Bagai kilat yang baru saja menyambar Arletta. Tubuh gadis muda itu lantas membeku seketika. Menikah? Menjadi ibu? Jelas itu adalah hal yang benar-benar tidak disangka olehnya.
Apalagi, saat dia baru saja menyadari, jika pria yang ada di hadapannya ini adalah seorang CEO terkenal yang bernama Davian Navileon. CEO yang dikenal sebagai seseorang yang dingin dan keras kepala, serta Arogan.
"Bawa dia untuk ikut menemui bayiku!" Perintah Davian begitu saja pada pria yang senantiasa mengekor di belakangnya.
Dan tanpa ragu, pria dengan setelan yang tak kalah rapi dari Tuannya pun menurut. Dia telah menghampiri Arletta yang kini masih terdiam di tempatnya. Mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Davian sebelumnya. Karena jelas dia masih terkejut dan tak percaya dengan apa yang sebenarnya terjadi di sana.
"Ayo, Nona. Silahkan ikut aku," ucap pria itu.
Seperti tidak bisa melakukan apa pun lagi, Arletta juga hanya bisa menurut akan perintah mereka. Dia hanya bisa mengekor di belakang Selatan karena dia juga takut pada orang-orang berkuasa seperti pria itu.
Sebab, selama ini, orang yang memiliki kekuasaan akan selalu menyeramkan. Menghalalkan segala cara demi apa yang mereka inginkan.
"T–tuan, apa aku benar-benar harus bertanggung jawab? Tapi, kenapa aku?" tanya Arletta kemudian dengan gugup.
Jujur saja, bukan hanya terkejut dengan apa yang dia dapati sekarang, tapi dia juga telah merasakan ketakutan saat melihat aura gelap yang terlihat dari Davian. Pria itu benar-benat terlihat cukup menyeramkan bagi Arletta. Sikap dinginnya seolah mampu membuat sekitarnya membeku seketika.
Dan ya, tidak ada respon apa pun yang diberikan oleh Davian atas pertanyaan Arletta. Membuat pria yang di belakang Arletta telah sedikit mendekat pada padanya.
"Cukup ikuti perintah Tuan Davian saja. Dia sedang marah dan jangan membuatnya semakin marah lagi," ucap pria itu memperingatkan.
Dan ya, itu membuat Arletta semakin kesulitan bahkan hanya untuk menelan ludahnya sendiri. Seolah sesuatu baru saja mencekik lehernya.
Pun begitu, mereka bertiga sudah memasuki tempat dimana Dayanti, sang ibu dari Davian berada, wanita yang kini sedang membawa seorang bayi di dalam gendongannya
"Aku membawanya, istri penggantiku," ujar Davian begitu dia memasuki ruangan tersebut.
Nada suaranya begitu terdengar dingin. Dengan sorot matanya yang sudah terlihat begitu tajam saat menatap sang ibu di sana. Menunjukan bagaimana kesalnya dia saat ini di tengah-tengah kekacauannya.
Dayanti terlihat menatap Arletta dari ujung kaki hingga ujung kepala. Memperhatikan setiap inchi dari seorang gadis yang baru saja dibawa oleh anaknya tiba-tiba secara tidak terduga.
"Siapa namamu?" tanya Dayanti pada Arletta dengan tegas.
"A–Arletta, Nyonya. Arletta Divkara," jawab Arletta gugup.
"Umurmu? Apa pekerjaanmu? Dan apa hubunganmu dengan anakku?" tanya Dayanti dengan berbagai pertanyaan lainnya yang sudah dia lontarkan pada gadis di hadapannya.
Itu semua jelas membuat Arletta semakin gugup. Kedua tangannya sudah meremat ujung pakaiannya sendiri, dengan dia yang juga berkali-kali menelan ludahnya sendiri saat kerongkongannya terasa mengering bak tengah berada di padang pasir.
"20 tahun. Aku masih seorang mahasiswa," jawab Arletta dengan semakin gugup. "Aku, dengan Tuan Davian buk—"
"Dia calon istri penggantiku sekarang. Sudah, itu saja. Bukankah itu yang kau inginkan? Tetap melangsungkan pernikahan agar kau tidak malu kalau pernikahannya di batalkan?" tanya Davian pada ibunya. "Berikan bayiku padanya. Biarkan dia membawanya pulang, dan Mama juga bisa pulang sekarang. Biar aku saja yang mengurus bayi dan juga jenazah Tiara," potong Davian atas penjelasan yang hendak Arletta katakan.
