“Maaf, aku mengganggu malam pertamamu,” ucap Frans diakhiri dengan kekehan renyah setelah menyelesaikan ucapannya. Amora berdecak sebal. Temannya ini selalu mengejeknya tentang perasaan tak berbalas Amora kepada Aksen.
Frans tahu pasti semuanya tentang Aksen dan Amora. Dia pendengar sejati setiap curahan hati Amora yang begitu menyedihkan.“Tak usah mengejekku!” ketus Amora memandang sebal lawan bicaranya. Frans kembali terkekeh geli mendengar ucapan Amora yang terlihat sangat tidak menyukai pembahasan yang tengah mereka bahas sekarang ini.“Apa dia mengatakan sesuatu padamu?” tanya Frans penasaran dengan keadaan pasangan suami istri yang baru menikah itu. Pasalnya, dia sangat tahu seluk beluk masalah yang terjadi antara keluarga Artawijaya dan keluarga Pratama, meskipun ia bukan bagian dari salah satu keluarga tersebut.“Seperti biasanya.” Amora menyandarkan punggungnya ke sofa. Mereka kini tengah berada di ruangan Frans. Mengobrol santai setelah beberapa jam lalu memastikan Vincent istirahat dengan sangat baik.“Sudah pukul dua dini hari, apa kau tidak mau pulang?”Amora menggeleng pelan. “Aku akan tidur disini sampai esok hari,” ucap Amora seraya merebahkan badannya di sofa. Mengingat hari kemarin adalah resepsi pernikahannya dan malam ini ia belum tidur sama sekali, Amora akan tidur sebentar untuk mengistirahatkan tubuhnya yang terasa sangat kaku dan pegal.Frans tersenyum tipis melihat Amora yang sudah menutup matanya dengan sempurna. Kebiasaan yang tak bisa dihilangkan Amora adalah tidur di sofa ruangan Frans untuk sekedar beristirahat setelah bekerja keras seharian. Menurutnya, sofa di ruangan Frans jauh lebih nyaman daripada sofa ruangannya.Frans mengambil selimut miliknya kemudian ia gunakan untuk menyelimuti Amora yang sudah terlelap. Nampaknya wanita itu sangat lelah sampai cepat sekali pulas.Esok harinya, Amora sudah berada di depan kamar Aksen. Ia ingin masuk untuk membangunkan suaminya dan menyiapkan perlengkapan kerja Aksen. Meskipun sedikit ragu, tapi ia tetap masuk karena untungnya pintu kamar Aksen tidak di kunci sama sekali.Aksen ternyata sudah bangun. Ranjangnya sudah kosong dan suara gemericik air terdengar dari arah kamar mandi, sepertinya Aksen sedang mandi. Amora berjalan menuju lemari pakaian Aksen dan memilih-milih baju yang akan digunakan suaminya nanti pergi bekerja.Tatapannya jatuh kepada kemeja biru muda dengan perpaduan dasi yang sangat pas. Amora mengambil kemeja itu dan celana hitam serta jas hitam selaras. Kemudian ia menyimpannya di atas ranjang.Tak menunggu lama, pintu kamar mandi akhirnya terbuka. Amora segera menoleh untuk menyambut Aksen. Namun seketika ia menelan salivanya sendiri ketika melihat Aksen hanya menggunakan handuk sepinggang dan rambut yang masih terlihat basah. Roti sobek yang tertata rapih di permukaan perutnya dan otot-otot tangan yang membuat tubuhnya tegap dan terlihat gagah.Aksen menatapnya datar. “Siapa yang menyuruhmu masuk?” ketusnya.“A-aku tadi... hendak menyiapkan baju kerjamu,” jawab Amora sedikit gugup. Entah kenapa melihat Aksen bertelanjang dada seperti ini, membuat jantung Amora berdetak lebih cepat. Padahal ia sendiri tengah berusaha mati-matian agar tidak terlihat gugup di depan Aksen.“Kenapa kau berani masuk?” tanya Aksen dengan nada seperti tengah mengintimidasi seorang musuh.“Pintunya gak di kunci, jadi aku masuk,” jawab Amora seadanya.“Kenapa kau berani masuk?!” bentak Aksen membuat Amora terperanjat. Amora kembali menelan salivanya susah payah. Kali ini bukan karena kekaguman terhadap tubuh Aksen, tapi suara Aksen yang mampu membuat nyalinya menciut.