Udara ruang makan perlahan menebal. Setelah piring-piring hidangan utama disingkirkan, hanya tersisa wine merah tua dan napas yang saling menunggu giliran bicara.
Kakek August menyandarkan tubuhnya ke kursi. Jemarinya mengetuk meja kayu gelap tiga kali—lambang bahwa waktu basa-basi telah habis. “Jaiden,” katanya, pelan tapi tajam seperti belati. Semua kepala secara otomatis menoleh. Jaiden tidak. Ia hanya meneguk anggurnya pelan, menunggu dengan malas. “Kau tahu kenapa kau dipanggil hari ini.” Jaiden mengangkat bahu sedikit. “Karena anda suka mengatur hidup orang lain?” Zelda terkekeh. Marvish tersenyum seperti sedang menonton opera mahal. Margaret pura-pura sibuk mengusap bibir dengan serbet. August tidak terganggu. Ia menatap cucu sulungnya seperti menatap jenderal yang sedang lupa posisi. “Karena waktumu hampir habis.” Keheningan turun. “Usiamu sudah cukup. Nama Cavendish butuh pewaris sah. Butuh stabilitas. Dan sudah waktunya kita perkenalkan seorang istri untukmu.” Jaiden menghela napas—kasar, nyaris seperti erangan frustrasi yang sudah terlalu lama ditahan. Pertanyaan itu sudah seperti mantra kutukan yang terus diulang: kapan kau menikah, siapa calonmu, kapan kami bisa melihat ahli waris? Dan puluhan wajah perempuan yang dipajang seperti barang lelang di depan matanya, semua tampak sama—tunduk, plastik, penuh harapan palsu. “Tentu,” katanya sambil mengangkat gelas wine. “Aku sudah punya calonnya. Pilihanku sendiri.” Ia menyesap anggur perlahan. Angkuh. Liar. Wajahnya tak menunjukkan apa-apa, tapi nadanya menggetarkan meja. Marvish nyaris tersedak. Zelda—yang sedang asik menggigit stroberi—langsung melotot, bibirnya setengah terbuka. Margaret menghentikan gerakan tangannya, ekspresinya seolah baru mendengar Jaiden akan ikut audisi opera. August tetap diam. Tapi matanya… menilai. Menimbang. Menghitung risiko. “Waaaah, akhirnya…” Zelda mendesis sambil menyandarkan tubuh ke kursi. “Sang pangeran kegelapan menemukan putri impiannya.” “Setelah… lima puluh sembilan calon diusulkan. Luar biasa.” Marvish menambahkan, setengah tertawa. Jaiden melirik mereka tajam. Sekilas. Tapi cukup untuk membekukan udara. “Marv. Zelda.” Nada Margaret datar, tapi tegas. “Cukup.” Zelda mengangkat kedua tangan. “Hanya mengapresiasi keajaiban, Mom.” “Siapa dia?” tanya Margaret, kali ini menatap Jaiden lurus-lurus. Tak ada lagi basa-basi. “Apa dia… pantas memakai nama Cavendish?” Jaiden menatap ibunya. Tenang. Dingin. Tapi matanya menyala liar. “Aku akan pastikan dia jadi lebih dari pantas.” August akhirnya bicara. “Kalau kau benar-benar yakin… maka bawa dia ke meja ini.” Jaiden tersenyum. Bukan senyum manis. Tapi sesuatu yang menyerupai tantangan. “Dengan senang hati.” Jaiden bersandar di kursinya. Wajahnya masih datar, tapi pikirannya berputar cepat. Kalimat yang baru saja ia ucapkan—tentang wanita pilihannya—bukan sekadar pembelaan. Itu adalah titik mula dari sesuatu yang jauh lebih besar. Di benaknya, hanya ada satu wajah: Juliete Finnigan. Gadis keras kepala yang tak tahu batas. Gadis yang tak takut menatap matanya ketika semua orang memilih menunduk. Seekor burung liar yang tersesat dan menolak untuk