Share

Chapter 2

Author: Lia.F
last update Last Updated: 2025-06-16 13:24:04

Udara di dalam ruangan itu terasa berbeda. Tebal dengan aroma asap cerutu mahal, wisky tua, dan kekuasaan. Tirai beludru merah menutupi dinding, cahaya lampu gantung kuningan menggantung temaram. Satu-satunya suara adalah denting es batu di dalam gelas kristal.

Juliete diseret masuk tanpa banyak kata. Tubuhnya masih dibalut kostum panggung, namun kini tak ada lagi sorotan dan tepuk tangan. Hanya dinginnya lantai marmer di bawah lututnya, dan tatapan dua pria berbadan besar di belakang punggungnya.

Di depan, Jaiden Alastair Cavendish duduk santai di sofa kulit hitam. Tubuh ramping dan tegapnya membungkuk sedikit saat ia mengangkat gelas wisky, menyesapnya perlahan.

Rambut brunete potongan wolfcut-nya tampak berantakan sempurna. Mata coklatnya bersinar tenang, namun Juliete tahu, itu hanya lapisan. Orang-orang berbahaya selalu tampak tenang sebelum membakar habis segalanya.

“Siapa namamu?”

Nada suaranya tenang. Dalam. Tapi di balik ketenangan itu ada tekanan tak kasat mata, semacam magnet yang memaksa siapa pun tunduk.

Juliete mendongak perlahan. Matanya bertemu dengan milik Jaiden. Tapi hanya sedetik. Setelah itu, ia kembali tegak. Kepalanya menengadah—bukan dalam kepasrahan, tapi keberanian.

“Juliete. Juliete Finnigan.”

Suaranya datar. Tegas. Tidak gentar sedikit pun meski kedua lengannya masih dicengkeram kuat dari belakang.

Jaiden menyeringai tipis, meletakkan gelasnya ke meja kaca di depannya. Tak banyak orang yang berani menatapnya dengan tatapan menantang. Tanpa ketakutan. Gadis ini berani atau bodoh.

“Nama yang cantik. Tapi sayang… gadis cantik yang mencuri biasanya tak hidup lama dalam radar keluarga kami.”

Juliete mengerjap. Tak menjawab. Ia tahu, apapun yang ia katakan saat ini bisa saja diputar untuk menjatuhkannya lebih dalam. Maka ia memilih diam—untuk sementara.

Jaiden bangkit perlahan dari kursinya. Setiap gerakannya seperti bagian dari sebuah tarian lambat: berkelas dan mematikan. Ia melangkah mendekat, menunduk sedikit di depan Juliete.

Kini wajah mereka hanya berjarak beberapa inci.

Wajah Jaiden Cavendish hanya beberapa inci dari Juliete. Mata kelamnya menelusuri wajah gadis itu, namun bukan dengan kagum—melainkan penuh penilaian tajam, seperti predator yang mengamati mangsanya sebelum mencabik perlahan.

“Jadi kenapa kamu mencuri dariku, tikus kecil…?”

Desis Jaiden, bibirnya nyaris menyentuh pipi Juliete. Suaranya lembut, namun di dalamnya tersembunyi ancaman dingin yang bisa membuat siapa pun bergetar.

Meski senyum masih menggantung di wajah pria itu, Juliete tahu betul—setiap katanya adalah belati yang siap menancap dalam kapan saja.

Juliete menarik napas perlahan. Wajahnya mulai tegang, tapi tatapannya tetap kuat.

“Jika saya katakan yang sebenarnya pun, Anda tak akan percaya, Tuan Cavendish.”

Nada suaranya tenang, namun tegas. Ia tidak memohon, tidak membela diri secara impulsif. Ia hanya… menyatakan kebenaran.

Jaiden terdiam sejenak, seolah mencerna jawaban itu. Lalu ia mundur perlahan. Senyum kecil—begitu tipis dan penuh bahaya—muncul di sudut bibirnya.

