Arletta hanya bisa menurut saat pria bernama Jerry itu membawanya bersama dengan bayi yang ada di dalam gendongannya. Jujur saja, Arletta mungkin saja pergi melarikan diri saat dia bisa. Menolak mentah-mentah apa yang diminta oleh Davian.
Tapi, satu-satunya alasan kenapa Arletta bertahan di sini dan malah duduk diam adalah bayi perempuan yang ada di dalam gendongannya. Bayi perempuan yang terpejam dengan pulasnya. Sungguh, Arletta tak tega jika harus meninggalkannya.
Arletta adalah seorang gadis yang begitu menyukai anak-anak. Apalagi, seorang bayi seperti ini.
"Bisa mampir ke supermarket sebentar?" tanya Arletta pada pria yang sibuk menyetir di depan sana.
"Maaf, Nona. Tapi, Tuan Davian meminta untuk tidak mampir kemana pun dan langsung membawamu ke rumah," jawab Jerry.
"Hanya sebentar. Aku mau membeli susu untuk bayi ini. Memangnya kau tega membiarkan dia kehausan?" seru Arletta kemudian.
Tak ada jawaban, Jerry nampak berpikir terlebih dahulu soal permintaan Arletta di sana. "Biar aku tanyakan pada Tuan Davian terlebih dulu."
Arletta menghela nafasnya. Mungkin memang Davian bisa menjadi lebih kejam kalau seseorang melanggar perintahnya. Sampai pria seperti Jerry saja benar-benar takut pada pria itu. Sampai-sampai hal sekecil ini saja harus meminta izin padanya.
Pun begitu, Arletta hanya bisa terdiam saat Jerry benar-benar menghubungi Davian untuk apa yang dia minta.
"Maaf, Nona. Tuan Davian tetap tidak mengizinkan. Dia mengatakan untuk tetap melanjutkan perjalanan ke rumah," ujar Jerry.
Arletta mengernyit tak percaya. "Lalu bagaimana dengan bayinya!" Kesal Arletta.
"Tuan Davian yang akan membelikannya dan membawa ke rumah. Katanya, tunggu saja," jelas Jerry.
Arletta menggelengkan kepalanya. Bagaimana mungkin untuk membeli sesuatu yang dibutuhkan bayinya saja Davian malah seperti ini? Benar-benar tidak habis pikir lagi.
Berkali-kali pun Arletta mencoba membujuk Jerry, tetap saja dia tidak bisa memenuhi permintaannya. Pria itu benar-benar patuh sekali pada tuannya. Membuat Arletta juga tidak bisa untuk membantah lagi.
Sampai pada akhirnya, Arletta sudah menunggu selama dua jam di dalam sebuah rumah yang baru kali ini dia menginjakan kakinya di sana. Rumah seorang CEO terkenal, Davian Navileon.
"Astaga, brengsek sekali Ayahmu itu. Kau pasti haus sekali," ucap Arletta pada bayi yang kini menangis di dalam gendongannya.
Tangisannya semakin kencang dari beberapa menit yang lalu. Tapi, tak ada yang bisa Arletta lakukan selain dengan menunggu kedatangan Davian. Karena berkali-kali dia mencoba menenangkan bayi itu pun tetap nihil. Sebab yang bayi ini butuhkan hanyalah air susu.
"Nona, apa bayinya baik-baik saja?"
Jerry yang mendengar tangisan bayi itu semakin kencang pada akhirnya menghampiri Arletta di sana.
Arletta menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Tidak. Dia benar-benar membutuhkan susu sekarang. Dia kehausan. Sudah aku bilang tadi kita harus membeli susu terlebih dulu. Kalau sudah seperti ini kasihan dia!" Tegas Arletta pada Jerry.
Dia kesal, dia marah. Meski bayi itu sama sekali bukan keluarganya, tetap saja Arletta merasa iba saat bayi ini menangis dengan begitu kencangnya. Bagaimana mungkin Selatan malah setega itu pada anaknya sendiri.
Bayi yang tidak berdosa ini malah menjadi korban keegoisannya.
