“Hentikan, Jaiden.”
Suara Juliete menggema. Tegas. Membentur dinding batu dan membelah udara dingin dalam aula bawah tanah. Jaiden melirik sekilas. Tapi tak menghentikan apa pun. Mancis di tangannya masih menyala, dan api itu terus menyiksa kulit Natalie yang menggeliat seperti binatang yang sekarat. Suara erangan tertahan Natalie menggema samar, menggetarkan ruang yang sunyi. “Bukankah kau menikmatinya, Miss Finnigan?” Jaiden berkata ringan, yang terdengar nyaris seperti fakta. “Dia mengkhianatimu. Menjebakmu. Kau seharusnya berterima kasih padaku.” “Tapi kau tak perlu menyiksanya.” Nada Juliete tetap keras, meski suaranya sedikit bergetar. “Jangan… mendikte caraku.” Nada suara Jaiden berubah. Dingin. Tajam. Kepalanya berpaling cepat, dan kini ia melotot lurus ke arah Juliete. Tatapan itu menusuk seperti bilah baja. Juliete refleks terdiam. Bukan karena takut… tapi karena untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasakan dentuman brutal dari otoritas yang tak bisa diganggu gugat. Klik. Api padam. Jaiden meletakkan mancis dengan tenang, lalu mulai melangkah. Langkah-langkahnya pelan. Pasti. Tanpa suara, tapi berat. Seperti malaikat maut yang sedang memilih siapa yang akan bernapas lebih lama. Ia tiba di depan Juliete. Kedua tangannya bertumpu di sisi kursi besi tempat Juliete terikat. Tubuhnya condong ke depan, hingga wajah mereka nyaris bersentuhan. Tatapan mereka bertemu. Melekat. Tajam. Juliete tak menunduk. Tidak menjauh. Ia menantang. Dan itu…itu justru membuat Jaiden tersenyum. Bukan senyum hangat. Bukan pula senyum kemenangan. Tapi senyum yang penuh rasa ingin tahu. Senyum seorang pria yang baru saja menemukan teka-teki paling menarik yang pernah ia temui. “Tatapanmu berbahaya sekali, Miss Finnigan,” bisiknya pelan. Jaiden berdiri tegak. Dengan tenang, ia menarik sebungkus rokok dari saku celananya, mengetuk ujungnya pelan di jemari. Api menyala. Asap mengepul lembut dari bibirnya—putih, lambat, beracun. Tapi matanya tak lepas dari Juliete. “Kau terlalu berani padaku, Miss Finnigan…” Suaranya berat. Lembut, tapi terasa mengguncang dinding batu. “Dan kuakui… itu mengesankan.” Juliete mendongak, menatap balik tanpa gentar. “Apa ini cara keluarga Cavendish menyelesaikan masalah?” Nada suaranya sarkastik. Penuh sindiran. Penuh risiko. Jaiden tersenyum—tipis dan dingin. Ia mengambil satu langkah ke depan, lalu tertawa kecil, tawa yang lebih seperti bunyi retak dari kaca yang siap pecah. “Masalah?” katanya. “Sayang sekali. Aku tidak menganggap ini masalah…” Ia mendekat lagi. “Aku anggap ini permainan.” Tawa kecil mengalir dari mulutnya. Tapi mata itu—tetap tajam. Tetap gelap. Dan tiba-tiba— Tangannya masuk ke balik jas. Kilau logam muncul dari balik jasnya. Pistol. Juliete membeku. Kilatan baja perak di bawah cahaya lampu membuat darahnya berdesir dingin. Tubuhnya masih terikat. Tak bisa mundur. Tak bisa menghindar. Tapi matanya tetap mengunci Jaiden. Tidak tunduk. Tidak gentar. Satu tangan Jaiden melingkar tenang di batang rokok, sementara tangan lainnya menggenggam pistol perak itu dengan mantap. Asap tipis masih mengepul dari bibirnya saat ia menatap lurus ke arah Juliete. “Di dalam pistol ini,” katanya pelan, “hanya ada satu peluru.” Ia mengangkat senjatanya sedikit, membiarkannya menangkap cahaya. “Jadi… untuk siapa