Sudah tiga hari berlalu. Amora sama sekali tak melihat Aksen pulang ke rumah ataupun terlihat di kantornya. Pria itu seakan-akan menghilang dari pandangan istrinya.
Sebagai wanita mandiri, Amora tak ambil pusing semua itu. Tak ada Aksen tak masalah, tapi yang ia takutkan adalah keselamatan pria itu.Bisa-bisanya ia sangat khawatir kepada pria yang bahkan telah menghina dan mencampakkan dirinya. Amora tak munafik, hatinya benar-benar menginginkan keadaan pria itu baik-baik saja dimanapun ia berada.Sedari pagi, Amora hanya duduk termenung di cafe dekat rumah sakit tempatnya bekerja. Hari ini Vincent sudah kembali membaik dan tidak terlihat wajah cemas seperti sebelumnya.Setelah Arta keluar dari rumah sakit, Amora tidak terlalu banyak pergi ke perusahaan kakeknya. Ia kembali mengutamakan profesinya sebagai Psikiater.Sesekali Amora membuka layar ponselnya untuk menghubungi Sekretarisnya yang sedang mencari info tentang keberadaan Aksen."Aksen"..Amora menghentikan gerakan pria yang sedari tadi mengajaknya berdansa itu. Pria bertopeng itu tampak kebingungan dengan gerakan Amora yang tiba-tiba menghentikan dansa mereka. "Kenapa?" tanya pria itu.Amora langsung menoleh kepada pria itu spontan. "A-ah, sepertinya cukup untuk malam ini," ujarnya seraya melepaskan genggaman pria itu.Amora berjalan meninggalkan pria itu yang masih mematung di antara kerumunan orang-orang yang tengah asik berdansa. Amora tak tahu jika pria itu terus memperhatikan dirinya dengan seringaian yang mampu membuat siapapun takut melihatnya.Amora memilih duduk kemudian segera membuka ponselnya dengan tatapan yang tajam, memilih satu kontak yang akan segera ia hubungi kali ini."Aksen ada disini."" …" "Cepat kirimkan padaku apapun yang kau temukan selama mencari keberadaan Aksen!" " …" Amora kembali menutup teleponnya. Matanya kini t
"Hati-hati, Am!" ujar Frans dari dalam mobil seraya menunduk untuk melihat jelas posisi temannya. Tangannya melambai akrab.Amora mengernyitkan dahinya, "Harusnya, aku yang mengatakan hati-hati padamu," ucapnya.Frans kembali tertawa tanpa suara. Ekspresi seperti itu semakin membuat ketampanannya bertambah. "Rumahmu jauh lebih bahaya dari jalanan kota," ujarnya seraya terkekeh pelan."Sembarangan kau ini, haha …" Amora ikut tertawa pelan. "Tapi … by the way, thank you Frans." Amora tersenyum lembut. Lesung Pipit itu sangat manis ketika muncul karena Amora tersenyum bahagia, bukan tersenyum sinis seperti biasanya. Senyum manis itu yang menjadi daya tarik Amora di mata Frans. Frans sangat menyukainya. Oleh karena itu, ia selalu berusaha untuk membuat Amora sering tersenyum manis ketika bersamanya.Frans mengangguk dengan tatapan bak memuja kepada Amora. Kelopak matanya tak pernah menutup, hanya untuk memperhatikan senyu
“PERGI!!!” bentak seseorang dengan tatapan melotot tajam berhasil membuat Amora memejamkan matanya sejenak. Amora menghela nafas pelan. Seorang pasien tengah memberontak di atas ranjang saat ini. Lima orang perawat berusaha memegangi tangan dan kaki pria itu untuk diikatkan ke tiang ranjang. “Berikan obat penenang untuknya!” titah Amora kepada kelima perawat itu seraya berjalan ke luar ruangan. Dadanya bergemuruh, tangannya sedikit bergetar. Amora harus meninggalkan situasi itu secepatnya.“Astaga!”Amora mengusap dadanya pelan, menetralkan rasa kaget yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat seperti tengah lari marathon. Sang pelaku hanya nyengir menampilkan gigi putih nan rapinya kepada korban. “Aku bukan hantu, Am!” Frans terkekeh pelan melihat Amora yang nampak melotot kearahnya. Dengan wajah tanpa dosanya itu, Frans berdiri tepat di depan pintu.“Ini masih pagi, Frans! Tolong jangan banyak ulah,” kesal Amora seraya mel
“Kita tuntaskan sekarang juga!” Amora melirik sang suami yang sudah berdiri berkacak pinggang menghadapnya. Padahal sedari tadi suasana hatinya sangat baik. Tapi setelah Aksen datang dan berbicara dengan nada sedikit tegas, senyum Amora kembali memudar.“Apa yang hendak kaubicarakan? Aku sedang sibuk,” ungkap Amora kembali menyibukkan dirinya dengan Ipad di tangannya. Tanpa diduga, Aksen merebut paksa Ipad itu dari tangan Amora. Sontak Amora menatap Aksen dengan tajam. “Aku tak mengganggumu hari ini, kenapa kau mengusikku?” tanya Amora kemudian.“Aku ingin mengakhiri semuanya!” Amora mendelikkan matanya. Ia melipat kedua tangannya dibawah dada seraya menaikkan kaki kanan untuk diletakkan di atas kaki kirinya. “Apa yang ingin kau akhiri?”Aksen nampak tak habis pikir dengan pertanyaan Amora. “Pernikahan konyol settinganmu ini!” Amora menghela napas. “Apa kau tidak memikirkan dampaknya? Kau akan keh
