Share

Chapter 5

Author: Lia.F
last update Huling Na-update: 2025-06-16 20:46:20

POV Jaiden,

Suara tamparan itu keras. Tajam. Dan menggema lama di aula batu yang sunyi ini—seolah tembok pun terhenyak mendengarnya.

Untuk sesaat, waktu berhenti. Bahkan kedua bodyguard-ku—yang biasanya dingin dan tak tergoyahkan—ikut membeku. Mereka tahu siapa aku.

Jaiden Alastair Cavendish.

Nama yang tak disebut dalam suara keras, hanya dalam bisik-bisik takut. Malaikat maut di balik lambang kejayaan keluarga Cavendish.

Tapi gadis ini… dia menamparku. Dengan tangan kosong. Tanpa rasa bersalah. Tanpa ragu.

Gila.

Dari puluhan wanita yang dikirim ke hadapanku—dipoles, dipaksa, dipuja—tak satu pun yang berani melawanku. Karena aku memang membenci perlawanan. Dan mereka tahu… apa yang terjadi pada orang yang melawan.

Tapi tikus kecil ini—Juliete Finnigan—berani menunjukkan taring.

Kemarahan memancar dari mataku. Itu pasti. Tapi di balik itu—lebih dalam, lebih panas—ada sesuatu yang lain.

Penasaran. Ketertarikan. Obsesi.

“Juliete Finnigan…”

Aku menggeram, suaraku nyaris berbisik. Tapi dalamnya seperti gemuruh petir yang ditahan di dada.

Tatapannya masih menantang. Masih tak takut. Masih membuat darahku mendidih—dalam cara yang paling memabukkan.

Sial.

Tanpa pikir panjang, aku mengangkat tubuhnya. Kecil, ringan.

Ia menendang. Menggeliat. Sumpah serapah mengalir dari bibirnya seperti pisau tumpul—menggores, tapi tak cukup untuk membuatku melepaskan.

“Jaiden! Brengsek! Psikopat! LEPASKAN AKU!!”

Teriaknya menggema di lorong-lorong Blackvale yang sepi saat kutapaki lantai batu dengan langkah pasti.

Tapi aku tak peduli. Hari ini…aku tidak ingin membunuhnya. Aku ingin menghancurkannya.

Aku terus melangkah membawa tubuh Juliete di bahuku.

Langkahku mantap, mendaki tangga landai menuju lantai atas—tempat deretan kamar berjejer rapi, biasa digunakan untuk tamu kehormatan. Tapi malam ini, tamuku bukan orang biasa. Malam ini, tamuku adalah kutukan yang berjalan.

Aku membuka salah satu pintu. Kamar luas dengan cahaya remang dan tempat tidur berlapis seprai sutra kelabu.

Tanpa basa-basi, kuterjang masuk, dan menutup pintu dengan dorongan kakiku. Lalu kuhentakkan tubuhnya ke atas kasur.

Suara empuk kain bertemu tubuh terdengar pelan, tapi efeknya… aku yakin tak akan ia lupakan.

Kasur ini boleh dari sutra, tapi malam ini tak ada yang terasa mewah.

Begitu tubuhnya terjatuh, aku menyusul naik. Dalam satu gerakan cepat, kedua tangannya kuangkat ke atas kepala dan kuperangkap dalam satu genggaman.

Tanganku yang lain meraih dasi dari leherku—melepasnya dengan gerakan tajam.

“Jaiden! Apa-apaan ini?! Lepaskan aku!”

Dia kembali mengoceh. Masih melawan. Masih menantang. Dan entah mengapa… itu justru menyulutku lebih dalam.

Kuikat pergelangan tangannya dengan dasiku. Lilitan itu kencang, pasti, dan tak bisa dia lawan.

Tepat seperti dia—kuat, indah, tapi belum menyadari bahwa setiap perlawanan hanya membuat jerat ini makin menggoda.

Tubuhku kini menggantung di atas tubuhnya.

“Kau harus membayar tamparanmu, Miss Finnigan.”

Bisikku rendah, tajam, menusuk lurus ke telinganya.

Kuperhatikan wajahnya. Wajah yang masih memberontak di bawah tubuhku. Mata yang menyala seperti api kecil yang menolak padam. Bibir itu memaki. Tapi auranya… memanggil.

Sial.

Sudah lama aku tak merasakan ini. Panas menjalar pelan. Membakar lambat.

Bukan amarah. Tapi sesuatu yang lebih… berbahaya.