Hubungan Davian dengan ibunya itu memang tidak terlalu baik. Mereka seringkali berdebat karena perbedaan pendapat. Membuat jarak itu juga telah meregang seiring berjalannya waktu sejak Davian duduk di bangku sekolah.
Dan sekarang, apa yang dilakukan Dayanti membuat pria itu semakin enggan untuk berbaik hati pada ibunya sendiri. Rasanya terlalu menyakitkan saat harus terus berhadapan dengannya lebih lama.
Dayanti pun lantas sudah mendengus kesal. Dia bangkit dari duduknya dan menyodorkan bayi yang berada di dalam gendongannya pada Arletta. Membuat Arletta dengan terkejutnya mengambil alih untuk menggendong bayi perempuan tersebut.
"Awas saja kalau kau membatalkan pernikahannya!" Dengus Dayanti yang lantas pergi dari sana.
Dia tidak perduli lagi dengan bagaimana pun perasaan hancur Davian saat ini. Karena yang ada di pikirannya semarang hanyalah pesta pernikahan yang sudah terlanjur di rencanakan. Saat dia sudah menyombong ke sana kemari soal pernikahan mewah putera semata wayangnya. Walaupun sebelumnya dia tidak setuju dengan Tiara, calon istri anaknya itu.
Dia saja terpaksa mengizinkan Davian menikah dengan wanita itu karena dia sudah hamil besar.
"Bawa mereka ke rumahku, Jer. Aku akan tetap di sini dan menunggu keluarga Tiara datang," ujar Davian dengan suara yang cukup lirih.
Melihat bayi mungil yang sekarang berada di dalam gendongannya, melihat bagaimana kacaunya Davian saat ini, membuat Arletta jadi terenyuh sendiri.
Dia paham bagaimana sedihnya Davian sekarang. Memahami bagaimana kacaunya pria itu hingga melakukan hal gila hingga menyeret Arletta ke dalamnya. Lantas, semua itu membuat Arletta juga mencoba mengerti pria itu untuk kali ini saja.
Mungkin, pria itu juga akan melepaskannya kalau dia memang sudah benar-benar tenang dari perasaan kacaunya itu.
"Sebentar," ucap Arletta saat pria bernama Jerry itu hendak mengajaknya pergi.
Di mana Arletta juga telah menatap pada Davian yang berada tidak jauh di depannya.
"Apa Tuan sudah melihat bayinya?" tanya Arletta berhati-hati.
Bukan tanpa alasan Arletta berkata demikian. Dia mengatakan hal ini karena dia juga melihat saat Dayanti memberikan bayi itu pada dirinya, Davian justru malah mengindari bayi itu. Kepalanya ditolehkan ke arah lain, seakan enggan untuk menatap sang bayi.
Namun, yang didapatkan Arletta justru adalah tatapan tajam dari Davian. Dengan rahang pria itu yang sudah mengeras saat menatapnya.
"Lancang sekali kau berkata seperti itu padaku!" Tegas Davian yang terlihat tak suka di sana.
Arletta takut saat melihat kemarahan Davian di sana. Tapi, dia mencoba memberanikan dirinya. Dia tidak mau jika dia menyerah begitu saja dengan apa yang hendak dia lakukan.
"Bayi ini baru saja kehilangan ibunya, apa Tuan juga mau membuat dia harus kehilangan kasih sayang ayahnya sendiri? Dia bayi yang tidak berdosa, memangnya pantas bayi ini juga mendapatkan kemarahan mu atas kepergian calon istrimu?
Aku mungkin bisa dilimpahkan kesalahan atas semua ini. Aku mungkin bisa saja bertanggung jawab dengan apa yang sebenarnya bukan sepenuhnya salahku. Tapi, bukan berarti Tuan juga lepas tanggung jawab Tuan sendiri! Dia tetap anakmu, sebenci itu kah Tuan sampai tidak mau melihatnya?!"
