Tidak pernah sekalipun seumur hidup Evelyn, dirinya membayangkan akan berada pada posisinya sekarang. Duduk di sebuah mobil mewah dengan seorang pria di sampingnya. Pemilik sebuah perusahaan besar.
Mobil saat itu sedang berhenti. Menunggu sampai gerbang Mansion milik Gabriel dibuka. Evelyn tidak berani membayangkannya, bahwa dirinya akan tinggal di tempat semacam itu. Evelyn cukup tahu diri dan tidak berani memimpikan posisi yang lebih tinggi dari hidupnya sekarang. Tentu dirinya berangan-angan menjadi orang yang lebih baik dengan keuangan yang stabil, tapi tinggal di sebuah Mansion mewah? Itu sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Dirinya lahir di keluarga yang sederhana, cukup berantakan dan jauh dari kata harmonis. Bahkan Evelyn sampai sekarang tidak mengerti kenapa orang tuanya bisa menikah kalau akhirnya mereka memiliki kehidupan yang seperti itu. Setelah dirinya lebih besar, bahkan dirinya harus membiayai sekolah sendiri. Tidak lagi bergantung pada orang tuanya. Kehidupan sulit dan dirinya harus merangkak dari bawah. Dan pencapaian tertinggi yang dimilikinya sekarang adalah lulus dari perguruan tinggi dan bisa bekerja sebagai guru di taman kanak-kanak. Salah satu impian yang terwujud karena dirinya cenderung sangat menyukai anak kecil. Untuk pernikahan, Evelyn tidak muluk-muluk. Dirinya berasal dari kalangan kaum bawah, rasanya tidak pantas memimpikan seorang pangeran dari kerajaan. Tapi berada di sanalah dirinya sekarang. Seseorang membukakan pintu mobil untuknya. Saat dirinya melangkahkan kaki keluar, di pintu seberangnya, Gabriel juga keluar dan memutari mobil untuk berdiri di sampingnya. Evelyn langsung memandangi pria itu. Bergantian memandangi gaun pengantin yang masih terpasang di tubuhnya. "Tapi aku bahkan belum berkemas sama sekali. Semua barang-barangku masih ada di apartemen." Dia berkata sambil memandangi Gabriel lagi. "Aku bahkan tidak bisa membayangkan sebanyak apa pakaian lusuhmu di apartemen kecil itu. Jadi lupakan saja. Kau adalah istriku sekarang dan buang semua barang-barang yang sebelumnya menjadi milikmu. Aku sudah membelikan yang baru." "Hah? Apa?" Evelyn kebingungan. "Apa maksudmu mengatakan hal itu?" Gabriel langsung memutar mata dan memandanginya. "Ini rumahku dan aku yang memberi izin barang apa saja yang boleh masuk ke dalam. Dan semua yang berasal dari masa lalumu, bahkan hal yang kau kenakan kemarin di tubuhmu, aku tidak menerimanya untuk masuk ke dalam rumahmu. Jadi tinggalkan saja. Kau tidak perlu berkemas karena aku sudah menyiapkan semuanya untukmu." "Apa kau serius? Tapi aku punya banyak hal penting di apartemen." "Ya, aku tidak suka bercanda." Gabriel berlalu begitu saja meninggalkan Evelyn. Membuat Evelyn mau tak mau mengintilinya di belakang untuk mulai menaiki anak tangga yang berada di teras depan. "Pekerjaanku? Bagaimana dengan pekerjaanku? Semua hal yang berhubungan dengan pekerjaanku masih ada di sana." "Aku tahu." Gabriel memutar matanya malas dan berhenti di tengah-tengah tangga. Dirinya memandangi William yang sejak tadi mengikutinya. Gabriel memberi isyarat lewat matanya agar William melanjutkan penjelasan itu. Asistennya itu pun menganggukan kepalanya mengerti dan maju satu langkah agar berdiri sejajar dengan Evelyn. "Untuk semua barang-barang penting Anda yang berhubungan dengan pekerjaan, saya sudah membawanya. Sudah memindahkannya juga ke kamar Anda, Nona." Tatapan Evelyn langsung beralih kepada William. "Bagaimana caramu memindahkannya?" "Tentu saja dengan mendatangi apartemenmu. Saya mengambil semua barang yang menurut saya penting saja." "Tidak." Evelyn menggelengkan kepalanya. "Maksudku bagaimana caramu masuk ke apartemenku?" William kemudian terlihat sedikit menyipitkan matanya. "Dengan koneksi yang saya miliki mungkin. Hanya