Share

01 - Resmi Jadi Duda

Pengantin Pesanan

01 – Resmi Jadi Duda

“Selamat Dan, sudah resmi jadi duda.”

Evan, pengacara perceraian yang mewakilinya, menyerahkan amplop cokelat pada Danesh, dia menyeringai dengan senyum penuh arti pada teman sekampusnya dulu.

Danesh menerimanya dengan ekspresi campur aduk. Di dalam amplop itu ada selembar Kutipan Akta Perceraian; bukti bahwa dia sudah resmi mengakhiri hubungannya dengan Andini, mantan istrinya.

“Thanks, man.” Tanpa memeriksa isinya, Danesh memasukkan amplop itu ke dalam tas kerjanya. Dia yakin bahwa Evan melakukan tugasnya dengan baik, dia dibayar mahal untuk itu.

“So, what’s next?” tanya Evan sambil menyandar ke kursi di café salah satu Mall tempat mereka janjian untuk bertemu. Dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil memerhatikan Danesh.

“Kerja.” balas Danesh sekenanya, dia menyesap kopi hitamnya – gelas kedua hari ini.

Evan tertawa, “Enggak ada pesta perceraian gitu?” godanya, “gue udah siap-siap ngambil cuti dua hari untuk ngerayain pergantian status lo jadi duda.”

“Hahaha…” Danesh tertawa tanpa humor, “kerjaan gue banyak banget. Enggak bisa minggu ini.”

Evan menghela napasnya, “Tapi kalau untuk futsal masih ada waktu, ‘kan?”

Selalu ada waktu. Danesh selalu menyempatkan melakukan hobinya setiap minggu “Pasti, dong. Kaya biasa di tempat biasa, ‘kan?”

“Ho-oh. Si Rafi baru aja ngasih kabar kalau dia udah booking tempatnya.”

“O’ya, apa kabarnya tuh anak?”

“Oh, lagi meroket tuh bajingan satu. Proyeknya banyak.”

Danesh tersenyum mendengar nada iri yang berusaha ditutupi oleh Evan namun terbaca olehnya “Ya baguslah kalau usahanya lancar…”

Evan tertawa, dia hendak melanjutkan ketika seseorang menghampiri meja mereka.

“Bos.”

Lelaki yang dikenalnya sebagai asisten Danesh sekaligus paralegalnya, menyodorkan ponsel ke arah Danesh, “Telepon penting, Bos.”

Danesh menerima ponsel dari Ucok dan beranjak dari duduknya “Sorry gue harus terima ini.”

“Sure, Bro. Gue juga harus balik kantor. Sampai ketemu lagi!” Evan tau kapan harus pergi, dia membereskan barang-barangnya dan pamit.

Danesh hanya melambai pada Evan kemudian menyapa orang yang meneleponnya, “Halo.”

“DAN!” 

Pucuk dicinta ulam tiba. Baru saja namanya jadi topik pembicaraan ternyata Rafi meneleponnya.

“Hey, what’s up, man?” sapa Danesh santainya, dia masih menyeruput kopinya.

“GAWAT! Lo harus ke sini sekarang juga!”

“Kenapa?” tanya Danesh, mendadak saja dia duduk tegak begitu mendengar temannya berteriak. Dia melayangkan pandang awas pada Ucok, paralegalnya yang terlihat serius.

“Pokoknya lo ke sini aja, gue jelasinnya nanti…”

Alis Danesh yang tebal berkerut, “Gue masih ad—”

“Ke sini sekarang, Dan. URGENT!”

Danesh mendengus, “OK, this is better be good or—”

“Percaya deh, lo harus segera ke sini!”

*

Daneshwara terkenal sebagai pengacara bajingan.

Kebanyakan kasusnya adalah membela koruptor. Lingkaran pertemanannya high-class; terdiri dari orang-orang berpengaruh, terkenal atau penuh skandal.

Makanya tidak heran kalau kemana-mana Danesh dijaga oleh bodyguard dan seorang asisten yang merangkap paralegalnya, supirnya, kacungnya, kaki-tangannya.

Mereka bertiga bagaikan lem super; tak bisa lepas dan susah untuk dipisahkan.

“Antar ke alamat ini.” Danesh menyerahkan ponsel pada Ucok yang juga bertugas jadi sopirnya.

Ucok membaca sekilas koordinat yang dikirimkan Rafi padanya dan mengangguk, “Siap, Bos.”

Bromo, bodyguard-nya yang seorang mantan tentara bergegas membukakan pintu sebuah van yang telah dimodifikasi. Van berlapis baja itu anti peluru dengan segala keperluan kantor yang bisa mengakomodir kebutuhan seorang Pengacara Litigasi yang hobinya bermigrasi dari satu kota ke kota yang lainnya, tergantung dimana koruptor atau pejabat kena OTT.