"Kau pergi saja belikan susu di minimarket terdekat. Pria brengsek itu mungkin hanya akan membiarkan anaknya sendiri mati kehausan dan—"
"Siapa yang kau maksud dengan pria brengsek?"
Suara lain terdengar mendekat pada mereka. Membuat Arletta juga dengan cepat menolehkan kepalanya pada seorang pria yang tengah berjalan dengan santainya.
Arletta menelan ludahnya sendiri. Rasa kesalnya membuat dia tidak berpikir lagi saat mencaci maki seorang pria sepertinya.
"Susunya," ujar Davian yang sudah memberikan satu kantung belanjaan yang begitu saja dia letakan di atas meja.
Sedangkan Jerry kini lebih memilih mundur dari sana.
"Kemarikan bayinya," tambah Davian sekali lagi.
Tidak langsung memberikan bayi yang sedang menangis itu pada pria yang ada di hadapannya. Arletta kini malah menatap Davian dengan tatapan waspada.
"Kau harus membuat susunya. Memangnya kau pikir anakku akan meninum susu yang sama sekali belum dibuat?" Tegas Davian.
Dan kali ini, Arletta juga telah memberikan bayi tersebut pada pria itu. Dia nyaris melupakan kalau Davian adalah ayah kandung dari bayi itu sendiri. Pun begitu, Arletta lantas bergegas untuk membuat susu. Mengikuti instingnya untuk menemukan dapur yang ada di dalam rumah tersebut.
Sedangkan Davian, kini dia terdiam saat menatap bayi yang tengah menangis kencang di dalam gendongannya. Dia terdiam sebab membayangkan betapa menyakitkannya saat dia hanya bisa menggendong bayinya tanpa adanya Tiara di sampingnya.
"Kenapa kau membiarkan ibumu pergi," ucap Davian dengan suara yang lirih.
Dia tak bermaksud menyalahkan bayinya. Hanya saja, dia masih belum menerima kenyataan bahwa Tiara sudah meninggal. Di mana yang tertinggal sekarang hanyalah bayinya.
Membuat rasa sesak itu kembali Davian rasakan hingga matanya sudah berkaca-kaca. Apalagi, saat tangan Davian telah terulur untuk mengusap pipi bayinya dengan lembut. Sebuah usapan yang membuat tangis sang bayi sedikit mereda.
"Ini susunya," ucap Arletta yang sudah kembali sembari berlarian kecil menghampiri Davian.
Dengan kedatangan Arletta, Davian lantas menghela nafasnya dalam dan menahan agar air matanya tidak terjatuh. Di mana dia lantas kembali menunjukan raut wajah dinginnya pada wanita itu. Bersamaan dengan dia yang sudah kembali menyodorkan bayinya pada Arletta.
"Ah, syukurlah. Kau pasti haus sekali, ya?" tanya Arletta pada bayi yang sudah ada di dalam gendongannya.
Sembari terduduk dan memangkunya, Arletta sudah memberikan botol susu hangat itu untuk diminum oleh sang bayi. Membuat Arletta menghela nafasnya lega saat akhirnya bayi itu terhidrasi.
Davian memperhatikan bagaimana dengan telatennya Arletta menjaga bayinya. Dan saat melihat semua itu, dia sadar, kalau Arletta mungkin bukan pilihan yang buruk untuk dia manfaatkan sebagai ibu pengganti dari anaknya.
"Pernikahannya akan dilangsungkan minggu depan. Dan sampai saat itu, kau tidak boleh keluar dari sini," ucap Davian begitu saja.
Mata Arletta membulat. "Tuan mau mengurung aku di sini? Bagaimana bisa? Aku harus ke kampus, dan bagaimana dengan orangtuaku? Aku juga bahkan belum menyetujui tentang pernikahan!" Bantah Arletta.
Dia ingin berteriak tepat di hadapan pria itu, tapi tidak mungkin saat mengingat ada bayi di dalam gendongannya.
