Nur terkejut mendengar ancaman halus itu. Ia menoleh, menatap ibu mertuanya dengan tersenyum membuat Diana merasa di remehkan. Bukannya takut, Nur nampak tetap tenang, meski akhirnya gadis itu menunduk, melanjutkan pekerjaannya tanpa berkomentar. Nur tahu, berdebat hanya akan memperkeruh suasana. Namun, ancaman itu tetap terasa menusuk di hatinya.
Diana kembali ke meja makan dengan wajah yang tenang, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Sementara Nur, meski merasa cemas, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan lama untuk menghadapi masalah ini. "Ternyata gini ya rasanya dapat mertua sadis, bikin ngenes. Pantas aja mbak Lia sampai kering kerontang, suami pelit perhitungan ipar dan mertua julid. Jabang bayi amit-amit, jangan sampai aku juga kek gitu, bisa-bisa tubuhku yang langsing ini jadi tengkorak berjalan," ujar Nur tanpa suara. Meski begitu bibirnya tetap mencar-mencor sambil membilas piring. Setelah selesai sarapan Azka berpamitan untuk berangkat ke kantor. Diana pun mengantar sang suami hingga ke depan pintu. Di ruang makan Oma Mentari mengobrol bersama Excel dan Nur yang sudah kembali duduk. Mata tuanya yang lembut memancarkan kehangatan yang selalu membuat mereka nyaman. "Excel, apa rencana kalian hari ini?" tanyanya dengan suara lembut. Excel tersenyum tipis, melirik Nur yang duduk di sampingnya sebelum menjawab, “Belum tahu, Oma. Aku baru saja resign dari kantor Pak Heri, jadi sekarang masih bingung mau ngapain. Papa sih bilang, aku disuruh istirahat dulu. Katanya, nanti kalau udah ada kerjaan buat aku, baru dipanggil" "Lagian kamu itu, udah tahu punya perusahaan sendiri malah suka kerja dengan orang lain," ujar Oma Mentari. "Ya kan, aku juga pengen cari pengalaman dulu, Oma. Biar tahu juga gimana rasanya kerja di bawah tuntutan orang lain," balas Excel santai. Nur yang memang tidak tahu bagaimana kehidupan dan silsilah keluarga Excel pun diam menyimak. Dirinya bisa menyimpulkan bahwa keluarga Excel bukanlah orang sembarangan. Hingga akhirnya Oma mengakhiri obrolan mereka dan berniat untuk berjemur di samping rumah. "Oma, boleh Nur temani?" tanya Nur dengan ragu. Oma Mentari tersenyum, terlihat senang dengan tawaran itu. "Tentu saja, Nak. Oma akan sangat senang ditemani." "Terima kasih, Oma," sambut Nur antusias. Ia segera beranjak dari duduknya dan menghampiri sang nenek. Nur membantu Oma Mentari untuk bangkit dari duduknya. "Hati-hati, Oma." "Iya, Sayang," balas Oma Mentari. Dengan lembut, Nur menuntun Oma yang berjalan menggunakan _Cane_, menuju area berjemur di taman samping meninggalkan Excel yang masih menikmati secangkir kopinya. Sesampainya di sana, mereka duduk di bangku taman di bawah sinar matahari pagi yang hangat. "Nur, boleh Oma bertanya?" suara lembut Oma Mentari memecah keheningan pagi di taman. Ia menatap Nur dengan pandangan hangat, penuh rasa ingin tahu sekaligus perhatian. Nur menoleh dengan senyum kecil. “Silakan, Oma, mau tanya apa?” jawabnya, sedikit penasaran, tapi tetap dengan nada riang yang khas darinya. Oma Mentari menatapnya sejenak, mengamati ekspresi gadis itu. “Kenapa kamu mau menjadi pengantin pengganti untuk Excel?” Pertanyaan itu membuat Nur terdiam sejenak. Pandangannya beralih, menerawang, seolah mencari jawaban yang tepat. Ia tak langsung menjawab. Di dalam benaknya, berputar kenangan, pertimbangan, dan alasan yang mungkin sulit dijelaskan. Mengambil napas panjang, Nur akhirnya tersenyum, mencoba memberi jawaban ringan yang barangkali bisa mengalihkan perasaan dalam hatinya. “Em, kenapa ya?” Nur menggigit bibirnya sambil berpikir, lalu tertawa kecil. “Jodoh kali, Oma,” ucapnya santai, disertai senyum jahil dan ekspresi nyengir yang membuatnya terlihat menggemaskan. Oma Mentari terkekeh melihat kelucuannya. Senyum lembut menghiasi wajah sang nenek, merasa terhibur oleh jawaban Nur yang polos namun dalam. Meski sederhana, Oma tahu ada lebih banyak hal di balik kata-kata gadis itu. "Apapun alasanmu, terima kasih karena kamu sudah menyelamatkan nama baik keluarga Mahendra," kata Oma Mentari dengan suara lembut namun penuh ketulusan. "Firasat Oma, kamu orang yang baik. Semoga kalian berjodoh hingga akhir hayat," lanjutnya, menatap Nur dengan mata yang berbinar haru. Nur merasakan hangat di hatinya mendengar doa tulus dari sang nenek. Ia terdiam sejenak, berusaha menyembunyikan perasaan yang campur aduk antara haru, gugup, dan sedikit ragu. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apakah ia memang pantas menjadi bagian dari keluarga yang ia curigai bukan orang sembarangan?. Dari balik tembok Diana mengintip interaksi ibu mertuanya dengan Nur yang begitu akrab dengan hangat. "Ih nyebelin, gadis kampungan ternyata bisa banget ya menggaet nenek tua itu, entah pelet apa yang dia pake. Aku yang selama tiga puluh tahun menjadi menantunya aja enggak pernah ngobrol ketawa-ketawa gitu. Ngeselin banget, awas aja kamu Nur, dasar kampungan!" Diana meremas kedua telapak tangannya merasa kesal dan segera berlalu masuk ke dalam rumah. Nur menundukkan kepala sedikit, tersenyum dengan penuh syukur. "Terima kasih, Oma, untuk doanya," balas Nur. Ia seolah menjanjikan pada dirinya sendiri bahwa ia akan berusaha sebaik mungkin menjalani peran ini. _Apa aku bilang aja ya sama Oma kalau pernikahan ini akan segera berakhir? Biar aku tidak perlu memberinya harapan yang terlalu tinggi. Lagian Om Excel kenapa sih, enggak jujur aja kalau kita akan segera berpisah dan pernikahan ini hanya menyelamatkan nama baik baik keluarganya_ Nur berpikir, hatinya bergejolak. "Em, Oma, maaf sebenarnya....." Nur menata kalimat dengan hati-hati agar Oma Mentari tak syok atau pun terkena serangan jantung ketika mendengar kejujurannya. "Iya, Nur," ucap Oma Mentari mengernyitkan dahi menunggu Nur yang tak kunjung melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat membuat Nur dan Oma Mentari menoleh. Nampak Excel datang dengan "Nur, kamu belum nyiapin berkas-berkas buat masuk kuliah Minggu depan?" tanya Excel. "Belum. Kok, Om, tahu? "Ini tadi Mbak Lia telpon aku, ngasih tahu kalau kamu udah nyiapin berkas-berkas kuliah apa belum? Katanya mbak Lia telpon kamu enggak di angkat," kata Excel. "Hehee... Hpku masih di kamar. Tenang aja, berkasnya udah siap semua kok, cuman.... aku belum punya laptop sih," balas Nur tersenyum malu. "Ya udah tenang aja, entar aku beliin," tawar Excel. "Beneran? Aku enggak usah ganti kan?" Nur bertanya, wajahnya nampak antusias dan sumringah. "Ya ganti lah, semua tuh enggak ada yang gratis," jawab Excel sambil tersenyum nakal, mencoba menggoda Nur. "Eleh, modus. Ya udah lah, enggak usah, biar aku beli sendiri." Nur menolak dengan senyumnya pun memudar, meski dalam hati tawaran itu sangat menggoda. "Enggak lah Nur, bercanda. Suami istri kan harus saling mendukung." Excel berkata dengan serius, namun masih ada canda dalam suaranya. Ia mengedipkan mata, membuat Nur melotot. Oma Mentari tertawa menyaksikan interaksi Nur dan Excel yang penuh canda tawa. Senyuman di wajahnya semakin lebar melihat betapa akrabnya cucunya dan Nur. Momen itu terasa hangat dan menggembirakan, seperti sinar matahari yang menyinari taman di sekitar mereka. “Ah, kalian berdua ini lucu sekali! Kalian udah saling kenal lama ya?" tanya Oma Mentari. "Enggak juga sih, Oma. Kita bertemu cuma dua atau tiga kali kayaknya kalau enggak salah, iya kan Om?" Nur meminta persetujuan kepada suaminya. Excel hanya menggaguk menanggapi. "Kalau sudah jodoh pasti ada saja ya jalannya. Semoga kalian jodoh dunia akhirat," balas Oma Mentari tulus. "Amin," balas Excel cepat sambil menengadahkan kedua telapak tangannya ke atas lalu meramaskan wajahnya, seolah-olah mengundang berkah dari atas. Tindakannya membuat Nur