jinak. Tentu, dia sadar apa artinya memasukkan nama itu ke dalam silsilah keluarga Cavendish. Nama mereka bukan sekadar simbol kekuasaan—tapi juga perangkap. Kegelapan. Reputasi yang bisa menghancurkan siapa pun yang tak cukup kuat untuk menanggungnya. Juliete… tidak akan siap. Dan justru di sanalah letak permainannya. Seringai pelan muncul di sudut bibirnya. Perlahan. Liar. Tidak hangat. “Sebentar lagi… dia akan berlutut di hadapanku.” Bukan karena paksaan. Tapi karena kerelaan. Karena tubuhnya sendiri akan mengkhianati moralnya. Karena hatinya akan remuk oleh kontras antara benci dan ketertarikan. Karena dia akan merindukan neraka yang Jaiden ciptakan. Ini bukan cinta tentu saja. Ini obsesi. Jaiden lebih suka menyebutnya begitu. *** Tubuh Juliete menggigil dalam keringat dingin, tapi pikirannya terbakar. Ia terbangun dengan napas terengah-engah, jantung berdetak seperti ingin menghancurkan tulangnya dari dalam. Mimpi itu lagi. Tapi ini bukan tentang darah. Bukan tentang jeritan. Bukan tentang ledakan atau abu dari kota Kandahar—yang saat kecil sudah menjadi latar belakang hidupnya. Darah? Ia sudah terbiasa. Jeritan? Ia tumbuh dengan itu. Kepala menggelinding di tengah jalan saat usianya 8 tahun adalah bagian dari sore yang biasa. Yang tak terbiasa… adalah kehilangan. Ibunya. Satu-satunya orang yang mencoba menyelamatkannya dari negeri penuh bara itu—yang suatu senja, memilih kapal ilegal dan menyeberangi lautan menuju Eropa, hanya untuk berakhir di sebuah flat kecil di pinggiran London… dan di tangan seorang pria yang seharusnya melindungi mereka. David Finnigan. Nama itu membuat kulit Juliete terasa seperti ditaburi jarum es. Saat usianya 15 tahun, pria itu—ayah tirinya—pernah mencoba mencuri sesuatu darinya. Nyaris menghilangkan kesucian anak perempuan yang tinggal serumah dengannya. Dan mungkin malam itu akan berakhir dengan kehancuran…Jika ibunya tak memergoki semuanya. Darah kembali hadir—bukan di medan perang, tapi di kamar sempit mereka sendiri. Ibunya tewas. David dipenjara. Sejak hari itu, Juliete tinggal sendiri. Tak ada keluarga. Tak ada pelindung. Hanya London, lampu-lampu malam, dan pekerjaan-pekerjaan kecil yang memberinya cukup uang untuk bertahan hidup… dan mengejar satu-satunya impian: menjadi pengacara. Pengacara bukan karena dia suka hukum. Tapi karena dia tahu apa yang terjadi ketika hukum tidak hadir. Tapi malam ini… Yang muncul dalam mimpi bukan bayangan David. Bukan darah. Bukan tubuh ibunya yang tak bernyawa. Yang muncul… adalah mata Jaiden Cavendish. Tatapan itu. Dingin. Mencekam. Tapi ada sesuatu di dalamnya… sesuatu yang membuat kulit Juliete terbakar, bukan membeku. Dan itu yang menjijikkan. Sekaligus menakutkan. Juliete memandang berkeliling. Cahaya matahari pagi menembus jendela-jendela tinggi berbingkai emas, memantul di lantai marmer dan tirai beludru. Pancaran hangat itu menyilaukan… tapi tidak menghibur. Juliete sadar, kini dia terbangun di sebuah istana. Tapi bukan istana di mana para putri akan hidup bahagia, tapi istana kegelapan di mana iblis bernama Jaiden tinggal. Juliete menggeram pelan, tubuhnya terasa berat seperti dipenuhi timah. Seluruh