“Karena aku istrimu!” jawab Amora penuh keberanian.“Keluar! Aku tidak pernah mengizinkanmu masuk ke kamarku!” usir Aksen penuh tekanan.“Aku berkewajiban mengurus semua keperluanmu.”“Aku bisa mengurus keperluanku sendiri!” tukas Aksen. Pria itu menggiring Amora untuk keluar dari kamarnya.“Tapi aku istrimu. Seorang istri harus mengurus keperluan suaminya,” Amora masih bersikeras memaksa Aksen agar ia diizinkan untuk menyiapkan perlengkapan kerjanya.“Tapi kau adalah istri yang tak diinginkan!”Bruk!!Pintu kamar seketika dibanting kasar oleh Aksen. Amora hanya menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya dengan kasar.“Sabar Am,” ucapnya menghibur dirinya sendiri.“Sial! Kenapa baju yang dia pilih adalah baju yang ingin kupakai!” Aksen mengacak rambut basahnya dengan handuk. Setelah melihat ranjangnya, ia baru sadar bahwa baju yang disiapkan Amora adalah baju yang ingin dia pakai hari ini. Tapi karena Amora ikut memilih baju itu, Aksen tidak akan memakainya. Ia tak sudi menggunakan hal-hal yang terlibat dengan Amora di dalamnya. Meskipun hanya sekedar memilih baju.Amora berjalan pergi dari depan kamar Aksen. Ia memilih berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan pertama sebagai seorang istri. Sesekali ia menguap karena tadi malam di rumah sakit ia tak cukup tidur. Tapi, sebagai istri yang baik, se-capek apapun ia akan tetap melakukan kewajibannya melayani suami.Setelah semuanya tersedia di meja makan, Amora tersenyum lepas. Ia hanya perlu menunggu Aksen turun dari kamarnya dan sarapan bersama. Meskipun besar kemungkinan Aksen tak akan melirik masakannya sama sekali, tapi Amora tetap berharap Aksen mencobanya sekali saja.Setelah menunggu beberapa menit menunggu, akhirnya Aksen turun dari kamarnya dengan setelan kerjanya yang terlihat pas di tubuhnya. Namun hal yang pasti, Aksen tidak menggunakan kemeja yang dipilihkan Amora untuknya. Meskipun hari ini ia berniat memakainya, tapi setelah disentuh oleh istrinya, ia menahan diri untuk tidak memakainya.Melihat suaminya datang, Amora segera menghadang perjalanan Aksen yang hendak pergi ke halaman depan tanpa menoleh ke arah meja makan terlebih dulu.“Aku sudah siapkan kau sarapan. Mari sarapan,” ajak Amora kepada suaminya. Sementara Aksen hanya menatapnya dengan tatapan datar nan dingin. Ia sama sekali tidak tertarik dengan menu sarapan yang dibuat Amora. Lagipula, jika menu itu menarik pun ia tidak akan memakannya, karena terlibat Amora dalam pembuatannya.Aksen kembali melanjutkan langkahnya tanpa memperdulikan Amora. Terpaksa, Amora meraih tangan Aksen membuat pria itu berhenti melangkah kemudian menghempaskan tangan Amora cukup kasar.“Aksen...”“Jangan sentuh! Aku tak sudi tangan kotormu itu menyentuhku!” tegasnya kemudian berlalu pergi meninggalkan Amora yang masih berdiri mematung menatap kepergiannya.Amora kembali menghela nafas. “Se-najis apakah tanganku? Sampai kau tak sudi aku menyentuhmu,” lirih Amora sangat menyakitkan.Aksen berdiri di tepi danau yang jauh dari tempat keramaian orang. Tempat dimana akan selalu ia datangi ketika suasana hatinya sangat kacau. Sesekali ia melempar kerikil kecil ke arah danau sejauh mungkin. Memori demi memori terus melintas di pikirannya. Ia sangat ingat sekali bagaimana pertama kalinya ia bertemu dengan Amora di satu pulau tempat mereka tumbuh bersama dahulu. Pulau itu kini sudah ia miliki sendiri. Tapi tidak dengan kenangannya, Aksen akan menghapus semua itu dari ingatannya.Flashback on Aksen yang baru berumur 8 tahun hampir saja tenggelam karena tak sengaja jatuh ke danau. Untung saja seorang gadis dengan cepat berenang ke arahnya dan menyelamatkan nyawanya. Gadis itu terlihat basah kuyup karena aksi menolongnya.“Kamu tidak apa-apa?” tanya gadis itu kepada Aksen.Aksen menggeleng. “Tadi aku terkejut, jadi jatuh ke danau,” jelas Aksen menggigil.“Cepatlah pulang, nanti demam.” Gadis itu pergi meninggalkan Aksen.Sejak hari itu, Aksen selalu mencari gadis penolong
