Hari ini adalah hari pertama Selina menjadi sekretaris Zander. Dia memilah baju yang sekiranya pantas untuk dikenakan. Akan tetapi, baju Selina rata-rata sudah terlihat lusuh dan kusam. Lantaran, jarang sekali dia membeli pakaian baru setelah diusir dari keluarga Adinata.
“Hanya ini yang paling baik. Aku pakai yang ini saja!” monolog Selina. Dia mengambil satu set pakaian yang dia pakai saat acara formal di kampusnya dulu. Blus putih dengan rok hitam selutut. Tak lupa dia mengambil blazer hitam satu-satunya yang dia punya. Setelah memakai pakaian itu, Selina segera turun karena Zander sudah menunggu. Dia sedikit berlari menuju mobil yang sudah terparkir di halaman. Pintu mobil sudah terbuka menampakan Zander yang sudah duduk dengan tenang di sana. “Maaf..., jika aku terlalu lama,” ujar Selina dengan membungkuk kepada Zander. Mata Zander langsung menelusuri penampilan Selina dari atas hingga bawah. Dahinya nampak berkerut menandakan dia tak puas dengan penampilan Selina sekarang. “A-apa penampilanku buruk, Mas? Aku akan menggantinya kalau begitu,” kata Selina segera berbalik. “Tunggu!” kata Zander tepat sebelum Selina melangkah pergi. Selina menoleh lagi. “Masuk!” kata Zander lagi dengan gerakan kepala mengisyaratkan pada Selina untuk masuk mobil. Terpaksa Selina menurut. Mobil hitam mengilap melaju itu mulus di jalanan ibu kota. Di kursi belakang, Selina duduk diam, menatap keluar jendela. Wajahnya tenang, tapi jemarinya saling menggenggam erat, pertanda gelisah yang disembunyikan. Zander duduk di sampingnya, bersandar santai dengan sesekali melirik penampilan istrinya. "Aswin," ucap Zander datar dari balik kursi, "mampir ke toko pakaian di jalan Semanggi.” "Siap, Tuan!" jawab Aswin, asisten pribadi sekaligus sopir kepercayaannya. Selina penasaran dengan maksud Zander. Pandangannya hanya sesekali melirik suaminya, lalu kembali mematung. Mungkinkah Zander risih dengan penampilannya sehingga ingin berhenti di toko pakaian? Tak lama kemudian, mereka berhenti di sebuah toko pakaian yang nampak sangat elegan. Hanya melihat interior toko, Selina tahu harga pakaian di dalam sana tidaklah murah. "Kita mau apa ke sini, Mas?" tanya Selina pada akhirnya. Zander menoleh, "Kau sekretarisku sekarang. Aku tak mau oranglain meremehkan bawahanku hanya karena pakaian yang tidak layak seperti itu.” Kata-kata Zander menghujam tepat di hati Selina. Wanita itu hanya bisa meringis malu. Pakaian terbaiknya masih saja dianggap tidak layak. Tapi begitulah kenyataannya. Zander melangkah keluar duluan. Selina membuntuti di belakang. Pegawai toko langsung menyambut ramah kedatangan Zander. Mereka langsung merapat seperti tertarik oleh magnet tak kasat mata. “Selamat datang Tuan Zander! Ada yang bisa kami bantu?” tanya salah seorang pegawai. Zander menarik Selina yang berdiri di belakangnya, “Pilihkan beberapa set pakaian untuknya.” Para pegawai langsung berbinar. “Baik Tuan! Kami akan memberikan yang terbaik untuk Nona.” Mereka langsung menarik Selina. Beberapa pakaian langsung dijejeli kepada Selina untuk dicoba. Setelah 30 menit Selina berulang kali mencoba banyak pakaian, akhirnya ada 5 set pakaian yang dianggap Zander bagus. “Bungkus 4 lainnya. Buang