Sudah tujuh tahun sejak Dad meninggal. Selama itu, aku tak pernah menyentuh satu pun wanita.

Dan tak ada yang berani menyentuhku kembali. Karena aku tau, satu sentuhan—bisa melemahkan. Bisa membuka celah. Aku tak memberi ruang untuk itu.

Mungkin itu juga alasan aku selalu menolak gadis-gadis pilihan Mom.

Atau perempuan boneka yang dikirim Marvish dengan senyum dan parfum mahal. Mereka terlalu mudah. Terlalu patuh. Terlalu kosong. Dan aku membenci kekosongan yang mencoba menyamar sebagai keindahan.

Tapi malam ini…semuanya berubah. Hasrat itu kembali. Panas itu membakar dari dalam. Dan semuanya—berawal dari tamparan gadis ini.

Juliete Finnigan.

Tatapan menantangnya menembus semua lapisan kulit dan harga diriku. Sesuatu dalam tubuhku bergerak liar. Tak terkendali. Sesuatu dalam celanaku mulai terasa sesak.

Aku menggertakkan gigi, mencoba menahan dorongan yang semakin meracuni pikiranku.

Apa yang telah kau lakukan padaku, Juliete?

Api apa yang kau bawa, hingga aku—Jaiden Cavendish—nyaris kehilangan kendali di atas tubuhmu?

“Malam ini kau akan kuhancurkan, Juliete Finnigan…”

Geramku terdengar berat, kasar, dan dingin.

Tanganku merobek bagian atas pakaiannya dengan satu tarikan tajam. Kain itu terbelah.

Dan yang kini kulihat… tubuh halus, terbalut bra hitam yang membingkai kemarahan dalam keindahan.

Aku menelan saliva tanpa sadar. Tatapanku makin liar. Membara.

Juliete memandangku—bukan dengan takut, tapi dengan amarah dan jijik. Pandangan yang menusuk, seolah berkata: kau monster.

Dan mungkin, malam ini aku memang jadi monster itu.

Bagus.

Agar dia tahu, aku bukan pria yang bisa ditantang tanpa akibat.

Aku mulai melepas jas. Kemejaku menyusul. Kancing demi kancing terbuka. Dan kini tubuhku terbuka di hadapannya—dada keras, garis otot yang selama ini tak tersentuh siapa pun.

“Kau mau apa?”

Suara Juliete bergetar. Marah. Takut. Tapi juga… penasaran.

Aku menyeringai. Dingin.

“Memberi pelajaran pada seseorang yang berani menantangku.”

Rahangku mengeras. Nafasku semakin dalam. Amarah ini belum reda.

Kuangkat pisau lipat emas dari saku celanaku, membiarkannya memantulkan cahaya sebelum kuarahkan ujungnya ke sepanjang rahangnya, hingga tulang selangka.

“Kau tahu apa yang bisa kulakukan padamu, Juliete?” bisikku.

Dengan kemarahan ia meludah. Tepat ke wajahku.

“Lepaskan tanganmu dariku, dasar kau gila.”

Untuk sesaat, aku membeku. Bukan karena jijik. Tapi karena tak percaya—tikus kecil ini menantangku.

Perlahan, kutarik pisau menjauh dan mengusap ludah dari pipiku. Lalu kudekatkan wajahku ke wajahnya, cukup dekat untuk mencium ketakutannya.

Tapi dia tidak takut.

“Beraninya kau menatapku begitu…” gumamku, nyaris tersenyum. “Kau benar-benar… menarik untuk dihancurkan.”

“Apa yang terjadi, Juliete, kalau aku menyentuh seluruh tubuhmu?”

Nadaku tajam. Tidak membujuk. Tidak romantis. Tapi memerintah.

Dia menegang. Tubuhnya kaku seperti baja yang dibekukan. Tapi matanya menolak untuk tunduk.

Aku mendekat, bibirku meluncur perlahan ke garis rahangnya. Sebuah sentuhan—bukan ciuman. Sekadar peringatan.

“Kau suka disentuh bagian mana?” tanyaku, namun aku tak menunggu jawaban.

Bibirku menggores pipinya, lalu ke lehernya. Ia tak bersuara. Tak bergerak. Tapi matanya menyala—antara marah dan takut. Kombinasi paling menggoda yang pernah kulihat.

“Tak perlu jawab,” bisikku. “Tubuhmu yang akan berbicara.”

Sentuhanku berhenti di lehernya. Lalu kuhisap perlahan.