perlu memberi sedikit bujukan kepada pemilik gedung itu untuk memberikan saya salinan kuncinya," katanya dengan senyum tipis. Evelyn langsung memutar matanya malas. Tentu saja. Mereka berkuasa dan punya segalanya. Hal kecil seperti itu, tentu saja mereka bisa melakukannya. Akhirnya Evelyn bahkan tidak mempermasalahkannya lagi dan memilih terus mengikuti Gabriel yang berjalan menuju pintu utama. Susah payah menyeret gaunnya yang cukup berat. Ketika dirinya hampir menginjakkan kakinya di bagian anak tangga teratas, tiba-tiba kakinya tidak seimbang. Mungkin karena high heels yang dikenakannya, ditambah gaun pengantinnya yang membuat semuanya bertambah merepotkan. Evelyn nyaris jatuh terjengkang ke belakang kalau saja William tidak langsung menyambar tangannya dan membantunya berdiri lagi. "Tolong berhati-hati, Nona." William berpesan dan Evelyn pun langsung berterima kasih padanya. Dia dengan santainya berjongkok kemudian melepaskan high heels-nya begitu saja. Memilih menempelnya dengan satu tangan. Yang tidak terduga, saat dirinya baru menegakkan tubuh lagi, tiba-tiba Gabriel sudah berada di sampingnya lalu begitu saja Evelyn merasakan tubuhnya terangkat. Pria itu membopongnya dengan sangat mudah di depan tubuh. Membuat matanya membelalak kaget. "Aku bisa berjalan sendiri. Turunkan aku!" Evelyn berusaha melepaskan diri dari gendongan Gabriel, tapi pria itu malah mencengkeram tubuhnya lebih kuat. "Masih ada banyak tangga di dalam, jadi aku tidak mau mengambil resiko membiarkanmu menggelinding ke bawah. Diam saja, oke?" Dia berkata sambil mengembuskan napas dan Evelyn hanya memalingkan wajahnya karena tidak sanggup memandang wajah Gabriel dari jarak yang sedekat itu. Pria itu berjalan dengan langkah pasti dan tenang. Seolah tubuhnya seringan kapas. Bahkan sebelum mencapai pintu, pintu besar itu sudah lebih dulu berayun terbuka. Memperlihatkan dua perempuan muda dengan seragam serupa di dalamnya. Pekerja di rumah itu. Gabriel melenggang masuk dengan santainya. Mengabaikan beberapa pekerja di bagian dalam rumah yang nampak hormat melihat kehadirannya. Hal itu justru membuat Evelyn rasanya ingin menghilang saja dari hadapan mereka semua saking malunya dirinya digendong seperti itu oleh Gabriel. "Aku bilang aku bisa berjalan sendiri." Evelyn berbisik lagi ketika Gabriel sudah mulai menaiki anak tangga. "Kenapa? Apa kau merasa malu dengan suamimu sendiri?" Gabriel bertanya dengan salah satu ujung bibir terangkat. Menggoda Evelyn. Gadis itu tidak menjawabnya dan Gabriel hanya terus menaiki anak tangga satu demi satu. Tiba di lantai dua, Dia berjalan ke salah satu pintu ruangan yang ada di sana. William bergerak membukakan pintu dan Gabriel pun membawa Evelyn masuk. "Tutup pintunya, William." Gabriel memerintah dan asistennya itu langsung pamit undur diri dan bunyi pintu yang tertutup pun terdengar oleh mereka berdua. Gabriel menurunkan Evelyn di sana. Di tengah-tengah ruangan. Saat itu Evelyn langsung berdeham sambil mengalihkan mata dari Gabriel. Tiba-tiba merasa gugup. "Aku berada di depanmu. Kenapa memilih memandang ke arah lain?" Gabriel bertanya sambil meraih dagu Evelyn untuk memaksanya menatapnya. Wajah gadis itu merah padam. Membuat Gabriel menarik seringai lebar. "Tidak perlu gugup begitu," kata Gabriel meraih masing-masing pinggang Evelyn dan menariknya mendekat. Gabriel memajukan wajahnya sampai Evelyn bisa merasakan embusan napas Gabriel di bagian samping lehernya. "Kita tidak perlu langsung melakukan malam pertama, jadi tidak perlu segugup itu." Dia berkata lagi dan langsung mundur menjauh dengan kedua tangan tenggelam di saku celana. "Baiklah, kalau begitu aku akan meninggalkanmu. Anggaplah rumah sendiri. Tidak perlu sungkan." Gabriel memutar tubuhnya dan langsung berlalu menuju