"Tuan Davian, anak anda berhasil diselamatkan. Tapi sayangnya, nyawa Nona Tiara tidak bisa diselamatkan. Calon istri anda telah dinyatakan meninggal karena luka di kepala yang cukup parah."
Dunia Davian hancur begitu penuturan itu dilontarkan oleh seorang pria yang mengenakan seragam operasinya. Seorang Dokter bedah yang baru saja melakukan operasi pada calon istrinya, Tiara.
Lututnya melemas, hatinya mencelos begitu saja. Dengan rasa sesak yang lantas dia rasakan seolah dia telah hancur sehancur-hancurnya.
Wanita yang akan menjadi istrinya bulan depan itu harus pergi meninggalkannya. Meninggalkan semua rencana mereka dengan bayi perempuan mereka yang baru saja lahir.
"Bagaimana ini, Davian? Kalau seperti ini, berarti pernikahan kalian harus dibatalkan. Apa yang harus Mama katakan pada orang-orang nantinya? Bisa-bisa Mama akan jadi bahan perbincangan orang-orang."
Selatan menoleh pada seorang wanita yang ada di sampingnya. Itu Nyonya Dayanti, ibunya sendiri.
Menatap tajam ke arah sang Ibu, Davian masih tak percaya atas apa yang baru saja wanita berusia 40 tahunan itu katakan. "Ma? Tiara meninggal, Ma. Dan Mama masih bisa-bisanya memikirkan soal acara pernikahan dan omongan orang lain?!"
Bukannya merasa bersalah setelah mendengar kekesalan Davian padanya, Dayanti malah menunjukan tampang tak bersalahnya. "Salah dia sendiri kenapa harus berpergian saat hamil besar seperti itu. Sekarang yang meninggal itu sudah, meninggal saja. Kita yang hidup harus melanjutkan hidup juga. Jadi, Mama juga berhak memikirkan soal ini!"
Davian menggelengkan kepalanya tak percaya. Wanita yang selama ini begitu dia hormati juga telah membuatnya kecewa teramat dalam.
"Mama pikir, kenapa Tiara harus pergi? Itu karena Mama memintanya untuk mengambil kelas memasak dan sebagainya! Mama yang meminta dia untuk memenuhi ekspektasi Mama agar dia menjadi menantu yang sempurna!" Tegas Davian.
Kemarahan sudah nampak di wajahnya. Di mana dia juga sudah mengepalkan tangannya berusaha untuk menahan diri.
"Aku benar-benar kecewa denganmu, Ma. Aku hancur, tapi kau malah semakin menghancurkan aku."
Tidak lagi sanggup berhadapan dengan Sang Ibu, kini Davian telah melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana. Bahkan, dia sendiri masih tak sanggup saat mendengar tangisan bayi yang terdengar dari dalam ruangan sana.
"Terserah apa katamu. Tapi, yang Mama inginkan adalah pernikahan itu tetap dijalankan! Carilah pengantin pengganti agar Mama tidak harus malu di depan teman-teman Mama!" Teriak Dayanti pada Davian yang sudah melangkah lebih jauh darinya.
Sebisa mungkin Davian mengabaikannya. Tangannya mengepal dengan kuat, saat rasa sakit di relung hatinya kembali dia rasakan. Matanya juga sudah memerah, karena kehilangan wanita yang begitu dia cintai bukanlah hal yang mudah. Terlalu menyakitkan saat semua kenyataan pahit ini harus dia rasakan tepat dua minggu sebelum pernikahan mereka berlangsung.
"Tuan, mau kemana?" tanya seorang pria yang merupakan ajudan dari Davian.
"Katakan di ruangan mana perempuan itu berada. Aku akan menemuinya sekarang juga!"
Rahang tegas yang ditunjukan Davian tidak mampu untuk diabaikan begitu saja. Pria yang mengekor di belakangnya pun tidak bisa untuk tidak menjawab apa yang baru saja dikatakan oleh Tuannya tersebut.
"Dia berada di UGD rumah sakit ini, Tuan. Lukanya tidak terlalu parah, tapi beberapa menit yang lalu dia masih belum tersadar karena shock," jelasnya.
Alih-alih menghentikan langkahnya, Davian kini justru melangkahkan kakinya dengan semakin tegas. Dengan sorot mata yang sudah menajam bersamaan dengan amarah yang saat ini tengah dia rasakan.
