"Silahkan Tuan Davian Navileon dan Nona Arletta Divkara. Kalian sudah sah menjadi suami istri. Sekarang, kalian diperbolehkan untuk saling mencium satu dama lain."
Jantung Arletta berdebar saat itu juga. Mencium? Yang benar saja. Dia berniat melakukan pernikahan ini tanpa sentuhan, tapi dia sudah diharuskan untuk mencium pria di hadapannya?
Arletta mengernyit saat Davian mendekatkan wajahnya pada Arletta. Sebelum akhirnya pria itu berbisik tepat di telinganya. "Hanya formalitas. Hanya ciuman singkat saja. Jangan membuat orang-orang termasuk keluargamu curiga kalau kamu hanya pengantin pengganti."
Mau tidak mau, Arletta pun melakukan semua yang di perintahkan. Karena yang dikatakan oleh Davian juga memang benar adanya. Sampai pada akhirnya, pria itu kini sudah mengecup bibir Arletta. Ciuman singkat yang menjadi ciuman pertama mereka berdua setelah sah menjadi pasangan suami istri.
Ya, benar-benar hanya ciuman yang singkat.
***
Memakai gaun putih yang begitu cantik dengan riasan yang sudah menghiasi wajahnya, Arletta tidak pernah membayangkan kalau dirinya akan mengalami semua itu dalam waktu yang secepat ini. Dia masih tak menyangka saat menatap cermin itu untuk ke sekian kalinya kalau dirinya akan menikah dalam usia yang semuda ini.
Apalagi, dengan fakta lain yang benar-benar gila. Fakta bahwa dia tidak mengenal suaminya dengan baik dan dirinya yang hanya berstatus sebagai istri sekaligus ibu pengganti. Dengan Suaminya yang merupakan pria dingin yang terkadang menyebalkan, Davian Navileon.
Tapi, Arletta bisa sedikit menghela nafasnya lega saat pernikahan ini tidak terlalu banyak melibatkan teman-temannya. Sehingga Arletta masih bisa menyembunyikan fakta bahwa dia menikahi seorang pria yang memiliki bayi.
"Aku masih belum menyangka kalau kau tiba-tiba menikah seperti ini, Letta."
Arletta menoleh pada seorang wanita yang duduk di sampingnya. Kepalanya juga telah mengangguk dengan helaan nafas yang sudah dia lakukan.
"Jangankan kau, aku saja masih tidak menyangka kalau aku sekarang sudah menikah dan berstatus sebagai istri dan seorang ibu," ucap Arletta lirih. "Dengan tambahan pengganti," ucap Arletta sekali lagi.
Sheila, wanita yang saat ini bersamanya itu menjadi satu-satunya orang terdekatnya yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Arletta menjelaskan semuanya pada wanita itu, sebab Sheila adalah satu-satunya sahabat sekaligus keluarga yang bisa dia percayai.
"Tapi ada untungnya juga kau menikah, Arletta. Soalnya, kau menikahi Davian Navileon. CEO tampan dan kaya raya. Wow! Sekarang temanku telah meraih kesuksesan!" Seru Sheila yang tampak terlihat berantusias.
Sementara Arletta hanya menggelengkan kepalanya. Untung apanya? Saat Arletta harus mengurus bayi orang lain. Saat Arletta harus memiliki mertua yang begitu menyebalkan. Saat Arletta, harus memiliki seorang suami yang begitu dingin seperti dinginnya kutub.
"Arletta? Kemari. Kau harus dikenalkan dengan teman Mama."
Itu dia yang baru saja disebutkan Arletta. Salah satu ketidak untungan yang dia dapatkan. Ibu mertua yang cukup menyebalkan sekaligus menyeramkan. "Sheila, maaf. Aku harus pergi dulu. Nikmati acaranya," pamit Arletta pada Sheila di sana.
Arletta sendiri sebenarnya masih ingin duduk di sana bersama Sheila. Berbincang-bincang tentang banyak hal dan berkeluh kesah pada sahabatnya itu. Tapi mau bagaimana lagi? Saat dia juga sudah kembali dipanggil Mama mertuanya. Membuat Arletta untuk ke sekian puluh kalinya harus tersenyum ramah dan memperkenalkan diri pada para tamu undangan wanita itu.
Sementara itu.
