Mobil hitam mewah milik Jaiden meluncur pelan menyusuri jalanan London di tengah malam. Sunyi. Jalanan kosong seperti ditelan waktu. Tapi lebih sunyi lagi—jalan di depan Juliete, jalan yang tak ia kenal dan tak bisa ia tebak arahnya.
Ia melirik keluar jendela. Kaca gelap dan tertutup rapat. Pemandangan di luar makin asing, deretan pohon cemara menjulang di kanan-kiri, membentuk koridor hitam pekat. Tak ada lampu jalan. Tak ada bangunan. Hanya rembulan yang menggantung pucat di langit, dan sinar lampu mobil yang menusuk gelapnya malam. Jantung Juliete berdegup keras. Ke mana mereka membawanya? Hutan? Atau tempat yang lebih buruk? Mobil melambat. Pagar besi tinggi muncul dari balik kabut tipis. Pintu terbuka otomatis dengan dengungan rendah. Dan di balik pagar itu—berdiri sebuah bangunan. Bukan rumah. Tapi Kastil. Tua, megah, dan terasa misterius. Bayangannya menjulang tinggi di bawah cahaya bulan. Dindingnya dipeluk sulur-sulur ivy tua. Dan di depan pintu utama—patung wanita bersayap berdiri membungkuk. Bak malaikat penjaga yang menaungi kastil ini. Daun-daun maple gugur dari pepohonan, menari pelan di udara musim gugur yang menggigit. Mobil berhenti. Sebelum Juliete sempat bertanya, kedua bodyguard sudah membuka pintu dan menarik lengannya kasar. Langkah mereka cepat. Tak ada penjelasan. Tak ada belas kasih. Juliete mencoba melawan, menepis, menggeliat. Ingin rasanya ia menonjok salah satu wajah keras itu. Tapi percuma. Tenaganya kalah. Keahliannya tidak cukup untuk menaklukkan pria sebesar itu. Langkah Juliete dipaksa melintasi ambang pintu kastil. Dan saat ia menjejakkan kaki ke dalam, matanya membesar. Mulutnya sedikit terbuka. Ia tercengang. Juliete pikir bagian dalam kastil akan sekelam dan menyeramkan seperti eksteriornya. Ia membayangkan bau lembab, dinding berlumut, dan lorong-lorong gelap. Tapi tidak. Yang ia temukan justru—keindahan yang tak terduga. Interiornya bagai istana era Victoria abad ke-18: simetris, anggun, dan terlalu mewah untuk tempat yang ia bayangkan sebagai “tempat hukuman”. Dinding-dinding batu diselimuti ukiran halus dan panel-panel kayu gelap yang dipernis mengilap. Lantai marmer putih keabu-abuan berpadu dengan pualam hitam, membentuk pola geometris yang presisi. Karpet Persia membentang di sepanjang lorong utama—warna hitam dengan benang emas, menyatu dengan nuansa temaram kastil ini. Lukisan-lukisan tua tergantung di dinding, berbingkai vigura perak yang mulai menua, tapi tetap megah. Wajah-wajah dalam lukisan itu menatap diam, menilai. Dan di langit-langit yang tinggi, lampu kristal berkilauan menggantung, membiaskan cahaya lembut ke seisi ruangan. Kilauannya tidak hangat. Tapi menawan. Juliete diseret menuruni tangga batu yang mengular tajam ke bawah tanah. Langkah-langkah berat menggema di lorong sempit yang remang, setiap anak tangga membawa napas dingin dari kedalaman yang tak dikenal. Penerangan di sepanjang dinding nyaris tak cukup. Lampu-lampu kecil berkerlap-kerlip seperti bintang mati, menciptakan bayangan panjang dan goyah. Dan saat Juliete mencapai dasar, ia menyadari satu hal. Ini bukan sekadar ruang bawah tanah. Ini aula. Besar, sunyi. Dan semuanya—serba hitam. Lantai batu hitam. Dinding hitam. Udara di dalamnya lembap dan mengendap seperti kabut pekat yang menempel di kulit. Di