Pun begitu, langkahnya telah membawa Davian pada Unit gawat darurat di rumah sakit tersebut. Matanya mengedar untuk melihat dan mencari seseorang yang menjadi tujuannya saat ini. Sampai saatnya dia telah mendapati seorang wanita yang tengah terduduk di salah satu ranjang dengan pakaian yang terlihat lusuh.
"Tuan, apa yang mau anda lakukan?" tanya Sang Ajudan yang terlihat cukup panik.
Namun, bukannya menjawab, Davian kini lebih memilih untuk mendekat pada gadis itu. "Tutup tirainya dan tunggu di luar!" Perintah Davian saat dia telah berdiri tepat di depan gadis yang sudah mendongak, menatapnya dengan bingung.
Sesuai perintah, tirai di sekitar ranjang gadis itu telah ditutup. Dengan ajudan Davian yang menunggu di balik tirai tersebut. Sedangkan pria itu, kini dia telah memasang raut wajah yang begitu tegas dengan sorot mata tajamnya. Bak sorot mata seekor elang.
"S—siapa kau?" tanya gadis itu dengan mata yang membulat menatap Davian di sana.
Dia terlihat kebingungan. Karena kenyataannya, kehadiran Davian membuat dirinya terkejut dan bertanya-tanya secara bersamaan.
"Kau yang baru saja terlibat kecelakaan dengan calon istriku?" tanya Davian dengan suara yang terdengar begitu dingin dan mencekam.
Gadis itu mengangguk. Dia paham yang dimaksud oleh pria di hadapannya. Karena dia berada di sini karena kecelakaan itu terjadi. Sebuah kecelakaan yang juga nyaris membuatnya tertabrak mobil pribadi. Di mana beruntungnya untuk gadis itu karena mobil yang nyaris menabraknya membelokan stir hingga menabrak pembatas jalan.
Sedangkan dia hanya sedikit terserempet mobil tersebut dan terjatuh hingga tidak sadarkan diri karena terlalu terkejut.
"Siapa namamu?" tanya Davian sekali lagi. Tak kalah menyeramkan dari sebelumnya.
"Arletta. Namaku Arletta Divkara," jawab Arletta dengan gugup. "B—bagaimana keadaan wanita di dalam mobil itu sekarang?" tanya Arletta dengan sedikit ragu.
Tapi, tidak dapat dipungkiri jika dia memang penasaran dengan keadaan seorang wanita yang ada di dalam mobil tersebut. Karena Arletta juga melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana mobil yang melaju kencang itu menabrak pembatas jalan dengan cukup parah. Sebelum akhirnya dia tidak ingat apa pun lagi selian dengan terbangun dan mendapati dirinya di sini.
Tak lantas menjawab, Davian malah mengepalkan tangannya dengan mata yang sudah memerah saat menatap gadis di hadapannya.
"Calon istriku meninggal dalam kecelakaan itu. Dan kamu, harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah kamu sebabkan ini!" Tegasnya kemudian.
Arletta kembali membulatkan matanya. Sungguh, dia tak begitu mengerti kenapa dia harus bertanggung jawab saat mobil itu melaju begitu kencang dan nyaris menabraknya.
"Tidak, jangan hukum aku. Aku tidak mau dipenjara. Aku tidak bersalah. Aku benar-benar tidak tahu apa pun selain dengan menyeberang jalan di saat yang tepat."
Arletta memohon. Kedua tangannya sudah disatukan untuk memohon pada pria yang begitu terlihat menyeramkan di matanya. Pria yang seolah siap melimpahkan kesalahan pada dirinya atas apa yang terjadi.
"Jadilah istri penggantiku dan ibu dari anakku sebagai penebusan atas kesalahanmu," ucap Davian dengan sorot mata tajamnya yang telah bersinggungan dengan mata Arletta yang terlihat ketakutan.
"Arletta Divkara, aku akan meminta pertanggung jawabanmu dengan menyerahkan seluruh kehidupanmu itu untuk menjadi istri penggantiku. Mengurus anakku dengan Tiara seumur hidupmu. Karena kau yang telah membuat Tiara kehilangan nyawanya!"