sebaiknya kuarahkan peluru ini, Miss Finnigan?” Senyum menyeringai muncul di wajahnya—dingin, penuh permainan. Juliete membalas tatapannya, rahangnya mengeras. Tak ada rasa takut. Hanya muak. “Arahkan saja pada dirimu sendiri.” Jawabannya tajam. Ketus. Alis Jaiden terangkat pelan. Ia tertawa kecil—bukan karena geli, tapi karena terkejut. “Jawaban yang cerdas.” Suaranya tetap tenang. Lalu… dengan santai, ia mengangkat pistol itu—dan mengarahkannya tepat ke kepala Juliete. Juliete terkejut. Matanya membelalak sesaat. Tapi ia tidak menjerit. Tidak bergerak. Darahnya membeku, tapi sorot matanya tetap menantang. Mereka saling menatap dalam diam. Udara terasa tebal. Waktu seolah berhenti. Lalu—klik. Bunyi kecil dari pelatuk yang ditarik… tapi tak melepaskan apa pun. Kosong. Jaiden menyeringai lebih lebar. “Sayang sekali, bukan giliranmu.” “Dasar kau pria gila!” Juliete membentak, napasnya masih terputus-putus. Jantungnya berdentum di telinga—karena nyawanya… barusan hampir dicabut. Tapi Jaiden hanya tertawa. Tawa rendah dan ringan, seolah yang baru saja terjadi tak lebih dari permainan catur sore hari. Dan yang lebih gila lagi—dia terlihat puas. Bukan karena Juliete menangis. Tapi karena ia tidak menangis. Wajahnya tidak pucat. Tatapannya masih tajam. Mulutnya masih berani menyebutnya gila. Menarik. Sangat menarik. Lalu perlahan…Tanpa peringatan…pistol itu beralih arah. Dari kepala Juliete—Ke arah Natalie. Letusan senjata memekakkan telinga, mengguncang ruangan seperti dentuman neraka. Juliete terkejut. Seketika tubuhnya membeku. Darah menyembur dari tubuh Natalie—mengenai wajah dan kostumnya, juga menodai jas hitam Jaiden. Natalie menggelepar di kursinya. Tubuhnya berguncang keras, lalu…diam. Mati. Begitu saja. Dan Jaiden? Tetap tenang. Wajahnya datar, seolah barusan hanya menutup jendela yang berderit terlalu keras. Juliete terdiam. Dadanya bergemuruh. Sesuatu dalam dirinya mendidih, memuncak, lalu meledak. “KAU PSIKOPAT! GILA—!!” teriaknya histeris. “KAU MEMBUNUHNYA! SEPERTI MEMBUNUH SERANGGA—!” Matanya membelalak, napas memburu, tubuhnya menggeliat dalam ikatan rantai yang dingin. Amarah. Syok. Jijik. Semua membakar satu-satu hingga nyaris melahap kewarasannya. Tapi pria di depannya hanya berdiri diam. Tak berkedip. Tak terguncang. Seolah kematian adalah hal biasa. Seolah… ia adalah Tuhan. “Ini akibatnya,” bisik Jaiden, nyaris tak terdengar tapi tajam menusuk. “Jika ada yang ingin bermain-main dengan Cavendish.” Langkahnya pelan, suara seperti napas maut. “Dan kuharap…Kau mengambil pelajaran dari semua ini.” Kalimat itu masuk ke telinga Juliete seperti bilah belati—dingin, ramping, siap mengiris tanpa ampun. Juliete tak bisa bicara. Tubuhnya diam. Tapi pikirannya berputar—liar, cepat, kacau. Pria ini bukan manusia biasa. Dia penguasa di alamnya sendiri. Dan salah satu langkah saja… nyawa taruhannya. Jaiden menunduk sedikit. Wajah mereka dekat. Napasnya menyentuh pipi Juliete, seperti embusan racun yang manis. “Sekarang… berlarilah Kemanapun kau mau.” “Dan jangan sampai kutemukan…” “Run, Miss Finnigan. Run.” Dengan gerakan perlahan, ia melepaskan ikatan di pergelangan tangan Juliete. Lalu pergelangan kaki. Suara rantai yang jatuh ke lantai terdengar nyaring di antara keheningan. Tapi… Juliete tidak lari. Api dalam dadanya belum padam. Amarah