Share

Chapter 4

Penulis: Lia.F
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-16 16:13:23

“Hentikan, Jaiden.”

Suara Juliete menggema. Tegas. Membentur dinding batu dan membelah udara dingin dalam aula bawah tanah.

Jaiden melirik sekilas. Tapi tak menghentikan apa pun.

Mancis di tangannya masih menyala, dan api itu terus menyiksa kulit Natalie yang menggeliat seperti binatang yang sekarat.

Suara erangan tertahan Natalie menggema samar, menggetarkan ruang yang sunyi.

“Bukankah kau menikmatinya, Miss Finnigan?”

Jaiden berkata ringan, yang terdengar nyaris seperti fakta.

“Dia mengkhianatimu. Menjebakmu. Kau seharusnya berterima kasih padaku.”

“Tapi kau tak perlu menyiksanya.”

Nada Juliete tetap keras, meski suaranya sedikit bergetar.

“Jangan… mendikte caraku.”

Nada suara Jaiden berubah. Dingin. Tajam.

Kepalanya berpaling cepat, dan kini ia melotot lurus ke arah Juliete.

Tatapan itu menusuk seperti bilah baja.

Juliete refleks terdiam. Bukan karena takut… tapi karena untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasakan dentuman brutal dari otoritas yang tak bisa diganggu gugat.

Klik.

Api padam.

Jaiden meletakkan mancis dengan tenang, lalu mulai melangkah. Langkah-langkahnya pelan. Pasti. Tanpa suara, tapi berat. Seperti malaikat maut yang sedang memilih siapa yang akan bernapas lebih lama.

Ia tiba di depan Juliete. Kedua tangannya bertumpu di sisi kursi besi tempat Juliete terikat. Tubuhnya condong ke depan, hingga wajah mereka nyaris bersentuhan.

Tatapan mereka bertemu. Melekat. Tajam. Juliete tak menunduk. Tidak menjauh.

Ia menantang. Dan itu…itu justru membuat Jaiden tersenyum.

Bukan senyum hangat. Bukan pula senyum kemenangan. Tapi senyum yang penuh rasa ingin tahu. Senyum seorang pria yang baru saja menemukan teka-teki paling menarik yang pernah ia temui.

“Tatapanmu berbahaya sekali, Miss Finnigan,” bisiknya pelan.

Jaiden berdiri tegak. Dengan tenang, ia menarik sebungkus rokok dari saku celananya, mengetuk ujungnya pelan di jemari. Api menyala. Asap mengepul lembut dari bibirnya—putih, lambat, beracun.

Tapi matanya tak lepas dari Juliete.

“Kau terlalu berani padaku, Miss Finnigan…”

Suaranya berat. Lembut, tapi terasa mengguncang dinding batu.

“Dan kuakui… itu mengesankan.”

Juliete mendongak, menatap balik tanpa gentar.

“Apa ini cara keluarga Cavendish menyelesaikan masalah?”

Nada suaranya sarkastik. Penuh sindiran. Penuh risiko.

Jaiden tersenyum—tipis dan dingin. Ia mengambil satu langkah ke depan, lalu tertawa kecil, tawa yang lebih seperti bunyi retak dari kaca yang siap pecah.

“Masalah?” katanya. “Sayang sekali. Aku tidak menganggap ini masalah…”

Ia mendekat lagi.

“Aku anggap ini permainan.”

Tawa kecil mengalir dari mulutnya. Tapi mata itu—tetap tajam. Tetap gelap.

Dan tiba-tiba—

Tangannya masuk ke balik jas. Kilau logam muncul dari balik jasnya.

Pistol.

Juliete membeku.

Kilatan baja perak di bawah cahaya lampu membuat darahnya berdesir dingin. Tubuhnya masih terikat. Tak bisa mundur. Tak bisa menghindar. Tapi matanya tetap mengunci Jaiden. Tidak tunduk. Tidak gentar.

Satu tangan Jaiden melingkar tenang di batang rokok, sementara tangan lainnya menggenggam pistol perak itu dengan mantap.

Asap tipis masih mengepul dari bibirnya saat ia menatap lurus ke arah Juliete.

“Di dalam pistol ini,” katanya pelan,

“hanya ada satu peluru.”