pintu. Ketika dirinya ingin meraih gagang pintu, Gabriel terlupa akan sesuatu. Dia berbalik lagi. "Ah, ya. Untuk semua pekerja yang ada di rumahku ini, anggap mereka semua sebagai pelayanmu. Panggil mereka saat butuh. Sebut saja kau mau apa, biar mereka yang melakukannya." Gabriel mengangkat jari telunjuknya. Seperti ingin memberi peringatan. "Aku juga tidak suka seorang pembangkang. Kau tidak boleh keluar dari rumah ini tanpa izin dariku. Jadi sebelum kau ingin pergi ke mana pun, kau harus mencariku terlebih dahulu." "B-baiklah," jawab Evelyn pelan. "Oke. Aku ada di kamar paling ujung sayap kiri rumah ini kalau kau butuh sesuatu. Tapi usahakan untuk mengetuk pintunya terlebih dahulu. Hanya William yang boleh masuk tanpa perlu mengetuk pintu, itupun kalau ada sesuatu yang mendesak." "Aku mengerti." Evelyn menganggukan kepalanya dan Gabriel pun langsung membuka pintunya. Pria itu segera menghilang di balik pintu dengan langkah kakinya yang pelan-pelan mulai menghilang. Saat berbalik, di sanalah kejutannya membuat Evelyn terperangah. Ranjangnya besar sekali. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya, melainkan banyaknya paper bag yang memenuhi nyaris setengah bagian atas ranjangnya itu. Saat Evelyn mendekatinya dan meraih salah satunya, ternyata isinya adalah sebuah high heels dari merek ternama. Untuk dirinya yang selama ini selalu mengenakan hal-hal sederhana, bahkan berpikir berulang kali setiap kali ingin membeli sesuatu, tiba-tiba dihadapkan barang-barang mewah hanya dalam satu kali kedip. Itu keberuntungan atau kemalangan?"Cepat buka pintunya!" Gabriel berteriak pada sopir pribadinya yang saat itu sedang menunggu di samping mobil. Pintu mobil bagian belakang langsung dibuka dengan cepat dan Gabriel berjalan ke arahnya dengan langkah lebar. Dia membawa Evelyn masuk terlebih dahulu, baru kemudian dirinya memutari mobil untuk masuk lewat pintu satunya. Dalam langkahnya itu, Gabriel menyempatkan menarik ponselnya keluar dari dalam jas kemudian membuka jasnya sebelum kembali masuk ke dalam mobil. Dia menggunakan jasnya itu untuk dipakaikan kepada Evelyn. Yang hanya diterima oleh Evelyn. "Apa kita perlu pergi ke rumah sakit?" Gabriel bertanya kepada Evelyn saat mobil sudah mulai melaju pergi meninggalkan parkiran utama hotel. Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan. "Aku hanya ingin pulang," katanya masih ketakutan dan Gabriel hanya merapatkan jas miliknya yang terpasang di tubuh Evelyn. "Baiklah, kita akan pulang," kata Gabriel menjanjikan hal itu. Dia langsung mengangkat ponsel untuk menghubungi
"Tunggulah di sini, aku akan pergi sebentar." Gabriel berbisik di samping telinga Evelyn ketika salah seorang kenalan melambaikan tangan padanya memintanya untuk mendekat dan bergabung di mejanya. Sontak saja hal itu membuat Evelyn langsung menatap Gabriel kebingungan. "Tidak bisakah aku ikut denganmu saja?" Dirinya menatap tiga orang yang berada di seberangnya. Menduduki meja yang sama juga dengannya dan Gabriel. "Kenapa? Aku hanya akan menyapa seseorang sebentar. Setelah itu aku akan berpamitan kepada pemilik pesta dan kita bisa pulang ke rumah." "Tapi aku tidak nyaman berada di sini sendirian. Lagi pula aku tidak mengenal siapa pun di pesta ini. Aku hanya tahu dirimu." Ah, benar juga. Pasti rasanya sangat canggung dan tidak nyaman saat berada di satu ruangan dengan penuh orang asing. Hal itu jadi membuat Gabriel ikut bingung. Di satu sisi dirinya merasa kasihan kalau harus meninggalkan Evelyn sendirian di sana, tapi di sisi lain itu adalah hal yang buruk untuk membawa E