"Tuan Davian, Bayinya terus menangis sejak tadi dan tidak bisa dihentikan tangisannya," ucap Jerry yang kini sudsh mendekat ke arah Selatan dan berbisik pada Tuan-nya tersebut.
"Bodoh. Lakukan apa pun untuk membuatnya diam!" Tegas Davian pada pria itu.
Akan tetapi, Jerry justru menatap Davian sembari menggelengkan kepalanya. "Semuanya sudah coba kita lakukan. Tapi, bayinya terus menangis. Apa yang harus kita lakukan, Tuan Davian?"
"Shit!" Keluh Davian kemudian. "Memangnya dimana sekarang?"
"Di paviliun. Nyonya Dayanti menyuruh untuk membawanya ke sana agar tidak berisik dan mengganggu acara pernikahan."
Mengusap wajahnya kasar, Davian lantas melangkahkan kakinya meninggalkan Jerry tanpa mengatakan apa pun lagi.
Akan tetapi, alih-alih dia melangkahkan kakinya menuju paviliun yang disebutkan oleh Jerry. Selatan justru malah melangkahkan kakinya mendekat pada pengantin wanitanya. Arletta yang sedang sibuk menyapa para tamu Mamanya sendiri.
"Arletta, ikut aku," ajak Davian yang segera menarik pergelangan tangan Arletta saat itu juga dengan paksa.
Namun, baru dua langkah Davian menarik Arletta pergi dari sana, satu tangan Arletta yang lain harus tertarik oleh Dayanti di sana. Membuat Arletta harus tertarik ke sana dan kemari.
"Mau dibawa kemana dia? Mama sedang memperkenalkannya pada teman Mama!" Tegas Dayanti yang sudah menarik tangan Arletta untuk mendekat ke arahnya.
Akan tetapi, Davian juga telah melakukan hal yang sama. Membuat Arletta kini beralih pada Selatan di sana. "Aku membutuhkan Arletta!"
Dayanti menggeleng. "Tidak! Arletta masih harus menemani Mama. Tidak alasan apa pun untuk-"
"Kalau Mama tidak membiarkannya pergi dengan aku, biar aku bawa bayiku kemari dan menunjukan pada semua orang kalau—"
"Baiklah! Kau menang! Bawa dia!" Tegas Dayanti yang kini terpaksa melepaskan tangan Arletta, sementara gadis itu hanya bisa menghela nafasnya saat tubuhnya juga telah terdorong pada tubuh Davian.
Sebelum pria itu juga menjauhkan Arletta dari tubuhnya. Membuat Arletta benar-benar tidak mengerti lagi apa yang sebenarnya dua orang itu inginkan. Tadi menariknya, sekarang malah mendorongnya. Mengesalkan!
"Ikut aku!" Tegas Davian pada Arletta di sana.
Pria itu juga sudah melangkah terlebih dahulu untuk pergi dari tempat itu. Membuat Arletta tidak memiliki pilihan lain selain dengan mengekor di belakang Davian. Melangkah dengan malas karena gaun yang saat ini tengah dia kenakan. Sebelum pada akhirnya, dia sadar kemana Davian akan membawanya.
"Kenapa? Sena menangis lagi?" tanya Arletta kemudian.
Davian hanya menganggukkan kepalanya. "Dia di dalam," ucapnya yang sudah membuka salah satu pintu di paviliun.
Menghela nafasnya dalam, ini membuat Arletta seperti memang memiliki seorang bayi. Menyadarkan Arletta kalau dia memang sedang dimanfaatkan sebagai Istri sekaligus ibu pengganti hanya karena kesalahan yang bukan sepenuhnya salahnya.
"Kemari, biar aku yang menggendongnya," ucap Arletta saat dia sudah dapat melihat Sena menangis di dalam gendongan Jerry.
Sehingga Jerry yang sudah kebingungan sejak tadi juga tanpa berbasa basi lagi memberikan bayi itu kepada Arletta.
"Sstt, Sena. Tenang, Sayang. Aku di sini," ucap Arletta yang sudah mengayun pelan Sena yang berada di dalam gendongannya.
Bersaman dengan belaian-belaian lembut yang sudah Arletta berikan pada pipi lembut Sena.
Sampai dengan ajaibnya, tangisan bayi itu juga telah mereda dan tidak seheboh sebelumnya. Membuat orang-orang yang ada di sana juga tersenyum kagum atas apa yang dilakukan Arletta. Termasuk dengan Davian yang diam-diam juga telah kagum akan kelihaian Arletta dalam membuat anaknya tenang.