“Tikus sepertimu… tidak seharusnya berada di club mewah seperti ini.”

Ia melirik dari ujung kaki hingga ke wajah Juliete.

“Kau terlalu pintar untuk sekadar penari… dan itu masalah.”

Jaiden meraih gelasnya kembali, lalu menyesap wiskynya seolah tak terjadi apa-apa.

“Kurasa, kau perlu diberi pelajaran.”

Diam. Lalu ia menoleh pada Benjamin.

“Kirim dia ke Blackvale. Malam ini.”

Suara Jaiden terdengar seperti vonis, namun ia menyampaikannya dengan keanggunan seorang aristokrat yang tengah memilih anggur makan malam.

Benjamin menunduk dalam.

“Baik, Tuan.”

“Anda tak bisa membawa saya begitu saja,” tantang Juliete, nadanya tenang namun tegas.

Jaiden berhenti sejenak. Sebelah alisnya terangkat, dan senyum sarkastik mengambang di bibirnya—dingin dan menohok. Ia melangkah mendekat lagi, kali ini tanpa kepura-puraan.

Tangannya mencengkeram dagu Juliete. Lebih kuat. Lebih kasar. Nyaris menyakitkan.

“Oh, tentu saja aku bisa,” bisiknya.

“Kau hanya punya dua pilihan, Miss Finnigan: di tangan polisi… atau di tanganku.”

Lalu ia mencondongkan tubuh, napasnya nyaris menyentuh kulit di bawah telinga Juliete.

“Dan aku lebih suka kau di tanganku. Karena malam ini… aku sedang butuh mainan.”

Juliete menelan salivanya. Tapi tatapannya tetap menusuk, menyala dengan kemarahan yang tertahan.

Bukan takut. Tapi muak.

Ia mendekatkan wajahnya sedikit, menantang.

“Coba saja… kalau kau pikir bisa mempermainkanku.”

Jaiden tertawa. Kali ini lebar, tanpa menahan diri.

Juliete Finnigan. Benar-benar… hiburan yang tak terduga.

Ia tahu sejak melihat gadis itu menari di panggung—ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tak bisa dibeli atau dilatih.

Tangguh. Mempesona.

Tapi yang paling membuatnya tergelitik: tidak takut. Dan itu… membuatnya lapar.

Ia tahu Juliete hanya korban. Ia bahkan tahu siapa pelaku sebenarnya. Dan sebagai seorang Cavendish, ia terlalu pintar untuk drama murahan seperti ini.

Namun Jaiden juga tahu… setiap kesalahan bisa menjadi peluang. Dan Juliete… mungkin adalah peluang terbaik yang pernah datang padanya.

Mungkin dia bisa menjadi eksperimen selanjutnya.

Namun Jaiden belum ingin mengambil kesimpulan. Belum.

Ia masih ingin bermain. Masih ingin melihat—seberapa jauh gadis ini bisa bertahan… sebelum akhirnya hancur. Sama seperti yang lain. Yang dulu datang dengan kepala tegak, lalu berakhir memohon dalam air mata dan luka. Yang melarikan diri—atau mencoba—begitu mereka menyadari siapa sebenarnya dirinya.

Bukan pria. Tapi monster yang disembunyikan oleh darah biru dan setelan mahal.

“Let’s see how far you can endure…

Or end up kneeling at my feet.”

Suaranya nyaris seperti bisikan doa.

Tapi senyum di wajahnya—lebar, kejam, seperti pemangsa yang baru mencium aroma darah segar.

Lalu, satu anggukan kecil. Hampir tak kentara.

Tapi cukup.

Dua bodyguard di belakang Juliete segera bergerak.

Mereka mencengkeram lengan gadis itu dan menyeretnya keluar dari ruangan seperti boneka yang tak lagi dibutuhkan.

Juliete tak sempat melawan. Tak sempat bicara.

Langkah-langkah berat mereka menggema di koridor.

