Beruntung MUA yang dihubungi Diana langsung bisa menyanggupi dan langsung menuju hotel dimana meraka berada. Sedangkan Azka keluar menemui penghulu dan memberi tahu adanya perubahan mempelai pengantin wanita.
Tak berapa lama pihak MUA datang membawa beberapa potong kebaya untuk Nur. "Ayo, Sayang, kita ke ruangan sebelah," ujar Diana menuntun Nur. Lia ikut mendampingi sang adik. Sedangkan Bambang dan Isna juga di rias oleh petugas MUA lainnya. Dengan sentuhan tangan MUA yang handal kini wajah Nur terlihat memukau dan mangklingi membuat Lia dan Diana tersenyum bangga. "Masya Allah, cantik banget calon mantu Mama," puji Diana. "Pasti Excel bakal enggak mengenali kamu deh, Nur. Pasti dia pangkling banget," imbuh Lia. "Mbak, jangan bikin aku tambah malu dong," balas Nur tersipu malu. "Ya udah yuk kita keluar, udah di tungguin dari tadi," ajak Diana. "Masya Allah, Nduk, kamu cantik banget," ujar Isna. Ia hampir tak mengenali putri bungsunya itu. Sedangkan Bambang hanya tersenyum menanggapi. "Iya, Bu, ternyata Nur sangat cantik. Pesonanya benar-benar kelihatan ya," timpal Diana. "Iya, Bu," balas Isna dengan tersenyum ramah. Kini Nur keluar diapit oleh Mamak dan Ibu mertuanya. Sedangkan Lia memilih berjalan di belakangnya. Bambang yang berjalan di depan sudah duduk di hadapan bersama Excel. Jantung Excel berdebar sangat kencang. Apalagi saat Nur memasuki ballroom dan diapit Mamanya dan calon mertua, kini kegugupannya semakin bertambah. Paras ayu Nur sanggup menghipnotis Excel. Lelaki itu sampai mengusap wajahnya karena terlalu gugup. Prosesi pernikahan pun segera dimulai. Penghulu memasuki ruangan, siap memimpin akad nikah yang akan menyatukan Nur dan Excel. Di balik kegugupan dan perasaan campur aduk, keduanya kini siap melangkah menuju masa depan yang baru—walaupun tak direncanakan, tapi penuh dengan tanggung jawab dan harapan. Nur dipersilakan duduk di samping Excel. Tatapan keduanya bertemu menciptakan gemuruh hebat di dada Nur. Suasana di ruangan hotel mulai hening. Semua tamu undangan, termasuk keluarga, mulai berkumpul di sekitar kursi tempat Excel dan Nur duduk. Mata mereka terpusat pada meja akad yang sudah dipersiapkan rapi dengan Al-Quran dan buku nikah di atasnya. Penghulu, seorang pria berusia lima puluhan dengan senyum ramah, melangkah ke depan, memulai prosesi pernikahan dengan penuh khidmat. Excel duduk dengan wajah tegang, sementara Nur yang ada di sisinya, berusaha menenangkan diri. Hatinya berdebar kencang, tapi ia tahu ini adalah langkah yang sudah ia pilih. Di hadapan orang tuanya, Excel, dan keluarganya, Nur merasa harus menguatkan diri. Setelah beberapa doa dan ucapan pembuka, penghulu pun menatap Excel, lalu bertanya dengan lembut, "Excel Mahendra, apakah Anda sudah siap untuk melaksanakan akad nikah ini dan menerima tanggung jawab sebagai suami dari Nur Cahyani?" Excel mengangguk tegas. "Siap, Pak," jawabnya dengan suara mantap. Namun, di balik suaranya yang tenang, ada sedikit getaran, karena ia tahu ini adalah momen yang akan mengubah hidupnya selamanya. Penghulu kemudian menoleh ke Bambang, ayah Nur, yang duduk di samping anaknya dengan mata serius. "Bapak Bambang, apakah Anda ikhlas menikahkan putri Anda, Nur Cahyani, kepada Excel Mahendra bin Azka Mahendra dengan mas kawin berupa uang sepuluh miliyar dan seperangkat alat shalat, dibayar tunai?" Kedua mata Isna melotot, ia menelan ludahnya dengan kasar. "Sepuluh miliyar? Apa enggak salah