masih menggelegak. Tubuhnya boleh lelah, tapi hatinya menyala. Ia memandangi tubuh Natalie yang tergeletak—dingin, tak bernyawa. Darah masih menetes perlahan ke lantai. Dan Jaiden? Ia berdiri di tengah ruangan seperti tak terjadi apa-apa. Juliete ingin melawan. Ia adalah calon pengacara. Keadilan bukan teori. Itu prinsip. Dan malam ini… dunia telah menampar wajahnya. Kini, gilirannya membalas. Tanpa peringatan—PLAKK! Tamparan Juliete mendarat keras di pipi Jaiden. Kepala pria itu sedikit berputar oleh hantaman tajam yang tak disangka. Sunyi. Juliete berdiri. Nafasnya memburu. Matanya membakar. “Aku bukan tikus,” ucapnya pelan. “Dan kau bukan Tuhan.”Hari-hari berlalu di Blackvale Manor. Lambat. Nyaris tak bergerak. Segalanya berjalan seperti putaran jam yang terlalu hati-hati. Dan Juliete… mulai bosan.Sangat bosan.Ia makan, tidur, berjalan menyusuri lorong-lorong panjang yang sepi, menatap lukisan keluarga Cavendish yang tak pernah berhenti menatap balik. Sesekali ia membuka media sosial dari ponselnya, tapi semua itu terasa seperti melihat dunia lain yang tak lagi relevan.Juliete bukan tipe gadis yang tahan hidup dalam ketenangan. Biasanya, hari-harinya dipenuhi jadwal ketat, kuliah, bekerja, dan kadang pelarian karena tunggakan sewa apartemen. Ia tumbuh dalam kekacauan, dan baginya, kekosongan adalah bentuk lain dari siksaan.Sudah hampir seminggu sejak ia menandatangani kontrak itu.Dan Jaiden belum sekali pun menemuinya.Tidak satu ketukan di pintu. Tidak satu panggilan. Tidak satu catatan.Apakah dia sibuk?Apakah ini bentuk lain dari dominasi: membuatnya menunggu sampai runtuh dari dalam?Juliete tak tahu.Tapi yang past
“Kau… mengancamku!!” Suara Juliete pecah. Matanya membara, tubuhnya gemetar bukan karena sakit—tapi karena kemarahan yang menggelegak. Tangannya masih memegang lembaran kontrak itu. Jaiden tidak bergeming. Mata hitamnya menatap dalam. Tenang. Menilai. Lalu ia bicara, dengan suara rendah yang tak perlu ditinggikan untuk melukai. “Tergantung sudut pandangmu.” “Tapi bagiku… ini bukan ancaman, Juliete. Ini—justru kartu keberuntunganmu.” Dia bersandar sedikit ke depan. Wajahnya mendekat. Nafasnya nyaris menyentuh kulit Juliete. “Menikah denganku… dan kau akan mendapatkan semua ini.” Ia melambaikan tangan kecil ke sekeliling kamar. “Kekuasaan. Kemewahan. Nama keluarga yang membuat semua orang tunduk.” Juliete membalas tatapannya dengan penuh kebencian, tapi sorot matanya tak bisa membohongi bahwa kata-kata itu mengguncangnya. “Kehormatan yang tak pernah bisa kau bayangkan…” Jaiden melanjutkan. “Dan tentu saja, akses. Koneksi. Jalur cepat menuju ruang sidang, gelar keho
Langit di atas Blackvale Manor tampak kelabu, seperti tahu bahwa pria pemiliknya telah kembali. Begitu mobil hitam berhenti di pelataran depan, para pelayan sudah berbaris. Tak ada yang berani bicara lebih dulu. Langkah Jaiden menggema di lantai marmer saat ia masuk, menyapu interior manor seperti badai dalam bentuk manusia. Langit-langit tinggi. Pilar batu hitam. Dinding gelap dihiasi lukisan keluarga berwajah dingin. Rumah itu seperti makam bangsawan. Megah, tapi dingin. Dan ia adalah rajanya. Dominic, kepala pelayan, melangkah cepat menghampirinya. “Tuan, Nona Juliete belum makan seharian. Alice bilang… dia sedang demam.” Langkah Jaiden terhenti. Alisnya perlahan terangkat, dan matanya menyipit. Seolah tak percaya pada kata yang baru saja ia dengar. “Sakit?” Napasnya pelan tapi berat. “Dia bahkan belum 24 jam di sini…” Nada suaranya tidak peduli—tapi setiap kata mengandung rasa terganggu yang tak bisa ia sembunyikan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Jaiden langsung menaiki t