Hari sudah siang, Amora masih setia duduk di sofa ruang tengahnya. Awalnya ia sangat ingin pergi ke rumah sakit hari ini meskipun pihak rumah sakit sudah memberikannya izin cuti selama seminggu. Menurutnya, terlalu banyak diam dirumah membuat otaknya sedikit stres, apalagi dengan sikap suaminya yang toxic, Amora harus menambah kadar rasa sabarnya sebanyak mungkin.Tapi siang ini, ibu mertuanya akan datang, terpaksa Amora harus diam dirumah dan menahan diri untuk tidak pergi ke rumah sakit. Amora tidak begitu khawatir dengan mertuanya yang sudah ia kenali sejak lama. Tidak se-khawatir para wanita diluar sana yang baru saja menikah dan takut tak bisa diterima dengan baik oleh mertua mereka. Pemikiran itu sama sekali tak mengganggu jalan pikiran Amora, karena ibu Aksen sangat menyukainya.Setelah menyiapkan beberapa jamuan, Amora segera menyiapkan diri agar terlihat lebih menarik di depan mertuanya. Rambutnya sengaja ia biarkan terurai, dengan jepitan simpel diatasnya
Aksen memijat kepalanya yang terasa pening. Untuk menetralkan stressnya, ia memilih duduk di kursi pinggiran kolam renang belakang rumahnya. Merebahkan badan dan menikmati udara yang sejuk mungkin akan sedikit membantu otaknya kembali tenang.“Lemon tea bagus untuk mengurangi stress berlebih,” ujar Amora seraya menyimpan segelas lemon tea buatannya di atas meja samping Aksen. Pria itu tak merespon sedikit pun. Posisinya masih tetap dengan kedua lengan dilipat dibelakang kepala dan tatapan lurus ke depan.Amora menghela napas panjang ketika tak menerima respon apapun dari suaminya. “Aku ingin kau mendengar satu kebenaran dariku.” Amora masih setia berdiri disamping suaminya.“Waktu itu, sehari sebelum hari pernikahan tiba- ”“Aku tak peduli,” potong Aksen berucap tanpa intonasi. “Setidaknya kau harus tahu kejadian sebenarnya, jangan menyimpulkan sendiri!” Aksen menoleh kepada Amora dengan tatapan tak terbaca. Pria itu menampilka
Amora melirik jam tangannya sejenak. Nampaknya hari ini ia bekerja sangat keras, sampai tak menyadari ternyata malam sudah sangat larut. Amora menghela nafas panjang seraya menutup pintu ruangan pasien terakhir yang ia kunjungi. Setelah memastikan semua pasiennya dalam keadaan baik-baik saja, Amora berniat pergi menuju ruang inap kakeknya yang masih dalam keadaan kritis.Keadaan rumah sakit sangat sunyi. Lorong-lorong ber-AC yang biasa menyejukkan di siang hari, akan terasa menusuk kulit jika di malam hari. Amora memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas putihnya untuk meminimalisir dinginnya malam.Amora berhenti di depan pintu sebelah kanan lorong rumah sakit. Kemudian ia masuk dan menghampiri kakeknya yang masih terbaring lemas diatas ranjang pasien. Amora tersenyum seraya merapihkan selimut kakeknya kemudian duduk di atas kursi yang sudah tersedia.Perempuan itu tersenyum lembut. Tangannya terulur untuk mengusap pelan tangan keriput s
