Erlangga menatap pintu gedung yang masih tertutup rapat dengan tenang.
Dia sedang menerka-nerka apakah Melissa akan datang dan menikah dengannya, atau gadis itu melakukan hal yang sama seperti kakaknya?
Tapi, beberapa menit sebelum acara dimulai, ibunya sudah memberitahu bahwa Melissa sedang mengenakan gaun pengantin impian Marissa–gadis yang ia cintai sejak masa kecil.Ketika pintu terbuka lebar dan mempelai wanita berjalan beriringan bersama dengan ayahnya, Erlangga merasakan sakit hati yang luar biasa.
Meski Melissa terlihat mirip dengan Marrisa dan orang lain mungkin tidak akan tahu siapa yang kini sedang berjalan ke arahnya, tapi Erlangga bisa membedakannya.‘Seharusnya, yang berjalan sekarang menuju ke arahku adalah Marissa,’ batin Erlangga perih.
Perlahan, langkah Melissa dan ayahnya semakin mendekati altar.
Melissa terlihat mengangkat kepalanya dan menatap Erlangga melalui celah kerudung yang ia kenakan. Air mata perempuan itu menggenang di pelupuk mata.Sedih sekali rasanya bahwa pria yang seharusnya menjadi pendamping hidupnya bukan kekasihnya.
Melissa bahkan belum bertemu dengan pria itu lagi sejak sang ibu menarik dirinya tadi. Apa yang harus dia katakan pada pria itu nanti?
“Marrisa.”
Melissa sontak tersadar dari lamunannya ketika mendengar Erlangga menyebut nama sang kakak.
Tunggu, apa pria itu memanggilnya? Melissa segera mengangkat kepalanya dan menatap Erlangga.
Rasa muaknya pada saudari kembarnya meningkat semakin berlapis-lapis. Ayah Melissa yang berada di samping putrinya menyadari segalanya.
Ditatapnya Melissa dengan sedih.
“Melissa, maaf. Aku bukan ayah yang baik untukmu, aku tidak bisa berbuat apa-apa,” bisik sang ayah.
Mendengar itu, Melissa menundukkan kepalanya mencoba menyembunyikan kesedihannya walau dia tahu itu percuma. Ayahnya dan Erlangga pasti bisa menangkap semua itu.Melissa dapat merasakan genggaman ayahnya perlahan melemas. Pria itu berdehem dan menyerahkan Melissa pada Erlangga.
“Aku mohon jaga putriku dengan baik, aku menyerahkannya padamu mulai saat ini. Kebahagiaan dan kesedihannya adalah tanggung jawabmu mulai saat ini, Erlangga,” ucap Ayah Mellisa dengan suara parau.
Hati orang tua mana yang tak sakit ketika menyerahkan putri kesayangannya pada pria lain? Ditambah dengan kondisi yang tak seharusnya.
“Ya, aku akan menjaga putrimu dengan segenap hatiku,” ucap Erlangga lagi dan meraih tangan Melissa.
Untuk sepersekian detik, Melissa terperangah dengan ucapan Erlangga yang seolah ditujukan untuk dirinya. Namun, kesadarannya kembali. Erlangga memang harus “membalas” ucapan ayahnya.
Tangan Melissa kini digenggam erat oleh Erlangga–seakan meminta gadis itu untuk bersedia menjalani semua ini dengan ikhlas.
Melissa menolehkan kepalanya dan menatap Erlangga dan menemukan pria itu tersenyum sendu padanya. ‘Bodohnya kamu, Marissa. Mengapa kau meninggalkan kekasihmu di hari pernikahan?’ kutuk Melissa dalam hati.“Pengucapan janji pernikahan akan segera dimulai.”
Erlangga dan Melissa lantas menegakkan tubuh mereka dan fokus dirinya pada upacara pernikahan.
Perlahan, Erlangga bahkan mulai mengeyahkan Marrisa dari pikirannya. Fokusnya sekarang beralih menjadi sebuah pertanyaan: bagaimana menjalani pernikahan gila ini bersama saudari kembar dari gadis yang ia cintai?
“Selamat datang Melissa, selamat tinggal Marrisa,” bisik Erlangga di dalam hatinya.
***
Gedung Resepsi
Kumpulan manusia saling melempar senyuman dan menebar kebahagiaan satu sama lain. Mereka tak menyadari bahwa pemeran utama hari ini menahan rasa sakit hati.
Melissa bahkan berulang kali menarik napas dalam–setiap kali tamu undangan menyelamatinya sebagai Marissa.Katakan, wanita mana di dunia yang ingin mengalami hal konyol seperti ini?