Ia mengangkat senjatanya sedikit, membiarkannya menangkap cahaya.

“Jadi… untuk siapa sebaiknya kuarahkan peluru ini, Miss Finnigan?”

Senyum menyeringai muncul di wajahnya—dingin, penuh permainan.

Juliete membalas tatapannya, rahangnya mengeras. Tak ada rasa takut. Hanya muak.

“Arahkan saja pada dirimu sendiri.” Jawabannya tajam. Ketus.

Alis Jaiden terangkat pelan. Ia tertawa kecil—bukan karena geli, tapi karena terkejut.

“Jawaban yang cerdas.”

Suaranya tetap tenang. Lalu… dengan santai, ia mengangkat pistol itu—dan mengarahkannya tepat ke kepala Juliete.

Juliete terkejut. Matanya membelalak sesaat. Tapi ia tidak menjerit. Tidak bergerak.

Darahnya membeku, tapi sorot matanya tetap menantang.

Mereka saling menatap dalam diam. Udara terasa tebal. Waktu seolah berhenti.

Lalu—klik.

Bunyi kecil dari pelatuk yang ditarik… tapi tak melepaskan apa pun.

Kosong.

Jaiden menyeringai lebih lebar.

“Sayang sekali, bukan giliranmu.”

“Dasar kau pria gila!”

Juliete membentak, napasnya masih terputus-putus. Jantungnya berdentum di telinga—karena nyawanya… barusan hampir dicabut.

Tapi Jaiden hanya tertawa.

Tawa rendah dan ringan, seolah yang baru saja terjadi tak lebih dari permainan catur sore hari.

Dan yang lebih gila lagi—dia terlihat puas.

Bukan karena Juliete menangis. Tapi karena ia tidak menangis. Wajahnya tidak pucat. Tatapannya masih tajam. Mulutnya masih berani menyebutnya gila.

Menarik. Sangat menarik.

Lalu perlahan…Tanpa peringatan…pistol itu beralih arah. Dari kepala Juliete—Ke arah Natalie.

Letusan senjata memekakkan telinga, mengguncang ruangan seperti dentuman neraka.

Juliete terkejut. Seketika tubuhnya membeku.

Darah menyembur dari tubuh Natalie—mengenai wajah dan kostumnya, juga menodai jas hitam Jaiden.

Natalie menggelepar di kursinya. Tubuhnya berguncang keras, lalu…diam. Mati. Begitu saja.

Dan Jaiden? Tetap tenang. Wajahnya datar, seolah barusan hanya menutup jendela yang berderit terlalu keras.

Juliete terdiam. Dadanya bergemuruh. Sesuatu dalam dirinya mendidih, memuncak, lalu meledak.

“KAU PSIKOPAT! GILA—!!”

teriaknya histeris.

“KAU MEMBUNUHNYA! SEPERTI MEMBUNUH SERANGGA—!”

Matanya membelalak, napas memburu, tubuhnya menggeliat dalam ikatan rantai yang dingin.

Amarah. Syok. Jijik. Semua membakar satu-satu hingga nyaris melahap kewarasannya.

Tapi pria di depannya hanya berdiri diam. Tak berkedip. Tak terguncang. Seolah kematian adalah hal biasa. Seolah… ia adalah Tuhan.

“Ini akibatnya,” bisik Jaiden, nyaris tak terdengar tapi tajam menusuk.

“Jika ada yang ingin bermain-main dengan Cavendish.”

Langkahnya pelan, suara seperti napas maut.

“Dan kuharap…Kau mengambil pelajaran dari semua ini.”

Kalimat itu masuk ke telinga Juliete seperti bilah belati—dingin, ramping, siap mengiris tanpa ampun.

Juliete tak bisa bicara. Tubuhnya diam. Tapi pikirannya berputar—liar, cepat, kacau.

Pria ini bukan manusia biasa. Dia penguasa di alamnya sendiri. Dan salah satu langkah saja… nyawa taruhannya.

Jaiden menunduk sedikit. Wajah mereka dekat.

Napasnya menyentuh pipi Juliete, seperti embusan racun yang manis.

“Sekarang… berlarilah Kemanapun kau mau.”

“Dan jangan sampai kutemukan…”

“Run, Miss Finnigan. Run.”