“Saya sudah memeriksa laporan dari semua divisi perhubungan, sepertinya Tuan Narendra belum melakukan tindakan yang mencurigakan akhir-akhir ini.”Amora mengangkat kedua alis setelah mendengar kabar baru dari sekretarisnya. Beberapa hari yang lalu Amora ditunjuk sebagai pimpinan sementara perusahaan kakeknya semenjak Artawijaya masuk rumah sakit. Para pemegang saham setuju menunjuk Amora untuk mengganti kakeknya, karena dari awal ia menjabat sebagai wakil pimpinan, Amora sudah terlihat bertanggung jawab terhadap perusahaan. Terpaksa ia harus bisa membagi waktu antara rumah sakit dan perusahaan.“Aku dengar, di hari pernikahanku dengan Aksen dia mengirim sesuatu ke kantor?” tanya Amora menoleh kepada Riri. Riri mengangguk kemudian merogoh sakunya untuk mengambil sesuatu.“Benar Bu. Tapi, kiriman selain ini, sudah saya buang di hari dia mengirimkannya untuk anda,” ucap Riri seraya memberikan secarik kertas yang dilipat kepada Amora. “Kena
Sepulang dari seminar, Amora langsung pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri dan mengganti baju. Sebelumnya ia mengedarkan pandangannya ke lantai atas, untuk memastikan suaminya sudah tidur atau belum. Tapi sepertinya Aksen sudah tidur.Merasa tubuhnya sangat lengket, Amora menanggalkan kardigan panjangnya hingga menyisakan celana bahan dan tangktop putih di tubuhnya. Dengan pakaian seperti itu Amora terlihat sangat seksi, apalagi rambutnya sengaja ia ikat sehingga menampilkan leher jenjangnya yang mulus.Amora menyentuh tenggorokannya yang terasa kering. Terpaksa sebelum melanjutkan ke kamar mandi, ia pergi ke dapur untuk meminum sesuatu yang membuat tenggorokannya lebih lega. Setelah menghabiskan segelas air dingin, kini giliran perutnya yang minta jatah. Akhirnya Amora memasak nasi goreng sebagai pengganjal rasa laparnya.Wanita itu kini tengah menikmati masakannya yang sudah terhidang di meja makan. Air liurnya sudah hampir menetes karena terkesima
“Kenapa kau belum juga menceraikannya?”Aksen menutup matanya sejenak. Kantornya lagi di masa-masa kritis saat ini, ditambah Aurelia yang terus menanyakan kenapa ia belum juga menceraikan Amora. Padahal saat ini ia tengah berusaha merebut perusahaan dari ibunya, supaya ia segera bisa menceraikan Amora.“Aku pasti akan menceraikannya, tapi tidak sekarang,” ucap Aksen kembali memeriksa berkas-berkas yang berseliweran di atas meja kerjanya.“Apa kau tidak peduli denganku lagi, Aksen?” Aurelia berbicara dengan sendu. Aksen tak bisa melihat Aurelia berekspresi seperti itu, dengan cepat ia berdiri dan menghampiri Aurelia untuk segera memeluk gadis itu dengan lembut.“Apa yang kau katakan?” tanya Aksen dengan lembut.“Akhir-akhir ini kau selalu mengabaikan permintaanku, apa aku sudah tak berharga lagi di hidupmu?” ucap Aurelia bernada sedih. Wanita itu benar-benar pintar dalam ber-akting.“Hei, jangan berpikir begitu. Kau adalah wanita paling berharga dalam hidupku. Kau yang telah menyelamat
“Kau akan terlihat anggun jika menggunakan dress merah, Am,” Anna sibuk memilih-milih baju yang akan digunakan Amora nanti malam. Mereka pergi ke salah satu pusat perbelanjaan setelah pulang bekerja. Amora tidak terlalu membingungkan pemilihan baju untuknya malam nanti. Baginya, memakai baju apapun akan terlihat sama saja. Yang membedakan terlihat bagus atau tidak itu tergantung siapa yang memakai baju tersebut.Anna menghela napas pelan melihat Amora yang masih sibuk dengan ponselnya sedari tadi. Perempuan itu nampak tidak tertarik sama sekali untuk tampil mempesona di depan orang banyak di perjamuan nanti malam.“Am! Ayolah, sekarang bukan waktunya bekerja,” jengkel Anna berkacak pinggang.Amora menoleh seraya menaikkan sebelah alisnya. “Aku harus apa?” herannya.“Simpan ponselnya, cobain bajunya!” titah Anna, memberikan baju berwarna merah dengan mutiara-mutiara kecil di sekitar pinggangnya. “Baiklah,” pasrah Amora menerima