Erlangga menyadari itu dan melirik Melissa dari ekor matanya.
Sejujurnya, ada rasa prihatin di hati untuk gadis itu. Tapi, semua sudah terjadi. Bagaimana reaksi orang-orang di sekitarnya kelak bila mengetahui bahwa pengantinnya adalah Melissa–bisa diatasi nanti.
“Apakah acara sudah selesai?” tanya Melissa parau.
Dia lelah juga berdiri berjam-jam lalu tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang mendoakan ‘pernikahannya’ dengan Erlangga agar langgeng sampai akhir.
“Kau lelah?” tanya Erlangga.
Melissa hanya menganggukkan kepalanya dengan lemah. Yang dia inginkan saat ini hanya dua, cepat pergi dari sini dan mengatasi masalah Rio.
“Baiklah, kita pulang,” ucap Melissa.
“Memangnya boleh? Orang-orang tidak akan heran?” tanya Melissa.
Erlangga berdecak pelan, siapa yang bilang lelah tadi? Giliran dia memberi jalan untuk istirahat gadis itu justru mempertanyakan keputusannya.
“Kita yang punya acara ini, kita berhak mengakhiri acara ini kapan saja,” ucap Erlangga tak acuh.
“Hentikan saja, aku sudah muak berdiri lama-lama di sini,” ucap Melissa dengan ketus.
Ia tak sadar bahwa ucapannya sedikit kasar, tapi Erlangga tak menanggapi itu.
Pria itu justru memberi isyarat pada kakaknya untuk berdiri di bawah podium untuk naik ke atas.
“Ada apa?” tanya Aira segera naik ke atas podium dan menghampiri Erlangga.“Aku ingin menyudahi acara ini. Aku dan Melissa akan pulang sebentar lagi.”
Aira lantas menganggukkan kepalanya mengiyakan ucapan adiknya.
Lagi pula, dia tahu benar bahwa bukan situasi seperti ini yang mereka semua harapkan.
Erlangga dan Melissa juga sudah berdiri berjam-jam untuk menyambut tamu yang datang. Mereka memang sebaiknya pulang.
“Baiklah, aku akan menyiapkan mobil pengantin kalian,” ucapkan Aira dengan lembut ketika menatap Melissa yang hanya tersenyum lemah pada Aira.
***
“Semoga kalian hidup bahagia!” teriak beberapa orang mendoakan Erlangga dan Melissa yang kini duduk bersebelahan dalam mobil pengantin yang sudah dihias sebegitu manisnya–sesuai selera Marissa.
Melissa hanya bisa menikmati apa yang ada dengan memasang senyum palsu untuk para tamu undangan. Begitu pun, Erlangga yang menautkan tangannya mesra untuk pertunjukan di depan para tamu undangan.Ketika akhirnya mobil berpindah meninggalkan area gedung pernikahan, senyum Melissa dan Erlangga sontak berubah menjadi muram. Melissa beberapa kali menolehkan kepalanya mengungkapkan ke arah belakang.
“Ada apa?” tanya Erlangga masih dengan pandangan lurus ke depan.
“Aku...” Melissa menggigit bibir bawahnya ragu tapi kemudian dia mengenyahkan keraguannya. “Aku tidak melihat Rio. Di mana dia?” ucap Melissa pada dirinya sendiri.
Erlangga sudah menduga Melissa pasti akan mencari kekasihnya itu.
Dengan tenang, pria itu lantas menjawabnya, “Dia tak ada di gedung pernikahan sejak aku memintamu untuk menggantikan Marissa.”
“Maksudmu apa?” tanya Melissa.
“Aku tak mungkin membiarkan dia ada di sana. Dia bisa mengacaukan acara pernikahan kita.”