menatapnya tak percaya, melihat betapa seriusnya Excel dalam berdoa, meskipun dalam suasana santai. Oma Mentari meminta Excel keluar membeli laptop untuk Nur sambil jalan-jalan berdua. Excel pun menyanggupi dengan antusias, lalu meminta Nur untuk bersiap-siap dan mengambil dompet serta kunci mobil yang ada di atas nakas di kamar. Sedangkan dirinya memilih menemani sang nenek terlebih dulu. “Yuk, cepat, Nur. Kita bisa pergi berdua setelah ini,” ajak Excel dengan senyuman. Dengan semangat, Nur patuh menuruti apa yang diperintahkan suaminya. Ia bergegas menuju kamar, hatinya berdebar membayangkan momen jalan-jalan bersama Excel, suami dadakannya. Namun saat Nur akan naik ke atas tangga dan melewati kamar mertuanya, telinganya samar-samar menangkap suara Diana yang sedang berbicara di dalam kamar. "Mama ngomong sama siapa?" batin Nur bertanya-tanya. Nur segera mendekat, apalagi pintu kamar tak tertutup rapat membuat Nur bisa dengan jelas mengintip Diana yang sedang berbicara di telepon. "Aku kesal sekali, selama ini aku enggak bisa deketin Oma Mentari. Tapi, gadis kampungan itu justru dengan mudah mengambil simpati nenek tua itu, entah pakai pelet apa dia, heran aku. Kalau begini makin susah buat mengambil alih semua harta keluarga Mahendra, bisa-bisa gadis miskin itu yang akan mendapatkannya!" ucap Diana kesal membuat Nur terkejut. "Buset! Aku di tuduh pake pelet!" gerutu Nur di dalam hatinya. Nur masih berdiri di balik pintu, mendengarkan setiap kata yang diucapkan Diana dengan jantung berdebar. Ia mencoba menenangkan dirinya, tapi rasa penasaran dan kekhawatiran membuatnya tetap diam di tempat, tanpa beranjak. Diana melanjutkan dengan suara penuh kebencian. "Aku enggak akan biarkan gadis kampungan itu menghalangi rencana kita," bisik Diana lagi dengan nada sinis. Setelah itu hening beberapa saat, hingga akhirnya Diana kembali bersuara. "Apa? Rencana apa?" tanya Diana pada sosok di telpon membuat Nur semakin menajamkan pendengarannya.Sementara itu, di rumah Heri, Nur sedang sibuk menata buku-bukunya di meja belajar. Ia baru saja menyelesaikan tugas kuliah yang cukup berat. Pikirannya sesekali melayang ke Excel, tetapi ia segera mengalihkan fokusnya. Nur tahu, ia harus tetap kuat dan menjaga keputusannya.Lia masuk ke kamar Nur sambil membawa secangkir teh hangat. "Nur, istirahat dulu. Jangan terlalu keras sama dirimu sendiri."Lia tahu, Nur selalu belajar dengan giat. Jadi wajar adiknya itu bisa masuk ke universitas ternama di Jakarta meski belum bisa mencapai beasiswa. Saat sekolah SD-SMK Nur selalu mendapat peringkat 3 besar dan memenangkan banyak lomba bersama teman-temannya. Nur tersenyum kecil. "Suwun, Mbak'e. Aku cuma mau memastikan semua tugasku selesai tepat waktu."Lia duduk di tepi tempat tidur, menatap adiknya dengan penuh sayang. "Aku bangga sama kamu, Nur. Kamu udah melalui banyak hal, tapi tetap kuat. Aku yakin kamu akan jadi orang yang sukses."Nur men
Nur mengamati pesan itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Kata-kata Excel mengingatkannya pada masa lalu yang ingin ia lupakan, namun ada bagian kecil dari hatinya yang masih merasakan getaran dari kenangan itu. Tetapi, tekadnya sudah bulat. Dia tidak ingin terjebak lagi dalam luka yang sama.Ponselnya tiba-tiba berdering, nomor baru yang sama menghubunginya. Nur terdiam, menatap layar dengan tatapan bimbang. Tetapi ia memutuskan untuk tidak menjawab. Panggilan itu akhirnya terputus dengan sendirinya, dan tanpa ragu Nur memblokir nomor baru Excel."Ini harus berakhir," gumamnya pelan. Dia bertekad untuk melupakan Excel sepenuhnya dan fokus pada masa depannya.Seminggu kemudian, Bambang dan Isna, memutuskan untuk pulang ke kampung halaman mereka. Musim panen padi sudah tiba, dan mereka ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Sebelum pergi, mereka memastikan Nur baik-baik saja.Nur mengantarkan kedua orang tuanya ke terminal. Dalam perjalanan,
