Matahari baru setengahnya keluar dari tempat persembunyian, tapi dapur kediaman Castellvain sudah dipenuhi dengan aroma harum kopi dan roti panggang. Para pelayan berbisik-bisik heran melihat seorang gadis muda dengan celemek dapur tengah sibuk membuat sarapan dengan gerakan cekatan.
"Apakah itu..., Nyonya muda?" bisik salah satu asisten rumah tangga.
"Astaga, biasanya keluarga Castellvain bangun tinggal sarapan, ini malah Nyonya mudanya sendiri yang masak," sahut lain dengan kagum.
Selina berkutat di dapur, memasak sesuai kemampuannya. Hidup mandiri beberapa tahun belakangan membuatnya sedikit banyak bisa menyajikan hidangan-hidangan yang layak dimakan.
Para pelayan bergegas mendekat untuk melihat hasil karya Selina. Mereka terpana melihat berbagai hidangan untuk sarapan. Ada roti panggang selai, omelet keju, dan salad segar. Mereka benar-benar kalah cepat dengan Nona muda itu.
"Nona, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya salah satu asisten rumah tangga di sana.
Selina menoleh dan tersenyum kecil. "Kalau boleh, tolong bantu susunkan makanan yang sudah matang di meja ya. Mungkin sebentar lagi, Tuan dan Nyonya akan turun untuk sarapan.”
Asisten rumah tangga itu mengangguk, lalu diikuti beberapa rekan yang lain. Rumah yang begitu megah itu, tak mengherankan bila mempunyai banyak asisten rumah tangga.
Saat sudah selesai. Selina yang sedang melepas apron melihat ada ibu mertua serta suaminya datang. Dirinya cukup ragu untuk berkata, ia takut tindakannya salah.
"Kamu memasak semua ini, Selina?" tanya Ibu mertuanya.
Dengan anggukan kecil ia menjawab, lantas melangkah mendekat, sambil melirik canggung pada suaminya. "Semoga suka," katanya pelan.
"Ayo duduk-duduk, kita sarapan." Ibu mertuanya menarik Selina untuk duduk di samping Zander. Laki-laki itu masih tak bersuara, ia hanya memuat makanan buatan istrinya ke piring tanpa menunggu diambilkan.
Selina menunggu dengan cemas saat Zander telah menyuapkan masakan buatannya. Berharap makanan itu tidak berakhir di tempat sampah.
Merasa diperhatikan, lantas Zander menoleh dengan tatapan tajamnya. "Aku tidak berniat memujimu."
Selina langsung membuang muka, karena canggung. Setidaknya ia melihat suaminya kembali menyuapkan makanan, berarti makanan itu layak diterima.
"Makanan ini enak. Kau sering memasak saat di rumah?" tanya Sabrina.
"Iya, Nyonya!” jawab Selina sambil mengangguk pelan.
Sabrina menatap gadis itu tidak enak. "Panggil mama, nak, kamu ini gimana sih? Kan, kemarin Mama udah bilang."
"I-iya, Ma.”
Sabrina tersenyum puas. Ia melirik putranya sekilas lalu berujar, "Zander, kau harus menjaga istrimu baik-baik. Tidak semua wanita mau bangun pagi untuk menyiapkan sarapan dengan tangan sendiri, apalagi di keluarga kita."
Zander mendengus pelan, pura-pura tak peduli. Tapi dari ekor matanya, dia kembali melirik Selina yang sedang tersenyum malu. Dia tak menyangkal jika kehadiran Selina membuat suasana pagi yang biasanya kaku menjadi lebih hidup.
“Ohiya, Selina. Setelah Mama pikir-pikir lagi, kamu kepada suamimu juga masih terlalu formal. Kamu masih memanggilnya dengan sebutan ‘Tuan’. Haish, kamu itu istrinya, bukan bawahannya. Jangan memanggilnya seperti itu lagi!” oceh Sabrina kepada anak menantunya.
“Ah, baik Ma. Aku akan coba lebih santai pada suamiku,” ujar Selina malu-malu.
“Bagus!” Sabrina tersenyum puas melihat Selina yang menurut. “Kau juga, Zan. Jangan mengintimidasi istrimu!” imbuh Sabrina.
Selina melirik ke arah Zander. Penasaran dengan reaksi pria itu. Ternyata Zander hanya bergumam sambil mengangguk pelan.
‘Dia setuju?’ batin Selina.
Setelah sarapan, Zander masih duduk santai di kursinya. Sementara itu, tatapannya secara tak sadar mulai lebih sering mencuri pandang ke arah Selina.
Gadis itu sibuk membereskan meja makan, berbicara sopan dengan para pelayan, dan sesekali tersenyum kecil. Ada sesuatu yang berbeda dari Selina pagi ini. Zander bahkan tak sadar ia menatap terlalu lama, sampai ibunya, berdehem kecil.
"Kau terpaku seperti itu, Zan. Apa istrimu terlihat sangat cantik?" goda Sabrina setengah berbisik.