Dengan gerakan perlahan, ia melepaskan ikatan di pergelangan tangan Juliete. Lalu pergelangan kaki.

Suara rantai yang jatuh ke lantai terdengar nyaring di antara keheningan.

Tapi…

Juliete tidak lari.

Api dalam dadanya belum padam. Amarah masih menggelegak. Tubuhnya boleh lelah, tapi hatinya menyala.

Ia memandangi tubuh Natalie yang tergeletak—dingin, tak bernyawa. Darah masih menetes perlahan ke lantai. Dan Jaiden? Ia berdiri di tengah ruangan seperti tak terjadi apa-apa.

Juliete ingin melawan. Ia adalah calon pengacara.

Keadilan bukan teori. Itu prinsip. Dan malam ini… dunia telah menampar wajahnya.

Kini, gilirannya membalas.

Tanpa peringatan—PLAKK!

Tamparan Juliete mendarat keras di pipi Jaiden.

Kepala pria itu sedikit berputar oleh hantaman tajam yang tak disangka.

Sunyi.

Juliete berdiri. Nafasnya memburu. Matanya membakar.

“Aku bukan tikus,” ucapnya pelan. “Dan kau bukan Tuhan.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 163

    Juliete duduk di Bathub membelakangi Jaiden. Punggungnya menghadap lelaki itu. Seolah tak ingin membuang kesempatan Jaiden mendaratkan kecupan-kecupan lembut di sisi leher, bahu dan tulang selangka Juliete. Tangannya melingkar pinggang Juliete erat. Juliete hanya memejamkan mata, membiarkan tubuhnya bersandar pada dada bidang Jaiden. Uap air hangat yang mengepul membuat suasana makin intim. Ia masih diam, meski hatinya berdebar hebat merasakan bibir Jaiden yang terus bergerilya di sepanjang leher dan bahunya. “Betapa aku merindukan aroma tubuhmu, sayang…” bisik Jaiden, suaranya parau dan bergetar. Pelan, tangannya yang melingkari pinggang Juliete bergerak naik, menyusuri lekuk tubuh istrinya, seolah ingin memastikan dirinya tidak sedang bermimpi. Juliete menarik napas dalam, tubuhnya menegang sejenak, lalu ia membiarkannya. “Hukuman apa yang harus kuberikan padamu?” Jaiden terkekeh pelan di telinganya, lalu semakin menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Juliete, menghisapnya

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 162

    “George… Lily… apa lagi keributan yang kalian buat di sekolah hari ini?” suara Juliete terdengar tegas. Ia duduk di kursi ruang keluarga sambil melipat tangan di dada. Dua anak kembar itu berdiri di depannya dengan kepala menunduk, saling melirik sekilas. Tatapan mereka sama persis—nakal, seperti sedang menahan tawa. Juliete menghela napas panjang. “Kepala sekolah bilang kalian memasukkan sampah ke dalam tas teman kalian. Astaga…” tangannya refleks mengusap pelipisnya. “Kalian ini benar-benar… kalau Papa tahu, habislah kalian.” George spontan membuka mulut, berusaha membela diri. “Itu cuma… eksperimen, Mommy.” “Eksperimen?!” Juliete menaikkan alisnya. “Ya, eksperimen… kami ingin lihat apakah sampah-sampah itu sama beratnya dengan isi buku pelajaran.” Lily menambahkan, berusaha terdengar serius. “Lalu kenapa tidak kalian masukkan sendiri sampah itu ke tas kalian.” Juliete melotot hampir kehilangan kesabaran. “Itu tidak mungkin, mommy akan marah jika kami melakukan itu.” L

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 161

    Malam di Thornvale Court terasa begitu damai. Selepas makan malam, Juliete langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Perutnya masih terasa tidak nyaman sejak siang tadi. Sementara di sampingnya, Jaiden duduk santai, menatap layar iPad sambil membaca beberapa jurnal. Tiba-tiba Juliete bangkit tergesa, menahan mulas yang datang lagi. Jaiden hanya sempat mengernyit, sebelum mendengar suara istrinya muntah di kamar mandi. Ia segera menaruh iPad dan bergegas menghampiri. “Sayang, kau baik-baik saja?” Jaiden menahan bahu Juliete, khawatir melihat wajah pucat itu. Juliete membasuh wajahnya dengan air, lalu berkumur sebelum menggeleng lemah. “Seharian ini aku sudah muntah tiga kali…” bisiknya. Jaiden menatap penuh tanya. “Ada apa sebenarnya?” Juliete menggigit bibirnya, lalu mengembuskan napas pelan. “Aku sudah telat menstruasi… hampir tiga minggu.” Mata Jaiden langsung berbinar, tubuhnya mendekat cepat. “Apa itu artinya… kau—?” “Aku belum tahu pasti. Belum sempat mem

