Share

BAB.2 Pengorbanan

Erlangga menatap pintu gedung yang masih tertutup rapat dengan tenang.

Dia sedang menerka-nerka apakah Melissa akan datang dan menikah dengannya, atau gadis itu melakukan hal yang sama seperti kakaknya?

Tapi, beberapa menit sebelum acara dimulai, ibunya sudah memberitahu bahwa Melissa sedang mengenakan gaun pengantin impian Marissa–gadis yang ia cintai sejak masa kecil. 

Ketika pintu terbuka lebar dan mempelai wanita berjalan beriringan bersama dengan ayahnya, Erlangga merasakan sakit hati yang luar biasa. 

Meski Melissa terlihat mirip dengan Marrisa dan orang lain mungkin tidak akan tahu siapa yang kini sedang berjalan ke arahnya, tapi Erlangga bisa membedakannya. 

‘Seharusnya, yang berjalan sekarang menuju ke arahku adalah Marissa,’ batin Erlangga perih.

Perlahan, langkah Melissa dan ayahnya semakin mendekati altar.

Melissa terlihat mengangkat kepalanya dan menatap Erlangga melalui celah kerudung yang ia kenakan.

Air mata perempuan itu menggenang di pelupuk mata. 

Sedih sekali rasanya bahwa pria yang seharusnya menjadi pendamping hidupnya bukan kekasihnya.

Melissa bahkan belum bertemu dengan pria itu lagi sejak sang ibu menarik dirinya tadi. Apa yang harus dia katakan pada pria itu nanti?

“Marrisa.”

Melissa sontak tersadar dari lamunannya ketika mendengar Erlangga menyebut nama sang kakak.

Tunggu, apa pria itu memanggilnya? Melissa segera mengangkat kepalanya dan menatap Erlangga. 

Rasa muaknya pada saudari kembarnya meningkat semakin berlapis-lapis. Ayah Melissa yang berada di samping putrinya menyadari segalanya.

Ditatapnya Melissa dengan sedih.

“Melissa, maaf. Aku bukan ayah yang baik untukmu, aku tidak bisa berbuat apa-apa,” bisik sang ayah.

Mendengar itu, Melissa menundukkan kepalanya mencoba menyembunyikan kesedihannya walau dia tahu itu percuma. Ayahnya dan Erlangga pasti bisa menangkap semua itu.

Melissa dapat merasakan genggaman ayahnya perlahan melemas. Pria itu berdehem dan menyerahkan Melissa pada Erlangga.

“Aku mohon jaga putriku dengan baik, aku menyerahkannya padamu mulai saat ini. Kebahagiaan dan kesedihannya adalah tanggung jawabmu mulai saat ini, Erlangga,” ucap Ayah Mellisa dengan suara parau. 

Hati orang tua mana yang tak sakit ketika menyerahkan putri kesayangannya pada pria lain? Ditambah dengan kondisi yang tak seharusnya.

“Ya, aku akan menjaga putrimu dengan segenap hatiku,” ucap Erlangga lagi dan meraih tangan Melissa. 

Untuk sepersekian detik, Melissa terperangah dengan ucapan Erlangga yang seolah ditujukan untuk dirinya. Namun, kesadarannya kembali. Erlangga memang harus “membalas” ucapan ayahnya. 

Tangan Melissa kini digenggam erat oleh Erlangga–seakan meminta gadis itu untuk bersedia menjalani semua ini dengan ikhlas.

Melissa menolehkan kepalanya dan menatap Erlangga dan menemukan pria itu tersenyum sendu padanya.

‘Bodohnya kamu, Marissa. Mengapa kau meninggalkan kekasihmu di hari pernikahan?’ kutuk Melissa dalam hati.

“Pengucapan janji pernikahan akan segera dimulai.”

Erlangga dan Melissa lantas menegakkan tubuh mereka dan fokus dirinya pada upacara pernikahan. 

Perlahan, Erlangga bahkan mulai mengeyahkan Marrisa dari pikirannya. Fokusnya sekarang beralih menjadi sebuah pertanyaan: bagaimana menjalani pernikahan gila ini bersama saudari kembar dari gadis yang ia cintai? 

“Selamat datang Melissa, selamat tinggal Marrisa,” bisik Erlangga di dalam hatinya.