Gigiku mulai menancap. Awalnya hanya tekanan, lalu lebih dalam—hingga ku dengar dia meringis. Mungkin karena rasa sakit. Atau karena rasa lain yang tak ingin dia akui.

Darah menetes dari lehernya. Sedikit, tapi cukup untuk membuat napasku memburu.

Kulepaskan gigitanku, lalu menatap wajahnya…

Tak ada lagi sorot pemberontak itu. Tubuhnya meremang. Matanya terpejam. Nafasnya tak beraturan. Dahinya berkeringat.

Apakah dia takut? Begitu mudahkah dia menyerah? Padahal genangan darah sebelumnya bahkan tak membuatnya gentar.

What the fuck!!

Kesal menguar dari pori-poriku. Hasratku menguap begitu saja. Bukan karena dia tak cantik—tapi karena dia tak melawan.

Aku tak menginginkan patung diam yang bisa kutelanjangi tanpa suara. Aku menginginkan petarung.

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa kehilangan sesuatu—padahal aku baru saja menang.

Aku turun dari tubuh Juliete dengan geram.

Saat kulepaskan ikatannya, dia menangis.

Bukan teriakan. Bukan amarah. Tapi tangis yang nyaris tak bersuara.

Sungguh, aku benci ini. Aku tidak menginginkan air mata. Aku ingin api.

Dengan amarah yang tidak bisa kutuangkan ke siapa pun—bahkan ke diriku sendiri—aku berbalik, membuka pintu, dan membantingnya keras di belakangku.

Tidak ada tatapan terakhir. Tidak ada kalimat pamungkas.

Permainan ini telah rusak. Dan aku benci bermain sendiri.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 163

    Juliete duduk di Bathub membelakangi Jaiden. Punggungnya menghadap lelaki itu. Seolah tak ingin membuang kesempatan Jaiden mendaratkan kecupan-kecupan lembut di sisi leher, bahu dan tulang selangka Juliete. Tangannya melingkar pinggang Juliete erat. Juliete hanya memejamkan mata, membiarkan tubuhnya bersandar pada dada bidang Jaiden. Uap air hangat yang mengepul membuat suasana makin intim. Ia masih diam, meski hatinya berdebar hebat merasakan bibir Jaiden yang terus bergerilya di sepanjang leher dan bahunya. “Betapa aku merindukan aroma tubuhmu, sayang…” bisik Jaiden, suaranya parau dan bergetar. Pelan, tangannya yang melingkari pinggang Juliete bergerak naik, menyusuri lekuk tubuh istrinya, seolah ingin memastikan dirinya tidak sedang bermimpi. Juliete menarik napas dalam, tubuhnya menegang sejenak, lalu ia membiarkannya. “Hukuman apa yang harus kuberikan padamu?” Jaiden terkekeh pelan di telinganya, lalu semakin menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Juliete, menghisapnya

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 162

    “George… Lily… apa lagi keributan yang kalian buat di sekolah hari ini?” suara Juliete terdengar tegas. Ia duduk di kursi ruang keluarga sambil melipat tangan di dada. Dua anak kembar itu berdiri di depannya dengan kepala menunduk, saling melirik sekilas. Tatapan mereka sama persis—nakal, seperti sedang menahan tawa. Juliete menghela napas panjang. “Kepala sekolah bilang kalian memasukkan sampah ke dalam tas teman kalian. Astaga…” tangannya refleks mengusap pelipisnya. “Kalian ini benar-benar… kalau Papa tahu, habislah kalian.” George spontan membuka mulut, berusaha membela diri. “Itu cuma… eksperimen, Mommy.” “Eksperimen?!” Juliete menaikkan alisnya. “Ya, eksperimen… kami ingin lihat apakah sampah-sampah itu sama beratnya dengan isi buku pelajaran.” Lily menambahkan, berusaha terdengar serius. “Lalu kenapa tidak kalian masukkan sendiri sampah itu ke tas kalian.” Juliete melotot hampir kehilangan kesabaran. “Itu tidak mungkin, mommy akan marah jika kami melakukan itu.” L

