Udara di dalam ruangan itu terasa berbeda. Tebal dengan aroma asap cerutu mahal, wisky tua, dan kekuasaan. Tirai beludru merah menutupi dinding, cahaya lampu gantung kuningan menggantung temaram. Satu-satunya suara adalah denting es batu di dalam gelas kristal.
Juliete diseret masuk tanpa banyak kata. Tubuhnya masih dibalut kostum panggung, namun kini tak ada lagi sorotan dan tepuk tangan. Hanya dinginnya lantai marmer di bawah lututnya, dan tatapan dua pria berbadan besar di belakang punggungnya. Di depan, Jaiden Alastair Cavendish duduk santai di sofa kulit hitam. Tubuh ramping dan tegapnya membungkuk sedikit saat ia mengangkat gelas wisky, menyesapnya perlahan. Rambut brunete potongan wolfcut-nya tampak berantakan sempurna. Mata coklatnya bersinar tenang, namun Juliete tahu, itu hanya lapisan. Orang-orang berbahaya selalu tampak tenang sebelum membakar habis segalanya. “Siapa namamu?” Nada suaranya tenang. Dalam. Tapi di balik ketenangan itu ada tekanan tak kasat mata, semacam magnet yang memaksa siapa pun tunduk. Juliete mendongak perlahan. Matanya bertemu dengan milik Jaiden. Tapi hanya sedetik. Setelah itu, ia kembali tegak. Kepalanya menengadah—bukan dalam kepasrahan, tapi keberanian. “Juliete. Juliete Finnigan.” Suaranya datar. Tegas. Tidak gentar sedikit pun meski kedua lengannya masih dicengkeram kuat dari belakang. Jaiden menyeringai tipis, meletakkan gelasnya ke meja kaca di depannya. Tak banyak orang yang berani menatapnya dengan tatapan menantang. Tanpa ketakutan. Gadis ini berani atau bodoh. “Nama yang cantik. Tapi sayang… gadis cantik yang mencuri biasanya tak hidup lama dalam radar keluarga kami.” Juliete mengerjap. Tak menjawab. Ia tahu, apapun yang ia katakan saat ini bisa saja diputar untuk menjatuhkannya lebih dalam. Maka ia memilih diam—untuk sementara. Jaiden bangkit perlahan dari kursinya. Setiap gerakannya seperti bagian dari sebuah tarian lambat: berkelas dan mematikan. Ia melangkah mendekat, menunduk sedikit di depan Juliete. Kini wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Wajah Jaiden Cavendish hanya beberapa inci dari Juliete. Mata kelamnya menelusuri wajah gadis itu, namun bukan dengan kagum—melainkan penuh penilaian tajam, seperti predator yang mengamati mangsanya sebelum mencabik perlahan. “Jadi kenapa kamu mencuri dariku, tikus kecil…?” Desis Jaiden, bibirnya nyaris menyentuh pipi Juliete. Suaranya lembut, namun di dalamnya tersembunyi ancaman dingin yang bisa membuat siapa pun bergetar. Meski senyum masih menggantung di wajah pria itu, Juliete tahu betul—setiap katanya adalah belati yang siap menancap dalam kapan saja. Juliete menarik napas perlahan. Wajahnya mulai tegang, tapi tatapannya tetap kuat. “Jika saya katakan yang sebenarnya pun, Anda tak akan percaya, Tuan Cavendish.” Nada suaranya tenang, namun tegas. Ia tidak memohon, tidak membela diri secara impulsif. Ia hanya menyatakan kebenaran. Jaiden terdiam sejenak, seolah mencerna jawaban itu. Lalu ia mundur perlahan. Senyum kecil—begitu tipis dan penuh bahaya—muncul di sudut bibirnya. “Tikus sepertimu… tidak seharusnya berada di club mewah seperti ini.” Ia melirik dari ujung kaki hingga ke wajah Juliete. “Kau terlalu pintar untuk sekadar penari… dan itu masalah.” Jaiden meraih gelasnya kembali, lalu menyesap wiskynya seolah tak terjadi apa-apa. “Kurasa, kau perlu diberi pelajaran.” Diam. Lalu ia menoleh pada Benjamin. “Kirim dia ke Blackvale. Malam ini.” Suara Jaiden terdengar seperti vonis, namun ia menyampaikannya dengan keanggunan seorang aristokrat. Benjamin menunduk dalam. “Baik, Tuan.” “Anda tak bisa membawa saya begitu saja,” tantang Juliete, nadanya tenang namun tegas. Jaiden berhenti sejenak. Sebelah alisnya terangkat, dan senyum sarkastik mengambang di bibirnya—dingin dan menohok. Ia melangkah mendekat lagi, kali ini tanpa kepura-puraan. Tangannya mencengkeram dagu Juliete. Lebih kuat. Lebih kasar. Nyaris menyakitkan. “Oh, tentu saja aku bisa,” bisiknya. “Kau hanya punya dua pilihan, Miss Finnigan: di tangan polisi… atau di tanganku.” Lalu ia mencondongkan tubuh, napasnya nyaris menyentuh kulit di