Share

Chapter 7

Author: Lia.F
last update Huling Na-update: 2025-06-17 16:53:11

Udara ruang makan perlahan menebal. Setelah piring-piring hidangan utama disingkirkan, hanya tersisa wine merah tua dan napas yang saling menunggu giliran bicara.

Kakek August menyandarkan tubuhnya ke kursi. Jemarinya mengetuk meja kayu gelap tiga kali—lambang bahwa waktu basa-basi telah habis.

“Jaiden,” katanya, pelan tapi tajam seperti belati.

Semua kepala secara otomatis menoleh. Jaiden tidak. Ia hanya meneguk anggurnya pelan, menunggu dengan malas.

“Kau tahu kenapa kau dipanggil hari ini.”

Jaiden mengangkat bahu sedikit. “Karena anda suka mengatur hidup orang lain?”

Zelda terkekeh. Marvish tersenyum seperti sedang menonton opera mahal. Margaret pura-pura sibuk mengusap bibir dengan serbet.

August tidak terganggu. Ia menatap cucu sulungnya seperti menatap jenderal yang sedang lupa posisi.

“Karena waktumu hampir habis.”

Keheningan turun.

“Usiamu sudah cukup. Nama Cavendish butuh pewaris sah. Butuh stabilitas. Dan sudah waktunya kita perkenalkan seorang istri untukmu.”

Jaiden menghela napas—kasar, nyaris seperti erangan frustrasi yang sudah terlalu lama ditahan. Pertanyaan itu sudah seperti mantra kutukan yang terus diulang: kapan kau menikah, siapa calonmu, kapan kami bisa melihat ahli waris?

Dan puluhan wajah perempuan yang dipajang seperti barang lelang di depan matanya, semua tampak sama—tunduk, plastik, penuh harapan palsu.

“Tentu,” katanya sambil mengangkat gelas wine. “Aku sudah punya calonnya. Pilihanku sendiri.”

Ia menyesap anggur perlahan. Angkuh. Liar.

Wajahnya tak menunjukkan apa-apa, tapi nadanya menggetarkan meja.

Marvish nyaris tersedak. Zelda—yang sedang asik menggigit stroberi—langsung melotot, bibirnya setengah terbuka. Margaret menghentikan gerakan tangannya, ekspresinya seolah baru mendengar Jaiden akan ikut audisi opera.

August tetap diam. Tapi matanya… menilai. Menimbang. Menghitung risiko.

“Waaaah, akhirnya…” Zelda mendesis sambil menyandarkan tubuh ke kursi. “Sang pangeran kegelapan menemukan putri impiannya.”

“Setelah… lima puluh sembilan calon diusulkan. Luar biasa.” Marvish menambahkan, setengah tertawa.

Jaiden melirik mereka tajam. Sekilas. Tapi cukup untuk membekukan udara.

“Marv. Zelda.” Nada Margaret datar, tapi tegas. “Cukup.”

Zelda mengangkat kedua tangan. “Hanya mengapresiasi keajaiban, Mom.”

“Siapa dia?” tanya Margaret, kali ini menatap Jaiden lurus-lurus. Tak ada lagi basa-basi.

“Apa dia… pantas memakai nama Cavendish?”

Jaiden menatap ibunya.

Tenang. Dingin. Tapi matanya menyala liar.

“Aku akan pastikan dia jadi lebih dari pantas.”

August akhirnya bicara.

“Kalau kau benar-benar yakin… maka bawa dia ke meja ini.”

Jaiden tersenyum. Bukan senyum manis. Tapi sesuatu yang menyerupai tantangan.

“Dengan senang hati.”

Jaiden bersandar di kursinya. Wajahnya masih datar, tapi pikirannya berputar cepat.

Kalimat yang baru saja ia ucapkan—tentang wanita pilihannya—bukan sekadar pembelaan. Itu adalah titik mula dari sesuatu yang jauh lebih besar.

Di benaknya, hanya ada satu wajah: Juliete Finnigan.