"Kemarikan susunya," ucap Arletta pada Jerry.
Dengan cepat Jerry memberikan sebotol susu formula itu pada Arletta. Sehingga Arletta juga bisa memberikannya pada Sena. Membuat tangisan bayi itu berhenti seketika dengan mata Sena yang juga mulai terpejam dengan perlahan.
"Luar biasa, padahal tadi aku dan dia juga sudah melakukan hal yang sama, tapi bayi Tuan Selatan tetap saja terus menangis," ucap Jerry dengan suara yang nyaris berbisik. "Mungkin memang kita yang tidak benar menjaganya."
Arletta menggelengkan kepalanya. "Tidak, bukan kalian tidak benar. Tapi, Sena sepertinya sedang begitu sensitif. Dia sedikit demam, dan lagi kalian juga tidak tahu kalau Sena harus menggenggam sesuatu agar bisa terlelap," ucap Arletta yang sudah menunjukan satu jemarinya yang berada di dalam genggaman kecil Sena.
Sekali lagi, itu membuat mereka kembali terkagum melihatnya. Arletta, memang satu-satunya orang yang mungkin memahami Sena seperti anaknya sendiri.
"Arletta. Bawa Sena ke kamarmu dan jaga dia, aku akan mengatakan pada orang-orang kalau kau tidak bisa melanjutkan acara resepsinya lagi," ucap Davian yang pada akhirnya telah berbalik dari sana. "Kau juga pasti lelah," tambahnya dengan suara yang pelan.
Arletta menoleh, menatap ke arah Davian. "Apa kau baru saja menunjukan kepedulianmu pada Sena?"
"Tidak. Bukan Sena. Tapi padamu."
"Apa kamu sedih saat Ghava tidak lagi menginap di sini?" tanya Davianq tiba-tiba. Hal itu membuat Arletta nyaris terlonjak dan menoleh ke arah Davian di sana. "Apa maksudnya?" Tidak menjawab, Davian hanya terlihat mengangkat kedua bahunya. Dimana Arletta hanya bisa melihat ketidakramahan Davian di sana. Apa, pria itu cemburu? Rasanya tidak mungkin kalau pria itu cemburu padanya. Karena sejak awal, mereka ini menikah hanya karena keadaan saja. Tidak benar-benar menikah karena ingin menikah dan saling mencintai. Arletta menikah dengan Davian karena paksaan pria itu, dan begitu pun sebaliknya. Davian menikahi Arletta tidak lebih dari meminta pertanggung jawaban wanita itu karena dia harus kehilangan Tiara. Menjadikan Arletta sebagai istri penggantinya dan mengurus bayinya bersama Tiara. Maka sekarang Arletta lebih memilih untuk menyingkirkan perasaan itu. Dia tidak bisa kalau harus berpikir kemustahilan tersebut. Teramat tidak mungkin untuk Arletta. "Aku merindukan Sena," gum
Arletta tidak begitu yakin apakah dia memang harus berteman dengan Ghava atau tidak. Dia tidak begitu yakin akankah dia memang bisa melakukannya. Saat kenyataannya, dia itu adalah pria yang pernah dia sukai. Pria yang pernah menyita perhatian Arletta selama beberapa tahun. Meski begitu, Arletta juga hanya bisa menganggukkan kepalanya untuk merespon apa yang dikatakan oleh pria itu. Rasanya akan terlalu tak enak kalau dia menolaknya. Bagaimana pun, pasti niat Ghava juga baik. Agar mereka tidak lagi merasa canggung satu sama lain, saat Ghava adalah merupakan salah satu keluarga dekat Davian, suaminya. Jadi, mungkin tidak akan menjadi masalah kalau Arletta mencoba menerima permintaan Ghava untuk berteman di sana dan melupakan apa pun yang pernah terjadi di antara mereka berdua. "Davian pergi kemana?" tanya Arletta kemudian. Ya, dia mencoba mengalihkan pembicaraan mereka sekarang. "Entahlah, katanya dia harus menemui temannya. Mungkin dia juga akan segera kembali," jawab Ghava k