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 161

    Malam di Thornvale Court terasa begitu damai. Selepas makan malam, Juliete langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Perutnya masih terasa tidak nyaman sejak siang tadi. Sementara di sampingnya, Jaiden duduk santai, menatap layar iPad sambil membaca beberapa jurnal. Tiba-tiba Juliete bangkit tergesa, menahan mulas yang datang lagi. Jaiden hanya sempat mengernyit, sebelum mendengar suara istrinya muntah di kamar mandi. Ia segera menaruh iPad dan bergegas menghampiri. “Sayang, kau baik-baik saja?” Jaiden menahan bahu Juliete, khawatir melihat wajah pucat itu. Juliete membasuh wajahnya dengan air, lalu berkumur sebelum menggeleng lemah. “Seharian ini aku sudah muntah tiga kali…” bisiknya. Jaiden menatap penuh tanya. “Ada apa sebenarnya?” Juliete menggigit bibirnya, lalu mengembuskan napas pelan. “Aku sudah telat menstruasi… hampir tiga minggu.” Mata Jaiden langsung berbinar, tubuhnya mendekat cepat. “Apa itu artinya… kau—?” “Aku belum tahu pasti. Belum sempat mem

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 160

    “Jaiden… kumohon, jangan buat aku menunggu lagi…” suaranya bergetar, penuh permohonan. Senyum miring muncul di wajah Jaiden. Pria itu menatap istrinya dengan tatapan intens yang membuat darah Juliete berdesir liar. “Katakan kau menyukai ini, ketika aku menidurimu...” “Ya aku suka, aku suka setiap sentuhanmu…”Juliete nyaris berteriak mengatakannya. Mendengar itu, Jaiden tak lagi menahan diri. Dorongannya kembali menghantam dengan ritme cepat dan keras, membuat tubuh Juliete tak kuasa menahan desahan panjang. “Ohhh—Jaiden!” teriaknya pecah, tubuhnya bergetar hebat. Jaiden menggertakkan rahang, menahan teriakan sendiri, tapi tak lama tubuhnya juga bergetar, melepaskan seluruh gairah yang menumpuk sejak awal. Napas mereka sama-sama tersengal, tubuh berkeringat menempel erat satu sama lain. Juliete terkulai di pelukan Jaiden, masih gemetar lemah, sementara Jaiden mengecup keningnya lembut. Juliete hanya bisa tersenyum lemah, matanya masih berkaca-kaca oleh intensitas momen

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 159

    Di halaman depan Petrovka, suasana terasa haru. Semua keluarga sudah berkumpul, menatap kepergian Jaiden, Juliete, dan Luka yang sebentar lagi akan kembali ke London. Juliete tak mampu menahan air matanya saat memeluk erat sang kakak. Tangisnya pecah, tubuhnya bergetar di pelukan Julian. “Tenanglah, kau punya jet pribadi untuk bisa mengunjungiku kapan pun,” Julian menenangkan dengan senyum kecil. Tangannya mengelus puncak kepala Juliete, penuh kasih sayang seorang kakak. “Aku akan merindukanmu, kak…” suara Juliete bergetar, matanya basah memandang Julian. Dari samping, Jaiden hanya tersenyum geli melihat pemandangan itu. Ada rasa lega sekaligus bahagia, karena kini Juliete punya tempat pulang, dan sebuah keluarga yang nyata. Luka ikut mendekat, dengan wajah sendunya yang polos. “Paman, nanti sering-sering temui Luka ya… bibi Sheila juga,” ucapnya sambil memeluk Julian dan Sheila satu per satu. Sheila tersenyum, matanya ikut berkaca. “Tentu, sayang… bibi janji.” Ketika se

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 158

    Juliete hanya memejamkan mata pun sesekali mendesah liar, kala Jaiden dengan lembut mengecupi bagian-bagian tubuhnya yang lain. Garis rahang, leher , tulang selangka hingga di bagian atas dada Juliete. Tangannya pun bergerilya menjalar kebagian balik punggung Juliete, melepaskan pengait Bra-nya. Hingga terbuka jelaslah bagian atas sang istri. Mata Jaiden menggelap, ketika pandangannya tertuju pada payudara milik Juliete. Jaiden menarik napas panjang, seakan berusaha menahan diri, namun jelas sekali matanya tak bisa lepas dari pemandangan di hadapannya. “I promise, I’ll fuck you harder tonight, Miss Cavendish.” bisiknya serak. Juliete masih memejamkan mata, tubuhnya menegang karena tiap sentuhan terasa menggetarkan. Ia hanya mampu menggigit bibir, menahan gelombang sensasi yang semakin menguasai dirinya. Jaiden menunduk, bibirnya menyentuh lembut kulit Juliete yang kini terekspos, lalu menelusuri dengan ciuman panjang penuh klaim. Tangannya tak kalah agresif, menggenggam pin

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status