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Matanya tertuju pada salah satu spot di mana sosok itu berada. Ya, dia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunannya. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Ia menggunakan pakaian serba hitam. Sayangnya, Dikta tak bisa melihat sorot mata yang tertutup oleh bayangan topi yang dikenakannya. Tak hanya dia yang puas, melainkan sosok mereka yang ada disitu pun ikut merayakan kekalahan Dikta. Ya, walaupun sementara mereka sangat yakin itu bisa menjadi peringatan agar Dikta bisa mundur dari jabatannya. Agaknya dalam hati mereka masing-masing silih berganti menghina Dikta. Atau mungkin ada yang menertawakan Dikta juga. Entahlah, pikiran Dikta berkecamuk. Bukan karena masalah diseret tapi siapa lagi yang bermain drama dengannya saat ini. Perlahan namun pasti Dikta meninggalkan kantor utamanya dengan tangan diborgol. Keluar
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Ia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunan. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Mereka sangat puas melihat Dikta, yang diseret paksa bak tersangka sesungguhnya. Agaknya Dikta berat sekali melangkahkan kakinya. Hanya saja Dikta tak bisa menangkapnya dengan jelas, karena polisi lebih dulu menyuruh Dikta untuk masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan Dikta benar-benar pasrah. Bahkan ia tak berbicara sepatah kata apapun. Diam. Dan mengikuti alur mereka inginnya seperti apa. Namun di balik diamnya Dikta, ia terus mengamati sosok itu dari belakang. Mengingat kembali semua yang dikatakan oleh mereka. Harap-harap ada klu yang menyudutkan pada sosok tersangka. Dikta juga masih ingat siapa saja yang ikut andil di dalam sana. Sehingga Dikta bertekad akan kebebasannya akan menelusuri siapa mereka. Apakah benar yang
Tampak nafas pria itu benar-benar tersenggal. Kentara sekali ia sangat kelelahan agaknya. "Ada apa? Minum dulu!" sosor Dikta seiring memberikan segelas air minum. Mengambil dan meneguk airnya dengan rasa tamak. Agaknya ia sangat kelelahan. Baik Sierra maupun Dikta masih menunggu apa yang ingin dikatakan olehnya itu. "Ada apa?" Hosh! Hosh! "Anu, Pak. Itu kantor—" Mata Dikta membulat sempurna mendengarkan hal itu. Kini tatapannya mulai menatap lekat untuk membenarkan rasa jujurnya itu. Sehingga batin Dikta dili seperti sudah dikejar seseorang. Memperhatikan keadaan kamar di manan Sierra berada. Dikta berusaha mencerna kembali 11 "Pak gawat kantor kena sidik oleh pihak terkait dan investor!" sosornya terburu-buru. "Jangan bercanda! Ini tidak lucu!" sanggah Dikta geram. Menelan salivanya kuat-kuat. Sierra hanya bisa menatapnya datar. Karena hal ini sering terjadi. Sierra hanya busa menonton kejadian klasik ini. Ia yakin Dikta pasti terkejut akan apa yang terjadi. Walaupun Sierr
Mengangguk. Ia ingin merangkul Sierra, hanya saja lengannya benar-benar tak kuasa menahan nyeri karena luka itu. Ditambah Dikta dihantam berkali-kali saat melawan Sony yang membuat salah satu tangannya kebas.“DIKTA TANGANMU TERLUKA! PAK CEPAT KE RUMAH SAKIT!”Sang pengawal pun langsung menginjak pedal gasnya begitu saja. Sierra benar-benar panik akan apa yang terjadi. Dikta hanya terkekeh melihat tingkah Sierra yang terlalu berlebihan ini. Padahal lukanya tak seberapa dengan rasa khawatirnya itu.Sesampainya di rumah sakit, malah bukan Dikta yang dilarikan untuk di tangani. Tapi malah Sierra yang dilarikan ke ruang UGD. Dikta memboyong tubuh wanita yang merintih kesakitan itu.“Sus, tolong!”Dengan sigap para perawat itu membawa Sierra berlalu menuju ruang UGD. Dikta hanya bisa menunggunya di depan ruangan dengan harap-harap cemas. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang diembannya saat ini.Ya, perjalanan yang cukup terjal dari tempat kejadian membuat Sierra mengalami pendarahan d
Tapi Bella malah menarik paksa pria itu dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini ia elu-elukan setiap malam. Jujur saja, Bella sangat merindukan Dikta kala ini. Ya, dia sangat menginginkan Dikta kembali dalam pelukannya. Kembali merajut dunia yang telah lama hilang. Ternyata Bella baru menyadari, jika Diktalah yang berhasil membangun dunianya terasa megah. Atau bisa dikatakan hanya Dikta yang bisa mengerti segala keinginannya. Bukan Noah maupun kedua orangtuanya. Bahkan bisa dikatakan jika Diktalah yang berhasil membuatnya menjadi istri yang layak. Dia berhasil mengagungkan Bella dengan segala perjuangannya yang tulus itu. Dan tak pernah Bella temukan pada Noah hingga saat ini. Andai saja waktu bisa diputar kembali, mungkin Bella takan pernah melakukan itu. Dan mungkin saja anaknya masih hidup sampai saat ini kan?Dikta menepis segala rayuan Bella yang mulai menjalari tubuhnya. Sungguhpun, Dikta jijik dan muak sekali. “Bella! Lepaskan! Kenapa kau mau menjadi jalang seperti ini,
