa yang dikatakan Michele, ia sering menolak panggilan telepon dari Aksen atau bahkan malas membalas chat Aksen. Tapi hari ini ia kesal karena Aksen tak menghubunginya.“Kemarin malam dia memb"Bagaimana kabarmu, Ayah?" Arta tak menjawab sepatah kata pun pertanyaan Vina. Semenjak dirinya dirawat di rumah sakit, Vina baru ingat untuk melayat ayahnya setelah kondisinya membaik seperti sekarang."Ayah,""Berhentilah pura-pura peduli padaku, aku tak butuh itu!" sarkas Arta dengan tatapan nyalang terhadap putri sulungnya itu. Vina menghela nafas. "Aku menjengukmu, itu tandanya aku benar-benar peduli padamu."Arta berdecak pelan. Senyum tipis dengan smirk yang khas membuatnya terlihat tengah tersenyum remeh kepada anaknya. Arta tahu, Vina berbaik hati padanya hanya karena harta warisan yang akan ia tinggalkan sangat banyak. Sejatinya, perempuan itu bukan khawatir tentang keadaannya, melainkan untuk terlihat simpati agar ketika ia menghabiskan kekayaan ayahnya, masih disebut hal yang wajar."Untuk apa peduli padaku?" Arta kembali menoleh kepada Vina."Ayah, aku anakmu.""Aku tidak mempunyai anak
Sepulang kerja dari kantor, Aksen kembali uring-uringan tidak jelas. Biasanya sehabis kerja ia akan langsung pergi ke kamarnya tanpa menoleh sedikitpun ruang tamu. Tapi berbeda dengan hari ini, sofa di ruang tamu nampak terlihat nyaman di matanya.Akhirnya Aksen menjatuhkan bokongnya sejenak di sofa tersebut. Sudah tiga hari semenjak ia tak melihat Amora, wanita itu sering sekali datang menemuinya dalam mimpi. Bahkan ketika ia tertidur di ruang kerjanya pun, Amora selalu datang dalam mimpinya hingga membuat Aksen terbangun kaget. Aksen lelah dengan semua itu.Aksen menghembuskan nafas panjangnya. Setelah melewati beberapa pemikiran yang cukup panjang, ia merogoh saku depan celana untuk mengambil ponselnya.Dilihat dan dipantau dari beberapa sudut, Aksen bisa menyimpulkan jika istrinya pergi ke luar kota selama tiga hari ini. Pantas saja dia tidak menemukan wanita itu di rumahnya.Anehnya Amora sama sekali tidak meninggalkan pesan sedikit
"Wait? Aurel datang ke rumah, terus minta dinikahin Aksen? Dasar keparat!" umpat Anna setelah mendengarkan cerita dari Amora tentang peristiwa malam kemarin.Amora masih anteng mengaduk lemon tea sedari tadi dan masih enggan untuk ia minum. "Menurutku, sepertinya dia menyesal. Sikapnya selalu begitu dari dulu. Aurel selalu ingin menang dariku sampai menjebakku berkali-kali. Tapi justru ia sendiri yang terperosok dalam jebakan itu. Lucu kan, Na?" Amora tertawa kecil."Haish! Aku heran kenapa dia sangat plin-plan. Dia menyerahkan Aksen padamu, tapi sekarang dia meminta Aksen kembali. Memangnya pernikahan itu semacam lelucon!" kesal Anna seraya meminum jusnya kemudian."Adakah hukum untuk menjerat Aurel, Na?" tanya Amora diakhiri dengan kekehan pelan di akhir kalimatnya. Melihat kekesalan temannya yang memuncak, Amora malah gencar menjahilinya. "Tentu saja. Aku akan membawa dia ke ranah hukum!" tekadnya.Amora menghela nafas pelan
Dengan senyuman yang merekah, Amora berjalan santai dengan kedua tangan masuk kedalam saku jas dokternya. Hari ini merupakan hari yang sangat ia tunggu-tunggu, yaitu kepulangan kakeknya dari rumah sakit.Sudah beberapa kali Amora membujuk Frans yang notabe-nya sebagai dokter penanggung jawab kakeknya, untuk segera memulangkan Arta dari rumah sakit. Tapi tak segampang itu, meskipun Amora adalah sahabatnya, Frans lebih tau mana yang terbaik untuk pasiennya. Ia tidak akan sembarang memulangkan pasien hanya karena bujukan seseorang melainkan karena pasien tersebut sudah benar-benar sembuh.Seorang perawat keluar dari ruang rawat inap Arta berbarengan dengan Amora masuk kedalam ruangan tersebut. “Permisi, Dok,” ucapnya membungkukan badan di depan Amora. Amora membalas dengan senyum tipis kemudian kembali melangkah menuju ranjang kakeknya.“Kakek akan kaget setelah masuk kantor kembali. Amora mendapatkan vendor yang sangat besar untuk proyek impian kakek,” ucap Amora seraya mengambil bebera
