“Zelda, tambahkan satu sendok gula lagi. Aku butuh manis hari ini,” ucap Margaret sambil mengaduk pelan kopinya, duduk di kursi rotan di teras belakang Thornvale Court. Angin pagi yang sejuk membuat aroma kopi dan wisteria yang mekar berbaur. “Ku dengar Julian adalah salah satu pria pengimpor wanita secara ilegal… untuk dijual.” Marvis melontarkan kalimat itu begitu saja, suaranya tenang, tapi penuh arti. Jaiden tak menjawab. Tangannya masih memegang pisau yang tadi ia gunakan untuk menusuk apel. Tapi kini benda itu sudah tak berbentuk. Tercabik di atas piring porselen putih. Dia tahu siapa Julian. Tentu saja dia tahu. Justru karena itu pikirannya kalut sejak kemarin—sejak Juliete menghilang tanpa jejak. Cekungan gelap di bawah matanya makin dalam, akibat dua malam tanpa tidur. “Kalau bisa, sore ini juga aku berangkat ke Moskow.” Suaranya terdengar serak, penuh tekanan, seolah bicara pada apel yang kini hancur di hadapannya. “Tenang.” Marvis mencondongkan tubuh ke depan, nad
“Kenapa kau memanggilku dengan nama itu? Dan siapa kau sebenarnya?” Juliete bertanya dengan nada curiga, matanya menelusuri setiap inci tubuh wanita asing itu. Wajahnya memang cantik, tapi ada sesuatu di balik senyumnya yang membuat udara dalam ruangan terasa menusuk. Gadis itu tersenyum tipis. Sebuah senyum yang ramah. Ia mengambil botol wine dari meja kecil di sudut ruangan, lalu menuangkannya ke dalam dua gelas kristal tinggi. Cairan merah pekat itu seolah memantulkan cahaya dingin dari lampu gantung di langit-langit. “Minumlah. Ini tidak beracun,” ucapnya sambil menyerahkan salah satu gelas pada Juliete. Gerakannya tenang. Juliete tidak menyentuh gelas itu. Ia hanya menatapnya—datar, tapi waspada. Wanita itu mengangkat bahu ringan, lalu meneguk gelasnya sendiri perlahan. Ia duduk di sofa, menyilangkan kaki dan menatap Juliete dari ujung rambut sampai kaki. “Namaku Sheila,” katanya akhirnya. “Aku kekasih Julian.” Ia menekankan kata kekasih seolah ingin menancapkan posis
“Kau hanya anak muda yang terlalu sombong, kau pikir hanya kerja kerasmu yang membangun ini semua? Alih-alih kau merasa bangga, Cavendish sudah berdiri sejak abad ke 18, tanpa campur tanganmu pun, nama ini adalah sejarah kau tau…?” “Kalau memang seperti itu, aku akan dengan sukarela membuang nama belakangku ini… aku bahkan tak sudi memiliki darah dari seorang pria busuk sepertimu. Dan sejak awal aku hanya anak tangga untuk semua kepentinganmu kan!” Jaiden menggeram kini langkahnya mendekat ke arah sang kakek. Berdiri tepat di seberang meja kerjanya. Mereka kini berhadapan. Saling menatap dalam sejurus pandangan tajam. August tak bergeming. Wajah tuanya tetap keras, nyaris angkuh. Ia tak pernah takut pada siapapun—termasuk cucunya sendiri. “Kau hanya anak kecil yang mudah terbakar emosi. Tak tahan sedikit tekanan, lalu menyalahkan orang lain atas semua nasib burukmu.” Suaranya masih datar, tapi dalam. Jaiden tertawa kering, menyeringai seperti binatang terluka yang kehilangan
Jaiden berdiri di hadapan Joane, tubuh wanita itu terikat kuat di kursi logam, rambutnya berantakan dan wajahnya penuh luka. Tidak sulit menangkap wanita ini—Joane sudah bersiap melarikan diri sejak kabar tentang hilangnya Juliete tersebar. Tapi bukan Jaiden Cavendish namanya jika ia tidak bisa menyeret siapa pun ke nerakanya sendiri. “Di mana kalian menyembunyikan Juliete?” desis Jaiden dingin, mencengkeram dagu Joane dengan keras, membuat wanita itu terpaksa mendongak menatapnya. Namun Joane malah menyeringai kecil, seolah tak takut pada ancaman kematian di depan matanya. “Oh… jadi kau kehilangan istrimu?” ejeknya pelan, penuh sindiran, membuat rahang Jaiden mengeras. PLAK! Tamparan keras mendarat telak di pipi Joane. Kepala wanita itu terlempar ke samping, darah merembes dari sudut bibirnya, tapi senyum itu belum hilang sepenuhnya. Para bodyguard di ruangan itu diam. Mereka tahu aturan: jika Jaiden marah, jangan ikut campur—bahkan Daniel pun tak bergerak. Daniel yang pe
Langit mendung sore itu terasa seperti cermin muram dari amarah Jaiden yang sudah mendidih sejak menerima kabar keberadaan Juliete. Mobilnya berhenti mendadak di depan gerbang utama perkebunan Walter—atau lebih tepatnya, apa yang tersisa darinya. Asap tebal masih membumbung dari bangunan yang nyaris tinggal rangka. Api mungkin sudah padam, tapi panasnya masih terasa. Bau daging hangus dan besi terbakar menyergap tajam ke hidung Jaiden saat ia melangkah keluar dari mobil. “Astaga…” gumam Oliver yang menyusul di belakang. Luka tembak di bahunya belum pulih, namun ia memaksa ikut—tak rela hanya diam sementara nyonyanya belum ditemukan. Tak ada satu pun penjaga. Tak ada mayat, hanya abu dan puing. Semuanya hancur. “Henry?” tanya Jaiden dingin pada salah satu pasukannya yang mulai menyisir reruntuhan. “Tidak ditemukan, Tuan.“ Jaiden mengerutkan kening. Rahangnya mengeras. “Juliete?” “Tidak ada jejak. Tapi… ini, kami menemukan cincin pernikahan milik Nyonya Juliete. Dibuang
Henry mendekat perlahan. Nafasnya berat, penuh hasrat menjijikkan yang tak lagi disembunyikan. Ia berjongkok di depan Juliete yang masih terikat, lalu meraih wajahnya dengan kasar. “Sekarang… kita akan bersenang-senang, Nyonya Cavendish,” desisnya, menampar pipi Juliete tanpa ampun. Juliete menjerit pelan, darah meresap di sudut bibirnya. Tapi matanya masih menyala dengan kebencian. “Dasar pengecut,” gumamnya pelan. Henry tak suka ejekan itu. Ia meraih kerah baju Juliete, menariknya kasar, hingga sebagian tubuh Juliete terangkat dari lantai. Jari-jarinya mulai menjamah dengan paksa dan kini, ketakutan itu nyata menyergap Juliete. Dia berontak, tapi ikatan di tangan dan kaki membuatnya nyaris tak berdaya. “Lepaskan aku!” teriak Juliete, air mata mulai menggenang di sudut matanya. Ini bukan karena lemah, ini karena marah. Henry menamparnya sekali lagi. Dia mulai meraba tubuh Juliete, membuka paksa kancing kemeja wanita itu. Namun, bukan Juliete namanya jika tak melawan. Bersus