ototnya lelah, pikirannya penuh kabut. Dan meski seprai yang menyelimuti tubuhnya adalah sutra halus yang mahal, ia tetap merasa… terkunci. “Sialan…” desisnya pelan. Ia kembali meringkuk, membelakangi jendela. Cahaya itu terlalu terang untuk pagi seperti ini. Atau mungkin… terlalu terang untuk jiwa yang sedang hancur seperti dirinya.Hari-hari berlalu di Blackvale Manor. Lambat. Nyaris tak bergerak. Segalanya berjalan seperti putaran jam yang terlalu hati-hati. Dan Juliete… mulai bosan.Sangat bosan.Ia makan, tidur, berjalan menyusuri lorong-lorong panjang yang sepi, menatap lukisan keluarga Cavendish yang tak pernah berhenti menatap balik. Sesekali ia membuka media sosial dari ponselnya, tapi semua itu terasa seperti melihat dunia lain yang tak lagi relevan.Juliete bukan tipe gadis yang tahan hidup dalam ketenangan. Biasanya, hari-harinya dipenuhi jadwal ketat, kuliah, bekerja, dan kadang pelarian karena tunggakan sewa apartemen. Ia tumbuh dalam kekacauan, dan baginya, kekosongan adalah bentuk lain dari siksaan.Sudah hampir seminggu sejak ia menandatangani kontrak itu.Dan Jaiden belum sekali pun menemuinya.Tidak satu ketukan di pintu. Tidak satu panggilan. Tidak satu catatan.Apakah dia sibuk?Apakah ini bentuk lain dari dominasi: membuatnya menunggu sampai runtuh dari dalam?Juliete tak tahu.Tapi yang past
“Kau… mengancamku!!” Suara Juliete pecah. Matanya membara, tubuhnya gemetar bukan karena sakit—tapi karena kemarahan yang menggelegak. Tangannya masih memegang lembaran kontrak itu. Jaiden tidak bergeming. Mata hitamnya menatap dalam. Tenang. Menilai. Lalu ia bicara, dengan suara rendah yang tak perlu ditinggikan untuk melukai. “Tergantung sudut pandangmu.” “Tapi bagiku… ini bukan ancaman, Juliete. Ini—justru kartu keberuntunganmu.” Dia bersandar sedikit ke depan. Wajahnya mendekat. Nafasnya nyaris menyentuh kulit Juliete. “Menikah denganku… dan kau akan mendapatkan semua ini.” Ia melambaikan tangan kecil ke sekeliling kamar. “Kekuasaan. Kemewahan. Nama keluarga yang membuat semua orang tunduk.” Juliete membalas tatapannya dengan penuh kebencian, tapi sorot matanya tak bisa membohongi bahwa kata-kata itu mengguncangnya. “Kehormatan yang tak pernah bisa kau bayangkan…” Jaiden melanjutkan. “Dan tentu saja, akses. Koneksi. Jalur cepat menuju ruang sidang, gelar keho
Langit di atas Blackvale Manor tampak kelabu, seperti tahu bahwa pria pemiliknya telah kembali. Begitu mobil hitam berhenti di pelataran depan, para pelayan sudah berbaris. Tak ada yang berani bicara lebih dulu. Langkah Jaiden menggema di lantai marmer saat ia masuk, menyapu interior manor seperti badai dalam bentuk manusia. Langit-langit tinggi. Pilar batu hitam. Dinding gelap dihiasi lukisan keluarga berwajah dingin. Rumah itu seperti makam bangsawan. Megah, tapi dingin. Dan ia adalah rajanya. Dominic, kepala pelayan, melangkah cepat menghampirinya. “Tuan, Nona Juliete belum makan seharian. Alice bilang… dia sedang demam.” Langkah Jaiden terhenti. Alisnya perlahan terangkat, dan matanya menyipit. Seolah tak percaya pada kata yang baru saja ia dengar. “Sakit?” Napasnya pelan tapi berat. “Dia bahkan belum 24 jam di sini…” Nada suaranya tidak peduli—tapi setiap kata mengandung rasa terganggu yang tak bisa ia sembunyikan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Jaiden langsung menaiki t