pakaianmu tadi,” kata Zander pada Selina yang hanya bisa menganga. Semudah itu ya bagi orang kaya membuang-buang pakaian. Padahal satu set pakaian Selina tadi didapatkan dengan hasil menabung berbulan-bulan. Selina mengelus dada, berusaha menahan sabar. Ini masih awal, dia harus menahannya. Setelah menyelesaikan pembayaran, mereka segera melanjutkan perjalanan menuju kantor. Saat mobil mereka berhenti di depan gedung utama Castellvain Group, para pegawai yang melihat langsung membungkuk memberi salam. Namun bisik-bisik mulai terdengar saat Selina turun dari mobil. "Itu yang dinikahi Tuan Zander, kan?" "Katanya dia cuma anak angkat dari keluarga Adinata… Tapi bisa rebut posisi Alenka?" "Berani sekali muncul di sini." Selina pura-pura tak mendengar. Dia melangkah anggun, menjaga ekspresinya tetap dingin. Zander berjalan di depan, seolah tak peduli pada bisikan tajam yang menyertai langkah mereka. Di lantai eksekutif, Zander langsung mengumpulkan beberapa kepala divisi dan memperkenalkan Selina. "Ini Selina Castellvain. Mulai hari ini dia sekretarisku. Perlakukan dia seperti kalian memperlakukan sekretarisku sebelumnya." Selina sampai menoleh ke Zander. Terkejut saat namanya sudah disematkan marga Castellvain. Seolah memberikan penekanan bahwa dirinya juga sebagai istri Zander. Tak ada yang bersuara. Tapi tatapan mereka jelas tak ramah. Khususnya satu wanita muda dengan penampilan stylish dan bibir bergincu merah yang menyeringai, bernama Livia, ketua Divisi Pemasaran. Selina menyadari tatapan tak ramah itu. Dia hanya melirik sekilas pada wanita itu. Lalu berjalan mengikuti langkah Zander menuju meja kerjanya. “Ruanganmu di sini. Ada Aswin juga. Jika ada yang tidak kau tahu, tanyakan padanya,” kata Zander. “Baik Pak!” ujar Selina yang langsung mendapatkan tatapan tajam Zander. “A-anu, sekarang kan, kita di kantor. Aku hanya ingin bersikap formal seperti pegawai lainnya,” jelas Selina. Zander mendengus pelan. Namun tak bertanya lebih lanjut. Dia memilih untuk masuk ke ruangannya sendiri. Selina duduk di meja kerjanya. Dia memijat pelipisnya yang berkedut. Sekretaris? Astaga, sepertinya dia benar-benar gila. Menjadi sekretaris berarti harus belajar dari nol karena dia bukan dari jurusan bisnis.‘Aku harus memikirkan cara agar bisa menyelinap keluar dari sini.’ Selina melirik Aswin yang berada di meja depan. Aswin nampak cekatan mengerjakan pekerjaannya. Sementara Selina, masih belum ada pergerakan sama sekali. Tiba-tiba Aswin berdiri membawa setumpuk berkas yang baru saja dia print. Aswin melangkah ke meja Selina. Wanita itu mengerjap bingung saat Aswin menyerahkan setumpuk berkas itu. “Tuan ingin Anda mempelajari ini. Nona santai saja. Tuan bilang minggu pertama Anda bekerja hanya untuk penyesuaian. Semua pekerjaan yang harus Anda lakukan sudah saya jabarkan di sini,” jelas Aswin. “O-oh, terima kasih!” kata Selina seraya menerima setumpuk berkas itu. Detik demi detik terasa begitu lama. Selina hanya membolak-balikkan berkas yang diberikan Aswin tadi. Pikirannya masih fokus pada cara pelariannya. Dia harus pulang ke kediaman Adinata. Firasatnya mengatakan jika dia terlambat ke sana, Ijazahnya entah sudah diapakan oleh keluarga angkatnya. Siang