bawah telinga Juliete. “Dan aku lebih suka kau di tanganku. Karena malam ini… aku sedang butuh mainan.” Juliete menelan salivanya. Tapi tatapannya tetap menusuk, menyala dengan kemarahan yang tertahan. Tidak takut. Tapi muak. Ia mendekatkan wajahnya sedikit, menantang. “Coba saja… kalau kau pikir bisa mempermainkanku.” Jaiden tertawa. Kali ini lebar, tanpa menahan diri. Juliete Finnigan. Benar-benar hiburan yang tak terduga. Ia tahu sejak melihat gadis itu menari di panggung—ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tak bisa dibeli atau dilatih. Tangguh sekaligus mematikan. Tapi yang paling membuatnya tergelitik, Juliete tidak takut sama sekali. Jelas itu menggelitik jiwa iblis di bawah permukaan Jaiden. Ia tahu Juliete hanya korban. Ia bahkan tahu siapa pelaku sebenarnya. Dan sebagai seorang Cavendish, ia terlalu pintar untuk drama murahan seperti ini. Namun Jaiden juga tahu setiap kesalahan bisa menjadi peluang. Dan Juliete mungkin adalah peluang terbaik yang pernah datang padanya. Mungkin juga gadis ini bisa menjadi eksperimen selanjutnya. Tapi Jaiden belum ingin mengambil kesimpulan. Ia masih ingin bermain. Masih ingin melihat—seberapa jauh gadis ini bisa bertahan, sebelum akhirnya hancur. Sama seperti yang lain. Yang dulu datang dengan kepala tegak, lalu berakhir memohon dalam air mata dan luka. Yang melarikan diri atau mencoba, begitu mereka menyadari siapa sebenarnya dirinya. Bukan pria. Tapi monster yang disembunyikan oleh darah biru dan setelan mahal. “Let’s see how far you can endure…or end up kneeling at my feet.” Suaranya nyaris seperti bisikan doa. Tapi senyum di wajahnya—lebar, kejam, seperti pemangsa yang baru mencium aroma darah segar. Lalu, satu anggukan kecil. Hampir tak kentara. Tapi cukup. Dua bodyguard di belakang Juliete segera bergerak. Mereka mencengkeram lengan gadis itu dan menyeretnya keluar dari ruangan. Juliete tak sempat melawan. Tak sempat bicara. Langkah-langkah berat mereka menggema di koridor. Dan pintu besar di belakangnya tertutup pelan, nyaris tanpa suara. Menelan cahaya. Menelan dunia yang ia kenal. Entah ke mana mereka membawanya—mungkin ke neraka lain yang tersembunyi di balik nama keluarga Cavendish. Tempat yang bahkan tidak bisa ia bayangkan.Juliete duduk di Bathub membelakangi Jaiden. Punggungnya menghadap lelaki itu. Seolah tak ingin membuang kesempatan Jaiden mendaratkan kecupan-kecupan lembut di sisi leher, bahu dan tulang selangka Juliete. Tangannya melingkar pinggang Juliete erat. Juliete hanya memejamkan mata, membiarkan tubuhnya bersandar pada dada bidang Jaiden. Uap air hangat yang mengepul membuat suasana makin intim. Ia masih diam, meski hatinya berdebar hebat merasakan bibir Jaiden yang terus bergerilya di sepanjang leher dan bahunya. “Betapa aku merindukan aroma tubuhmu, sayang…” bisik Jaiden, suaranya parau dan bergetar. Pelan, tangannya yang melingkari pinggang Juliete bergerak naik, menyusuri lekuk tubuh istrinya, seolah ingin memastikan dirinya tidak sedang bermimpi. Juliete menarik napas dalam, tubuhnya menegang sejenak, lalu ia membiarkannya. “Hukuman apa yang harus kuberikan padamu?” Jaiden terkekeh pelan di telinganya, lalu semakin menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Juliete, menghisapnya
“George… Lily… apa lagi keributan yang kalian buat di sekolah hari ini?” suara Juliete terdengar tegas. Ia duduk di kursi ruang keluarga sambil melipat tangan di dada. Dua anak kembar itu berdiri di depannya dengan kepala menunduk, saling melirik sekilas. Tatapan mereka sama persis—nakal, seperti sedang menahan tawa. Juliete menghela napas panjang. “Kepala sekolah bilang kalian memasukkan sampah ke dalam tas teman kalian. Astaga…” tangannya refleks mengusap pelipisnya. “Kalian ini benar-benar… kalau Papa tahu, habislah kalian.” George spontan membuka mulut, berusaha membela diri. “Itu cuma… eksperimen, Mommy.” “Eksperimen?!” Juliete menaikkan alisnya. “Ya, eksperimen… kami ingin lihat apakah sampah-sampah itu sama beratnya dengan isi buku pelajaran.” Lily menambahkan, berusaha terdengar serius. “Lalu kenapa tidak kalian masukkan sendiri sampah itu ke tas kalian.” Juliete melotot hampir kehilangan kesabaran. “Itu tidak mungkin, mommy akan marah jika kami melakukan itu.” L