Udara ruang makan perlahan menebal. Setelah piring-piring hidangan utama disingkirkan, hanya tersisa wine merah tua dan napas yang saling menunggu giliran bicara. Kakek August menyandarkan tubuhnya ke kursi. Jemarinya mengetuk meja kayu gelap tiga kali—lambang bahwa waktu basa-basi telah habis. “Jaiden,” katanya, pelan tapi tajam seperti belati. Semua kepala secara otomatis menoleh. Jaiden tidak. Ia hanya meneguk anggurnya pelan, menunggu dengan malas. “Kau tahu kenapa kau dipanggil hari ini.” Jaiden mengangkat bahu sedikit. “Karena anda suka mengatur hidup orang lain?” Zelda terkekeh. Marvish tersenyum seperti sedang menonton opera mahal. Margaret pura-pura sibuk mengusap bibir dengan serbet. August tidak terganggu. Ia menatap cucu sulungnya seperti menatap jenderal yang sedang lupa posisi. “Karena waktumu hampir habis.” Keheningan turun. “Usiamu sudah cukup. Nama Cavendish butuh pewaris sah. Butuh stabilitas. Dan sudah waktunya kita perkenalkan seorang istri untu
Langit di atas Morgrave Estate, hotel bintang lima milik keluarga Cavnedish—tertutup awan kelabu. Di dalam kantor dengan jendela besar dan tirai beludru hitam, aroma espresso baru terseduh mengisi ruangan seperti pembuka dari sebuah pertempuran yang belum dimulai. Benjamin berdiri tegak di sisi ruangan, tubuhnya tegak tapi tak santai. “Bos, siang ini Tuan August mengadakan jamuan makan di Thornvale. Anda diminta hadir. Katanya ada hal yang perlu didiskusikan...” Jaiden tak langsung merespons. Duduk bersandar di kursi hitam berlapis kulit, ia seperti patung yang hanya hidup di balik sorot mata tajamnya. Di hadapannya, sebuah map dokumen terbuka. Namanya jelas terbaca: Juliete Finnigan. Tempat tanggal lahir, alamat lengkap, data akademik, hingga beberapa foto. Benjamin baru saja menyerahkannya. Jaiden membaca dengan diam. Tatapannya tak berkedip. Tangannya terlipat, tenang, tapi aura di sekelilingnya cukup untuk membuat siapa pun berpikir dua kali sebelum membuka mulut. “Oxford.
POV Jaiden, Suara tamparan itu keras. Tajam. Dan menggema lama di aula batu yang sunyi ini—seolah tembok pun terhenyak mendengarnya.Untuk sesaat, waktu berhenti. Bahkan kedua bodyguard-ku—yang biasanya dingin dan tak tergoyahkan—ikut membeku. Mereka tahu siapa aku. Jaiden Alastair Cavendish. Nama yang tak disebut dalam suara keras, hanya dalam bisik-bisik takut. Malaikat maut di balik lambang kejayaan keluarga Cavendish. Tapi gadis ini… dia menamparku. Dengan tangan kosong. Tanpa rasa bersalah. Tanpa ragu. Gila. Dari puluhan wanita yang dikirim ke hadapanku—dipoles, dipaksa, dipuja—tak satu pun yang berani melawanku. Karena aku memang membenci perlawanan. Dan mereka tahu… apa yang terjadi pada orang yang melawan. Tapi tikus kecil ini—Juliete Finnigan—berani menunjukkan taring. Kemarahan memancar dari mataku. Itu pasti. Tapi di balik itu—lebih dalam, lebih panas—ada sesuatu yang lain. Penasaran. Ketertarikan. Obsesi. “Juliete Finnigan…” Aku menggeram, suaraku nyaris berbisi