Share

3. Pernikahan tanpa sentuhan

Arletta hanya bisa menurut saat pria bernama Jerry itu membawanya bersama dengan bayi yang ada di dalam gendongannya. Jujur saja, Arletta mungkin saja pergi melarikan diri saat dia bisa. Menolak mentah-mentah apa yang diminta oleh Davian.

Tapi, satu-satunya alasan kenapa Arletta bertahan di sini dan malah duduk diam adalah bayi perempuan yang ada di dalam gendongannya. Bayi perempuan yang terpejam dengan pulasnya. Sungguh, Arletta tak tega jika harus meninggalkannya.

Arletta adalah seorang gadis yang begitu menyukai anak-anak. Apalagi, seorang bayi seperti ini.

"Bisa mampir ke supermarket sebentar?" tanya Arletta pada pria yang sibuk menyetir di depan sana.

"Maaf, Nona. Tapi, Tuan Davian meminta untuk tidak mampir kemana pun dan langsung membawamu ke rumah," jawab Jerry.

"Hanya sebentar. Aku mau membeli susu untuk bayi ini. Memangnya kau tega membiarkan dia kehausan?" seru Arletta kemudian.

Tak ada jawaban, Jerry nampak berpikir terlebih dahulu soal permintaan Arletta di sana. "Biar aku tanyakan pada Tuan Davian terlebih dulu."

Arletta menghela nafasnya. Mungkin memang Davian bisa menjadi lebih kejam kalau seseorang melanggar perintahnya. Sampai pria seperti Jerry saja benar-benar takut pada pria itu. Sampai-sampai hal sekecil ini saja harus meminta izin padanya.

Pun begitu, Arletta hanya bisa terdiam saat Jerry benar-benar menghubungi Davian untuk apa yang dia minta.

"Maaf, Nona. Tuan Davian tetap tidak mengizinkan. Dia mengatakan untuk tetap melanjutkan perjalanan ke rumah," ujar Jerry.

Arletta mengernyit tak percaya. "Lalu bagaimana dengan bayinya!" Kesal Arletta.

"Tuan Davian yang akan membelikannya dan membawa ke rumah. Katanya, tunggu saja," jelas Jerry.

Arletta menggelengkan kepalanya. Bagaimana mungkin untuk membeli sesuatu yang dibutuhkan bayinya saja Davian malah seperti ini? Benar-benar tidak habis pikir lagi.

Berkali-kali pun Arletta mencoba membujuk Jerry, tetap saja dia tidak bisa memenuhi permintaannya. Pria itu benar-benar patuh sekali pada tuannya. Membuat Arletta juga tidak bisa untuk membantah lagi.

Sampai pada akhirnya, Arletta sudah menunggu selama dua jam di dalam sebuah rumah yang baru kali ini dia menginjakan kakinya di sana. Rumah seorang CEO terkenal, Davian Navileon.

"Astaga, brengsek sekali Ayahmu itu. Kau pasti haus sekali," ucap Arletta pada bayi yang kini menangis di dalam gendongannya.

Tangisannya semakin kencang dari beberapa menit yang lalu. Tapi, tak ada yang bisa Arletta lakukan selain dengan menunggu kedatangan Davian. Karena berkali-kali dia mencoba menenangkan bayi itu pun tetap nihil. Sebab yang bayi ini butuhkan hanyalah air susu.

"Nona, apa bayinya baik-baik saja?"

Jerry yang mendengar tangisan bayi itu semakin kencang pada akhirnya menghampiri Arletta di sana.

Arletta menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Tidak. Dia benar-benar membutuhkan susu sekarang. Dia kehausan. Sudah aku bilang tadi kita harus membeli susu terlebih dulu. Kalau sudah seperti ini kasihan dia!" Tegas Arletta pada Jerry.

Dia kesal, dia marah. Meski bayi itu sama sekali bukan keluarganya, tetap saja Arletta merasa iba saat bayi ini menangis dengan begitu kencangnya. Bagaimana mungkin Selatan malah setega itu pada anaknya sendiri.

Bayi yang tidak berdosa ini malah menjadi korban keegoisannya.

"Kau pergi saja belikan susu di minimarket terdekat. Pria brengsek itu mungkin hanya akan membiarkan anaknya sendiri mati kehausan dan—"

"Siapa yang kau maksud dengan pria brengsek?" 

Suara lain terdengar mendekat pada mereka. Membuat Arletta juga dengan cepat menolehkan kepalanya pada seorang pria yang tengah berjalan dengan santainya.

Arletta menelan ludahnya sendiri. Rasa kesalnya membuat dia tidak berpikir lagi saat mencaci maki seorang pria sepertinya.