dengar aku?" batinnya bertanya-tanya. Lia tersenyum mendengar mas kawin sang adik yang tidak main-main, dan itu memang sangat pantas di dapatkan oleh Nur. Bambang menarik napas panjang, menatap Nur sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Saya ikhlas menikahkan putri saya, Nur Cahyani, kepada Excel Mahendra dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai," ucapnya mantap. Penghulu mengangguk pelan, lalu mempersiapkan Excel untuk berjabat tangan dengan Bambang dan mengucapkan ijab kabul. Semua yang hadir terdiam, menahan napas, menunggu momen sakral itu tiba. Excel menghapus keringat di telapak tangannya, kemudian memegang tangan Bambang. Dengan suara tegas, ia mengucapkan, "Saya terima nikahnya Nur Cahyani binti Bapak Bambang, dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai." Dalam sekejap Excel harus mengubah nama calon istrinya yang sudah ia hapalakan satu Minggu belakangan ini. Nama sang kekasih yang sudah membersaminya sejak empat tahun yang lalu. Kisah mereka harus berakhir setelah ia mengucapkan ikrar ijab qobul. Ruangan hening. Sesaat setelah Excel menyelesaikan ucapannya, penghulu tersenyum dan memandang para saksi yang duduk di depan. "Sah?" "Sah," jawab para saksi serempak, suara mereka menggema memenuhi ruangan. "Alhamdulillah," kata penghulu menegaskan. Nur menunduk, merasakan ada kelegaan yang perlahan mengalir di dalam hatinya. Ia menatap Excel, yang kini secara resmi telah menjadi suaminya. Hatinya masih campur aduk—antara lega, tegang, dan sedikit bingung akan masa depan yang kini berubah drastis. Excel menghapus air di sudut matanya, entah kenapa ia merasa sangat bahagia sekali. Meski yang menjadi istrinya bukanlah Veronika. Setelah prosesi selesai, penghulu menutup dengan doa dan ucapan selamat. Tamu-tamu mulai berdiri, memberi selamat kepada pasangan baru itu. Diana, yang sejak tadi menahan tangis, langsung memeluk Nur dengan penuh haru. "Terima kasih, Nak. Kamu sekarang sudah menjadi bagian dari keluarga kami," ucap Diana dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca, tapi ada senyum di wajahnya. Nur hanya mengangguk, masih merasa canggung, namun ada perasaan hangat di hatinya. Ia tahu, keluarganya dan keluarga Excel sama-sama berharap yang terbaik untuknya. Excel pun mendekat, menatap Nur sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Terima kasih, Nur, untuk semuanya. Aku tahu ini tidak mudah," ucapnya pelan, suaranya terdengar tulus. Nur membalas dengan senyum kecil. "Sama-sama, Om. Semoga ini menjadi keputusan yang tepat," jawabnya, walaupun masih ada sedikit keraguan dalam hatinya. Azka dan Bambang saling berjabat tangan, menandai persatuan dua keluarga. Di tengah suasana penuh haru dan kegembiraan, Excel dan Nur, meski masih dengan perasaan yang belum sepenuhnya tenang, kini resmi menjadi suami istri. Akad nikah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya kini telah menjadi kenyataan, membuka bab baru dalam hidup mereka yang penuh tanggung jawab dan harapan. Setelah menandatangani berkas pernikahan, suasana dalam ruangan berubah menjadi hening sejenak. Semua mata tertuju pada Nur dan Excel, seolah-olah waktu berhenti sejenak. Penghulu kemudian memberikan isyarat agar mereka bersiap untuk sesi tukar cincin. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Excel mengambil cincin dari kotaknya, sementara Nur berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang. Perlahan, Excel memasangkan cincin emas itu di jari manis Nur, dan Nur melakukan hal yang sama pada Excel. "Cincin sudah terpasang dengan sempurna," kata penghulu, tersenyum ramah. "Sekarang, Nur, salim ke suamimu." Nur memandangi Excel sejenak. Meski sudah sah sebagai suami-istri, rasa gugup itu masih sangat terasa. Nur merunduk, menyentuh tangan Excel dengan lembut, dan dengan hormat mencium punggung tangannya. Excel menatapnya dengan tatapan penuh haru, seolah-olah masih tak percaya bahwa hari ini benar-benar terjadi. Sesi berikutnya adalah momen yang lebih menegangkan bagi Excel yaitu mencium kening Nur. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga ketenangannya. Namun, saking gugupnya, gerakannya jadi agak terburu-buru. Kepala Excel mendekat dengan cepat. Heri yang berdiri di dekatnya tertawa kecil, lalu menjedek lengan Excel dengan pelan. "Pelan-pelan, Xel, jangan main sosor gitu," ujarnya setengah bercanda. "Sabar lah, nanti malam aja." Ruangan mendadak dipenuhi tawa ringan dari para tamu. Nur tersipu malu, wajahnya memerah, sedangkan Excel tampak semakin kikuk. Ia menggaruk belakang kepalanya sambil tersenyum canggung.Sementara itu, di rumah Heri, Nur sedang sibuk menata buku-bukunya di meja belajar. Ia baru saja menyelesaikan tugas kuliah yang cukup berat. Pikirannya sesekali melayang ke Excel, tetapi ia segera mengalihkan fokusnya. Nur tahu, ia harus tetap kuat dan menjaga keputusannya.Lia masuk ke kamar Nur sambil membawa secangkir teh hangat. "Nur, istirahat dulu. Jangan terlalu keras sama dirimu sendiri."Lia tahu, Nur selalu belajar dengan giat. Jadi wajar adiknya itu bisa masuk ke universitas ternama di Jakarta meski belum bisa mencapai beasiswa. Saat sekolah SD-SMK Nur selalu mendapat peringkat 3 besar dan memenangkan banyak lomba bersama teman-temannya. Nur tersenyum kecil. "Suwun, Mbak'e. Aku cuma mau memastikan semua tugasku selesai tepat waktu."Lia duduk di tepi tempat tidur, menatap adiknya dengan penuh sayang. "Aku bangga sama kamu, Nur. Kamu udah melalui banyak hal, tapi tetap kuat. Aku yakin kamu akan jadi orang yang sukses."Nur men
Nur mengamati pesan itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Kata-kata Excel mengingatkannya pada masa lalu yang ingin ia lupakan, namun ada bagian kecil dari hatinya yang masih merasakan getaran dari kenangan itu. Tetapi, tekadnya sudah bulat. Dia tidak ingin terjebak lagi dalam luka yang sama.Ponselnya tiba-tiba berdering, nomor baru yang sama menghubunginya. Nur terdiam, menatap layar dengan tatapan bimbang. Tetapi ia memutuskan untuk tidak menjawab. Panggilan itu akhirnya terputus dengan sendirinya, dan tanpa ragu Nur memblokir nomor baru Excel."Ini harus berakhir," gumamnya pelan. Dia bertekad untuk melupakan Excel sepenuhnya dan fokus pada masa depannya.Seminggu kemudian, Bambang dan Isna, memutuskan untuk pulang ke kampung halaman mereka. Musim panen padi sudah tiba, dan mereka ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Sebelum pergi, mereka memastikan Nur baik-baik saja.Nur mengantarkan kedua orang tuanya ke terminal. Dalam perjalanan,