Zander langsung mengalihkan pandangan, mendengus pelan sambil meraih koran di meja seolah tak terjadi apa-apa.
Selina yang baru menyelesaikan pekerjaannya kembali ke meja makan. Dia menatap heran dengan sikap suami dan ibu mertuanya. Tapi sekarang bukan itu hal yang terpenting.
Ada sesuatu yang harus Selina selesaikan hari ini. Dia menggeser kursinya untuk mendekat ke arah Sabrina.
"Ma, aku ingin meminta izin," ucapnya pelan dengan meremas jarinya sendiri. "Aku ingin bekerja. Aku tidak ingin ijazahku sia-sia begitu saja.”
Sabrina mengangkat alis, sempat terkejut, lalu tersenyum bijak. "Tentu saja. Tidak ada salahnya wanita bekerja, asal tahu batasannya. Kau sudah bekerja keras untuk gelarmu, Sayang. Ibu mengizinkanmu."
Namun sebelum Selina bisa bernapas lega, suara dingin Zander memotong, "Tidak!”
Semua mata langsung beralih pada pria itu. Selina menatap Zander dengan sorot mata tajam.
"Kenapa tidak… M-mas?" tanya Selina dengan sedikit terjeda lantaran hampir lupa dengan panggilannya.
Zander meletakkan korannya perlahan, menatapnya datar. "Aku tidak mau istriku berkeliaran tanpa pengawasan.”
Ada sedikit rasa ingin memberontak di dada Selina, namun ia tetap mempertahankan senyumannya. Selina segera memutar otak. Dia tak ingin menjadi burung dalam sangkar di kediaman megah ini. Apalagi urusannya di kediaman Adinata belum selesai.
Ijazahnya masih ditahan! Tidak bisa. Ijazah yang dia dapatkan dengan begitu banyak jerih payahnya sendiri selama 7 tahun. Dia pastikan akan mengambilnya lagi.
"Kalau begitu," Selina berkata dengan lembut, Mas bisa menempatkan pengawal di sisiku. Aku tak keberatan. Aku hanya ingin menggunakan keahlianku, bukan untuk yang aneh-aneh."
Zander menyipitkan mata, seolah mempertimbangkan. Ia menyandarkan tubuh di kursi, lalu melirik Selina dengan tatapan penuh arti.
"Baik," ucapnya santai. "Kalau begitu, kau boleh bekerja..."
Mata Selina langsung berbinar. Namun belum sempat menghela napas lega, Zander kembali berkata, "...tapi bukan sebagai dokter kecantikan."
Senyum Selina menghilang separuh, tergantikan dengan alis yang tertekuk. "Lalu...?"
Zander menyeringai tipis, ekspresinya mengisyaratkan sesuatu yang membuat Selina sedikit bergidik.
"Mulai besok, kau bekerja sebagai sekretarisku. Di kantorku!"
Selina membelalak. "Sekretaris?"
Zander mengangguk tenang. Selina tak pernah berpikir akan menjadi Sekretaris di sebuah perusahaan. Jurusannya kedokteran, mana bisa nyambung dengan bisnis.
Sabrina yang menyaksikan percakapan itu hanya bisa menahan tawa kecil, menikmati sikap posesif anaknya kepada menantunya.
“Zan..., jangan permainkan istrimu! Apa salahnya membiarkan dia bekerja di luar? Toh, kau bisa mengatur beberapa pengawal untuk menjaga Selina,” saran Sabrina.
Zander menggeleng. “Tidak, Ma! Dia bisa sembarangan di luar. Lebih baik di kantorku saja.”
Setelah mengatakan itu, Zander langsung bangkit dari kursinya, tak ingin dibantah. Selina meremat kedua tangannya di bawah meja. Meski dia belum pernah berkutat dengan bisnis, dia harus mencoba.
Yang penting dia bisa keluar dulu dari kediaman ini. Karena ada beberapa hal yang perlu dia persiapkan sebelum Zander menggali lebih dalam tentang dirinya.
“Baiklah. Jika itu keinginanmu Mas, aku siap menjadi sekretarismu,” kata Selina.