Suara ponsel yang tiba-tiba berdering mengalihkan pandangan Amora dari beberapa berkas yang ada di hadapannya. Sembari terus berkutat di atas beberapa kertas, tangan sebelah Amora mencoba meraih ponsel itu untuk menjawab panggilan.“Ya,” singkat Amora memberi isyarat jika ia sudah menerima panggilan dari seberang sana.“Maaf mengganggu, Bu. Hari ini Pak Arta akan berkunjung ke rumah sakit untuk menemui anda,” ucap Riri sopan.Amora mengernyitkan dahinya. “Kenapa kakek hendak menemuiku?”“Maaf Bu, saya kurang mengetahui informasi mengenai hal itu. Hanya saja sebelum pergi, beliau sempat bertanya tentang keberadaan anda saat ini. Dan saya diperintahkan untuk memberitahu anda untuk segera ke lobi rumah sakit,” jelas Riri panjang lebar.Amora terdiam sejenak.“Oke, Ri. Terima kasih,” ucap Amora seraya langsung memutuskan panggilan kemudian membereskan beberapa berkas di depannya itu.Segera setelah mejanya lumayan rapi, Amor
“Kukira kau tak akan datang,” ucap seorang gadis dengan segelas anggur di tangannya.Amora tersenyum menanggapi. “Aku hanya kasihan kepada sahabat tercintaku ini. Masa dia harus minum sendirian malam ini.”Amora memanggil seorang pelayan dan memesan satu botol minuman soda kesukaannya. Meskipun pergaulannya diantara orang-orang yang selalu main ke club, Amora tidak begitu sering minum seperti teman-temannya.Anna memanyunkan bibirnya mendengar pernyataan dari Amora yang mengecewakan.“Kenapa kau tiba-tiba mengajakku minum?” tanya Amora setelah meneguk setengah kaleng minuman sodanya.“Aish! Aku mumet sekali minggu ini. Klien-klienku sangat menyebalkan,” sahut Anna kembali meminum sedikit minuman di tangannya.Amora tertawa kecil. “Jika suatu nanti aku punya kasus, apakah kau sukarela menjadi pengacaraku, Na?” Amora sedikit terkekeh.“NO! Aku akan menolaknya! Klien sepertimu hanya akan membuatku stres!” ungkap perempuan i
Sepulang dari rumah Arta, tak ada terdengar di antara keduanya mencoba membuka pembicaraan. Sepanjang perjalanan pulang pun, baik Amora maupun Aksen tak ada yang mau bicara. Aksen sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengintai otaknya. Ucapan dan pernyataan Arta tadi sangat mengusik pikirannya. Ia banyak penasaran dan ingin tahu banyak hal tentang Amora di masa lalu semenjak mereka berpisah.Sementara Amora pun sibuk dengan pikirannya sendiri. Entah apa yang akan ia lakukan setelah ini, Amora sangat bingung. Ia bisa melihat kebahagiaan terpancar di wajah Arta ketika mengetahui dan mempercayai jika cucunya hidup penuh cinta bersama Aksen.Padahal ia tak tahu bagaimana yang terjadi di dalam. Di dalam kenyataan, bahwa Aksen hanya akting. Bukan benar-benar menyayangi Amora. Memikirkan itu membuat Amora seketika menghela napas pelan.Setelah sampai di pekarangan rumah Aksen, Amora segera keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Ia harus m
Sepulang Rina dari rumahnya, Aksen kembali turun ke bawah dan mengekori Amora menuju dapur. Ia bersandar di daun pintu seraya melipat kedua tangannya di bawah dada. Dari tempatnya berdiri, Aksen bisa melihat apa saja yang sedang dikerjakan istrinya. Wanita itu sangat sibuk memainkan alat dapur dan memotong beberapa bahan masakan dengan cekatan. Aksen tidak bisa berbohong jika saat ini Amora terlihat menarik dengan kemeja kebesaran membalut tubuh mungilnya sampai ke pha. Rambut yang diikat asal memperlihatkan leher jenjangnya yang sangat putih.“Cari alasan supaya kita tidak jadi pergi,” ucap Aksen tiba-tiba. Amora diam saja. Wanita itu sama sekali tak menghiraukan ucapan Aksen yang pasti akan membuatnya terus berdebat dengan lelaki itu.Menyadari Amora tak merespon ucapannya, Aksen berdecak sebal. “Kenapa aku harus melewatkan tawaran sebagus itu?” sahut Amora tanpa menoleh ke wajah suaminya.“Oke, jika kau mau pergi maka Aurel