Selina meringis karena air panas mulai meresap ke kulitnya, dia mendongak. Dia mengenali wanita di depannya, Livia. Wanita yang sempat bersitatap dengannya tadi pagi dan memberikan tatapan permusuhan.
“Kau sengaja ya?” desis Selina.
Dari awal dia sudah melihat aura permusuhan dari wanita itu. Padahal seharusnya ini menjadi hari pertama mereka bertemu. Livia malah mendengus sinis.
“Kau ingin menggertakku, hah? Jangan kira karena kau istri Pak Zander kau bisa menindas karyawan sepertiku. Kau pikir, dengan merebut posisi istri yang seharusnya milik Alenka, semua orang bisa menghormatimu?” cerca Livia dengan suara lantang. Sengaja memancing perhatian.
Mendengar nama Alenka disebutkan, sepertinya Selina mengerti sekarang. Livia mungkin salah satu teman Adik angkatnya itu. Wanita itu sengaja mencari keributan dengannya.
Beberapa orang langsung berkumpul saat mendengar suara Livia. Mereka berbisik-bisik menyalahkan Selina meski tak tahu kejadian sebenarnya. Selina menghela napas berusaha tak kehilangan kendali.
Dia memilih pergi daripada meladeni perdebatan dengan Livia. Tetapi, Livia malah mencekal tangannya.
“Ingin pergi tanpa tanggung jawab? Bahkan kau tidak meminta maaf setelah menumpahkan kopiku. Dasar tidak punya malu!” hardik Livia.
Selina tak tahan lagi. Dia menyentak tangan Livia.
“Kau yang menabrakku dan menumpahkan kopi panasmu ke bajuku. Jangan memutar balikkan fakta! Di sini banyak CCTV, jika berani ayo kita periksa. Siapa yang salah sebenarnya?” tantang Selina.
Livia mendelik kesal karena Selina tahu tentang kamera pengawas. Dia memilih mundur karena tak ingin kedoknya terbongkar.
“Sudahlah. Aku tak ingin permasalahan ini berlanjut. Anggap saja ini karena masih hari pertamamu di sini,” ujar Alenka lantas segera pergi bersama beberapa temannya.
Selina meremat tangannya di samping badan. Jika dia tak buru-buru, dia pastikan wanita itu tak bisa mengelak seperti sekarang. Namun yang paling penting yang harus dia lakukan adalah mencari ojek untuk pergi ke kediaman Adinata.
Untungnya, mudah mendapatkan ojek di sekitar sana. Tanpa menunda waktu, Selina langsung mengarahkan menuju Kediaman Adianta.
Langkah kaki Selina terdengar nyaring di lantai marmer rumah mewah keluarga Adinata. Beberapa pelayan berusaha menghentikannya.
“Maaf Nona, Tuan Besar bilang, Anda tidak diperbolehkan untuk lancang di kediaman ini,” ujar Kepala Pelayan.
“Di mana Papa?” tanya Selina.
Belum sempat menjawab, seseorang datang, "Apa yang kau cari, Selina?"
Suara itu membuat Selina menoleh tajam. Di ambang pintu berdiri Alenka, mengenakan dress mewah berwarna merah darah. Wajahnya penuh ejekan.
Selina menarik napas dalam sebelum menghadap ke adik angkatnya.
"Di mana ijazahku?" tanya Selina, nadanya dingin namun tegas.
Alenka menyeringai. "Sudah diamankan. Kau pikir bisa dengan mudah keluar dari keluarga ini dengan membawa segalanya?"
"Aku hanya ingin yang menjadi hakku!" bentak Selina.
Tak lama, Tuan dan Nyonya Adinata muncul di belakang Alenka. Sang ayah angkat, dengan wajah garang, melipat tangan di dada.
"Selina," ucapnya pelan tapi menusuk, "ijazah itu bisa kau dapatkan kembali... jika kau melakukan bagianmu sebagai anggota keluarga ini."