Tak heran mantan istrinya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Danesh terlalu sibuk mondar-mandir mengurusi hidup orang lain hingga lupa mengurus hidupnya sendiri.

Lelaki blasteran Indonesia-Australia itu duduk di bagian belakang van yang sudah disulap menjadi seperti kantor dengan meja kerja, lemari, dapur kecil, sofa dan toilet yang seringkali ngadat. Dia membuka tabletnya dan kembali memeriksa berkas kasus yang sedang ditanganinya.

Van meluncur mulus mengarungi jalanan kota Jakarta yang tidak bersahabat.

Ucok, yang kemampuan menyetirnya level dewa, bisa dengan mudah mencari jalan tercepat menuju tujuan. Sepertinya GPS sudah tertanam di otaknya hingga dia bisa memperkirakan waktu perjalanan dan kecepatan van agar tidak ditilang polisi.

Kurang dari satu jam, mereka sudah sampai tujuan.

Danesh turun dari van sambil membetulkan letak kacamatanya. Matanya menyipit ketika sinar matahari yang condong ke Barat terasa terik. Refleks, dia menudungkan tangannya di atas alis. Mereka berada di sebuah perumahan di dekat Teluk Jakarta, tempat rumah-rumah mewah yang mempunyai yacht yang terparkir di garasi yang menghadap teluk.

“Bos, sebelah sini.” Ucok keluar dari van dan membawa Danesh menuju sebuah rumah paling besar yang ada di sana.

Danesh mendengus, dia menyelipkan kedua tangannya di saku celana dan berjalan santai diikuti oleh Bromo, yang menjulang tinggi besar bagai gunung di belakangnya.

Rumah yang mereka datangi dilengkapi oleh sistem keamanan yang canggih. Ucok diperiksa oleh beberapa petugas keamanan yang menyita Taser Gun yang selalu dia bawa kemana saja. Namun Ucok ngotot, dia menarik kembali Taser Gun-nya dan menyelipkannya kembali di saku celananya.

Jangan macam-macam dengan Ucok, walau badannya kecil namun lincah dan punya kemampuan bela diri yang mumpuni.

“Cok.” Panggil Danesh ketika hampir saja terjadi adu mulut antara asistennya dan petugas keamanan.

Hanya dengan sekali lirikan mata, Ucok paham maksud Danesh, dia akhirnya melemparkan Taser Gun kesayangannya ke sebuah keranjang.

“Tuh! Puas?!” serunya sebal.

Bromo yang belajar dari pengalaman Ucok mengosongkan kantongnya. Isinya beragam; sebuah Taser Gun, Pisau Swiss, sepucuk Glock Meyer 22 dan sekotak peluru.

Dia tidak pernah keluar rumah tanpa membawa perlengkapan perangnya, seolah kapan saja bisa terjadi perang sipil di tengah kota.

Sementara itu, di kantong Danesh hanya ada dompet, dua ponsel, sebungkus rokok, korek api dan semprotan merica yang sudah kadaluwarsa, dia lupa membuangnya.

Salah satu petugas mengumpulkan semuanya dan menyilakan rombongan itu masuk ke sebuah ruangan.

Mereka berjalan di lorong melewati beberapa pintu sampai akhirnya keluar melalui pintu Perancis yang membawa mereka ke halaman.

“SURPRISE…!”

Duaaarrr! Preeettt…! Preeettt…! Dhuaarrrr…!

Danesh yang baru saja menginjakkan kaki di atas rumput yang dipangkas rapi, sontak melonjak kaget ketika disambut oleh teriakan, tiupan terompet mainan dan konfeti berwarna-warni.

“CONGRATS, MAN. AKHIRNYA RESMI JADI DUDA…!”

Tawa Danesh akhirnya lepas ketika melihat Rafi, Evan dan teman-temannya datang menghampiri dengan senyuman lebar di wajah mereka.

“Damn! Gue pikir ada apaan!”

*

Author’s Note: Halo! Ketemu lagi dengan saya.

Kali ini datang membawa Pengacara Duda Ganteng! Siap-siap bucin, hahaha…!

Terima kasih atas dukungan kalian pada Suami Warisan, pada Akang Narendra, Rengganis (dan Mahesa!)

Mari kita lanjutkan petualangan ini bersama dengan Danesh dan Katya!! Woohoo…!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Herni Widjaya
Tercium aroma kebucinan mamas danesh...ouchhh duda dudaaaaaa...setelah bucin sm akang fosil, skrg otw bucin sm duda. duhhhhh...mamak author emang paling jago urusan begini. terkapar mamak inihhh......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status