“Anak itu hanya bodoh. Saya mohon. Itu anak saya satu-satunya.” Gagal mencoba beralasan, Miguel murni memohon belas kasihan. “Istriku juga hanya satu-satunya itu, dan anakmu memilih untuk menggodanya dibanding wanita lain yang ada disana,” balas Ed, sambil kembali menyesap minumannya. Melirik ke arah Marco yang perlahan, menegakkan tubuh. “Tapi… tapi… Saya mohon ampuni dia. Itu kebodohan semata, nafsu yang tidak bisa tertahan.” Miguel kembali mengiba. “Saya mohon Anda tidak membesarkan masalah ini. Saya mengerti kemarahan Anda, tapi saya rasa penyelesainnya tidak harus seperti ini. Saya yakin mereka hanya terbawa suasana dan keadaan, tidak bermaksud serius. Pergaulan di tempat itu bisa menjadi tidak jelas karena pengaruh alkohol dan obat. Orang-orang seperti itu mudah sekali melakukan kesalahan.” Marco akhirnya ikut membujuk, dengan cara yang salah. Marco mengucapkannya dengan jernih dan ramah, tapi baru saja menuduh Liz menerima godaan Carlos—bukan hanya salah Carlos kalau mereka
“Maafkan aku!” Lori langsung menghambur dan memeluk, begitu masuk ke kamar rawat. Ruby yang sedang berdiri di samping ranjang, bisa bebas menyambut pelukan itu. Dan karena sebentar lagi akan pulang, tidak ada lagi selang infus yang menganggu. Ruby bisa memeluk dan menepuk punggung Lori yang menangis.“Aku tidak mengira Carlos akan menjadi sangat bodoh dan memberimu obat itu. Aku sudah memperingatkannya berulang kali kalau ia harus berhati-hati dan tidak membuat kesalahan saat bersamamu. Telinganya tuli pasti, kalau tidak otaknya bebal!” Lori setelah itu mulai mencaci maki, dan Ruby mendengar semua sambil tersenyum. Ia tidak marah lagi pada Lori.Meski paksaannya membuat Ruby mendapat masalah besar, tapi memang benar saat itu Lori hanya ingin mereka bersenang-senang bersama. Ia tidak berniat buruk dan hanya mengikuti apa yang sekiranya cocok untuk kehidupan standar dari anak-anak orang kaya. Ruby saja yang tidak terbiasa.Dan melihat penyesalan Lori sekarang, Ruby tidak mungkin membe
“Aku hanya malas mengganti.” Ruby mengucap lirih sambil meraih ponsel yang ditenteng dengan wajah jijik oleh Lori. Mempunyai ponsel itu sepertinya setara dengan aib di kalangan orang kaya. Lori masih mendesak sambil menggelengkan kepala tidak percaya, tapi alasan itu lebih bisa diterima—tidak mengesankan Ruby harus berhemat. “Aku batalkan. Eduardo sudah benar. Ini cocok untukmu. Ia pintar karena menyesuaikan dengan kebutuhanmu. Ini manis.” Lori membatalkan tuduhan terlalu cepat itu, dan membuka kotak ponsel itu untuk Liz. “Hoo… Custom.” Lori membelalak saat melihat bagian belakang ponsel yang amat berkilau itu tidak seperti normal umumnya. Ruby menerima, dan menatap dengan takjub. Tentu saja itu ponsel paling bagus dan mewah yang pernah dimilikinya. Ponsel itu tidak besar, dan bahkan bisa dilipat menjadi lebih kecil lagi. Memang model terbaru yang biasanya hanya dilihat gambarnya oleh Ruby menempel di bus ataupun televisi. “Daun apa?” Ruby bertanya sambil menunjuk custom case yang
Ruby sama sekali tidak bergerak karena sadar kalau langkah kaki berat itu milik Ed—yang mana mengejutkan. Seharusnya pria itu tidak pulang—seharusnya ia berada di Guadalajara sampai minggu depan atau terserah kapan, tapi tidak sekarang. Ruby tentu saja semakin tidak berani membuka mata, ia terus saja memejam, dan mendengar saat pintu almari terbuka dan lainnya. “Aku tidak perlu melihat untuk tahu kau belum tidur.” Ruby memekik pastinya. Kaget—sekaligus malu. Ia membuka mata dan perlu mencari sebelum akhirnya menemukan Ed tengah duduk di salah satu kursi yang ada di dekat teras. Ia tidak menghidupkan lampu, tapi sedikit membuka tirai. Membiarkan berkas cahaya masuk. Tidak sangat terang, tapi cukup remang-remang untuk menerangi. Ruby duduk menunduk. Masih malu, dan sebagian lagi karena tidak tahu harus bicara apa. Ia melirik, dan melihat Ed juga memandangnya. “Kau menyukainya?” tanya Ed, menunjuk ponsel yang rupanya masih ada di tangan Ruby. “Oh, ya. Ini indah. Terima kasih.” D