Udara ruang makan perlahan menebal. Setelah piring-piring hidangan utama disingkirkan, hanya tersisa wine merah tua dan napas yang saling menunggu giliran bicara. Kakek August menyandarkan tubuhnya ke kursi. Jemarinya mengetuk meja kayu gelap tiga kali—lambang bahwa waktu basa-basi telah habis. “Jaiden,” katanya, pelan tapi tajam seperti belati. Semua kepala secara otomatis menoleh. Jaiden tidak. Ia hanya meneguk anggurnya pelan, menunggu dengan malas. “Kau tahu kenapa kau dipanggil hari ini.” Jaiden mengangkat bahu sedikit. “Karena anda suka mengatur hidup orang lain?” Zelda terkekeh. Marvish tersenyum seperti sedang menonton opera mahal. Margaret pura-pura sibuk mengusap bibir dengan serbet. August tidak terganggu. Ia menatap cucu sulungnya seperti menatap jenderal yang sedang lupa posisi. “Karena waktumu hampir habis.” Keheningan turun. “Usiamu sudah cukup. Nama Cavendish butuh pewaris sah. Butuh stabilitas. Dan sudah waktunya kita perkenalkan seorang istri untu
Langit di atas Morgrave Estate, hotel bintang lima milik keluarga Cavnedish—tertutup awan kelabu. Di dalam kantor dengan jendela besar dan tirai beludru hitam, aroma espresso baru terseduh mengisi ruangan seperti pembuka dari sebuah pertempuran yang belum dimulai. Benjamin berdiri tegak di sisi ruangan, tubuhnya tegak tapi tak santai. “Bos, siang ini Tuan August mengadakan jamuan makan di Thornvale. Anda diminta hadir. Katanya ada hal yang perlu didiskusikan...” Jaiden tak langsung merespons. Duduk bersandar di kursi hitam berlapis kulit, ia seperti patung yang hanya hidup di balik sorot mata tajamnya. Di hadapannya, sebuah map dokumen terbuka. Namanya jelas terbaca: Juliete Finnigan. Tempat tanggal lahir, alamat lengkap, data akademik, hingga beberapa foto. Benjamin baru saja menyerahkannya. Jaiden membaca dengan diam. Tatapannya tak berkedip. Tangannya terlipat, tenang, tapi aura di sekelilingnya cukup untuk membuat siapa pun berpikir dua kali sebelum membuka mulut. “Oxford.
POV Jaiden, Suara tamparan itu keras. Tajam. Dan menggema lama di aula batu yang sunyi ini—seolah tembok pun terhenyak mendengarnya.Untuk sesaat, waktu berhenti. Bahkan kedua bodyguard-ku—yang biasanya dingin dan tak tergoyahkan—ikut membeku. Mereka tahu siapa aku. Jaiden Alastair Cavendish. Nama yang tak disebut dalam suara keras, hanya dalam bisik-bisik takut. Malaikat maut di balik lambang kejayaan keluarga Cavendish. Tapi gadis ini… dia menamparku. Dengan tangan kosong. Tanpa rasa bersalah. Tanpa ragu. Gila. Dari puluhan wanita yang dikirim ke hadapanku—dipoles, dipaksa, dipuja—tak satu pun yang berani melawanku. Karena aku memang membenci perlawanan. Dan mereka tahu… apa yang terjadi pada orang yang melawan. Tapi tikus kecil ini—Juliete Finnigan—berani menunjukkan taring. Kemarahan memancar dari mataku. Itu pasti. Tapi di balik itu—lebih dalam, lebih panas—ada sesuatu yang lain. Penasaran. Ketertarikan. Obsesi. “Juliete Finnigan…” Aku menggeram, suaraku nyaris berbisi