Dan pintu besar di belakangnya tertutup pelan, nyaris tanpa suara.

Menelan cahaya. Menelan dunia yang ia kenal.

Entah ke mana mereka membawanya—mungkin ke neraka lain yang tersembunyi di balik nama keluarga Cavendish. Tempat yang bahkan tidak bisa ia bayangkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 10

    Hari-hari berlalu di Blackvale Manor. Lambat. Nyaris tak bergerak. Segalanya berjalan seperti putaran jam yang terlalu hati-hati. Dan Juliete… mulai bosan.Sangat bosan.Ia makan, tidur, berjalan menyusuri lorong-lorong panjang yang sepi, menatap lukisan keluarga Cavendish yang tak pernah berhenti menatap balik. Sesekali ia membuka media sosial dari ponselnya, tapi semua itu terasa seperti melihat dunia lain yang tak lagi relevan.Juliete bukan tipe gadis yang tahan hidup dalam ketenangan. Biasanya, hari-harinya dipenuhi jadwal ketat, kuliah, bekerja, dan kadang pelarian karena tunggakan sewa apartemen. Ia tumbuh dalam kekacauan, dan baginya, kekosongan adalah bentuk lain dari siksaan.Sudah hampir seminggu sejak ia menandatangani kontrak itu.Dan Jaiden belum sekali pun menemuinya.Tidak satu ketukan di pintu. Tidak satu panggilan. Tidak satu catatan.Apakah dia sibuk?Apakah ini bentuk lain dari dominasi: membuatnya menunggu sampai runtuh dari dalam?Juliete tak tahu.Tapi yang past

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 9

    “Kau… mengancamku!!” Suara Juliete pecah. Matanya membara, tubuhnya gemetar bukan karena sakit—tapi karena kemarahan yang menggelegak. Tangannya masih memegang lembaran kontrak itu. Jaiden tidak bergeming. Mata hitamnya menatap dalam. Tenang. Menilai. Lalu ia bicara, dengan suara rendah yang tak perlu ditinggikan untuk melukai. “Tergantung sudut pandangmu.” “Tapi bagiku… ini bukan ancaman, Juliete. Ini—justru kartu keberuntunganmu.” Dia bersandar sedikit ke depan. Wajahnya mendekat. Nafasnya nyaris menyentuh kulit Juliete. “Menikah denganku… dan kau akan mendapatkan semua ini.” Ia melambaikan tangan kecil ke sekeliling kamar. “Kekuasaan. Kemewahan. Nama keluarga yang membuat semua orang tunduk.” Juliete membalas tatapannya dengan penuh kebencian, tapi sorot matanya tak bisa membohongi bahwa kata-kata itu mengguncangnya. “Kehormatan yang tak pernah bisa kau bayangkan…” Jaiden melanjutkan. “Dan tentu saja, akses. Koneksi. Jalur cepat menuju ruang sidang, gelar keho

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 8

    Langit di atas Blackvale Manor tampak kelabu, seperti tahu bahwa pria pemiliknya telah kembali. Begitu mobil hitam berhenti di pelataran depan, para pelayan sudah berbaris. Tak ada yang berani bicara lebih dulu. Langkah Jaiden menggema di lantai marmer saat ia masuk, menyapu interior manor seperti badai dalam bentuk manusia. Langit-langit tinggi. Pilar batu hitam. Dinding gelap dihiasi lukisan keluarga berwajah dingin. Rumah itu seperti makam bangsawan. Megah, tapi dingin. Dan ia adalah rajanya. Dominic, kepala pelayan, melangkah cepat menghampirinya. “Tuan, Nona Juliete belum makan seharian. Alice bilang… dia sedang demam.” Langkah Jaiden terhenti. Alisnya perlahan terangkat, dan matanya menyipit. Seolah tak percaya pada kata yang baru saja ia dengar. “Sakit?” Napasnya pelan tapi berat. “Dia bahkan belum 24 jam di sini…” Nada suaranya tidak peduli—tapi setiap kata mengandung rasa terganggu yang tak bisa ia sembunyikan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Jaiden langsung menaiki t