"Aku tidak perduli. Kau tetap tidak bisa lari dari tanggung jawabmu. Dan biar aku yang menghubungi orangtuamu," ujar Davian yang benar-benar sudah tidak perduli ladi pada penolakan Arletta.
Seharusnya Arletta pergi, melarikan diri saat ini juga. Tapi, yang dia lakukan sekarang adalah terdiam di tempatnya sembari menatap bayi yang tengah menyusu di dalam gendongannya.
Kalau dia melarikan diri, bagaimana dengan bayi ini?
Bukan karena Arletta merasa harus bertanggung jawab pada bayi itu, sebab dia memang merasa jika dia tidak bersalah sepenuhnya atas kepergian Tiara. Tapi, sekali lagi Arletta merasa iba saat melihat bayi tersebut. Apalagi, kalau melihat bagaimana sikap Davian padanya dan juga Ibu dari pria itu yang benar-benar tidak kalah egois dan keterlaluan.
"Aku akan menikah denganmu, tapi dengan satu syarat," ucap Arletta yang sudah kembali menatap Selatan.
"Satu tahun. Pernikahan ini hanya berjalan sampai satu tahun saja. Dan sampai saat itu, kau tidak boleh menyentuhku," tambah Arletta dengan begitu yakin. "Ini adalah pernikahan tanpa sentuhan!"
"Apa kamu sedih saat Ghava tidak lagi menginap di sini?" tanya Davianq tiba-tiba. Hal itu membuat Arletta nyaris terlonjak dan menoleh ke arah Davian di sana. "Apa maksudnya?" Tidak menjawab, Davian hanya terlihat mengangkat kedua bahunya. Dimana Arletta hanya bisa melihat ketidakramahan Davian di sana. Apa, pria itu cemburu? Rasanya tidak mungkin kalau pria itu cemburu padanya. Karena sejak awal, mereka ini menikah hanya karena keadaan saja. Tidak benar-benar menikah karena ingin menikah dan saling mencintai. Arletta menikah dengan Davian karena paksaan pria itu, dan begitu pun sebaliknya. Davian menikahi Arletta tidak lebih dari meminta pertanggung jawaban wanita itu karena dia harus kehilangan Tiara. Menjadikan Arletta sebagai istri penggantinya dan mengurus bayinya bersama Tiara. Maka sekarang Arletta lebih memilih untuk menyingkirkan perasaan itu. Dia tidak bisa kalau harus berpikir kemustahilan tersebut. Teramat tidak mungkin untuk Arletta. "Aku merindukan Sena," gum
Arletta tidak begitu yakin apakah dia memang harus berteman dengan Ghava atau tidak. Dia tidak begitu yakin akankah dia memang bisa melakukannya. Saat kenyataannya, dia itu adalah pria yang pernah dia sukai. Pria yang pernah menyita perhatian Arletta selama beberapa tahun. Meski begitu, Arletta juga hanya bisa menganggukkan kepalanya untuk merespon apa yang dikatakan oleh pria itu. Rasanya akan terlalu tak enak kalau dia menolaknya. Bagaimana pun, pasti niat Ghava juga baik. Agar mereka tidak lagi merasa canggung satu sama lain, saat Ghava adalah merupakan salah satu keluarga dekat Davian, suaminya. Jadi, mungkin tidak akan menjadi masalah kalau Arletta mencoba menerima permintaan Ghava untuk berteman di sana dan melupakan apa pun yang pernah terjadi di antara mereka berdua. "Davian pergi kemana?" tanya Arletta kemudian. Ya, dia mencoba mengalihkan pembicaraan mereka sekarang. "Entahlah, katanya dia harus menemui temannya. Mungkin dia juga akan segera kembali," jawab Ghava k