Dari root top bangunan di seberang jalan, tepatnya di seberang kosan Sony, seorang pria mengawasi Sony yang sedang dikepung oleh Dikta dan pengawalnya.Pria itu sudah siap dengan senapan laras panjangnya, bersiap membidik target. Saat itu Dikta menanyai Sony, tapi dia diam ... tidak mau berkata jujur. Setelah dihajarpun Sony ditanya kembali oleh Dikta. “Sekarang!” perintah wanita dari telepon, kepada pria yang menggunakan penutup kepala dengan earpiece di telinganya. Dan ... DOR! Dikta dan ketiga pengawal terkejut, mereka menoleh sekeliling dan mencari sumber suara. Setelah beberapa menit barulah Dikta tahu, seseorang mencoba lari dari rooftop rumah di seberang kostan yang ditinggali oleh Sony. “Di sana! Tangkap!” perintah Dikta menunjuk ke bangunan di seberang kostan, dua pengawal langsung bergerak untuk mengejar penembak Sony. “Urus mayatnya,” titah Dikta pada dua pengawal yang sedari awal memegangi tubuh Sony, dan sekarang dua pengawal itu sedikit gemetar yang mereka
Satu persatu masalah menghampiri Dikta, hampir tak berkesudahan, satu masalah selesai satu lagi muncul. Dia hampir gila, merasa ingin menyerah saat ini karena salah satu dari masalah tersebut adalah Sierra. Istrinya itu adalah kekuatannya, harta yang ia punya satu-satunya. Sedang mengandung buah hati mereka, tapi karena termakan hasutan orang dia lebih memilih pergi meninggalkannya. Dikta tidak tahu harus mencari Sierra ke mana. Ponselnya juga tak aktif, tidak bisa dihubungi sama sekali. Dikta juga tak mendapati istrinya ada di rumah kakeknya. Dia tak tahu apakah ada tempat tinggal Sierra yang lain atau istrinya itu hanya tidur di hotel. Dikta akhirnya membiarkan istrinya itu menenangkan diri dan dia berjanji akan mengurus masalahnya supaya cepat selesai. Pagi ini Dikta pergi ke kantor seperti biasanya, hari ini kakek sudah bilang tidak akan mampir ke kantornya, kakek membantu Dikta mencarikan investor baru untuk perusahaan yang dipimpin oleh Dikta itu, pria itu bersyukur sekali.
Dikta menerima telepon dari kakek Sierra, menyuruhnya untuk segera datang ke rumah orangtua Bella. “Aku ada di apartemen, Kek,” ucap Dikta, dia seketika teringat amanah dari ayah Bella yang merupakan mertuanya dulu. “Kau harus bawa mayatku juga istriku. Tolong kebumikan kami dengan layak. Aku yakin hidupku sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi,” ucap ayah Bella sesaat sebelum dia tewas karena peluru yang bersarang di kepalanya. Dikta tak bisa untuk tidak sedih, marah dan kecewa, perasaan itu campur aduk di dalam hatinya sekarang. Karena sudah ditunggu oleh kakek, dia segera turun dan menuju ke rumah Bella lagi. Beberapa menit kemudian Dikta sampai di kediaman orangtua Bella, bunga duka sudah berjejer rapi di depan gerbang rumah, banyak mobil yang juga berderet-deret memenuhi tepi jalan. Dikta memarkirkan mobilnya, agak jauh dari kediaman mantan mertuanya itu. Dia turun kemudian melangkah masuk ke sana, orang-orang sudah datang untuk melawat. Dikta melihat ada Bella di sana y
Dikta terperangah, dia membelakakkan matanya sekarang. Kedua mantan mertuanya itu terkapar, dan malangnya di depan matanya ayah mertuanya dihabisi begitu saja. Dikta yang geram berusaha mengejar siapa penembak yang bersembunyi di gudang tadi. Dikta berlari kencang, melawan rasa sakit kepalanya akibat hantaman tongkat baseball yang mengenai kepalanya. Pria itu kabur, melesat dengan cepat berlari dari arah gudang ke depan. Dari belakang Dikta menyusul berlari kencang, seperti mengenal sosok tersebut, dia mempercepat langkah kemudian menarik jaket hitam yang dikenakan pria yang akan kabur itu. Dikta menarik dengan kedua tangannya hingga pria itu terjerembab. Pria itu menggunakan pakaian serba hitam yakni pakaian serba hitam, sepatu hitam, bertopi hitam, masker hitam dan tak lupa kedua tangannya menggunakan sarung tangan. Dikta menarik masker dan topi pria itu, membuangnya asal, dan ketika semuanya terlepas pria itu tertawa. “Hahaha ... Sudah pas bukan waktunya?” ujar Noah, dia seakan