Share

Bab 2 : Istri Yang Tak Diinginkan

“Maaf, aku mengganggu malam pertamamu,” ucap Frans diakhiri dengan kekehan renyah setelah menyelesaikan ucapannya. Amora berdecak sebal. Temannya ini selalu mengejeknya tentang perasaan tak berbalas Amora kepada Aksen.

Frans tahu pasti semuanya tentang Aksen dan Amora. Dia pendengar sejati setiap curahan hati Amora yang begitu menyedihkan.

“Tak usah mengejekku!” ketus Amora memandang sebal lawan bicaranya. Frans kembali terkekeh geli mendengar ucapan Amora yang terlihat sangat tidak menyukai pembahasan yang tengah mereka bahas sekarang ini.

“Apa dia mengatakan sesuatu padamu?” tanya Frans penasaran dengan keadaan pasangan suami istri yang baru menikah itu. Pasalnya, dia sangat tahu seluk beluk masalah yang terjadi antara keluarga Artawijaya dan keluarga Pratama, meskipun ia bukan bagian dari salah satu keluarga tersebut.

“Seperti biasanya.” Amora menyandarkan punggungnya ke sofa. Mereka kini tengah berada di ruangan Frans. Mengobrol santai setelah beberapa jam lalu memastikan Vincent istirahat dengan sangat baik.

“Sudah pukul dua dini hari, apa kau tidak mau pulang?”

Amora menggeleng pelan. “Aku akan tidur disini sampai esok hari,” ucap Amora seraya merebahkan badannya di sofa. Mengingat hari kemarin adalah resepsi pernikahannya dan malam ini ia belum tidur sama sekali, Amora akan tidur sebentar untuk mengistirahatkan tubuhnya yang terasa sangat kaku dan pegal.

Frans tersenyum tipis melihat Amora yang sudah menutup matanya dengan sempurna. Kebiasaan yang tak bisa dihilangkan Amora adalah tidur di sofa ruangan Frans untuk sekedar beristirahat setelah bekerja keras seharian. Menurutnya, sofa di ruangan Frans jauh lebih nyaman daripada sofa ruangannya.

Frans mengambil selimut miliknya kemudian ia gunakan untuk menyelimuti Amora yang sudah terlelap. Nampaknya wanita itu sangat lelah sampai cepat sekali pulas.

Esok harinya, Amora sudah berada di depan kamar Aksen. Ia ingin masuk untuk membangunkan suaminya dan menyiapkan perlengkapan kerja Aksen. Meskipun sedikit ragu, tapi ia tetap masuk karena untungnya pintu kamar Aksen tidak di kunci sama sekali.

Aksen ternyata sudah bangun. Ranjangnya sudah kosong dan suara gemericik air terdengar dari arah kamar mandi, sepertinya Aksen sedang mandi. Amora berjalan menuju lemari pakaian Aksen dan memilih-milih baju yang akan digunakan suaminya nanti pergi bekerja.

Tatapannya jatuh kepada kemeja biru muda dengan perpaduan dasi yang sangat pas. Amora mengambil kemeja itu dan celana hitam serta jas hitam selaras. Kemudian ia menyimpannya di atas ranjang.

Tak menunggu lama, pintu kamar mandi akhirnya terbuka. Amora segera menoleh untuk menyambut Aksen. Namun seketika ia menelan salivanya sendiri ketika melihat Aksen hanya menggunakan handuk sepinggang dan rambut yang masih terlihat basah. Roti sobek yang tertata rapih di permukaan perutnya dan otot-otot tangan yang membuat tubuhnya tegap dan terlihat gagah.

Aksen menatapnya datar. “Siapa yang menyuruhmu masuk?” ketusnya.

“A-aku tadi... hendak menyiapkan baju kerjamu,” jawab Amora sedikit gugup. Entah kenapa melihat Aksen bertelanjang dada seperti ini, membuat jantung Amora berdetak lebih cepat. Padahal ia sendiri tengah berusaha mati-matian agar tidak terlihat gugup di depan Aksen.