"Susunya," ujar Davian yang sudah memberikan satu kantung belanjaan yang begitu saja dia letakan di atas meja.

Sedangkan Jerry kini lebih memilih mundur dari sana.

"Kemarikan bayinya," tambah Davian sekali lagi.

Tidak langsung memberikan bayi yang sedang menangis itu pada pria yang ada di hadapannya. Arletta kini malah menatap Davian dengan tatapan waspada.

"Kau harus membuat susunya. Memangnya kau pikir anakku akan meninum susu yang sama sekali belum dibuat?" Tegas Davian.

Dan kali ini, Arletta juga telah memberikan bayi tersebut pada pria itu. Dia nyaris melupakan kalau Davian adalah ayah kandung dari bayi itu sendiri. Pun begitu, Arletta lantas bergegas untuk membuat susu. Mengikuti instingnya untuk menemukan dapur yang ada di dalam rumah tersebut.

Sedangkan Davian, kini dia terdiam saat menatap bayi yang tengah menangis kencang di dalam gendongannya. Dia terdiam sebab membayangkan betapa menyakitkannya saat dia hanya bisa menggendong bayinya tanpa adanya Tiara di sampingnya.

"Kenapa kau membiarkan ibumu pergi," ucap Davian dengan suara yang lirih.

Dia tak bermaksud menyalahkan bayinya. Hanya saja, dia masih belum menerima kenyataan bahwa Tiara sudah meninggal. Di mana yang tertinggal sekarang hanyalah bayinya.

Membuat rasa sesak itu kembali Davian rasakan hingga matanya sudah berkaca-kaca. Apalagi, saat tangan Davian telah terulur untuk mengusap pipi bayinya dengan lembut. Sebuah usapan yang membuat tangis sang bayi sedikit mereda.

"Ini susunya," ucap Arletta yang sudah kembali sembari berlarian kecil menghampiri Davian.

Dengan kedatangan Arletta, Davian lantas menghela nafasnya dalam dan menahan agar air matanya tidak terjatuh. Di mana dia lantas kembali menunjukan raut wajah dinginnya pada wanita itu. Bersamaan dengan dia yang sudah kembali menyodorkan bayinya pada Arletta.

"Ah, syukurlah. Kau pasti haus sekali, ya?" tanya Arletta pada bayi yang sudah ada di dalam gendongannya.

Sembari terduduk dan memangkunya, Arletta sudah memberikan botol susu hangat itu untuk diminum oleh sang bayi. Membuat Arletta menghela nafasnya lega saat akhirnya bayi itu terhidrasi.

Davian memperhatikan bagaimana dengan telatennya Arletta menjaga bayinya. Dan saat melihat semua itu, dia sadar, kalau Arletta mungkin bukan pilihan yang buruk untuk dia manfaatkan sebagai ibu pengganti dari anaknya.

"Pernikahannya akan dilangsungkan minggu depan. Dan sampai saat itu, kau tidak boleh keluar dari sini," ucap Davian begitu saja.

Mata Arletta membulat. "Tuan mau mengurung aku di sini? Bagaimana bisa? Aku harus ke kampus, dan bagaimana dengan orangtuaku? Aku juga bahkan belum menyetujui tentang pernikahan!" Bantah Arletta.

Dia ingin berteriak tepat di hadapan pria itu, tapi tidak mungkin saat mengingat ada bayi di dalam gendongannya.

"Aku tidak perduli. Kau tetap tidak bisa lari dari tanggung jawabmu. Dan biar aku yang menghubungi orangtuamu," ujar Davian yang benar-benar sudah tidak perduli ladi pada penolakan Arletta.

Seharusnya Arletta pergi, melarikan diri saat ini juga. Tapi, yang dia lakukan sekarang adalah terdiam di tempatnya sembari menatap bayi yang tengah menyusu di dalam gendongannya. 

Kalau dia melarikan diri, bagaimana dengan bayi ini?

Bukan karena Arletta merasa harus bertanggung jawab pada bayi itu, sebab dia memang merasa jika dia tidak bersalah sepenuhnya atas kepergian Tiara. Tapi, sekali lagi Arletta merasa iba saat melihat bayi tersebut. Apalagi, kalau melihat bagaimana sikap Davian padanya dan juga Ibu dari pria itu yang benar-benar tidak kalah egois dan keterlaluan.

"Aku akan menikah denganmu, tapi dengan satu syarat," ucap Arletta yang sudah kembali menatap Selatan.

"Satu tahun. Pernikahan ini hanya berjalan sampai satu tahun saja. Dan sampai saat itu, kau tidak boleh menyentuhku," tambah Arletta dengan begitu yakin. "Ini adalah pernikahan tanpa sentuhan!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status