“Hm?” Ruby mengalihkan mata dari layar, menatap Ed kembali.“Apa?” Ed bertanya balik.“Kau tadi mengatakan sesuatu.” Ruby mendengar tapi tidak jelas.“Benarkah? Aku tidak mengatakan apapun” Ed menggeleng—membantah.Ed baru menyadari kalau ia mengucapkannya dengan keras. Ia tadi bermaksud menyebutnya dalam hati saja. “Oh, oke.” Ruby ragu, karena yakin ia mendengar sesuatu. Tapi tidak mungkin berkeras kalau Ed sendiri tidak merasa menyebut sesuatu.“Kau dua puluh empat,” kata Ed, tiba-tiba.Ruby kembali berpaling. “Umur? Ya. Aku dua puluh empat.” Hal yang sangat jelas, dan Ruby tidak perlu berpikir saat menjawab, karena usianya dan Liz sama. Dan seharusnya Ed juga tahu itu.“Kau tidak terlihat seperti dua puluh empat.”Ruby akhirnya menurunkan ponsel. Gilirannya untuk sedikit tersinggung. Ia tidak mengerti kenapa Ed membahas umur dengan tiba-tiba, tapi pernyataan ‘tidak seperti 24’ menyengat juga. Seharusnya wajahnya tidak setua itu. Apalagi membahas umur adalah hal sensitif bagi wan
Kata itu serupa mantra, menumbuhkan keajaiban. Ruby merasa tubuhnya meluncur ke dalam air sejuk, mengambang pelan, diliputi kenyamanan yang sunyi. Singkat, padat, tapi tidak sederhana Ruby tahu ia tidak salah mendengar, karena melihat mata hijau itu menatapnya. Tidak berkedip maupun terlihat ragu. Mata itu lembut. “Atas semua yang terjadi—atas apa yang menyakitimu. Maaf, dan aku tidak akan melakukannya lagi.” Rasa hangat mengumpul di wajah Ruby. Menumpuk menjadi air mata. Ruby tidak tahu kalau dirinya akan memerlukannya. Ruby tidak akan pernah berani meminta maupun menuntut permintaan maaf pada Ed. Ruby sudah bersiap untuk menyesuaikan diri bahkan sebelum Ed meminta maaf. “Kau tidak seharusnya menerima semua kekasaran itu, atau pun luka. Aku mengakui semuanya sebagai kebodohan.” Ed mengulurkan satu tangannya, karena melihat kilau air mata Ruby menuruni pipi. Tapi tidak langsung mengusap. Ed menunggu sebelum menyentuh, melihat apakah Ruby bergeser atau tersentak. Tapi Ruby di
Detik tidak pernah berjalan begitu lambat untuk Ruby. Atom waktu seakan beredar lebih pelan, memberi jangka lebih panjang bagi Ruby untuk mencerna apa yang di sekitarnya.Matanya masih gelap, tangan Ed masih menutupi, tapi Ruby sama sekali tidak merasa buta. Indera yang lain mengambil alih, memberi stimulasi kuat, menegaskan segala gelitik dalam perutnya, maupun ke ujung syaraf di seluruh tubuhnya.Ed menangkup dan menahan kepala Ruby, saat merasakan kepalanya menjauh. Bukan menghindar, Ed tahu. Ruby tidak takut, hanya lemas.Dan Ed tidak membiarkannya menjauh. Tidak saat bibir mungil itu terasa begitu manis untuknya. Ed menginginkan setiap jengkal darinya, dan seluruh reaksi Ruby bagaikan api yang menyulut tubuhnya.Ruby tidak membalas dengan benar, tapi secara insting bibirnya membuka, mengundang—mengizinkan Ed untuk menjelajah.Ed memagut bibir polos yang lembut, mengusap dan memberi gigitan gemas di sudut bibirnya. Mengendus dan menghirup keharuman feeromon yang menguar hangat itu
“Aku bukan ingin kejam, tapi sepertinya hal itu tidak mungkin. Ia tidak tampak mencintaimu.” Javier dengan jujur memberi pendapat, sambil tersenyum menyesal. “Kalau benar ia ketakutan padamu, aku rasa kecil kemungkinan ia menyukamu.” Javier menandaskan. Ed melirik sejenak. Penegasan itu sedikit menyengat, tapi ia tahu Javier hanya jujur.“Well, aku sudah menawarkan padanya untuk pergi, tapi ia mengatakan akan tinggal dengan cepat. Dan tidak menolakku lagi.” Javier mengerutkan kening, mencoba mencari konteks yang dimaksud. “Oh, kalian tidur bersama lagi.” Javier terkekeh, sambil menepuk paha kakaknya. Tertawa geli. “Apa karena itu kau menyebut tentang mencintai?” Javier tertawa lagi. “Stop!” Ed mendesis. Jengkel karena dilihat bagaimana pun, tawa itu ejekan. "Hermano…” (Saudaraku) Javier menahan tawa dan meletakkan cangkirnya. Tidak lagi mengejek. “Aku rasa kau sudah tahu kalau nafsu dan cinta tidak harus selalu ada bersamaan. Tidur bersama—Wait! Kau memaksanya lagi?!” Javier