"Jangan melewati batas yang lebih jauh! Sena juga masih kecil, kamu juga harus ingat kalau pernikahan kita cuma sementara. Aku tidak mau hamil, aku masih mau melanjutkan sekolahku!" Tegas Arletta yang sudah memegang perutnya sendiri. Davian langsung menoleh ke arah Arletta saat gadis itu berkata demikian. Dia juga melihat Arletta yang sedang meremat perutnya sendiri. Seolah gadis itu sudah merasa ngilu sebelum dia benar-benar membuatnya hamil. Tapi, jelas Davian juga tidak akan pernah menghamilinya. Dia jelas tidak pernah sekali pun memiliki pikirannya yang seperti itu. Tidak pernah sekali pun terlintas di dalam pikirannya untuk membuat Arletta hamil di sana. Gila saja kalau dia benar-benar membuat gadis itu hamil. Pasti semuanya akan semakin merepotkan. "Jangan terlalu percaya diri. Aku juga tidak akan melakukannya," ucap Davian kemudian dengan begitu yakin. Di mana setelahnya, Davian langsung berjalan untuk memasukan obat yang berada di tangannya itu ke dalam tempat sampah yang
Melipat kedua tangannya di depan dada, sekarang Arletta tengah menatap pria yang berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Dia menatap Davia yang baru saja mengatakan pada Arletta untuk tidur lagi dan memberikan beberapa obat-obatan yang sudah diberikan padanya. Meski begitu, Arletta sekarang lebih memilih untuk tetap terdiam menatap Davia yang berdiri tak jauh dati sofa yang saat ini tengah dia duduki. Memperhatikan saat pria itu tengah berbicara dengan seseorang di seberang telfonnya. "Baiklah, kabari aku lagi kalau kalian sudah selesai," ucap Davian sebelum akhirnya mengakhiri panggilan tersebut. Dimana dia juga lantas kembali menyimpan ponselnya pada saku celana yang dia kenakan saat ini. Davian juga sudah menoleh pada gadis yang masih saja melipat kedua tangannya di depan dada. Dengan sorot mata gadis itu yang menatapnya dengan lekat, seolah penuh tanya. Bahkan, Selatan juga yakin setelah ini Arletta memang akan melayangkan beberapa pertanyaan pada dirinya. "Bukankah sudah a
Apa yang dikatakan Ghava semalam membuat Arletta benar-benar terus memikirkan hal itu. Dia benar-benar tidak mengerti sepenuhnya akan apa yang pria itu katakan padanya, akan tetapi, dia juga tidak berniat bertanya padanya secara langsung. Sebab, entah kenapa Arletta malah merasa takut jika dia mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud oleh Ghava.Untuk itu, Arletta juga lebih memilih untuk melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Ghava begitu saja setelah dia berkata demikian. Tanpa bicara apa pun lagi, Arletta lebih memilih melarikan diri. Tanpa dia memikirkan tentang pagi ini dimana dia harus kembali berhadapan dengan Ghava."Ayo keluar, Ghava mungkin sudah bangun juga. Kita harus sarapan," ucap Davian yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan pakaiannya yang sudah rapi.Arletta menoleh ke arahnya. Dia menatap Davian dengan cukup ragu. "Apa hari ini kau mau membantu Ghava?" tanya Arletta kemudian.Davian menganggukkan kepalanya. "Iya, kenapa?"
"Kalian saling mengenal bukan?" tanya Davian. Membuat Arletta menganggukkan kepalanya untuk mengiyakan. "Kalau begitu, sedekat apa kalian dulu? Karena sepertinya, Ghava memang terlihat senang sekali saat bertemu dengan kamu."Seharusnya pertanyaan yang diberikan oleh Davian adalah pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Akan tetapi, entah kenapa Arletta kesulitan untuk menjawabnya. Entah apa yang harus dia katakan pada pria itu. Dia terlalu bingungkan apakah memang harus mengatakan semuanya dengan benar atau tidak. Meski begitu, Davian kini menatapnya dengan begitu lekat. Sorot matanya menajam dengan raut wajah yang terlihat begitu dingin. Semua itu jelas membuat Arletta jadi semakin gugup dibuatnya."Sebenarnya ... Ghava itu, dia pria yang aku suka saat di sekolah dulu," jawab Arletta pada akhirnya. Ya, dia mengatakannya. Dia mengatakan yang sesungguhnya pada Davian. Sebab, Arletta merasa jika dia tidak haru mengatakan sebuah kebohongan.