Matahari baru setengahnya keluar dari tempat persembunyian, tapi dapur kediaman Castellvain sudah dipenuhi dengan aroma harum kopi dan roti panggang. Para pelayan berbisik-bisik heran melihat seorang gadis muda dengan celemek dapur tengah sibuk membuat sarapan dengan gerakan cekatan. "Apakah itu..., Nyonya muda?" bisik salah satu asisten rumah tangga."Astaga, biasanya keluarga Castellvain bangun tinggal sarapan, ini malah Nyonya mudanya sendiri yang masak," sahut lain dengan kagum.Selina berkutat di dapur, memasak sesuai kemampuannya. Hidup mandiri beberapa tahun belakangan membuatnya sedikit banyak bisa menyajikan hidangan-hidangan yang layak dimakan. Para pelayan bergegas mendekat untuk melihat hasil karya Selina. Mereka terpana melihat berbagai hidangan untuk sarapan. Ada roti panggang selai, omelet keju, dan salad segar. Mereka benar-benar kalah cepat dengan Nona muda itu. "Nona, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya salah satu asisten rumah tangga di sana.Selina menoleh dan
Zander sadar dengan ketakutan di wajah Selina. Segera dia tutupi wajahnya yang luka dengan satu tangan. Lalu turun dari ranjang. Pria itu meninggalkan Selina ke ruang ganti.Membiarkan Selina terbaring dengan napas terengah. Tangannya masih bergetar. Sentuhan Zander membuatnya hampir kelepasan. "Aku harus tenang! Aku harus bisa mengendalikan traumaku terhadap pria. Dia sepertinya marah karena sikapku barusan.”Selina memilih bangkit untuk bersandar di kepala ranjang. Dia menunggu Zander keluar dari ruang ganti. Karena mulai saat ini, dia harus mulai menarik hati Zander agar keberadaannya di kediaman Castellvain tak hanya sebagai istri pajangan.10 menit kemudian, Zander keluar dari ruang ganti dengan piyama tidur yang sama dengan milik Selina. Satu alis Zander terangkat melihat Selina masih duduk bersandar tersenyum kepadanya.Satu alis Zander terangkat. Entah kenapa dia tak nyaman jika ditatap lama oleh Selina. "Tuan, saya minta maaf karena tadi tak sengaja membentak Anda tadi," uj
Selina duduk di tepi ranjang, jemarinya mencengkeram ujung piyama tidur yang tak nyaman. Ruangan megah ini terasa seperti penjara baginya. Setiap sudut rumah keluarga Castellvain dijaga. Pintu depan dijaga. Bahkan lorong menuju taman pun tak pernah benar-benar sepi.Setelah mendapatkan barang-barang dari pelayan, Selina segera mandi. Dia memilih berendam di Bathup sampai tak sadar sudah terlelap. Bangun-bangun ketika air hangat yang dia pakai sudah dingin. Selina segera beranjak dari kamar mandi.Usai berganti, kamar itu masih saja kosong. Entah kemana perginya Zander tadi. Selina mendadak gelisah. Bagaimana dengan masalah keperawanannya?Waktu itu dia dijebak saat mengikuti sebuah acara party teman SMA. Selina diberikan obat perangsang dan bangun-bangun berada di kamar hotel seseorang. Karena panik, Selina kabur dari sana dan malah terjebak dengan pria tak dikenal. Dia kehilangan keperawanan. Kejadian itu menjadi hal paling buruk yang menimpanya.“Bagaimana jika dia mencari tahu ten
Mobil pengantin berhenti di depan gerbang besar kediaman Castellvain. Gerbang besi itu terbuka pelan dengan suara derit berat, seakan menjadi peringatan untuk Selina yang baru saja resmi menjadi menantu keluarga ini.Gedung megah gaya eropa di depan sana benar-benar menakjubkan. Mobil melewati taman yang tertata rapi menjadi pemanis tambahan rumah mewah itu.Namun, Selina tak memperlihatkan rasa kagum sedikit pun. Dia duduk tenang di balik jendela mobil, seolah kemewahan itu hanya sekadar ornamen kosong.Saat pintu mobil terbuka, dia turun dengan anggun. Masih dalam gaun pengantin putih, langkahnya mantap menghampiri Sabrina, Ibu Mertuanya yang berdiri dengan senyum hangat di depan pintu utama."Selamat datang di kediaman Castellvain, Selina!" ucap Sabrina ramah.Mobil Sabrina duluan pulang di tengah acara. Katanya agar bisa menyambut kedatangan Selina di kediaman itu. Wanita paruh baya itu tak ingin mengecewakan menantunya jika datang ke sana tanpa sambutan.Selina memperhatikan seki
Helaan napas berat terdengar dari seorang wanita dengan gaun pernikahan. Selina, wanita berusia 24 tahun itu mulai melangkah, menapaki karpet putih menuju altar pernikahan. Gaun putihnya menjuntai anggun dengan train panjang yang langsung disambut desir angin lembut. Veil tipis menutupi wajahnya, namun tatapannya lesu, menyimpan ribuan rasa yang tak bisa diungkapkan. Denting piano lembut mengiringi deru napasnya yang terasa berat. Altar megah yang berdiri tegak di tengah dengan pilar-pilar yang dihiasi bunga lili putih, mawar merah muda serta dedaunan hijau segar, sama sekali tak menggugah rasa bahagia Selina. Dia menoleh ke samping, ada Suyitno Adinata, ayah angkat Selina, menggandeng tangannya, menuntun wanita itu menuju mempelai pria yang sudah menunggu di depan sana. Wajah pria paruh baya itu terlihat sumringah, seolah menjadi orang paling bahagia mengantarkan Putrinya ke Altar pernikahan. Namun apa yang ada di dalam hati Ayah angkatnya itu, Selina yang paling tahu.“Jangan meru