Gadis keras kepala yang tak tahu batas. Gadis yang tak takut menatap matanya ketika semua orang memilih menunduk. Seekor burung liar yang tersesat dan menolak untuk jinak.

Tentu, dia sadar apa artinya memasukkan nama itu ke dalam silsilah keluarga Cavendish. Nama mereka bukan sekadar simbol kekuasaan—tapi juga perangkap. Kegelapan. Reputasi yang bisa menghancurkan siapa pun yang tak cukup kuat untuk menanggungnya.

Juliete… tidak akan siap.

Dan justru di sanalah letak permainannya.

Seringai pelan muncul di sudut bibirnya. Perlahan. Liar. Tidak hangat.

“Sebentar lagi… dia akan berlutut di hadapanku.”

Bukan karena paksaan. Tapi karena kerelaan.

Karena tubuhnya sendiri akan mengkhianati moralnya. Karena hatinya akan remuk oleh kontras antara benci dan ketertarikan. Karena dia akan merindukan neraka yang Jaiden ciptakan.

Ini bukan cinta tentu saja. Ini obsesi. Jaiden lebih suka menyebutnya begitu.

***

Tubuh Juliete menggigil dalam keringat dingin, tapi pikirannya terbakar. Ia terbangun dengan napas terengah-engah, jantung berdetak seperti ingin menghancurkan tulangnya dari dalam.

Mimpi itu lagi.

Tapi ini bukan tentang darah. Bukan tentang jeritan. Bukan tentang ledakan atau abu dari kota Kandahar—yang saat kecil sudah menjadi latar belakang hidupnya.

Darah? Ia sudah terbiasa. Jeritan? Ia tumbuh dengan itu. Kepala menggelinding di tengah jalan saat usianya 8 tahun adalah bagian dari sore yang biasa.

Yang tak terbiasa… adalah kehilangan.

Ibunya. Satu-satunya orang yang mencoba menyelamatkannya dari negeri penuh bara itu—yang suatu senja, memilih kapal ilegal dan menyeberangi lautan menuju Eropa, hanya untuk berakhir di sebuah flat kecil di pinggiran London… dan di tangan seorang pria yang seharusnya melindungi mereka.

David Finnigan. Nama itu membuat kulit Juliete terasa seperti ditaburi jarum es.

Saat usianya 15 tahun, pria itu—ayah tirinya—pernah mencoba mencuri sesuatu darinya. Nyaris menghilangkan kesucian anak perempuan yang tinggal serumah dengannya.

Dan mungkin malam itu akan berakhir dengan kehancuran…Jika ibunya tak memergoki semuanya.

Darah kembali hadir—bukan di medan perang, tapi di kamar sempit mereka sendiri. Ibunya tewas. David dipenjara.

Sejak hari itu, Juliete tinggal sendiri. Tak ada keluarga. Tak ada pelindung. Hanya London, lampu-lampu malam, dan pekerjaan-pekerjaan kecil yang memberinya cukup uang untuk bertahan hidup… dan mengejar satu-satunya impian: menjadi pengacara.

Pengacara bukan karena dia suka hukum.

Tapi karena dia tahu apa yang terjadi ketika hukum tidak hadir.

Tapi malam ini…

Yang muncul dalam mimpi bukan bayangan David. Bukan darah. Bukan tubuh ibunya yang tak bernyawa.

Yang muncul… adalah mata Jaiden Cavendish.

Tatapan itu. Dingin. Mencekam. Tapi ada sesuatu di dalamnya… sesuatu yang membuat kulit Juliete terbakar, bukan membeku. Dan itu yang menjijikkan. Sekaligus menakutkan.

Juliete memandang berkeliling. Cahaya matahari pagi menembus jendela-jendela tinggi berbingkai emas, memantul di lantai marmer dan tirai beludru. Pancaran hangat itu menyilaukan… tapi tidak menghibur.