Davian terdiam di tempatnya. Jujur saja dia terkejut dengan sikap Arletta di sana. Tidak pernah dia duga kalau gadis itu akan berkata demikian dengan beraninya pada dirinya di sana. Membuat Davian lantas menjadi tertampar sendiri oleh kenyataan.
Tapi, melihat kepedulian Arletta di sana pada bayi yang bahkan baru pertama kali ditemuinya itu membuat Davian sedikit yakin.
Mungkin, Arletta memang seseorang yang tepat untuk menjadi istri penggantinya, sekaligus ibu pengganti dari anaknya dengan Tiara. Saat Davian juga yakin dengan dirinya sendiri, kalau dia tidak akan menikah dengan wanita lain, karena dia tak akan pernah jatuh cinta lagi pada orang lain selain Tiara.
Dia ingin Tiara menjadi cinta terakhirnya. Dan dia yang akan menikahi Arletta, hanya semata karena dia membutuhkan gadis itu untuk menggantikan Tiara sebagai istrinya dan ibu untuk anaknya. Bukan sebagai orang yang dicintainya. Sekaligus, hukuman untuk Arletta yang telah membuat Tiara kehilangan nyawanya.
Davian, ingin membalaskan dendamnya pada Arletta melalui pernikahan ini!
"Hal itu bukan urusanmu, Arletta. Jadi tidak perlu memikirkannya. Karena satu-satunya hal yang harus kau pikirkan adalah, aku yang akan membuatmu membayar semua yang telah kau lakukan pada Tiara!"
"Apa kamu sedih saat Ghava tidak lagi menginap di sini?" tanya Davianq tiba-tiba. Hal itu membuat Arletta nyaris terlonjak dan menoleh ke arah Davian di sana. "Apa maksudnya?" Tidak menjawab, Davian hanya terlihat mengangkat kedua bahunya. Dimana Arletta hanya bisa melihat ketidakramahan Davian di sana. Apa, pria itu cemburu? Rasanya tidak mungkin kalau pria itu cemburu padanya. Karena sejak awal, mereka ini menikah hanya karena keadaan saja. Tidak benar-benar menikah karena ingin menikah dan saling mencintai. Arletta menikah dengan Davian karena paksaan pria itu, dan begitu pun sebaliknya. Davian menikahi Arletta tidak lebih dari meminta pertanggung jawaban wanita itu karena dia harus kehilangan Tiara. Menjadikan Arletta sebagai istri penggantinya dan mengurus bayinya bersama Tiara. Maka sekarang Arletta lebih memilih untuk menyingkirkan perasaan itu. Dia tidak bisa kalau harus berpikir kemustahilan tersebut. Teramat tidak mungkin untuk Arletta. "Aku merindukan Sena," gum
Arletta tidak begitu yakin apakah dia memang harus berteman dengan Ghava atau tidak. Dia tidak begitu yakin akankah dia memang bisa melakukannya. Saat kenyataannya, dia itu adalah pria yang pernah dia sukai. Pria yang pernah menyita perhatian Arletta selama beberapa tahun. Meski begitu, Arletta juga hanya bisa menganggukkan kepalanya untuk merespon apa yang dikatakan oleh pria itu. Rasanya akan terlalu tak enak kalau dia menolaknya. Bagaimana pun, pasti niat Ghava juga baik. Agar mereka tidak lagi merasa canggung satu sama lain, saat Ghava adalah merupakan salah satu keluarga dekat Davian, suaminya. Jadi, mungkin tidak akan menjadi masalah kalau Arletta mencoba menerima permintaan Ghava untuk berteman di sana dan melupakan apa pun yang pernah terjadi di antara mereka berdua. "Davian pergi kemana?" tanya Arletta kemudian. Ya, dia mencoba mengalihkan pembicaraan mereka sekarang. "Entahlah, katanya dia harus menemui temannya. Mungkin dia juga akan segera kembali," jawab Ghava k