tengah ruangan, hanya ada satu cahaya. Lampu gantung kuningan menggantung rendah dari langit-langit lengkung, menerangi satu titik—cukup terang untuk menampilkan siluet seorang wanita yang diikat di kursi besi. Juliete menegang. Nafasnya tercekat. Wanita itu tubuhnya tertunduk, mulut ditutup paksa, kedua pergelangan tangan dan kakinya terbelenggu rantai. Rambut panjangnya kusut, bajunya robek sebagian. Wajahnya lebam, sudut pelipisnya berdarah. Dan saat wajahnya sedikit terangkat karena gerakan kecil—Juliete mengenalinya. Natalie. Seniornya di Ocean Club. Sang primadona panggung. Gadis yang beberapa jam lalu masih tersenyum memikat sambil membawa nampan di ruangan VIP. Mata Juliete membelalak. Ia berbalik ke kanan dan kiri mulai panik. Apa yang mereka lakukan padanya?Apa aku akan diperlakukan sama…? Dua bodyguard itu kembali mendekat. Satu menarik kursi besi lain ke tengah ruangan, satunya lagi sudah meraih tali dan borgol. Insting Juliete menyala. “Lepaskan aku, brengsek…!” teriaknya, menendang dengan brutal ke arah pria yang mendekat. Tubuhnya memberontak, matanya terbakar marah. Namun cengkeraman tangan para penjaga terlalu kuat. Mereka menahan tubuhnya seperti boneka rusak yang ingin dihancurkan. Juliete masih memberontak. Tubuhnya menggeliat, penuh kemarahan. Napasnya tersengal, rambutnya berantakan, matanya membara. Dan saat itu… Langkah kaki terdengar. Tenang. Berat. Penuh keangkuhan. Langkah yang tak bisa disalahartikan. Jaiden Alastair Cavendish. Pria itu muncul dari balik kegelapan. Ia melangkah perlahan ke arah Natalie. Tatapannya dalam—seperti lautan malam yang luas, dingin, dan penuh arus bawah yang mematikan. Senyum mengerikan mengembang di wajahnya. Satu tangan berada di dalam saku. Satu lagi mengangkat dagu Natalie dengan ujung jarinya. “Lihat baik-baik wanita ini, Miss Finnigan.” Suaranya membelah udara, tenang tapi mengguncang. “Dialah yang menjebakmu. Dengan trik murahannya.” Kata-kata itu menggantung di udara seperti jerat. Juliete terdiam. Natalie pun tak bersuara. Mulutnya di bungkam. Lalu Mereka hanya saling menatap dalam diam yang mencekam—jarak mereka tak sampai satu meter, tapi rasanya seperti jurang yang menganga. Dan di antara mereka, kebenaran yang menghancurkan tercipta. Jantung Juliete menghentak keras. Natalie yang diam-diam menyelipkan mancis itu ke dalam tasnya. Natalie yang menyeringai manis di VIP lounge—dan ternyata menusuk dari belakang. Amarah itu datang cepat. Mendidih. Dada Juliete terasa sesak, bukan karena ketakutan tapi pengkhianatan. Juliete dipaksa duduk di kursi besi. Tubuhnya ditekan ke sandaran keras. Tangan dan kaki ditarik kasar, lalu diikat dengan tali kulit dan rantai dingin yang menggigit pergelangan. Denting logam menggema. Ia mencoba melawan. Tapi percuma. Hanya suara napasnya yang kini terdengar makin cepat, makin berat. Lalu Jaiden bicara. “Lihat dengan jelas, Miss Finnigan…Apa yang akan kulakukan pada tikus kecil ini.” Nada suaranya tenang. Nyaris datar. Tapi justru itulah yang paling menakutkan. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Sebuah mancis emas. Kilau logam itu memantul di bawah cahaya lampu gantung seperti senyum iblis yang licik. Klik. Nyala api kecil menyala. Jaiden menunduk. Tangannya terulur dan api itu didekatkan tepat ke telapak tangan Natalie yang masih terikat. Seperti seni yang ia nikmati dalam diam. Udara panas mulai merambat. Kulit Natalie memerah, lalu melepuh. Tubuhnya menegang, menggeliat panik. Mulutnya berusaha berteriak, tapi suara hanya keluar sebagai erangan teredam di balik kain yang membungkam bibirnya. “Mmmhhh—!!” Jaiden tak bergerak. Tatapannya tetap tenang. Tak ada amarah. Tak ada kegembiraan. Hanya kehampaan yang mengerikan. Seolah ia menegaskan bukan kekejaman. Hanya pelajaran. Juliete menatap pemandangan itu, matanya membelalak. Perutnya menegang. Tapi ia tetap diam. Satu bagian dari dirinya ingin menjerit. Bagian lain hanya membeku.Juliete duduk di Bathub membelakangi Jaiden. Punggungnya menghadap lelaki itu. Seolah tak ingin membuang kesempatan Jaiden mendaratkan kecupan-kecupan lembut di sisi leher, bahu dan tulang selangka Juliete. Tangannya melingkar pinggang Juliete erat. Juliete hanya memejamkan mata, membiarkan tubuhnya bersandar pada dada bidang Jaiden. Uap air hangat yang mengepul membuat suasana makin intim. Ia masih diam, meski hatinya berdebar hebat merasakan bibir Jaiden yang terus bergerilya di sepanjang leher dan bahunya. “Betapa aku merindukan aroma tubuhmu, sayang…” bisik Jaiden, suaranya parau dan bergetar. Pelan, tangannya yang melingkari pinggang Juliete bergerak naik, menyusuri lekuk tubuh istrinya, seolah ingin memastikan dirinya tidak sedang bermimpi. Juliete menarik napas dalam, tubuhnya menegang sejenak, lalu ia membiarkannya. “Hukuman apa yang harus kuberikan padamu?” Jaiden terkekeh pelan di telinganya, lalu semakin menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Juliete, menghisapnya
“George… Lily… apa lagi keributan yang kalian buat di sekolah hari ini?” suara Juliete terdengar tegas. Ia duduk di kursi ruang keluarga sambil melipat tangan di dada. Dua anak kembar itu berdiri di depannya dengan kepala menunduk, saling melirik sekilas. Tatapan mereka sama persis—nakal, seperti sedang menahan tawa. Juliete menghela napas panjang. “Kepala sekolah bilang kalian memasukkan sampah ke dalam tas teman kalian. Astaga…” tangannya refleks mengusap pelipisnya. “Kalian ini benar-benar… kalau Papa tahu, habislah kalian.” George spontan membuka mulut, berusaha membela diri. “Itu cuma… eksperimen, Mommy.” “Eksperimen?!” Juliete menaikkan alisnya. “Ya, eksperimen… kami ingin lihat apakah sampah-sampah itu sama beratnya dengan isi buku pelajaran.” Lily menambahkan, berusaha terdengar serius. “Lalu kenapa tidak kalian masukkan sendiri sampah itu ke tas kalian.” Juliete melotot hampir kehilangan kesabaran. “Itu tidak mungkin, mommy akan marah jika kami melakukan itu.” L
Malam di Thornvale Court terasa begitu damai. Selepas makan malam, Juliete langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Perutnya masih terasa tidak nyaman sejak siang tadi. Sementara di sampingnya, Jaiden duduk santai, menatap layar iPad sambil membaca beberapa jurnal. Tiba-tiba Juliete bangkit tergesa, menahan mulas yang datang lagi. Jaiden hanya sempat mengernyit, sebelum mendengar suara istrinya muntah di kamar mandi. Ia segera menaruh iPad dan bergegas menghampiri. “Sayang, kau baik-baik saja?” Jaiden menahan bahu Juliete, khawatir melihat wajah pucat itu. Juliete membasuh wajahnya dengan air, lalu berkumur sebelum menggeleng lemah. “Seharian ini aku sudah muntah tiga kali…” bisiknya. Jaiden menatap penuh tanya. “Ada apa sebenarnya?” Juliete menggigit bibirnya, lalu mengembuskan napas pelan. “Aku sudah telat menstruasi… hampir tiga minggu.” Mata Jaiden langsung berbinar, tubuhnya mendekat cepat. “Apa itu artinya… kau—?” “Aku belum tahu pasti. Belum sempat mem