***

Gedung Resepsi

Kumpulan manusia saling melempar senyuman dan menebar kebahagiaan satu sama lain. Mereka tak menyadari bahwa pemeran utama hari ini menahan rasa sakit hati.

Melissa bahkan berulang kali menarik napas dalam–setiap kali tamu undangan menyelamatinya sebagai Marissa.

Katakan, wanita mana di dunia yang ingin mengalami hal konyol seperti ini?

Erlangga menyadari itu dan melirik Melissa dari ekor matanya. 

Sejujurnya, ada rasa prihatin di hati untuk gadis itu. Tapi, semua sudah terjadi. Bagaimana reaksi orang-orang di sekitarnya kelak bila mengetahui bahwa pengantinnya adalah Melissa–bisa diatasi nanti.

“Apakah acara sudah selesai?” tanya Melissa parau. 

Dia lelah juga berdiri berjam-jam lalu tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang mendoakan ‘pernikahannya’ dengan Erlangga agar langgeng sampai akhir.

“Kau lelah?” tanya Erlangga. 

Melissa hanya menganggukkan kepalanya dengan lemah. Yang dia inginkan saat ini hanya dua, cepat pergi dari sini dan mengatasi masalah Rio.

“Baiklah, kita pulang,” ucap Melissa.

“Memangnya boleh? Orang-orang tidak akan heran?” tanya Melissa.

Erlangga berdecak pelan, siapa yang bilang lelah tadi? Giliran dia memberi jalan untuk istirahat gadis itu justru mempertanyakan keputusannya.

“Kita yang punya acara ini, kita berhak mengakhiri acara ini kapan saja,” ucap Erlangga tak acuh.

“Hentikan saja, aku sudah muak berdiri lama-lama di sini,” ucap Melissa dengan ketus. 

Ia tak sadar bahwa ucapannya sedikit kasar, tapi Erlangga tak menanggapi itu. 

Pria itu justru memberi isyarat pada kakaknya untuk berdiri di bawah podium untuk naik ke atas.

“Ada apa?” tanya Aira segera naik ke atas podium dan menghampiri Erlangga.

“Aku ingin menyudahi acara ini. Aku dan Melissa akan pulang sebentar lagi.” 

Aira lantas menganggukkan kepalanya mengiyakan ucapan adiknya. 

Lagi pula, dia tahu benar bahwa bukan situasi seperti ini yang mereka semua harapkan. 

Erlangga dan Melissa juga sudah berdiri berjam-jam untuk menyambut tamu yang datang. Mereka memang sebaiknya pulang.

“Baiklah, aku akan menyiapkan mobil pengantin kalian,” ucapkan Aira dengan lembut ketika menatap Melissa yang hanya tersenyum lemah pada Aira.

***

“Semoga kalian hidup bahagia!” teriak beberapa orang mendoakan Erlangga dan Melissa yang kini duduk bersebelahan dalam mobil pengantin yang sudah dihias sebegitu manisnya–sesuai selera Marissa.

Melissa hanya bisa menikmati apa yang ada dengan memasang senyum palsu untuk para tamu undangan. Begitu pun, Erlangga yang menautkan tangannya mesra untuk pertunjukan di depan para tamu undangan. 

Ketika akhirnya mobil berpindah meninggalkan area gedung pernikahan, senyum Melissa dan Erlangga sontak berubah menjadi muram. Melissa beberapa kali menolehkan kepalanya mengungkapkan ke arah belakang.

“Ada apa?” tanya Erlangga masih dengan pandangan lurus ke depan.

“Aku...” Melissa menggigit bibir bawahnya ragu tapi kemudian dia mengenyahkan keraguannya. “Aku tidak melihat Rio. Di mana dia?” ucap Melissa pada dirinya sendiri.

Erlangga sudah menduga Melissa pasti akan mencari kekasihnya itu. 

Dengan tenang, pria itu lantas menjawabnya, “Dia tak ada di gedung pernikahan sejak aku memintamu untuk menggantikan Marissa.” 

“Maksudmu apa?” tanya Melissa.

“Aku tak mungkin membiarkan dia ada di sana. Dia bisa mengacaukan acara pernikahan kita.” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status