Selina menatap mereka satu per satu, firasat buruk menyergap. Dia sudah melakukan tugasnya dengan menggantikan Alenka ke pernikahan itu. Apa lagi yang diinginkan mereka?
"Kau sudah menikah dengan Zander Castellvain," lanjut Dian. "Kami hanya minta satu hal… lahirkan pewaris keluarga itu. Baru setelah itu, ijazahmu akan kami berikan."
Mata Selina langsung melebar. Darahnya mendidih. “Jadi kalian ingin menjadikan aku alat pengikat keluarga? Aku bukan barang tawar-menawar! Aku sudah menyelesaikan tugasku. Sekarang berikan ijazah itu sekarang juga!”
"Jangan membentak!" bentak Suyitno. "Tanpa kami, kau bukan siapa-siapa. Ijazahmu tak akan ada artinya jika kami membekukan semua akses dan nama keluargamu!"
"Silakan!" Selina melangkah maju, tatapannya tak gentar. "Tapi ingat, kalian yang dulu meninggalkan aku. Kalian yang membuang aku seperti sampah. Dan sekarang kalian memanfaatkan aku demi keuntungan kalian sendiri?"
Selina sudah tak bisa menahan diri. Sudah berusaha bersabar menghadapi keluarga angkatnya. Namun ternyata dia masih dikhianati dengan tak memberikan Ijazahnya.
Dian menunjuk pintu. "Keluar dari rumah ini. Kami tak sudi melihat wajahmu lagi!"
Selina menahan air mata, menatap langit-langit sejenak untuk menenangkan gejolak dadanya. Namun sebelum ia sempat berbalik, suara berat dan dingin tiba-tiba menggema dari arah pintu depan.
"Drama apa yang terjadi di sini?"
Semua kepala menoleh. Mata Selina langsung membola. Zander datang bersama Aswin.
Zander berdiri di ambang pintu, masih mengenakan setelan hitamnya yang rapi. Tanpa diundang. Tanpa pemberitahuan. Tatapan matanya tajam seperti belati, menyapu seluruh ruangan. Lalu jatuh pada sosok Alenka, wanita yang seharusnya menjadi istrinya.
"Zander..." desis Alenka, setengah panik.
Dengan langkah tenang namun mengintimidasi, Zander maju ke tengah ruangan dan berdiri di samping Selina.
"Apa yang kalian lakukan pada istriku?" tanyanya pelan, tapi cukup untuk membuat udara di ruangan menegang.
"Kami hanya ingin yang terbaik untuk hubungan keluarga ini," bela Dian dengan gugup.
"Menahan ijazah Selina, memperlakukannya seperti budak? Itu 'terbaik' menurut kalian?" Zander terkekeh pelan.
Dia melirik Selina di sebelahnya. Tubuh wanita itu tampak bergetar. Lalu, kembali menatap tajam keluarga Adinata.
"Kami... kami hanya ingin memastikan dia benar-benar menjalankan perannya sebagai istri-"
Zander mengangkat tangan. Satu gerakan kecil. Tapi semua langsung diam. Mereka tak berani melawan Zander.
"Tuan Adinata," ucap Zander, datar dan mengancam, "Saya akan anggap ini sebagai pelanggaran langsung terhadap saya pribadi… kecuali ijazah Selina ada di tangan saya dalam sepuluh detik ke depan."
Tak ada yang bergerak. Zander mengisyaratkan pada Aswin untuk maju. Aswin memperlihatkan kontrak kerja sama Castellvain Group dan Adinata Group.
Dengan wajah pucat, Tuan Adinata memberi isyarat pada pembantu. Tak sampai semenit, map merah marun berisi ijazah asli Selina diserahkan ke tangan Zander.
Zander menatap isinya sejenak, lalu menyerahkannya pada Selina. “Ini milikmu.”