hari, saat para pegawai sibuk makan siang, Selina diam-diam menyelinap keluar. Dia tahu Zander sedang rapat penting dan ini satu-satunya celah. Zander hanya memanggil Aswin untuk rapat bersamanya. Sehingga hal itu menjadi celah untuk Selina kabur. Namun saat melewati lobi, Selina bertabrakan dengan seorang wanita. Kopi panas yang dibawa wanita itu tumpah ke baju Selina. “Punya mata tidak, sih? Lihat, kopiku jadi tumpah!”Untuk menemukan informasi tambahan ternyata tak semudah yang Selina pikirkan. Isabella terlihat tertekan ketika disinggung tentang kecelakaan itu. Selina menghela napas berat, lalu berbalik menghadap Lumi, “Sudahlah…, lebih baik kita pulang dulu,” ajaknya.Lumi mendesah lelah, sebelum akhirnya mengikuti langkah Selina. Baru beberapa meter mereka berjalan, tiba-tiba terdengar suara gaduh.PLAKKK! Suara tamparan keras itu membuat Selina dan Lumi saling berpandangan. Lantas, dengan sedikit berlari, mereka melihat ke sumber suara.Di ambang pintu Panti Asuhan, ada seorang wanita dengan gaun mahal berwarna merah marun, rambut tersanggul rapi, dan wajah meradang menunjuk-nunjuk ke Isabella. Gadis yang dimarahi itu hanya menunduk dengan memegangi pipi kirinya yang tampak memerah. “Berani-beraninya kau keluar terlalu lama!” suara wanita itu melengking, penuh amarah. “Aku sudah bilang, jangan bergaul terlalu bebas di tempat ini!”Beberapa anak panti yang mendengar ribut-ribut langsung berla
Selina turun dari mobil, diikuti Lumi di belakang. Mereka memasuki perkarangan yang nampak sangat bersih dengan berbagai jenis bunga aneka warna. Di sisi kanan halaman, ada sebuah spot khusus layaknya taman bermain mini dilengkapi berbagai fasilitas bermain.“Bukan main…, tempat ini bagus banget!” decak Lumi kagum.Belum lagi ketika nampak bangunan dengan palang nama “Panti Asuhan Pelabuhan Baru” yang tampak sangat asri. Tak mewah namun juga tak sederhana. Bangunan itu tampak begitu cantik dengan arsitektur yang terlihat rapi, sedap dipandang.“Wahh…”Bibir mereka tak bisa berhenti menganga melihat kondisi Panti Asuhan yang begitu cantik. Jauh berbeda dari panti sederhana tempat asal mereka dulu. Senyum kagum sempat terbit di wajah keduanya, namun segera menghilang saat mereka mengingat tujuan datang ke sini.“Kagumnya nanti saja. Kita harus mencari Isabella,” sentak Selina lebih ke mengingatkan diri sendiri.Tanpa menunggu jawaban Lumi, Selina menyeret sahabatnya itu menuju pintu Pan
"Mana bisa seperti itu?" Suara William meninggi, membuat semua orang menoleh padanya. Tatapan semua orang membuat William seegra sadar bahwa telah kelepasan. Sabrina bahkan menatapnya dengan raut wajah tak senang serta curiga. William mengumpat dalam hati, lalu cepat-cepat berdehem untuk mencairkan suasana. "Maksudku..., Selina masih terlalu muda untuk mengemban tugas yang begitu berat. Dia juga tak mempunyai latar belakang dunia bisnis. Aku khawatir amanat almarhum justru akan memberatkannya.” Suaranya kini terukur, lebih terkendali. “Untuk sementara, lebih baik perusahaan dipimpin oleh orang yang sudah berpengalaman. Selina bisa belajar secara bertahap sampai benar-benar siap.” Pendapat itu terdengar masuk akal. Beberapa pelayat mulai menagngguk setuju. Banyak yang mernimbang Selina memang tidak layak jika harus menjadi pemimpin perusahaan. "Benar juga...," guman Sabrina dengan suara seraknya. Selina hanya bisa menunduk lantaran dia tak bisa memberikan opini yang mendukung kepa
