Sebelum benar-benar tidak sadar, Ruby masih mendengar bagaimana Javier menyebut tentang Mía. Tidak dalam konteks buruk. Justru dengan hati-hati. Tentang membiarkan Pedro ada karena Mía. “Mungkin hanya kurang tidur. Aku tidak tidur terlalu nyenyak dua hari ini. Tempat baru.” Ruby memutuskan untuk diam. Kehati-hatian yang sama karena seharusnya ia tidak menimbulkan masalah. Paling tidak sampai dua minggu ini. Ruby tidak akan melawan maupun melakukan apa pun yang mengguncang rumah Rosas untuk dua minggu ini. “Yah, aku juga sama. Sulit untuk menyesuaikan diri di tempat baru.” Javier percaya dan Ruby lega. Alasannya masuk akal. “Tapi kau tidak perlu khawatir sebenarnya. Yah… Pedro memang brengsek. Tapi tidak ada yang berbuat aneh padamu selain dia. Kau bisa tenang di sini.” Kalau bisa, Ruby ingin tertawa tergelak. Javier sepertinya tidak tahu seperti apa Mía bersikap padanya. Entah terlalu buta dan menyayangi bibinya itu, atau memang ia tidak paham sifatnya. “Ini makanlah. Tita tadi
“Lebih baik kau istirahat dulu di sini.” Javier bisa melihat keadaan Ruby masih belum pulih.Wajah Ruby menghangat. Tidak ada rasa jijik seperti saat Pedro mendekatinya, atau pun Ed yang membuatnya takut.“Tidak. Aku akan kembali.” Ruby tidak akan gila dan membiarkan dirinya semakin kehilangan arah. Bersama Javier lebih lama lagi akan membuat otaknya sinting karena semakin terpesona.Terpesona pada adik iparnya saja sudah buruk, apalagi adik ipar itu adalah pastor.“Aku antar kalau begitu.”Ruby ingin menggeleng lagi, tapi Javier sudah memapah dan membantunya berjalan. Ruby mengeluh dalam hati, tapi memang membutuhkan bantuan itu. Ruby tahu tubuhnya tidak akan sampai keluar ruangan kalau berjalan sendiri.“Aku mohon kau makan dengan lebih teratur. Tubuhmu sepertinya rapuh.” Javier kembali berkomentar saat membantu Ruby menaiki undakan batu.“Oke.” Ruby tidak membantah meskipun sebenarnya merasa geli. Baru sekali ini ada orang yang mengatakan tubuhnya rapuh. Ruby tidak pernah merasa ra
“Maaf, tapi tidak ada apa pun. Semua bagian kepala Anda baik-baik saja.” Dokter yang ada di hadapan Ed menyampaikan dengan takut-takut, karena mata Ed tampak semakin menyipit.“Tapi sakitnya ada!” desis Ed.“Saya mengerti, tapi kami tidak menemukan apapun. Hasil CT scan dan yang lain sangat bersih. Tidak ada retak mau pun kelainan yang bisa kami temukan.”Dokter itu juga sangat tidak nyaman menyampaikan berita itu karena sudah mengulang prosedur ini paling tidak untuk ketiga kalinya. Dan hasilnya selalu sama tidak ada kelainan pada kepala Ed.“Jadi maksudmu aku hanya berhalusinasi dan gila?” Ed sekuat tenaga menahan diri agar tidak membentak. Dokter adalah orang yang ia harap bisa membantunya saat ini. Tapi dokter yang didatanginya malah terlihat menyerah dan tidak tahu.“Bukan gila. Anda salah paham. Ini hanya masalah psikologis.” Dokter itu semakin tidak tenang. Meski Ed mencoba untuk bicara setenang mungkin, tapi ia tahu kalau pasiennya itu menyimpan amarah.“Kau baru saja mengatak
“Sudah selesai? Astaga, cepat sekali.” Tita dengan kagum melihat deretan panci dan segala peralatan memasak yang telah bersih. Tita tadi meminta pada Ruby agar memulai terlebih dahulu, dan nanti ia akan membantu setelah selesai mengirim makanan—untuk Javier dan pekerja yang memang selalu mendapat jatah makan dari rumah itu. Tapi begitu kembali, Ruby malah sudah menyelesaikan pekerjaan mencuci perabotan kotor itu. Padahal jumlahnya cukup banyak dan hampir semua bernoda berat. "Selesai." Ruby melapor dengan puas. Setelah makan lebih teratur, tentu saja Ruby sekarang berada di dalam keadaan sehat sempurna. Bisa melakukan pekerjaan apapun tanpa beban. Ia menjadi lebih efisien saat membantu Tita. “Ya, Anda hebat sekali.” Tita dengan kebingungan melihat semua hasil kerja Ruby. Terlihat tidak wajar. “Apa Anda pernah mengerjakan hal seperti ini sebelumnya?” Tita mengambil salah satu panci yang kemarin tampak hitam, tapi kini pantatnya kembali berkilau. Ruby menggosoknya sekuat tenaga ta