Selina memegangnya erat, nyaris tak percaya. Dia hanya mengangguk pelan. Tak berani menatap mata Zander.
"Selanjutnya," ujar Zander, menatap seluruh keluarga Adinata, "jangan pernah menghalangi jalanku lagi. Termasuk menyentuh apa pun yang menyangkut Selina."
Lalu ia menggandeng tangan Selina dan keluar tanpa menoleh lagi. Selina yang masih linglung karena syok dengan tindakan Zander hanya bisa mengikuti langkah Zander menuju mobil. Meninggalkan keluarga Adinata yang tak bisa membalas di depan Zander.
Kata-kata Alenka menyusup seperti racun. Dan ia tahu, bahkan pria setegar Zander sekalipun… bisa goyah jika menyangkut pertanyaan sebesar itu. Namun Zander tetap diam. Matanya perlahan menajam seperti pisau. Bukan karena percaya… tapi karena ia tahu, ada bagian dari masa lalu Selina yang belum pernah ia sentuh. Dan itu membuatnya—meski sedikit—merasa terusik. Melihat reaksi itu, Alenka semakin menjadi. “Anda pikir dia bersih? Dia pintar menyembunyikan dosa, tapi bagaimana jika itu luka yang dia timbulkan sendiri? Anda layak tahu kebenaran bahwa dia bahkan tidak layak jadi istri CEO Castellvain.” Zander menutup mata. Pelipisnya semakin berkedut mendengar kicauan tak jelas Alenka. Dia menarik napas panjang. "ASWIN!" panggilnya. BRAK! Pintu ruangan terbuka dengan keras. Aswin masuk dengan wajah dingin, matanya langsung menatap Zander, menunggu perintah. Ia sudah mendengar cukup dari luar. "Usir Nona Alenka dari ruanganku! Mulai sekarang, jangan izinkan dia memasuki perusahaan!"
Selina berpura-pura membaca berkas proyek di sofanya, padahal pikirannya sedang melalang buana. Dia masih kepikiran Alenka yang sudah melihat wajah Zander. 'Bagaimana jika dia menyebarkannya? Musuh Zander bahkan belum bisa terdeteksi. Sepertinya aku perlu melakukan sesuatu!' Selina beranjak dari sofa, mengemasi kotak makanannya yang masih bertebar di atas meja. "Mas, aku ke Pantry dulu, ya. Mau buang sampah, sekalian buat kopi," ujar Selina. Kening Zander berkerut. Pergerakan tangannya dalam mengetik langsung terhenti. Menoleh pada istrinya. "Tidak perlu. Sedikit lagi Aswin datang. Lalu kita pulang!" kata Zander sambil memeriksa arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "O-oh..., baiklah. Kalo begitu aku hanya akan buang sampah," balas Selina. Tanpa menunda lagi, Selina segera pergi membawa bekas makanannya. Langkahnya begitu cepat menuju lift. 'Alenka belum lama turun. Dia pasti masih di sini,' batinnya. Dia ingin memastikan bahwa Alenka tidak menyebarkan masa
Sinar sore menyusup tenang lewat celah jendela besar ruangan CEO Castellvain. Suasana kali ini terasa lebih santai dari biasanya, seolah ada hawa kedamaian tanpa disadari penghuninya. Kotak-kotak makanan yang tadi dibeli Selina dari seberang klinik kini sudah terbuka rapi di atas meja kerja Suaminya. Zander duduk bersandar santai di kursi kerjanya, sementara Selina duduk di sofa kecil dengan kaki bersilang, sesekali menyuapkan potongan ayam ke mulutnya dengan ekspresi puas.“Mmm… ini enak banget,” gumamnya sambil mengunyah, mata terpejam sesaat karena nikmat.Zander terkekeh pelan. “Kamu makan seperti sudah tiga hari tidak diberi makan, Selina.”Selina yang sedang mengunyah mendadak berhenti. Matanya membelalak, lalu buru-buru menutup mulutnya dengan tisu.“Eh, Mas dari tadi liatin aku ya?” gumamnya kikuk.Zander menyandarkan dagunya di telapak tangan, menatapnya tanpa malu-malu. “Iya. Kenapa?”“Jangan ditatap begitu dong... aku jadi nggak enak.” Selina menunduk, menatap nasi di ko