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 160

    “Jaiden… kumohon, jangan buat aku menunggu lagi…” suaranya bergetar, penuh permohonan. Senyum miring muncul di wajah Jaiden. Pria itu menatap istrinya dengan tatapan intens yang membuat darah Juliete berdesir liar. “Katakan kau menyukai ini, ketika aku menidurimu...” “Ya aku suka, aku suka setiap sentuhanmu…”Juliete nyaris berteriak mengatakannya. Mendengar itu, Jaiden tak lagi menahan diri. Dorongannya kembali menghantam dengan ritme cepat dan keras, membuat tubuh Juliete tak kuasa menahan desahan panjang. “Ohhh—Jaiden!” teriaknya pecah, tubuhnya bergetar hebat. Jaiden menggertakkan rahang, menahan teriakan sendiri, tapi tak lama tubuhnya juga bergetar, melepaskan seluruh gairah yang menumpuk sejak awal. Napas mereka sama-sama tersengal, tubuh berkeringat menempel erat satu sama lain. Juliete terkulai di pelukan Jaiden, masih gemetar lemah, sementara Jaiden mengecup keningnya lembut. Juliete hanya bisa tersenyum lemah, matanya masih berkaca-kaca oleh intensitas momen

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 159

    Di halaman depan Petrovka, suasana terasa haru. Semua keluarga sudah berkumpul, menatap kepergian Jaiden, Juliete, dan Luka yang sebentar lagi akan kembali ke London. Juliete tak mampu menahan air matanya saat memeluk erat sang kakak. Tangisnya pecah, tubuhnya bergetar di pelukan Julian. “Tenanglah, kau punya jet pribadi untuk bisa mengunjungiku kapan pun,” Julian menenangkan dengan senyum kecil. Tangannya mengelus puncak kepala Juliete, penuh kasih sayang seorang kakak. “Aku akan merindukanmu, kak…” suara Juliete bergetar, matanya basah memandang Julian. Dari samping, Jaiden hanya tersenyum geli melihat pemandangan itu. Ada rasa lega sekaligus bahagia, karena kini Juliete punya tempat pulang, dan sebuah keluarga yang nyata. Luka ikut mendekat, dengan wajah sendunya yang polos. “Paman, nanti sering-sering temui Luka ya… bibi Sheila juga,” ucapnya sambil memeluk Julian dan Sheila satu per satu. Sheila tersenyum, matanya ikut berkaca. “Tentu, sayang… bibi janji.” Ketika se

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 158

    Juliete hanya memejamkan mata pun sesekali mendesah liar, kala Jaiden dengan lembut mengecupi bagian-bagian tubuhnya yang lain. Garis rahang, leher , tulang selangka hingga di bagian atas dada Juliete. Tangannya pun bergerilya menjalar kebagian balik punggung Juliete, melepaskan pengait Bra-nya. Hingga terbuka jelaslah bagian atas sang istri. Mata Jaiden menggelap, ketika pandangannya tertuju pada payudara milik Juliete. Jaiden menarik napas panjang, seakan berusaha menahan diri, namun jelas sekali matanya tak bisa lepas dari pemandangan di hadapannya. “I promise, I’ll fuck you harder tonight, Miss Cavendish.” bisiknya serak. Juliete masih memejamkan mata, tubuhnya menegang karena tiap sentuhan terasa menggetarkan. Ia hanya mampu menggigit bibir, menahan gelombang sensasi yang semakin menguasai dirinya. Jaiden menunduk, bibirnya menyentuh lembut kulit Juliete yang kini terekspos, lalu menelusuri dengan ciuman panjang penuh klaim. Tangannya tak kalah agresif, menggenggam pin

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status