Zander melangkah pulang dengan hati berkecamuk. Dia sedang mencari celah… untuk menenangkan hatinya yang mulai runtuh oleh banyaknya rahasia. Namun setibanya di ruang tamu, ia tak disambut kehangatan. Yang menantinya adalah ibunya, Sabrina Castellvain, berdiri di ruang tengah dengan mata berkaca-kaca. Wajahnya yang biasanya lembut kini tegang, memegang lembaran cetakan laporan. Entah dari mana ia mendapatkan data itu. “Zander…” Nada suaranya lirih namun bergetar. “Kau tahu tentang Selina?” Zander mendekat, menahan napas. “Apa yang Ibu tahu?” Sabrina menatapnya dengan ekspresi hancur. “Tentang masa lalunya... tentang dia pernah hamil sebelum menikah denganmu…” Air mata jatuh membasahi pipinya. “Aku menyayanginya seperti anakku sendiri. Aku membelanya… aku yakin dia gadis baik. Tapi ternyata aku salah? Aku ini ibu macam apa sampai tak bisa melihat semua ini dari awal?” Zander menahan napas. “Ibu—” “Aku benar-benar hancur, Zander. Selama ini aku pikir dia tulus... polos… Tapi te
Kata-kata Alenka menyusup seperti racun. Dan ia tahu, bahkan pria setegar Zander sekalipun… bisa goyah jika menyangkut pertanyaan sebesar itu. Namun Zander tetap diam. Matanya perlahan menajam seperti pisau. Bukan karena percaya… tapi karena ia tahu, ada bagian dari masa lalu Selina yang belum pernah ia sentuh. Dan itu membuatnya—meski sedikit—merasa terusik. Melihat reaksi itu, Alenka semakin menjadi. “Anda pikir dia bersih? Dia pintar menyembunyikan dosa, tapi bagaimana jika itu luka yang dia timbulkan sendiri? Anda layak tahu kebenaran bahwa dia bahkan tidak layak jadi istri CEO Castellvain.” Zander menutup mata. Pelipisnya semakin berkedut mendengar kicauan tak jelas Alenka. Dia menarik napas panjang. "ASWIN!" panggilnya. BRAK! Pintu ruangan terbuka dengan keras. Aswin masuk dengan wajah dingin, matanya langsung menatap Zander, menunggu perintah. Ia sudah mendengar cukup dari luar. "Usir Nona Alenka dari ruanganku! Mulai sekarang, jangan izinkan dia memasuki perusahaan!"
Selina berpura-pura membaca berkas proyek di sofanya, padahal pikirannya sedang melalang buana. Dia masih kepikiran Alenka yang sudah melihat wajah Zander. 'Bagaimana jika dia menyebarkannya? Musuh Zander bahkan belum bisa terdeteksi. Sepertinya aku perlu melakukan sesuatu!' Selina beranjak dari sofa, mengemasi kotak makanannya yang masih bertebar di atas meja. "Mas, aku ke Pantry dulu, ya. Mau buang sampah, sekalian buat kopi," ujar Selina. Kening Zander berkerut. Pergerakan tangannya dalam mengetik langsung terhenti. Menoleh pada istrinya. "Tidak perlu. Sedikit lagi Aswin datang. Lalu kita pulang!" kata Zander sambil memeriksa arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "O-oh..., baiklah. Kalo begitu aku hanya akan buang sampah," balas Selina. Tanpa menunda lagi, Selina segera pergi membawa bekas makanannya. Langkahnya begitu cepat menuju lift. 'Alenka belum lama turun. Dia pasti masih di sini,' batinnya. Dia ingin memastikan bahwa Alenka tidak menyebarkan masa
Sinar sore menyusup tenang lewat celah jendela besar ruangan CEO Castellvain. Suasana kali ini terasa lebih santai dari biasanya, seolah ada hawa kedamaian tanpa disadari penghuninya. Kotak-kotak makanan yang tadi dibeli Selina dari seberang klinik kini sudah terbuka rapi di atas meja kerja Suaminya. Zander duduk bersandar santai di kursi kerjanya, sementara Selina duduk di sofa kecil dengan kaki bersilang, sesekali menyuapkan potongan ayam ke mulutnya dengan ekspresi puas.“Mmm… ini enak banget,” gumamnya sambil mengunyah, mata terpejam sesaat karena nikmat.Zander terkekeh pelan. “Kamu makan seperti sudah tiga hari tidak diberi makan, Selina.”Selina yang sedang mengunyah mendadak berhenti. Matanya membelalak, lalu buru-buru menutup mulutnya dengan tisu.“Eh, Mas dari tadi liatin aku ya?” gumamnya kikuk.Zander menyandarkan dagunya di telapak tangan, menatapnya tanpa malu-malu. “Iya. Kenapa?”“Jangan ditatap begitu dong... aku jadi nggak enak.” Selina menunduk, menatap nasi di ko
Tiga bulan telah berlalu sejak kedatangan Rajendra di Klinik Madam. Luka-luka di wajah Zander nyaris lenyap, setelah menjalani perawatan intensif yang ditangani Selina sendiri. Siang itu, Zander menyempatkan waktunya untuk datang ke Klinik bersama istrinya. Sementara di kantor, Aswin yang menjadi penggantinya. Zander berdiri diam di depan cermin itu. Tubuh tegapnya hanya dibalut kemeja putih terbuka di bagian atas, memperlihatkan wajah yang baru, kulit yang dulu tertutup bekas luka panjang yang membuatnya menutupi wajah selama bertahun-tahun. Ia mengangkat tangannya, menyentuh sisi wajahnya perlahan. Bekas luka itu… hampir menghilang sepenuhnya. Hanya bayangan samar yang tak akan terlihat oleh mata awam. "Pokoknya harus hilang bahkan ke berkasnya juga. Aku ingin membungkam mulut-mulut jahat yang pernah mengataimu dengan sebutan Buruk Rupa, Mas. Aku pastikan mereka akan terpukau melihat wajahmu kembali rupawan seperti sediakala." Kini, kata-kata itu terngiang kembali di kepalany
Hari telah berganti malam. Hujan akhirnya turun deras membasahi halaman depan Klinik Madam, seperti membasuh sisa ketegangan yang masih menggantung di udara. Selina duduk di sisi tempat tidur dalam ruang perawatan pribadi, menatap wajah Madam Natasya yang masih terbaring lemah. Tangannya tak lepas menggenggam tangan wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Sesekali, ia menyeka dahi Madam yang mulai sedikit berkeringat dengan handuk kecil yang dibasahi air hangat. Lampu meja menyala lembut, menyinari ruangan yang didominasi warna putih. Jam di dinding sudah menunjukkan lewat pukul sembilan malam, namun Selina belum menunjukkan tanda-tanda akan pulang. Hatinya masih digelayuti kegelisahan, terlebih sejak pria asing itu menyebut dirinya sebagai ‘putri mereka’. Memang banyak yang mengatakan dirinya dan Madam terlihat mirip. Cara bicara, pilihan busana, bahkan gestur tubuh mereka. Wajar saja, karena Madam adalah panutannya. Tapi… "Madam sepertinya sangat sensitif saat meny