“Kenapa kau berani masuk?” tanya Aksen dengan nada seperti tengah mengintimidasi seorang musuh.

“Pintunya gak di kunci, jadi aku masuk,” jawab Amora seadanya.

“Kenapa kau berani masuk?!” bentak Aksen membuat Amora terperanjat. Amora kembali menelan salivanya susah payah. Kali ini bukan karena kekaguman terhadap tubuh Aksen, tapi suara Aksen yang mampu membuat nyalinya menciut.

“Karena aku istrimu!” jawab Amora penuh keberanian.

“Keluar! Aku tidak pernah mengizinkanmu masuk ke kamarku!” usir Aksen penuh tekanan.

“Aku berkewajiban mengurus semua keperluanmu.”

“Aku bisa mengurus keperluanku sendiri!” tukas Aksen. Pria itu menggiring Amora untuk keluar dari kamarnya.

“Tapi aku istrimu. Seorang istri harus mengurus keperluan suaminya,” Amora masih bersikeras memaksa Aksen agar ia diizinkan untuk menyiapkan perlengkapan kerjanya.

“Tapi kau adalah istri yang tak diinginkan!”

Bruk!!

Pintu kamar seketika dibanting kasar oleh Aksen. Amora hanya menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya dengan kasar.

“Sabar Am,” ucapnya menghibur dirinya sendiri.

“Sial! Kenapa baju yang dia pilih adalah baju yang ingin kupakai!” Aksen mengacak rambut basahnya dengan handuk. Setelah melihat ranjangnya, ia baru sadar bahwa baju yang disiapkan Amora adalah baju yang ingin dia pakai hari ini. Tapi karena Amora ikut memilih baju itu, Aksen tidak akan memakainya. Ia tak sudi menggunakan hal-hal yang terlibat dengan Amora di dalamnya. Meskipun hanya sekedar memilih baju.

Amora berjalan pergi dari depan kamar Aksen. Ia memilih berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan pertama sebagai seorang istri. Sesekali ia menguap karena tadi malam di rumah sakit ia tak cukup tidur. Tapi, sebagai istri yang baik, se-capek apapun ia akan tetap melakukan kewajibannya melayani suami.

Setelah semuanya tersedia di meja makan, Amora tersenyum lepas. Ia hanya perlu menunggu Aksen turun dari kamarnya dan sarapan bersama. Meskipun besar kemungkinan Aksen tak akan melirik masakannya sama sekali, tapi Amora tetap berharap Aksen mencobanya sekali saja.

Setelah menunggu beberapa menit menunggu, akhirnya Aksen turun dari kamarnya dengan setelan kerjanya yang terlihat pas di tubuhnya. Namun hal yang pasti, Aksen tidak menggunakan kemeja yang dipilihkan Amora untuknya. Meskipun hari ini ia berniat memakainya, tapi setelah disentuh oleh istrinya, ia menahan diri untuk tidak memakainya.

Melihat suaminya datang, Amora segera menghadang perjalanan Aksen yang hendak pergi ke halaman depan tanpa menoleh ke arah meja makan terlebih dulu.

“Aku sudah siapkan kau sarapan. Mari sarapan,” ajak Amora kepada suaminya. Sementara Aksen hanya menatapnya dengan tatapan datar nan dingin. Ia sama sekali tidak tertarik dengan menu sarapan yang dibuat Amora. Lagipula, jika menu itu menarik pun ia tidak akan memakannya, karena terlibat Amora dalam pembuatannya.

Aksen kembali melanjutkan langkahnya tanpa memperdulikan Amora. Terpaksa, Amora meraih tangan Aksen membuat pria itu berhenti melangkah kemudian menghempaskan tangan Amora cukup kasar.

“Aksen...”

“Jangan sentuh! Aku tak sudi tangan kotormu itu menyentuhku!” tegasnya kemudian berlalu pergi meninggalkan Amora yang masih berdiri mematung menatap kepergiannya.

Amora kembali menghela nafas. “Se-najis apakah tanganku? Sampai kau tak sudi aku menyentuhmu,” lirih Amora sangat menyakitkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status