Malam Semakin LarutSetelah beberapa jam bekerja dengan serius, akhirnya tugas mereka mendekati selesai. Suasana menjadi lebih santai, diselingi candaan dan tawa."Rino, kamu serius banget sih dari tadi. Santai dikit dong," goda Latifa sambil mengulurkan segelas es jus untuk pemuda berkulit kuning langsat.Rino hanya tersenyum kecil. "Kalau nggak serius, tugasnya nggak selesai-selesai, Fa."Dika, yang sejak tadi memperhatikan Nur, merasa ini adalah kesempatan untuk mendekatinya lebih jauh. Saat yang lain sibuk membereskan alat, ia menghampiri Nur yang sedang duduk sendirian di sudut ruangan."Nur, kamu hebat banget tadi. Pekerjaan kita cepat selesai berkat kamu," puji Dika, duduk di sebelahnya."Terima kasih, Dik," jawab Nur singkat, mencoba menjaga jarak.Ketika tugas benar-benar selesai, satu per satu teman-teman mereka mulai pulang. Latifa pergi bersama Rino, sementara Sera pulang lebih dulu diantar Adi. Nur, yang menunggu Pak Supri menjemput, memilih tetap duduk di ruang tengah be
Latifa berbisik pada Sera dengan nada penuh semangat. "Sera, bayangin deh, kita kerja kelompok bareng mereka. Ini kesempatan emas!"Sera hanya mendesah pelan. "Emas buat kamu. Aku sih enggak ya. Kalau alatnya lengkap dan tugasnya cepat selesai, aku sih nggak masalah. Tapi kayaknya Nur agak keberatan deh."Latifa menepuk bahu Nur. "Nur, santai aja. Kita kan kerja kelompok. Nggak akan ada yang aneh-aneh kok."Setelah jam kuliah selesai, rombongan kelompok mereka bersiap menuju rumah Dika untuk memulai pengerjaan tugas. Nur, meski masih merasa kurang nyaman, akhirnya menerima tawaran Dika untuk memboncengnya dengan motor."Yuk, Nur. Motor udah siap di parkiran," kata Dika dengan senyuman yang terasa dipaksakan di mata Nur.Latifa, yang sudah sejak tadi tak bisa menyembunyikan senyumnya, langsung menghampiri Rino. "Aku bareng kamu aja, ya?" tanyanya penuh semangat.Rino, yang sedikit terkejut tapi tidak keberatan, hanya mengangguk. "
Tak ingin berlama-lama dilumpuhkan oleh emosinya, Excel masuk kembali ke dalam mobil. Tanpa berpikir panjang, ia menginjak pedal gas dalam-dalam, membiarkan mobilnya melaju liar di jalanan. Kecepatan tinggi dan suara mesin menderu menjadi pelariannya. Ia tak peduli pada bahaya atau rambu-rambu yang ia langgar.Namun kali ini, pelariannya berakhir tragis. Di sebuah tikungan tajam, mobilnya kehilangan kendali dan menghantam pembatas jalan dengan keras. Suara benturan menggema, diikuti suara kaca yang pecah berantakan.Saat tubuhnya terkulai di balik kemudi, kepala Excel berdenyut hebat. Dunia di sekitarnya terasa buram, tapi ingatan demi ingatan menyeruak di benaknya.Excel melihat Vero yang tengah mencoba gaun pengantin putih. Senyum manis yang dulu pernah ia cintai kini terasa seperti belati yang menusuk dadanya. Kenangan itu terasa begitu nyata, hingga tiba-tiba bayangan itu memudar, digantikan oleh kenyataan pahit yang menghantamnya tanpa ampun.
Di Tepi Kehancuran Juanda menghela napas berat, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa menghancurkan hubungan mereka, tetapi ia tak bisa lagi menyembunyikannya.“Ver, kamu ingat malam itu... waktu kita pulang dari pesta ulang tahun Clara? Kamu mabuk berat, Ver. Dan aku tahu, kamu belum minum pil dan aku sengaja melakukannya malam itu. Aku tahu, jika kamu mabuk, kamu tidak akan menolak.”Vero membelalakkan matanya, perasaan tidak percaya menyeruak di wajahnya. “Kamu... sengaja? Kamu mengambil keuntungan dari aku yang tidak sadar?!”“Aku tahu ini egois, tapi aku ingin kamu menjadi milikku. Aku sudah lama mencintaimu, Ver. Aku pikir, dengan adanya anak, kita bisa lebih dekat. Kita bisa menjadi keluarga sungguhan.”Vero mencengkeram baju Juanda, matanya berkilat marah. “Kamu menghancurkan hidupku! Apa kamu tahu berapa tahun aku berjuang untuk sampai ke titik ini? Model