Bagai kilat yang baru saja menyambar Arletta. Tubuh gadis muda itu lantas membeku seketika. Menikah? Menjadi ibu? Jelas itu adalah hal yang benar-benar tidak disangka olehnya. Apalagi, saat dia baru saja menyadari, jika pria yang ada di hadapannya ini adalah seorang CEO terkenal yang bernama Davian Navileon. CEO yang dikenal sebagai seseorang yang dingin dan keras kepala, serta Arogan. "Bawa dia untuk ikut menemui bayiku!" Perintah Davian begitu saja pada pria yang senantiasa mengekor di belakangnya. Dan tanpa ragu, pria dengan setelan yang tak kalah rapi dari Tuannya pun menurut. Dia telah menghampiri Arletta yang kini masih terdiam di tempatnya. Mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Davian sebelumnya. Karena jelas dia masih terkejut dan tak percaya dengan apa yang sebenarnya terjadi di sana. "Ayo, Nona. Silahkan ikut aku," ucap pria itu. Seperti tidak bisa melakukan apa pun lagi, Arletta juga hanya bisa menurut akan perintah mereka. Dia hanya bisa mengekor di belakang Selata
Arletta hanya bisa menurut saat pria bernama Jerry itu membawanya bersama dengan bayi yang ada di dalam gendongannya. Jujur saja, Arletta mungkin saja pergi melarikan diri saat dia bisa. Menolak mentah-mentah apa yang diminta oleh Davian. Tapi, satu-satunya alasan kenapa Arletta bertahan di sini dan malah duduk diam adalah bayi perempuan yang ada di dalam gendongannya. Bayi perempuan yang terpejam dengan pulasnya. Sungguh, Arletta tak tega jika harus meninggalkannya. Arletta adalah seorang gadis yang begitu menyukai anak-anak. Apalagi, seorang bayi seperti ini. "Bisa mampir ke supermarket sebentar?" tanya Arletta pada pria yang sibuk menyetir di depan sana. "Maaf, Nona. Tapi, Tuan Davian meminta untuk tidak mampir kemana pun dan langsung membawamu ke rumah," jawab Jerry. "Hanya sebentar. Aku mau membeli susu untuk bayi ini. Memangnya kau tega membiarkan dia kehausan?" seru Arletta kemudian. Tak ada jawaban, Jerry nampak berpikir terlebih dahulu soal permintaan Arletta di sana. "B
"Satu tahun. Pernikahan ini hanya berjalan sampai satu tahun saja. Dan sampai saat itu, kau tidak boleh menyentuhku." Arletta begitu yakin saat berkata demikian. Karena menurutnya, mungkin dengan begitu dia juga bisa membantu mengurus bayi itu tanpa harus melakukan kewajibannya sebagai istri Davian. Dia masih belum siap kalau seperti itu. Terlebih, dalam waktu satu tahun, mungkin Arletta bisa meninggalkan bayi ini nantinya. Sedikitnya, selama satu tahun itu Arletta mungkin akan membuat Davian lebih menyayangi bayinya sendiri. Karena dengan begitu, Arletta jadi bisa meninggalkan bayi perempuan itu nantinya dengan cukup tenang. "Baiklah. Lagipula, aku juga tidak tertarik padamu. Aku benar-benar tidak akan pernah menyentuhmu!" Tegas Davian tanpa ragu sama sekali. Ya, pria itu menyetujuinya. Dia sama sekali tidak keberatan dengan persyaratan yang diberikan oleh Arletta. Baginya, itu bukanlah hal yang sulit. Sebab dia memang tidak tertarik pada Arletta sama sekali. Gadis muda itu tidak
"Silahkan Tuan Davian Navileon dan Nona Arletta Divkara. Kalian sudah sah menjadi suami istri. Sekarang, kalian diperbolehkan untuk saling mencium satu dama lain." Jantung Arletta berdebar saat itu juga. Mencium? Yang benar saja. Dia berniat melakukan pernikahan ini tanpa sentuhan, tapi dia sudah diharuskan untuk mencium pria di hadapannya? Arletta mengernyit saat Davian mendekatkan wajahnya pada Arletta. Sebelum akhirnya pria itu berbisik tepat di telinganya. "Hanya formalitas. Hanya ciuman singkat saja. Jangan membuat orang-orang termasuk keluargamu curiga kalau kamu hanya pengantin pengganti." Mau tidak mau, Arletta pun melakukan semua yang di perintahkan. Karena yang dikatakan oleh Davian juga memang benar adanya. Sampai pada akhirnya, pria itu kini sudah mengecup bibir Arletta. Ciuman singkat yang menjadi ciuman pertama mereka berdua setelah sah menjadi pasangan suami istri. Ya, benar-benar hanya ciuman yang singkat. *** Memakai gaun putih yang begitu cantik dengan riasan ya
