Share

BAB.3 Bersama Erlangga

Ucapan Erlangga membuat Melissa tercekat.

“Ka–kalian mengasingkannya?” tanya Melissa–ada hampa dalam suaranya.

“Itu harus dilakukan,” balas Erlangga tak acuh.

“Kalian semua keterlaluan,” ucap Melissa memaki Erlangga dan semua orang yang bersekongkol untuk mengasingkan Rio.

Melissa lantas melirik sopir mobil. 

“Paman, bolehkah aku pinjam ponselmu?” mohon perempuan itu sambil menengadahkan tangannya pada pria paruh baya itu.

“Baik, nona…” ucap pria itu lalu merogoh ponselnya dan memberikannya pada Melissa.

Melissa lantas menekan sederet angka yang sudah dia hafal di luar kepala dan menempelkan ponsel ke telinga.

Namun sayang, telepon tak kunjung tersambung. 

Melissa terlihat mulai frustasi dengan semuanya.

Dia ingin sekali berteriak dan memarahi orang-orang di sekelilingnya, tapi dia tahu itu perbuatan bodoh.

Melissa akhirnya mematikan ponselnya lalu memilih untuk menenangkan dirinya sambil memikirkan penjelasan apa yang akan dia berikan pada Rio nanti.

Dia menyandarkan kepalanya sambil menengadah menatap langit-langit mobil.

Tanpa ia sadari, sejak tadi Erlangga mengawasi semua gerak-geriknya.

“Aku yang akan menjelaskan semuanya pada Rio,” ucap Erlangga memecah keheningan.

Melissa menolehkan kepalanya dan menatap Erlangga dengan bingung lalu kemudian muncul satu pertanyaan dalam benaknya.

‘Apakah kita akan menjalani pernikahan ini dengan sungguh-sungguh atau hanya sebuah kebohongan?’

Seolah Erlangga dapat membaca pikiran perempuan itu, tiba-tiba dia menatap Melissa dengan dalam. 

“Walaupun menikah bukan atas nama cinta dan kita tidak menginginkan pernikahan ini, tapi pernikahan tetaplah pernikahan. Ini adalah hal sakral untukku dan bukan sebuah permainan. Kita menikah di hadapan Tuhan, dan kita berdua bersumpah sehidup semati, Melissa. Jika kamu bertanya seperti apa kita akan menjalani pernikahan ini, maka jawabannya adalah sebuah pernikahan yang sesungguhnya,” jawab Erlangga penuh penekanan.

Mendengar penjelasan itu, Melissa menelan ludahnya kasar. 

Dia mengetahui bahwa Erlangga tidak mungkin jatuh cinta dengan dirinya. Tapi, mengapa dia bersikeras ingin menjalani pernikahan ini sungguh-sungguh?

“Tapi, yang kau sematkan dalam janji pernikahan adalah Marrisa–bukan aku,” balas Melissa tak mau menerima begitu saja ucapan Erlangga.

“Itu hanya sebuah nama, Melissa. Yang terpenting adalah siapa yang ikut berjanji denganku di hadapan Tuhan,” balas Erlangga cepat.

“Erlangga, apa kau sangat frustasi karena ditinggal oleh kakakku? Kau ingin membalasnya?”

Erlangga sontak menyeringai mendengar ucapan Melissa. 

“Dia tak akan kuizinkan untuk mengganggu pikiranku lagi. Cukup sudah dia memorak-porandakan semua rencana kami. Sejak pernikahan ini telah resmi, aku sudah meninggalkannya jauh di belakangku. Mengapa kau tidak melakukan hal yang sama denganku, meninggalkan masa lalumu di belakang juga?” 

Melissa mendengus mendengar ucapan Erlangga. Dia seketika menyadari betapa egoisnya Erlangga–sama seperti kakak kembarnya.

“Kita berbeda, Erlangga. Posisinya kau ditinggalkan oleh Marrisa. Aku tahu hatimu sudah mati untuk wanita selain dirinya. Jadi, dengan siapa pun kau menikah, itu tidak akan menjadi masalah karena kau tidak mungkin jatuh cinta dengan pengantinmu itu. Sedangkan aku … aku tidak ditinggalkan oleh Rio dan kami mencintai satu sama lain,” ucap Melissa tenang.

Erlangga tertegun mendengar ucapan Melissa. 

Gadis itu 100% benar. 

Hati Erlangga sudah membeku sejak Marissa pergi meninggalkannya. Kalau Marissa pergi maka itu adalah pilihannya. Bagaimana hati Erlangga selanjutnya, itu adalah tanggung jawab pria itu sendiri.

Erlangga lantas menghela napasnya kasar.

“Kau lebih peka daripada kakakmu,” ucap Erlangga membelot dari topik utama. 

Pria itu lalu memalingkan wajahnya. Jelas sekali dia tak ingin melanjutkan perdebatan mereka.

Sejujurnya, ada perasaan bersalah dalam hatinya karena sudah menyeret Melissa sampai sejauh ini.

Melihat itu, Melissa juga membuang tatapannya ke arah luar jendela. 

Air matanya mengalir begitu saja.

Tidak ada yang memikirkan perasaannya dan Rio sama sekali di sini. 

Bagaimana dia menjalani hidupnya setelah ini?