"Jangan melewati batas yang lebih jauh! Sena juga masih kecil, kamu juga harus ingat kalau pernikahan kita cuma sementara. Aku tidak mau hamil, aku masih mau melanjutkan sekolahku!" Tegas Arletta yang sudah memegang perutnya sendiri. Davian langsung menoleh ke arah Arletta saat gadis itu berkata demikian. Dia juga melihat Arletta yang sedang meremat perutnya sendiri. Seolah gadis itu sudah merasa ngilu sebelum dia benar-benar membuatnya hamil. Tapi, jelas Davian juga tidak akan pernah menghamilinya. Dia jelas tidak pernah sekali pun memiliki pikirannya yang seperti itu. Tidak pernah sekali pun terlintas di dalam pikirannya untuk membuat Arletta hamil di sana. Gila saja kalau dia benar-benar membuat gadis itu hamil. Pasti semuanya akan semakin merepotkan. "Jangan terlalu percaya diri. Aku juga tidak akan melakukannya," ucap Davian kemudian dengan begitu yakin. Di mana setelahnya, Davian langsung berjalan untuk memasukan obat yang berada di tangannya itu ke dalam tempat sampah yang
Melipat kedua tangannya di depan dada, sekarang Arletta tengah menatap pria yang berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Dia menatap Davia yang baru saja mengatakan pada Arletta untuk tidur lagi dan memberikan beberapa obat-obatan yang sudah diberikan padanya. Meski begitu, Arletta sekarang lebih memilih untuk tetap terdiam menatap Davia yang berdiri tak jauh dati sofa yang saat ini tengah dia duduki. Memperhatikan saat pria itu tengah berbicara dengan seseorang di seberang telfonnya. "Baiklah, kabari aku lagi kalau kalian sudah selesai," ucap Davian sebelum akhirnya mengakhiri panggilan tersebut. Dimana dia juga lantas kembali menyimpan ponselnya pada saku celana yang dia kenakan saat ini. Davian juga sudah menoleh pada gadis yang masih saja melipat kedua tangannya di depan dada. Dengan sorot mata gadis itu yang menatapnya dengan lekat, seolah penuh tanya. Bahkan, Selatan juga yakin setelah ini Arletta memang akan melayangkan beberapa pertanyaan pada dirinya. "Bukankah sudah a
Apa yang dikatakan Ghava semalam membuat Arletta benar-benar terus memikirkan hal itu. Dia benar-benar tidak mengerti sepenuhnya akan apa yang pria itu katakan padanya, akan tetapi, dia juga tidak berniat bertanya padanya secara langsung. Sebab, entah kenapa Arletta malah merasa takut jika dia mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud oleh Ghava.Untuk itu, Arletta juga lebih memilih untuk melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Ghava begitu saja setelah dia berkata demikian. Tanpa bicara apa pun lagi, Arletta lebih memilih melarikan diri. Tanpa dia memikirkan tentang pagi ini dimana dia harus kembali berhadapan dengan Ghava."Ayo keluar, Ghava mungkin sudah bangun juga. Kita harus sarapan," ucap Davian yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan pakaiannya yang sudah rapi.Arletta menoleh ke arahnya. Dia menatap Davian dengan cukup ragu. "Apa hari ini kau mau membantu Ghava?" tanya Arletta kemudian.Davian menganggukkan kepalanya. "Iya, kenapa?"
"Kalian saling mengenal bukan?" tanya Davian. Membuat Arletta menganggukkan kepalanya untuk mengiyakan. "Kalau begitu, sedekat apa kalian dulu? Karena sepertinya, Ghava memang terlihat senang sekali saat bertemu dengan kamu."Seharusnya pertanyaan yang diberikan oleh Davian adalah pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Akan tetapi, entah kenapa Arletta kesulitan untuk menjawabnya. Entah apa yang harus dia katakan pada pria itu. Dia terlalu bingungkan apakah memang harus mengatakan semuanya dengan benar atau tidak. Meski begitu, Davian kini menatapnya dengan begitu lekat. Sorot matanya menajam dengan raut wajah yang terlihat begitu dingin. Semua itu jelas membuat Arletta jadi semakin gugup dibuatnya."Sebenarnya ... Ghava itu, dia pria yang aku suka saat di sekolah dulu," jawab Arletta pada akhirnya. Ya, dia mengatakannya. Dia mengatakan yang sesungguhnya pada Davian. Sebab, Arletta merasa jika dia tidak haru mengatakan sebuah kebohongan.