"Jangan melewati batas yang lebih jauh! Sena juga masih kecil, kamu juga harus ingat kalau pernikahan kita cuma sementara. Aku tidak mau hamil, aku masih mau melanjutkan sekolahku!" Tegas Arletta yang sudah memegang perutnya sendiri. Davian langsung menoleh ke arah Arletta saat gadis itu berkata demikian. Dia juga melihat Arletta yang sedang meremat perutnya sendiri. Seolah gadis itu sudah merasa ngilu sebelum dia benar-benar membuatnya hamil. Tapi, jelas Davian juga tidak akan pernah menghamilinya. Dia jelas tidak pernah sekali pun memiliki pikirannya yang seperti itu. Tidak pernah sekali pun terlintas di dalam pikirannya untuk membuat Arletta hamil di sana. Gila saja kalau dia benar-benar membuat gadis itu hamil. Pasti semuanya akan semakin merepotkan. "Jangan terlalu percaya diri. Aku juga tidak akan melakukannya," ucap Davian kemudian dengan begitu yakin. Di mana setelahnya, Davian langsung berjalan untuk memasukan obat yang berada di tangannya itu ke dalam tempat sampah yang
Melipat kedua tangannya di depan dada, sekarang Arletta tengah menatap pria yang berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Dia menatap Davia yang baru saja mengatakan pada Arletta untuk tidur lagi dan memberikan beberapa obat-obatan yang sudah diberikan padanya. Meski begitu, Arletta sekarang lebih memilih untuk tetap terdiam menatap Davia yang berdiri tak jauh dati sofa yang saat ini tengah dia duduki. Memperhatikan saat pria itu tengah berbicara dengan seseorang di seberang telfonnya. "Baiklah, kabari aku lagi kalau kalian sudah selesai," ucap Davian sebelum akhirnya mengakhiri panggilan tersebut. Dimana dia juga lantas kembali menyimpan ponselnya pada saku celana yang dia kenakan saat ini. Davian juga sudah menoleh pada gadis yang masih saja melipat kedua tangannya di depan dada. Dengan sorot mata gadis itu yang menatapnya dengan lekat, seolah penuh tanya. Bahkan, Selatan juga yakin setelah ini Arletta memang akan melayangkan beberapa pertanyaan pada dirinya. "Bukankah sudah a
Apa yang dikatakan Ghava semalam membuat Arletta benar-benar terus memikirkan hal itu. Dia benar-benar tidak mengerti sepenuhnya akan apa yang pria itu katakan padanya, akan tetapi, dia juga tidak berniat bertanya padanya secara langsung. Sebab, entah kenapa Arletta malah merasa takut jika dia mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud oleh Ghava.Untuk itu, Arletta juga lebih memilih untuk melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Ghava begitu saja setelah dia berkata demikian. Tanpa bicara apa pun lagi, Arletta lebih memilih melarikan diri. Tanpa dia memikirkan tentang pagi ini dimana dia harus kembali berhadapan dengan Ghava."Ayo keluar, Ghava mungkin sudah bangun juga. Kita harus sarapan," ucap Davian yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan pakaiannya yang sudah rapi.Arletta menoleh ke arahnya. Dia menatap Davian dengan cukup ragu. "Apa hari ini kau mau membantu Ghava?" tanya Arletta kemudian.Davian menganggukkan kepalanya. "Iya, kenapa?"
"Kalian saling mengenal bukan?" tanya Davian. Membuat Arletta menganggukkan kepalanya untuk mengiyakan. "Kalau begitu, sedekat apa kalian dulu? Karena sepertinya, Ghava memang terlihat senang sekali saat bertemu dengan kamu."Seharusnya pertanyaan yang diberikan oleh Davian adalah pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Akan tetapi, entah kenapa Arletta kesulitan untuk menjawabnya. Entah apa yang harus dia katakan pada pria itu. Dia terlalu bingungkan apakah memang harus mengatakan semuanya dengan benar atau tidak. Meski begitu, Davian kini menatapnya dengan begitu lekat. Sorot matanya menajam dengan raut wajah yang terlihat begitu dingin. Semua itu jelas membuat Arletta jadi semakin gugup dibuatnya."Sebenarnya ... Ghava itu, dia pria yang aku suka saat di sekolah dulu," jawab Arletta pada akhirnya. Ya, dia mengatakannya. Dia mengatakan yang sesungguhnya pada Davian. Sebab, Arletta merasa jika dia tidak haru mengatakan sebuah kebohongan.