Huft ...Amora menghela napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Setelah menutup pintu utama, Amora bergerak mencari saklar lampu untuk memberi cahaya pada rumah yang nampak sangat sepi itu. Hari ini sangat berat untuknya. Meskipun ia senang karena kakeknya pulang dari rumah sakit, tapi setelah itu Amora kembali murung karena masalah Vincent yang semakin memburuk. Dan masalah terakhir ia harus berbicara panjang lebar dengan Frans untuk meminta kejelasan kenapa Vincent dipindahkan.Ditambah lagi keadaan rumah yang bak kuburan. Semua lampu sudah dimatikan karena ia pulang larut malam. Aksen pasti sudah tidur.Dengan berjalan gontai karena rasa lelah yang ia rasakan setelah bekerja seharian, Amora menggapai saklar lampu kemudian menekannya.TikAmora mengerjap kaget kala lampu ruang tamu sudah menyala. Bukan karena ruangan yang mendadak terang, melainkan karena ada seseorang tengah berdiri dengan bokong disandarkan ke belakang
Sudah tiga hari berlalu. Amora sama sekali tak melihat Aksen pulang ke rumah ataupun terlihat di kantornya. Pria itu seakan-akan menghilang dari pandangan istrinya.Sebagai wanita mandiri, Amora tak ambil pusing semua itu. Tak ada Aksen tak masalah, tapi yang ia takutkan adalah keselamatan pria itu.Bisa-bisanya ia sangat khawatir kepada pria yang bahkan telah menghina dan mencampakkan dirinya. Amora tak munafik, hatinya benar-benar menginginkan keadaan pria itu baik-baik saja dimanapun ia berada.Sedari pagi, Amora hanya duduk termenung di cafe dekat rumah sakit tempatnya bekerja. Hari ini Vincent sudah kembali membaik dan tidak terlihat wajah cemas seperti sebelumnya.Setelah Arta keluar dari rumah sakit, Amora tidak terlalu banyak pergi ke perusahaan kakeknya. Ia kembali mengutamakan profesinya sebagai Psikiater. Sesekali Amora membuka layar ponselnya untuk menghubungi Sekretarisnya yang sedang mencari info tentang keberadaan Aksen.
"Aksen"..Amora menghentikan gerakan pria yang sedari tadi mengajaknya berdansa itu. Pria bertopeng itu tampak kebingungan dengan gerakan Amora yang tiba-tiba menghentikan dansa mereka. "Kenapa?" tanya pria itu.Amora langsung menoleh kepada pria itu spontan. "A-ah, sepertinya cukup untuk malam ini," ujarnya seraya melepaskan genggaman pria itu.Amora berjalan meninggalkan pria itu yang masih mematung di antara kerumunan orang-orang yang tengah asik berdansa. Amora tak tahu jika pria itu terus memperhatikan dirinya dengan seringaian yang mampu membuat siapapun takut melihatnya.Amora memilih duduk kemudian segera membuka ponselnya dengan tatapan yang tajam, memilih satu kontak yang akan segera ia hubungi kali ini."Aksen ada disini."" …" "Cepat kirimkan padaku apapun yang kau temukan selama mencari keberadaan Aksen!" " …" Amora kembali menutup teleponnya. Matanya kini t
"Hati-hati, Am!" ujar Frans dari dalam mobil seraya menunduk untuk melihat jelas posisi temannya. Tangannya melambai akrab.Amora mengernyitkan dahinya, "Harusnya, aku yang mengatakan hati-hati padamu," ucapnya.Frans kembali tertawa tanpa suara. Ekspresi seperti itu semakin membuat ketampanannya bertambah. "Rumahmu jauh lebih bahaya dari jalanan kota," ujarnya seraya terkekeh pelan."Sembarangan kau ini, haha …" Amora ikut tertawa pelan. "Tapi … by the way, thank you Frans." Amora tersenyum lembut. Lesung Pipit itu sangat manis ketika muncul karena Amora tersenyum bahagia, bukan tersenyum sinis seperti biasanya. Senyum manis itu yang menjadi daya tarik Amora di mata Frans. Frans sangat menyukainya. Oleh karena itu, ia selalu berusaha untuk membuat Amora sering tersenyum manis ketika bersamanya.Frans mengangguk dengan tatapan bak memuja kepada Amora. Kelopak matanya tak pernah menutup, hanya untuk memperhatikan senyu