Juliete sadar, kini dia terbangun di sebuah istana. Tapi bukan istana di mana para putri akan hidup bahagia, tapi istana kegelapan di mana iblis bernama Jaiden tinggal.

Juliete menggeram pelan, tubuhnya terasa berat seperti dipenuhi timah. Seluruh ototnya lelah, pikirannya penuh kabut. Dan meski seprai yang menyelimuti tubuhnya adalah sutra halus yang mahal, ia tetap merasa… terkunci.

“Sialan…” desisnya pelan.

Ia kembali meringkuk, membelakangi jendela. Cahaya itu terlalu terang untuk pagi seperti ini.

Atau mungkin… terlalu terang untuk jiwa yang sedang hancur seperti dirinya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 163

    Juliete duduk di Bathub membelakangi Jaiden. Punggungnya menghadap lelaki itu. Seolah tak ingin membuang kesempatan Jaiden mendaratkan kecupan-kecupan lembut di sisi leher, bahu dan tulang selangka Juliete. Tangannya melingkar pinggang Juliete erat. Juliete hanya memejamkan mata, membiarkan tubuhnya bersandar pada dada bidang Jaiden. Uap air hangat yang mengepul membuat suasana makin intim. Ia masih diam, meski hatinya berdebar hebat merasakan bibir Jaiden yang terus bergerilya di sepanjang leher dan bahunya. “Betapa aku merindukan aroma tubuhmu, sayang…” bisik Jaiden, suaranya parau dan bergetar. Pelan, tangannya yang melingkari pinggang Juliete bergerak naik, menyusuri lekuk tubuh istrinya, seolah ingin memastikan dirinya tidak sedang bermimpi. Juliete menarik napas dalam, tubuhnya menegang sejenak, lalu ia membiarkannya. “Hukuman apa yang harus kuberikan padamu?” Jaiden terkekeh pelan di telinganya, lalu semakin menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Juliete, menghisapnya

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 162

    “George… Lily… apa lagi keributan yang kalian buat di sekolah hari ini?” suara Juliete terdengar tegas. Ia duduk di kursi ruang keluarga sambil melipat tangan di dada. Dua anak kembar itu berdiri di depannya dengan kepala menunduk, saling melirik sekilas. Tatapan mereka sama persis—nakal, seperti sedang menahan tawa. Juliete menghela napas panjang. “Kepala sekolah bilang kalian memasukkan sampah ke dalam tas teman kalian. Astaga…” tangannya refleks mengusap pelipisnya. “Kalian ini benar-benar… kalau Papa tahu, habislah kalian.” George spontan membuka mulut, berusaha membela diri. “Itu cuma… eksperimen, Mommy.” “Eksperimen?!” Juliete menaikkan alisnya. “Ya, eksperimen… kami ingin lihat apakah sampah-sampah itu sama beratnya dengan isi buku pelajaran.” Lily menambahkan, berusaha terdengar serius. “Lalu kenapa tidak kalian masukkan sendiri sampah itu ke tas kalian.” Juliete melotot hampir kehilangan kesabaran. “Itu tidak mungkin, mommy akan marah jika kami melakukan itu.” L

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 161

    Malam di Thornvale Court terasa begitu damai. Selepas makan malam, Juliete langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Perutnya masih terasa tidak nyaman sejak siang tadi. Sementara di sampingnya, Jaiden duduk santai, menatap layar iPad sambil membaca beberapa jurnal. Tiba-tiba Juliete bangkit tergesa, menahan mulas yang datang lagi. Jaiden hanya sempat mengernyit, sebelum mendengar suara istrinya muntah di kamar mandi. Ia segera menaruh iPad dan bergegas menghampiri. “Sayang, kau baik-baik saja?” Jaiden menahan bahu Juliete, khawatir melihat wajah pucat itu. Juliete membasuh wajahnya dengan air, lalu berkumur sebelum menggeleng lemah. “Seharian ini aku sudah muntah tiga kali…” bisiknya. Jaiden menatap penuh tanya. “Ada apa sebenarnya?” Juliete menggigit bibirnya, lalu mengembuskan napas pelan. “Aku sudah telat menstruasi… hampir tiga minggu.” Mata Jaiden langsung berbinar, tubuhnya mendekat cepat. “Apa itu artinya… kau—?” “Aku belum tahu pasti. Belum sempat mem