Seumur hidupnya Evelyn tidak pernah mendatangi acara-acara seperti itu. Jangankan pergi untuk merayakan acara ulang tahun orang lain, atau semacam acara untuk merayakan anniversary, bahkan dirinya tidak merayakan ulang tahunnya sendiri. Terlalu membuang waktu dan membuang dana. Daripada untuk membeli kue, lebih baik uangnya disimpan untuk keperluan yang lain.Untuknya yang selalu menghargai uang dan berusaha untuk tidak membuangnya terlalu banyak, menurut Evelyn acara itu benar-benar berlebihan dan pasti menghabiskan banyak sekali uang. Itu adalah acara anniversary dari teman Gabriel. Acara itu di langsungkan di sebuah hotel berbintang. Sangat mewah dan elegan. Evelyn hanya tahu bahwa hotel itu biasanya hanya didatangi oleh orang-orang berduit, atau untuk sebuah acara dari mereka yang berasal dari kaum atas.Tapi di sanalah dirinya berada. Menghadiri acara mewah itu sebagai istri dari Gabriel.Evelyn tidak perlu bertanya. Hanya perlu sedikit memperhatikan dan dirinya akan tahu bahwa s
Gabriel 11Malam ketika Gabriel kembali, dia tidak menemukan Evelyn di mana pun di lantai dasar. Matanya langsung melirik ke arah salah satu asisten rumah tangga yang sedang menyiapkan makan malam. Dia sedang mengisi meja makan."Apa Evelyn sudah kembali?" Gabriel bertanya dan wanita itu langsung bergerak menghampirinya."Maaf, Tuan Muda?" Dia meminta Gabriel untuk mengulang pertanyaannya karena dirinya tidak terlalu mendengar hal itu.Gabriel langsung mengembuskan napas. "Kutanya, apa Evelyn sudah kembali?""Oh, itu." Wanita itu mengganggukan kepalanya. "Ya, Nona sudah kembali. Sore ini. Sekarang dia berada di kamarnya. Perlu saya panggilkan?""Tidak perlu. Aku sendiri yang akan mendatanginya. Apa dia melakukan sesuatu yang aneh setelah kembali?" Gabriel bertanya lagi dengan mata sedikit menyipit. Penasaran.Wanita itu mengerutkan dahinya bingung. Tidak mengerti aneh bagaimana yang dimaksud oleh tuannya itu. "Sepertinya tidak ada." Dia berkata."Setelah kembali, Nona hanya membuat mi
Tidak ada bulan madu. Seluruh staf perusahaan dibuat terkaget-kaget ketika menyadari kehadiran atasan mereka–Gabriel– melewati pintu perusahaan dengan setelan rapinya seperti biasa. Beberapa dari mereka bertanya-tanya kenapa pria itu muncul di sana? Baru hari kemarin dia melangsungkan pernikahannya dan sekarang dia memilih tetap bekerja seperti biasa? Apa kebetulan malam bulan madunya tidak berjalan sempurna? Atau ada sesuatu yang lebih parah. Tapi tentu, tidak ada siapa pun yang berani mengatakan apa-apa kepada Gabriel. Pria itu berjalan dengan langkah santai. Kedua tangannya tenggelam di saku. Dia menuju lift. Ada dua orang perempuan sedang berbicara di depan lift. Menunggu pintu lift terbuka. Mereka sama sekali tidak sadar bahwa ada atasan mereka tepat di belakang mereka. "Bukankah wanita itu terlihat terlalu biasa untuk Pak Harrison?" Salah satunya berbicara dan Gabriel hanya mendengarkan tanpa menyela. "Lihatlah atasan kita. Dia muda, memiliki tubuh yang sangat bagus, rupan
Pagi pertama sebagai pengantin baru. Tidak ada yang terlalu spesial. Baik Gabriel ataupun Evelyn menjalani pagi mereka seperti biasanya. Tidak ada malam panas, tidak ada pelukan hangat, atau ciuman penuh hasrat.Mereka berdua bangun di kamar masing-masing dan langsung mempersiapkan seluruh kesibukan mereka sendiri. Sebelum akhirnya keduanya sama-sama keluar melewati pintu di waktu yang bersamaan. Sungguh suatu kebetulan.Pada jarak yang cukup jauh itu, Evelyn langsung menundukkan kepalanya ketika melihat Gabriel menatapnya dari posisi pria itu. Dirinya kemudian mulai mengambil langkah, begitu juga dengan pria itu.Gabriel yang paling pertama tiba di bagian ujung anak tangga dan dia menunggu sampai Evelyn menghampirinya."Bagaimana tidurmu malam ini, Nona?" Pria itu bertanya. Sedikit menggoda Evelyn.Hal itu langsung membuat Evelyn menundukkan kepalanya. "Ah, cukup nyenyak." Dirinya menjawabnya jujur."Ya, tentu saja. Karena kamar di rumahmu tidak sebesar kamar di rumahku, 'kan? Kasurn