Tiga bulan telah berlalu sejak kedatangan Rajendra di Klinik Madam. Luka-luka di wajah Zander nyaris lenyap, setelah menjalani perawatan intensif yang ditangani Selina sendiri. Siang itu, Zander menyempatkan waktunya untuk datang ke Klinik bersama istrinya. Sementara di kantor, Aswin yang menjadi penggantinya. Zander berdiri diam di depan cermin itu. Tubuh tegapnya hanya dibalut kemeja putih terbuka di bagian atas, memperlihatkan wajah yang baru, kulit yang dulu tertutup bekas luka panjang yang membuatnya menutupi wajah selama bertahun-tahun. Ia mengangkat tangannya, menyentuh sisi wajahnya perlahan. Bekas luka itu… hampir menghilang sepenuhnya. Hanya bayangan samar yang tak akan terlihat oleh mata awam. "Pokoknya harus hilang bahkan ke berkasnya juga. Aku ingin membungkam mulut-mulut jahat yang pernah mengataimu dengan sebutan Buruk Rupa, Mas. Aku pastikan mereka akan terpukau melihat wajahmu kembali rupawan seperti sediakala." Kini, kata-kata itu terngiang kembali di kepalany
Hari telah berganti malam. Hujan akhirnya turun deras membasahi halaman depan Klinik Madam, seperti membasuh sisa ketegangan yang masih menggantung di udara. Selina duduk di sisi tempat tidur dalam ruang perawatan pribadi, menatap wajah Madam Natasya yang masih terbaring lemah. Tangannya tak lepas menggenggam tangan wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Sesekali, ia menyeka dahi Madam yang mulai sedikit berkeringat dengan handuk kecil yang dibasahi air hangat. Lampu meja menyala lembut, menyinari ruangan yang didominasi warna putih. Jam di dinding sudah menunjukkan lewat pukul sembilan malam, namun Selina belum menunjukkan tanda-tanda akan pulang. Hatinya masih digelayuti kegelisahan, terlebih sejak pria asing itu menyebut dirinya sebagai ‘putri mereka’. Memang banyak yang mengatakan dirinya dan Madam terlihat mirip. Cara bicara, pilihan busana, bahkan gestur tubuh mereka. Wajar saja, karena Madam adalah panutannya. Tapi… "Madam sepertinya sangat sensitif saat meny
Hari menjelang sore, langit tampak redup dihiasi gumpalan awan hitam. Cuaca seolah tahu sebuah kasus kejahatan akhirnya terpecahkan. Selina tersenyum melihat hujan yang bersiap-siap meluncur ke bumi dari balik jendela kaca ruangan Madam. Dia memeriksa jam di ponselnya. Seharusnya sedikit lagi Zander akan datang menjemputnya. Namun belum ada pesan yang dia terima. Hatinya semakin gelisah, masih menerka maksud Zander meninggalkan dirinya di klinik Madam. Tak lama kemudian terdengar deru beberapa mobil berhenti di depan klinik Madam. Selina memeriksa lebih dekat dengan jendela. Dahinya berkerut mendapati mobil sejenis dengan milik Zander. Merasa ada yang aneh, Selina keluar untuk memeriksa keadaan. Beberapa staf klinik yang semula sibuk bekerja, saling berpandangan khawatir saat melihat iring-iringan kendaraan mewah. Mereka khawatir efek dari persidangan tadi siang membuat Klinik Madam mendapatkan masalah baru. "Siapa mereka?" bisik seorang perawat yang berdiri dekat meja resepsi