“Oke.” Ruby kembali mengangguk sambil tersenyum. Ia tidak akan mundur dan mengeluh.“Anda yakin?” Pekerja itu kaget saat melihat Ruby mengambil alih gerobak sorong dari tangannya.“Ya, tapi bisa aku meminjamnya?” Ruby menunjuk topi jerami lebar yang ada di kepalanya.“Oh, silakan!” Pria setengah baya itu mengulurkan topi kepada Ruby. Topi itu lebar, Ruby memerlukannya untuk melawan terik. Kemarin malam hujan turun lebat tapi hari ini sangat cerah.“Terima kasih. Silakan lanjutkan bekerja lagi.” Ruby menangkan pria itu dengan senyumnya, sembari memakai overall anti air dan meletakkan sekop di atas gerobak, lalu mendekatkannya ke arah tumpukan kotoran bertabur lalat itu. Ruby memasang sarung tangan dan mulai mengayunkan sekop.Pria itu masih memandang Ruby beberapa saat, tapi kemudian meninggalkannya saat Ruby mulai mengangkat tumpukan kotoran kuda itu. Perintah yang diterimanya seperti itu. Tidak ada yang boleh membantu Ruby sampai selesai.“Huk!” Ruby mencoba menguatkan diri, tapi saa
“Tia!” Yang berseru itu Lori dan ia tampak ingin menolong, tapi Mìa menahan tangan keduanya. Membiarkan Ruby bersusah payah bangun. Bagian kiri tubuhnya menghitam karena lumpur.“Sudah biarkan! Dengan begini ia akan merenungi nasibnya. Ia seharusnya tidak mencoba menginjakkan kakinya di rumah ini sejak awal!” Mìa masih tertawa. Ruby mendengar semua saat berusaha membereskan kekacauan. Berusaha tenang, menyembunyikan amarahnya.“Tia Mìa, kau berlebihan.” Kembali Lori yang bicara.“Tidak. Apa yang dilakukan ayahnya pada Ed adalah berlebihan. Adalah tolol kalau ia bermimpi bisa hidup tenang di sini! Gadis murahan yang hanya bisa ” Mìa menarik tangan Lori dan Mayte yang juga tampak shock.Ruby seharusnya bersabar dan diam seperti rencana. Tapi ini adalah saat dimana Ruby merasa kalau semua penerimaannya tidak cukup. Ia mengalah, diam dan menurut. Mendengar semua cacian tidak berperasaan itu tanpa berusaha membela diri. Tapi dengan sengaja menjatuhkannya ke dalam lumpur kotoran dan masih
Ruby memandang tangan yang bergandengan itu lalu berpaling. Bukan cemburu. Ruby hanya merasa hal itu tidak pantas. Ed masih berstatus sebagai suaminya—suami Liz. Tidak seharusnya menggandeng wanita lain.“Butuh bantuan?” Ruby mendongak dan melihat tangan terulur. Lori menawarkan bantuan. Ruby memandang tangan itu karena terkejut tidak mengira agar mendapatkan bantuan dari pihak Mayte.Tapi ruby ingat kalau sejak tadi Lori tidak berniat ikut menyiksanya. Ia bahkan lebih tegas saat menegur Mìa tadi.“aku tidak akan melepaskan agar kau jatuh lagi. Aku benar-benar ingin menolong karena keadaanmu menyedihkan. Maaf saja.”Kejujuran Lori dalam menilai keadaannya malah membuat Ruby menjadi lebih santai. Sepertinya Lori tipe yang sangat terbuka.“Terima kasih, tapi tanganmu akan kotor,” tolak Ruby. Ia bukan tidak ingin menerima bantuan, tapi tubuhnya saat ini tidak untuk disentuh pada bagian manapun, terutama tangan.Ruby berdiri sambil memandang kedua tangannya yang tidak tertolong. Meski mem
“Lihat dengan jelas! Jangan memejamkan mata atau berpaling.” Tepat saat Ed mengatakannya, Mayte justru berpaling dan menggeleng. Terisak sambil menutup wajahnya.“Aku rasa tidak perlu penjelasan lagi. Kau tidak perlu bertanya lagi kenapa aku menikah dengannya.” Ed menyeringai dan mendengus.“Kau ingin aku tidak menangis saat memandangnya?! Luka itu menyakitkan, aku menangis karena membayangkanmu tersiksa!” Mayte terisak semakin keras. Kepalanya terlihat mendongak, tapi sebelum sempat memandang Ed, ia kembali berpaling dan menggeleng.“Aku tahu, dan karena itu aku tidak ingin melanjutkannya lagi. Kau tidak perlu tinggal kalau hanya karena kasihan padaku. Aku menyuruhmu pergi karena…”“Siapa yang mengatakan aku tinggal karena kasihan?” Mayte memotong lagi. Ia tidak merasa pernah menyebutnya di hadapan Ed.“Kau menyebutnya, saat mengira aku belum sadar.” Ed menyebut dengan nada datar. Saat itu ia belum mampu membuka mata apalagi bergerak, tapi suara dan percakapan di sekitarnya terdenga