Malam Semakin LarutSetelah beberapa jam bekerja dengan serius, akhirnya tugas mereka mendekati selesai. Suasana menjadi lebih santai, diselingi candaan dan tawa."Rino, kamu serius banget sih dari tadi. Santai dikit dong," goda Latifa sambil mengulurkan segelas es jus untuk pemuda berkulit kuning langsat.Rino hanya tersenyum kecil. "Kalau nggak serius, tugasnya nggak selesai-selesai, Fa."Dika, yang sejak tadi memperhatikan Nur, merasa ini adalah kesempatan untuk mendekatinya lebih jauh. Saat yang lain sibuk membereskan alat, ia menghampiri Nur yang sedang duduk sendirian di sudut ruangan."Nur, kamu hebat banget tadi. Pekerjaan kita cepat selesai berkat kamu," puji Dika, duduk di sebelahnya."Terima kasih, Dik," jawab Nur singkat, mencoba menjaga jarak.Ketika tugas benar-benar selesai, satu per satu teman-teman mereka mulai pulang. Latifa pergi bersama Rino, sementara Sera pulang lebih dulu diantar Adi. Nur, yang menunggu Pak Supri menjemput, memilih tetap duduk di ruang tengah be
Latifa berbisik pada Sera dengan nada penuh semangat. "Sera, bayangin deh, kita kerja kelompok bareng mereka. Ini kesempatan emas!"Sera hanya mendesah pelan. "Emas buat kamu. Aku sih enggak ya. Kalau alatnya lengkap dan tugasnya cepat selesai, aku sih nggak masalah. Tapi kayaknya Nur agak keberatan deh."Latifa menepuk bahu Nur. "Nur, santai aja. Kita kan kerja kelompok. Nggak akan ada yang aneh-aneh kok."Setelah jam kuliah selesai, rombongan kelompok mereka bersiap menuju rumah Dika untuk memulai pengerjaan tugas. Nur, meski masih merasa kurang nyaman, akhirnya menerima tawaran Dika untuk memboncengnya dengan motor."Yuk, Nur. Motor udah siap di parkiran," kata Dika dengan senyuman yang terasa dipaksakan di mata Nur.Latifa, yang sudah sejak tadi tak bisa menyembunyikan senyumnya, langsung menghampiri Rino. "Aku bareng kamu aja, ya?" tanyanya penuh semangat.Rino, yang sedikit terkejut tapi tidak keberatan, hanya mengangguk. "
Tak ingin berlama-lama dilumpuhkan oleh emosinya, Excel masuk kembali ke dalam mobil. Tanpa berpikir panjang, ia menginjak pedal gas dalam-dalam, membiarkan mobilnya melaju liar di jalanan. Kecepatan tinggi dan suara mesin menderu menjadi pelariannya. Ia tak peduli pada bahaya atau rambu-rambu yang ia langgar.Namun kali ini, pelariannya berakhir tragis. Di sebuah tikungan tajam, mobilnya kehilangan kendali dan menghantam pembatas jalan dengan keras. Suara benturan menggema, diikuti suara kaca yang pecah berantakan.Saat tubuhnya terkulai di balik kemudi, kepala Excel berdenyut hebat. Dunia di sekitarnya terasa buram, tapi ingatan demi ingatan menyeruak di benaknya.Excel melihat Vero yang tengah mencoba gaun pengantin putih. Senyum manis yang dulu pernah ia cintai kini terasa seperti belati yang menusuk dadanya. Kenangan itu terasa begitu nyata, hingga tiba-tiba bayangan itu memudar, digantikan oleh kenyataan pahit yang menghantamnya tanpa ampun.
Di Tepi Kehancuran Juanda menghela napas berat, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa menghancurkan hubungan mereka, tetapi ia tak bisa lagi menyembunyikannya.“Ver, kamu ingat malam itu... waktu kita pulang dari pesta ulang tahun Clara? Kamu mabuk berat, Ver. Dan aku tahu, kamu belum minum pil dan aku sengaja melakukannya malam itu. Aku tahu, jika kamu mabuk, kamu tidak akan menolak.”Vero membelalakkan matanya, perasaan tidak percaya menyeruak di wajahnya. “Kamu... sengaja? Kamu mengambil keuntungan dari aku yang tidak sadar?!”“Aku tahu ini egois, tapi aku ingin kamu menjadi milikku. Aku sudah lama mencintaimu, Ver. Aku pikir, dengan adanya anak, kita bisa lebih dekat. Kita bisa menjadi keluarga sungguhan.”Vero mencengkeram baju Juanda, matanya berkilat marah. “Kamu menghancurkan hidupku! Apa kamu tahu berapa tahun aku berjuang untuk sampai ke titik ini? Model