Terkadang, Arletta sama sekali tidak paham kenapa Davian bisa bersikap dingin dan perhatian secara bersamaan. Dan semua itu nyaris membuat Arletta terpesona dibuatnya. Meskipun dengan cepat dia juga berusaha menepisnya. Tidak mungkin dia malah terpesona pada seorang pria yang bahkan memiliki nama wanita lain di dalam hatinya dan bahkan melibatkan Arletta ke dalam sebuah pernikahan yang tidak diinginkan ini.Arletta juga harus cepat menyadarkan dirinya sendiri. Kalau dia tidak lebih dari seorang pengantin dan juga ibu pengganti. Dia bukanlah seorang gadis yang dipilih untuk benar-benar bisa merasakan rumah tangga yang bahagia."Apa Sena sudah tidur?" tanya Davian saat dia baru saja melihat Arletta keluar dari kamar miliknya di sana.Arletta menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Davian. "Iya, dia sudah tidur di kamar aku," jawabnya. "Apa acaranya sudah selesai?" tanya Arletta pada akhirnya. Dia bertanya karena memang penasaran.Sebab, sebelumnya Davian mengatakan akan meyele
Arletta segera menghindari selatan saat mereka mulai membahas tentang 'keseksian' di sana. Daripada merespon pertanyaan Davian soal melepaskan gaun tersebut, Arletta kini lebih memilih untuk melangkahkan kakinya menjauh dati pria itu. Gadis itu lebih memilih untuk memasuki kamar mandi yang ada di sana. Berniat untuk mandi dan berganti pakaian.Setidaknya, sampai Arletta menyadari sesuatu. Tentang dia yang bahkan tidak bisa meraih resleting gaunnya di belakang sana dengan tangannya sendiri. Membuat Arletta yang berkali-kali mencoba meraihnya pun hanya mendapat kelelahannya saja. Hingga akhirnya dia terduduk di toilet yang tertutup dengan helaan nafas panjang yang telah dia lakukan."Tidak! Tidak mungkin aku minta bantuan dari pria itu!" tegas Arletta pada dirinya sendiri.Saat dia sempat berpikir jika dia harus meminta bantuan pada Selatan di luar sana. Rasanya yang ada pria itu akan menggodanya lagi dengan ucapan-ucapan yang sebelumnya pria itu katakan. Arletta juga tidak mau kalau ak
Pikiran Arletta mendadak kosong saat bibir Davian terus saja bergerak memberikan pagutan yang semakin dalam. Bibir pria itu terus saja menyesap bibir Arletta seolah tak puas jika hanya menyesapnya sebentar saja. Menjadikan bibir milik Arletta sebagai permen manis yang akan selalu disesapnya.Ciuman itu berubah menjadi lebih menuntut. Bahkan, tangan Davian telah merengkuh pinggang gadis itu dengan cukup erat, membuat jarak di antara mereka semakin tipis lagi. Membuat Arletta memejamkan matanya dengan rapat. Bersamaan dengan tangannya yang sudah dia letakan pada bahu Davian. Menahan pria itu untuk bergerak lebih dekat lagi padanya.Sampai pada akhirnya, Davian melepas tautan mereka berdua. Di mana dia juga sudah menatap Arletta yang mulai membuka matanya dengan gugup."T–tuan Davian," ucap Arletta dengan suara yang terdengar lirih dan gugup secara bersamaan. Dia bahkan menelan ludahnya sendiri di sana dengan susah payah."Maaf," ucap Davian beberapa detik kemudian.Ya, pria itu sadar ak
"Bagaimana kalau kita tetap tidur bersama? Dan bagaimana kalau memintamu juga melayaniku? Benar-benar sebagai istri yang harus melayani suaminya. Menjalankan peranmu sebagai Istri pengganti yang semestinya," ucap Davian tanpa ragu sama sekali. "Kau mau melakukannya, Arletta?"Duduk saling berhadapan dengan Davian, Arletta hanya mampu menundukkan kepalanya. Menghindari sorot mata Davian di sana.Bukannya fokus pada makanan yang sudah disiapkan di atas meja di antara mereka berdua, Davian dan Arletta malah saling terdiam dengan Davian yang menatap Arletta dengan lekat. Tanpa berniat untuk menikmati makanannya sebelum wanita itu juga menjawab pertanyaannya yang telah dia berikan padanya beberapa waktu lalu. Sebelum dia selesai mandi tadi dan kembali duduk berdua dengan Arletta.Sementara Sena sendiri sudah kembali ditidurkan di kamarnya."Bagaimana? Apa jawabanmu?" tanya Davian pada akhirnya.Pertanyaan itu kembali membuat Arletta semakin gugup. Bahkan kedua tangannya sudah saling bertau