“Jaiden… kumohon, jangan buat aku menunggu lagi…” suaranya bergetar, penuh permohonan. Senyum miring muncul di wajah Jaiden. Pria itu menatap istrinya dengan tatapan intens yang membuat darah Juliete berdesir liar. “Katakan kau menyukai ini, ketika aku menidurimu...” “Ya aku suka, aku suka setiap sentuhanmu…”Juliete nyaris berteriak mengatakannya. Mendengar itu, Jaiden tak lagi menahan diri. Dorongannya kembali menghantam dengan ritme cepat dan keras, membuat tubuh Juliete tak kuasa menahan desahan panjang. “Ohhh—Jaiden!” teriaknya pecah, tubuhnya bergetar hebat. Jaiden menggertakkan rahang, menahan teriakan sendiri, tapi tak lama tubuhnya juga bergetar, melepaskan seluruh gairah yang menumpuk sejak awal. Napas mereka sama-sama tersengal, tubuh berkeringat menempel erat satu sama lain. Juliete terkulai di pelukan Jaiden, masih gemetar lemah, sementara Jaiden mengecup keningnya lembut. Juliete hanya bisa tersenyum lemah, matanya masih berkaca-kaca oleh intensitas momen
Di halaman depan Petrovka, suasana terasa haru. Semua keluarga sudah berkumpul, menatap kepergian Jaiden, Juliete, dan Luka yang sebentar lagi akan kembali ke London. Juliete tak mampu menahan air matanya saat memeluk erat sang kakak. Tangisnya pecah, tubuhnya bergetar di pelukan Julian. “Tenanglah, kau punya jet pribadi untuk bisa mengunjungiku kapan pun,” Julian menenangkan dengan senyum kecil. Tangannya mengelus puncak kepala Juliete, penuh kasih sayang seorang kakak. “Aku akan merindukanmu, kak…” suara Juliete bergetar, matanya basah memandang Julian. Dari samping, Jaiden hanya tersenyum geli melihat pemandangan itu. Ada rasa lega sekaligus bahagia, karena kini Juliete punya tempat pulang, dan sebuah keluarga yang nyata. Luka ikut mendekat, dengan wajah sendunya yang polos. “Paman, nanti sering-sering temui Luka ya… bibi Sheila juga,” ucapnya sambil memeluk Julian dan Sheila satu per satu. Sheila tersenyum, matanya ikut berkaca. “Tentu, sayang… bibi janji.” Ketika se
Juliete hanya memejamkan mata pun sesekali mendesah liar, kala Jaiden dengan lembut mengecupi bagian-bagian tubuhnya yang lain. Garis rahang, leher , tulang selangka hingga di bagian atas dada Juliete. Tangannya pun bergerilya menjalar kebagian balik punggung Juliete, melepaskan pengait Bra-nya. Hingga terbuka jelaslah bagian atas sang istri. Mata Jaiden menggelap, ketika pandangannya tertuju pada payudara milik Juliete. Jaiden menarik napas panjang, seakan berusaha menahan diri, namun jelas sekali matanya tak bisa lepas dari pemandangan di hadapannya. “I promise, I’ll fuck you harder tonight, Miss Cavendish.” bisiknya serak. Juliete masih memejamkan mata, tubuhnya menegang karena tiap sentuhan terasa menggetarkan. Ia hanya mampu menggigit bibir, menahan gelombang sensasi yang semakin menguasai dirinya. Jaiden menunduk, bibirnya menyentuh lembut kulit Juliete yang kini terekspos, lalu menelusuri dengan ciuman panjang penuh klaim. Tangannya tak kalah agresif, menggenggam pin