Malam di Thornvale Court terasa begitu damai. Selepas makan malam, Juliete langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Perutnya masih terasa tidak nyaman sejak siang tadi. Sementara di sampingnya, Jaiden duduk santai, menatap layar iPad sambil membaca beberapa jurnal. Tiba-tiba Juliete bangkit tergesa, menahan mulas yang datang lagi. Jaiden hanya sempat mengernyit, sebelum mendengar suara istrinya muntah di kamar mandi. Ia segera menaruh iPad dan bergegas menghampiri. “Sayang, kau baik-baik saja?” Jaiden menahan bahu Juliete, khawatir melihat wajah pucat itu. Juliete membasuh wajahnya dengan air, lalu berkumur sebelum menggeleng lemah. “Seharian ini aku sudah muntah tiga kali…” bisiknya. Jaiden menatap penuh tanya. “Ada apa sebenarnya?” Juliete menggigit bibirnya, lalu mengembuskan napas pelan. “Aku sudah telat menstruasi… hampir tiga minggu.” Mata Jaiden langsung berbinar, tubuhnya mendekat cepat. “Apa itu artinya… kau—?” “Aku belum tahu pasti. Belum sempat mem
“Jaiden… kumohon, jangan buat aku menunggu lagi…” suaranya bergetar, penuh permohonan. Senyum miring muncul di wajah Jaiden. Pria itu menatap istrinya dengan tatapan intens yang membuat darah Juliete berdesir liar. “Katakan kau menyukai ini, ketika aku menidurimu...” “Ya aku suka, aku suka setiap sentuhanmu…”Juliete nyaris berteriak mengatakannya. Mendengar itu, Jaiden tak lagi menahan diri. Dorongannya kembali menghantam dengan ritme cepat dan keras, membuat tubuh Juliete tak kuasa menahan desahan panjang. “Ohhh—Jaiden!” teriaknya pecah, tubuhnya bergetar hebat. Jaiden menggertakkan rahang, menahan teriakan sendiri, tapi tak lama tubuhnya juga bergetar, melepaskan seluruh gairah yang menumpuk sejak awal. Napas mereka sama-sama tersengal, tubuh berkeringat menempel erat satu sama lain. Juliete terkulai di pelukan Jaiden, masih gemetar lemah, sementara Jaiden mengecup keningnya lembut. Juliete hanya bisa tersenyum lemah, matanya masih berkaca-kaca oleh intensitas momen
Di halaman depan Petrovka, suasana terasa haru. Semua keluarga sudah berkumpul, menatap kepergian Jaiden, Juliete, dan Luka yang sebentar lagi akan kembali ke London. Juliete tak mampu menahan air matanya saat memeluk erat sang kakak. Tangisnya pecah, tubuhnya bergetar di pelukan Julian. “Tenanglah, kau punya jet pribadi untuk bisa mengunjungiku kapan pun,” Julian menenangkan dengan senyum kecil. Tangannya mengelus puncak kepala Juliete, penuh kasih sayang seorang kakak. “Aku akan merindukanmu, kak…” suara Juliete bergetar, matanya basah memandang Julian. Dari samping, Jaiden hanya tersenyum geli melihat pemandangan itu. Ada rasa lega sekaligus bahagia, karena kini Juliete punya tempat pulang, dan sebuah keluarga yang nyata. Luka ikut mendekat, dengan wajah sendunya yang polos. “Paman, nanti sering-sering temui Luka ya… bibi Sheila juga,” ucapnya sambil memeluk Julian dan Sheila satu per satu. Sheila tersenyum, matanya ikut berkaca. “Tentu, sayang… bibi janji.” Ketika se
Juliete hanya memejamkan mata pun sesekali mendesah liar, kala Jaiden dengan lembut mengecupi bagian-bagian tubuhnya yang lain. Garis rahang, leher , tulang selangka hingga di bagian atas dada Juliete. Tangannya pun bergerilya menjalar kebagian balik punggung Juliete, melepaskan pengait Bra-nya. Hingga terbuka jelaslah bagian atas sang istri. Mata Jaiden menggelap, ketika pandangannya tertuju pada payudara milik Juliete. Jaiden menarik napas panjang, seakan berusaha menahan diri, namun jelas sekali matanya tak bisa lepas dari pemandangan di hadapannya. “I promise, I’ll fuck you harder tonight, Miss Cavendish.” bisiknya serak. Juliete masih memejamkan mata, tubuhnya menegang karena tiap sentuhan terasa menggetarkan. Ia hanya mampu menggigit bibir, menahan gelombang sensasi yang semakin menguasai dirinya. Jaiden menunduk, bibirnya menyentuh lembut kulit Juliete yang kini terekspos, lalu menelusuri dengan ciuman panjang penuh klaim. Tangannya tak kalah agresif, menggenggam pin