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 160

    “Jaiden… kumohon, jangan buat aku menunggu lagi…” suaranya bergetar, penuh permohonan. Senyum miring muncul di wajah Jaiden. Pria itu menatap istrinya dengan tatapan intens yang membuat darah Juliete berdesir liar. “Katakan kau menyukai ini, ketika aku menidurimu...” “Ya aku suka, aku suka setiap sentuhanmu…”Juliete nyaris berteriak mengatakannya. Mendengar itu, Jaiden tak lagi menahan diri. Dorongannya kembali menghantam dengan ritme cepat dan keras, membuat tubuh Juliete tak kuasa menahan desahan panjang. “Ohhh—Jaiden!” teriaknya pecah, tubuhnya bergetar hebat. Jaiden menggertakkan rahang, menahan teriakan sendiri, tapi tak lama tubuhnya juga bergetar, melepaskan seluruh gairah yang menumpuk sejak awal. Napas mereka sama-sama tersengal, tubuh berkeringat menempel erat satu sama lain. Juliete terkulai di pelukan Jaiden, masih gemetar lemah, sementara Jaiden mengecup keningnya lembut. Juliete hanya bisa tersenyum lemah, matanya masih berkaca-kaca oleh intensitas momen

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 159

    Di halaman depan Petrovka, suasana terasa haru. Semua keluarga sudah berkumpul, menatap kepergian Jaiden, Juliete, dan Luka yang sebentar lagi akan kembali ke London. Juliete tak mampu menahan air matanya saat memeluk erat sang kakak. Tangisnya pecah, tubuhnya bergetar di pelukan Julian. “Tenanglah, kau punya jet pribadi untuk bisa mengunjungiku kapan pun,” Julian menenangkan dengan senyum kecil. Tangannya mengelus puncak kepala Juliete, penuh kasih sayang seorang kakak. “Aku akan merindukanmu, kak…” suara Juliete bergetar, matanya basah memandang Julian. Dari samping, Jaiden hanya tersenyum geli melihat pemandangan itu. Ada rasa lega sekaligus bahagia, karena kini Juliete punya tempat pulang, dan sebuah keluarga yang nyata. Luka ikut mendekat, dengan wajah sendunya yang polos. “Paman, nanti sering-sering temui Luka ya… bibi Sheila juga,” ucapnya sambil memeluk Julian dan Sheila satu per satu. Sheila tersenyum, matanya ikut berkaca. “Tentu, sayang… bibi janji.” Ketika se

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 158

    Juliete hanya memejamkan mata pun sesekali mendesah liar, kala Jaiden dengan lembut mengecupi bagian-bagian tubuhnya yang lain. Garis rahang, leher , tulang selangka hingga di bagian atas dada Juliete. Tangannya pun bergerilya menjalar kebagian balik punggung Juliete, melepaskan pengait Bra-nya. Hingga terbuka jelaslah bagian atas sang istri. Mata Jaiden menggelap, ketika pandangannya tertuju pada payudara milik Juliete. Jaiden menarik napas panjang, seakan berusaha menahan diri, namun jelas sekali matanya tak bisa lepas dari pemandangan di hadapannya. “I promise, I’ll fuck you harder tonight, Miss Cavendish.” bisiknya serak. Juliete masih memejamkan mata, tubuhnya menegang karena tiap sentuhan terasa menggetarkan. Ia hanya mampu menggigit bibir, menahan gelombang sensasi yang semakin menguasai dirinya. Jaiden menunduk, bibirnya menyentuh lembut kulit Juliete yang kini terekspos, lalu menelusuri dengan ciuman panjang penuh klaim. Tangannya tak kalah agresif, menggenggam pin

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status