******

Rumah Keluarga Erlangga

“Ayo turun,” ucap Erlangga ketika mobil yang ditumpangi mereka berhenti di depan halaman rumah.

Melissa lantas menatap gugup rumah Erlangga. 

Belum pernah seumur-umur ia merasakan perasaan seperti ini walaupun sudah sejak kecil dia tinggal di sini.

Melissa kemudian mencengkram gaun yang ia kenakan dengan erat. 

Perasaannya sangat tak menentu sekarang. Dia dan Erlangga pasti sudah ditunggu oleh keluarga besar mereka.

Jangan berpikir bahwa mereka akan merayakan hari bahagia ini dengan sebuah makan malam.

Mereka pasti akan membicarakan mengenai kacaunya hari ini.

Erlangga sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah dibantu oleh asistennya yang kini tengah mendorong kursi rodanya. 

Melissa menatap Erlangga dengan asing. 

Dia tak pernah berhubungan dengan kekasih kakaknya itu sejak dulu dan sekarang dia memiliki sebuah ikatan yang sangat sakral dengan pria itu.

“Kalian sudah datang?” Suara Pak Brata–ayah Erlangga–mengagetkan Melissa.

Perempuan itu kemudian menatap satu per satu orang-orang yang tengah menunggu mereka di ruang tengah.

Tampak kedua orang tuanya yang duduk berdampingan dengan gugup. Lalu, Hanna–Ibu Erlangga diapit kedua putrinya, Aira dan Mia.

“Selamat malam Tuan … Nyonya…,” ucap Melissa dengan kikuk.

“Ke marilah, nak,” ucap Hanna dengan lembut.

Melissa lantas tersenyum sekilas. 

Setidaknya, wanita itu masih lembut seperti biasanya.

Sempat Melissa pikir mereka akan berubah sikap padanya dan keluarganya.

Melissa akhirnya berjalan menuju tempat kosong di samping ibunya–duduk dengan gugup.

“Kita tentu tak menyangka bahwa kejadian seperti ini akan terjadi. Sejujurnya, aku sangat malu dengan kejadian hari ini, tapi syukurlah Melissa bisa membuat semua terlihat normal seolah tak terjadi sesuatu yang aneh,” ucap Brata dengan suara beratnya.

“Maafkan perilaku putri kami, Tuan Brata,” ucap ayah Melissa sambil menundukkan kepalanya.

Melissa menggigit bibir bawahnya menahan diri untuk mencegah ayahnya bertindak seperti itu.

Harusnya, Marrisa yang meminta maaf seperti itu. Kalau perlu, gadis itu harusnya berlutut. Bukan ayah mereka!

“Iya, maafkan kami nyonya… tuan.” Kini, giliran ibu Melissa yang berbicara.

Melissa memejamkan matanya–tak tahan lagi rasanya melihat kedua orang tuanya harus menanggung semua ini akibat perbuatan Marrisa.

Dia hendak berbicara ketika Erlangga lebih dulu memotongnya.

“Sudahlah, semua sudah terjadi. Lagi pula, tak ada masalah besar yang terjadi. Semua berjalan normal. Orang-orang tak tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi.”

Santai sekali pria itu menjawab. 

Melissa lantas menatap Erlangga dengan bengis. 

‘Justru, sekarang masalah besar mulai muncul,’ desis Melissa dalam hati.

“Melissa, aku tahu ini pasti sangat berat untukmu tapi terima kasih karena sudah membantu mengatasi semua ini,” ucap Hanna mendadak dengan senyum tulus.

Melissa menjadi tak enak. Tadinya, dia ingin sekali menyuarakan isi hatinya itu. Namun, dia tak bisa menyakiti hati ibu Erlangga. 

Dan, dia merasa bahwa semua orang seolah bersekongkol untuk tak membahas mengenai hubungannya dengan Rio.

Mereka seolah membutakan mata mereka dengan kenyataan yang ada.

“Iya, nyonya,” ucap Melissa akhirnya dengan senyum tipis.

“Baiklah. Mulai sekarang, jangan panggil kami dengan sebutan nyonya dan tuan lagi. Kita adalah besan sekarang,” ucap Pak Brata pada orang tua Melissa–sebelum kembali menatap perempuan itu, “Kau juga, nak. Panggil kami dengan sebutan Ayah dan Ibu.” 

“Hore! Kita akhirnya menjadi keluarga!” ucap Mia dengan senang. 

Dia dan Melissa sudah bersahabat sejak mereka kecil dan sekarang gadis itu menjadi saudaranya.

“Benar. Mulai sekarang, panggil aku Kakak,” timpal Aira dengan ceria.

“Baik,” balas Melissa dengan senyum lemah lalu menatap kedua orang tuanya dengan pilu.

Ya Tuhan! Dia ingin sekali memaki Marrisa.

Di mana otak kakaknya itu sampai tega-teganya meninggalkan keluarga sebaik ini?

Kakak kembarnya itu meninggalkan keluarganya dengan setumpuk masalah yang Marrisa sendiri tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.

Hanya saja, lamunan Melissa berhenti begitu mendengar ucapan Hanna yang mendadak.

“Baiklah, mari kita beristirahat! Melissa, mulai sekarang kau tinggal bersama kami. Barang-barangmu sudah dipindahkan ke kamar Erlangga, ya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status