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 7

    Udara ruang makan perlahan menebal. Setelah piring-piring hidangan utama disingkirkan, hanya tersisa wine merah tua dan napas yang saling menunggu giliran bicara. Kakek August menyandarkan tubuhnya ke kursi. Jemarinya mengetuk meja kayu gelap tiga kali—lambang bahwa waktu basa-basi telah habis. “Jaiden,” katanya, pelan tapi tajam seperti belati. Semua kepala secara otomatis menoleh. Jaiden tidak. Ia hanya meneguk anggurnya pelan, menunggu dengan malas. “Kau tahu kenapa kau dipanggil hari ini.” Jaiden mengangkat bahu sedikit. “Karena anda suka mengatur hidup orang lain?” Zelda terkekeh. Marvish tersenyum seperti sedang menonton opera mahal. Margaret pura-pura sibuk mengusap bibir dengan serbet. August tidak terganggu. Ia menatap cucu sulungnya seperti menatap jenderal yang sedang lupa posisi. “Karena waktumu hampir habis.” Keheningan turun. “Usiamu sudah cukup. Nama Cavendish butuh pewaris sah. Butuh stabilitas. Dan sudah waktunya kita perkenalkan seorang istri untu

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 6

    Langit di atas Morgrave Estate, hotel bintang lima milik keluarga Cavnedish—tertutup awan kelabu. Di dalam kantor dengan jendela besar dan tirai beludru hitam, aroma espresso baru terseduh mengisi ruangan seperti pembuka dari sebuah pertempuran yang belum dimulai. Benjamin berdiri tegak di sisi ruangan, tubuhnya tegak tapi tak santai. “Bos, siang ini Tuan August mengadakan jamuan makan di Thornvale. Anda diminta hadir. Katanya ada hal yang perlu didiskusikan...” Jaiden tak langsung merespons. Duduk bersandar di kursi hitam berlapis kulit, ia seperti patung yang hanya hidup di balik sorot mata tajamnya. Di hadapannya, sebuah map dokumen terbuka. Namanya jelas terbaca: Juliete Finnigan. Tempat tanggal lahir, alamat lengkap, data akademik, hingga beberapa foto. Benjamin baru saja menyerahkannya. Jaiden membaca dengan diam. Tatapannya tak berkedip. Tangannya terlipat, tenang, tapi aura di sekelilingnya cukup untuk membuat siapa pun berpikir dua kali sebelum membuka mulut. “Oxford.

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 5

    POV Jaiden, Suara tamparan itu keras. Tajam. Dan menggema lama di aula batu yang sunyi ini—seolah tembok pun terhenyak mendengarnya.Untuk sesaat, waktu berhenti. Bahkan kedua bodyguard-ku—yang biasanya dingin dan tak tergoyahkan—ikut membeku. Mereka tahu siapa aku. Jaiden Alastair Cavendish. Nama yang tak disebut dalam suara keras, hanya dalam bisik-bisik takut. Malaikat maut di balik lambang kejayaan keluarga Cavendish. Tapi gadis ini… dia menamparku. Dengan tangan kosong. Tanpa rasa bersalah. Tanpa ragu. Gila. Dari puluhan wanita yang dikirim ke hadapanku—dipoles, dipaksa, dipuja—tak satu pun yang berani melawanku. Karena aku memang membenci perlawanan. Dan mereka tahu… apa yang terjadi pada orang yang melawan. Tapi tikus kecil ini—Juliete Finnigan—berani menunjukkan taring. Kemarahan memancar dari mataku. Itu pasti. Tapi di balik itu—lebih dalam, lebih panas—ada sesuatu yang lain. Penasaran. Ketertarikan. Obsesi. “Juliete Finnigan…” Aku menggeram, suaraku nyaris berbisi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status