[CEO Castellvain Group, Zander Castellvain, tewas dalam kecelakaan mengenaskan.]Judul itu menyalak di setiap portal berita, membuat saham Castellvain sempat terjerembab dan memicu badai spekulasi. Wartawan menyerbu lobi perusahaan, kamera berkilat tanpa henti, seolah haus darah. Para karyawan terperangah, seakan dunia mereka baru saja runtuh.William, juru bicara perusahaan, berdiri di tengah kerumunan. Wajahnya pucat, senyumnya hambar, mencoba tampak kokoh meski suaranya bergetar. “Mohon tenang. Kami juga baru menerima kabar mengenai kecelakaan yang menimpa Tuan Zander. Untuk saat ini, kami tengah berusaha menghubungi asistennya untuk dimintai keterangan. Jika berita itu benar, kami sangat berduka…,” ucapnya, menahan nada genting.Namun seorang wartawan menusuk dengan pertanyaan yang membuat udara membeku. “Apakah Anda belum tahu, Asisten CEO tengah kritis di Rumah Sakit Cendana?”William terpaku. Matanya membesar. “Apa?” suaranya serak, seperti tercekat. “Asisten CEO… kritis?”Gu
Zander menghadiri undangan pertemuan privat dengan seorang klien lama di ruang eksklusif sebuah hotel ternama. Lampu kristal berpendar lembut, memantulkan cahaya ke meja panjang yang dipenuhi sajian mahal. Tawa dan denting gelas beradu memenuhi udara. Beberapa klien telah berkumpul mengelilingi Zander. Kali ini hanya ada 2 orang perwakilan Castellvain Group yakni Zander dan Felicia. Akan tetapi, wajah-wajah para Klien tampak tak terkejut. Padahal biasanya selalu ada Aswin yang mendampingi Zander di setiap pertemuan. "Izinkan saya untuk bersulang dengan Anda, Tuan Zander. Proyek yang akan kita bahas ini adalah proyek besar. Saya harap kita diberikan kelancaran untuk kedepannya," ujar salah seorang Klien yang duduk paling dekat dengan Zander. "Tentu, Tuan Smith!" balas Zander, mengangkat gelasnya untuk bersulang dengan pria yang dia panggil dengan nama Smith itu. Felicia yang duduk di sampingnya ikut mengangkat gelas bersama beberapa klien lainnya. Mereka bersulang hingga m
Aswin mengangkat kepalanya perlahan. Tatapannya masih dingin, tapi kali ini ada bayangan letih di sana. Matanya lurus ke Zander."Maaf Tuan. Saya memang ada di sana," akunya. Suara Aswin terdengar serak, layaknya batu yang digerus waktu.Lumi sampai melongo tak percaya. Benarkah semua kecurigaan Selina sebelumnya. Tapi batinnya menjerit TIDAK. Mr. A yang dia kenal tak mungkin se-munafik itu. Lumi menggeleng keras. Setitik harapan masih dia gantung untuk orang yang selalu dikaguminya. Zander melangkah maju, matanya menajam. “Jelaskan.”Aswin menarik napas panjang, lalu menunduk sedikit. “Malam itu… saya melihatnya. Seseorang sedang merusak sistem rem mobil Anda, Tuan. Bukan kecelakaan. Itu sabotase.”Ruangan langsung bergetar oleh kalimat itu. Zander membeku, tangannya mengepal keras hingga buku jarinya memutih.“Siapa?” suaranya meledak, lebih seperti teriakan yang tertahan.Aswin menutup mata sejenak, lalu membuka lagi. “Saya tahu wajahnya. Aku bahkan sempat hampir menghampirinya