Langit di atas Morgrave Estate, hotel bintang lima milik keluarga Cavnedish—tertutup awan kelabu. Di dalam kantor dengan jendela besar dan tirai beludru hitam, aroma espresso baru terseduh mengisi ruangan seperti pembuka dari sebuah pertempuran yang belum dimulai.
Benjamin berdiri tegak di sisi ruangan, tubuhnya tegak tapi tak santai. “Bos, siang ini Tuan August mengadakan jamuan makan di Thornvale. Anda diminta hadir. Katanya ada hal yang perlu didiskusikan...” Jaiden tak langsung merespons. Duduk bersandar di kursi hitam berlapis kulit, ia seperti patung yang hanya hidup di balik sorot mata tajamnya. Di hadapannya, sebuah map dokumen terbuka. Namanya jelas terbaca: Juliete Finnigan. Tempat tanggal lahir, alamat lengkap, data akademik, hingga beberapa foto. Benjamin baru saja menyerahkannya. Jaiden membaca dengan diam. Tatapannya tak berkedip. Tangannya terlipat, tenang, tapi aura di sekelilingnya cukup untuk membuat siapa pun berpikir dua kali sebelum membuka mulut. “Oxford. Fakultas hukum.” Suara Jaiden terdengar lebih seperti catatan dalam hati, tapi cukup jelas untuk didengar. Benjamin mengangguk, pelan. “Mahasiswi tingkat akhir. Tak ada catatan kriminal. Pekerjaannya di Ocean Club… tampaknya hanya untuk membiayai studi.” Jaiden mendengus pelan, nyaris seperti tawa rendah yang tak jadi. “Luar biasa. Calon pengacara yang menari untuk politisi mabuk dan pengusaha korup.” Ironi yang nyaris indah. Terutama mengingat dia sendiri adalah pengelola dan penguasa tak resmi dari dunia semacam itu. Jaiden Cavendish, pewaris keluarga Cavendish, saat ini memegang kendali penuh atas salah satu hotel termewah, bar elit, dan kasino rahasia tempat para politikus, pejabat tinggi, dan orang-orang tak tersentuh itu bermain kotor. Semua transaksi kotor—perselingkuhan, penggelapan, tekanan, pembelian suara—entah bagaimana selalu berakhir di salah satu tempat yang dikelolanya. Dan sekarang, gadis ini menari di tengahnya. Dengan moral. Dengan prinsip. Dengan tekad penuh dendam. “Dia bukan gadis biasa,” gumam Jaiden, lirih. Benjamin hanya diam. Tapi satu hal lain baru saja ditemukan oleh sistem informasi Cavendish—hal yang tidak ada dalam file publik manapun. Tak tercantum di riwayat kampus, tidak pula di data sipil. Ibunya. Seorang imigran gelap dari Afghanistan. Menikah dengan pria lokal bernama David Finnigan. Kelas pekerja, pengangguran musiman, catatan utang kecil. Jaiden menyandarkan tubuh ke kursinya, jemarinya mengetuk pelan map dokumen yang kini terasa seperti kotak Pandora. Sudut bibirnya perlahan terangkat. Bukan senyum penuh kemenangan. Tapi sesuatu yang jauh lebih dingin—lebih sadis. “Jadi begitu…,” bisiknya. Jaiden menutup map itu perlahan. Tidak dengan tekanan. Tidak dengan kemarahan. Tapi dengan kalkulasi. Ia berdiri, menyisir rambut ke belakang dengan satu tangan. Jas hitamnya jatuh sempurna di tubuhnya. “Persiapkan mobil. Kita akan pergi ke Thornvale siang ini.” Benjamin membungkuk. “Ya, Tuan.” Saat pintu ditutup, Jaiden kembali menatap jendela besar. Di luar sana, gedung Morgrave Estate membentang seperti papan catur. Dan kini, seorang bidak bernama Juliete mulai berjalan tanpa tahu bahwa dirinya sedang bermain dengan Raja. *** Tak butuh waktu lama bagi mobil hitam panjang itu untuk mencapai Thornvale Court, kediaman keluarga Cavendish generasi ke-18. Sebuah mansion tua berarsitektur Victoria dengan menara-menara kecil menjulang seperti ujung mahkota yang runcing. Angin di sekitar perkebunan membawa aroma mawar tua dan sesuatu yang lebih berat—sejarah. Rahasia. Kuasa. Tempat ibunya, Margaret Isla Cavendish, tinggal. Tempat Marvish—adik tengahnya yang terlalu flamboyan—menciptakan dunia sendiri tanpa bisa di tebak. Dan tempat Zelda—si bungsu yang masih terlalu muda untuk tahu bahaya dunia ini—menyibak waktu dalam diam. Jaiden sendiri sudah lama meninggalkan tempat ini sejak kematian ayahnya. Rumah itu tak lagi terasa seperti rumah sejak saat itu. Terlalu banyak aturan dan pengawasan yang tak ia sukai. Ia lebih memilih tinggal sendiri—di atas Blackvale Manor, mengatur segala hal dari balik layar. Dan tak seorang pun dalam keluarga berani mempertanyakan keputusannya. Hari ini, undangan datang dari orang satu-satunya yang tak bisa diabaikannya: August Alastair Cavendish. Kakek mereka. Lelaki yang pernah memimpin keluarga Cavendish seperti raja dengan satu kalimat. Kalau August memanggil untuk jamuan makan siang, maka itu bukan sekadar jamuan. Pasti ada keputusan, perintah, atau ultimatum yang dibungkus dalam gelas kristal. Dan kemungkinan besar—ini soal pernikahan. Lagi. Jaiden turun dari mobil dan melangkah masuk ke rumah warisan berdinding batu itu. Langkah-langkahnya menghantam lantai marmer dengan denting rendah yang terdengar seperti peringatan. Para pelayan berdiri di kanan dan kiri lorong utama, membungkuk ringan saat ia lewat. Sorot mata mereka selalu sama: segan, takut, hormat. Seorang kepala pelayan membungkuk lebih dalam dan berkata pelan, “Tuan Jaiden. Keluarga sudah berkumpul. Silakan ikut saya.” Tanpa menjawab, Jaiden mengikuti. Langkah-langkahnya melewati lorong panjang dengan lukisan-lukisan leluhur Cavendish tergantung di dinding. Pintu ruang makan terbuka. Interiornya megah—bergaya Victorian klasik dengan sentuhan emas di ukiran kayu, chandelier kristal, dan meja panjang untuk dua belas orang meski hanya lima yang duduk. Margaret duduk di ujung meja, anggun dalam gaun hijau zamrud. Matanya menatap Jaiden dengan pandangan campur aduk: hangat, tajam, penuh ekspektasi. Marvish duduk santai, mencolok seperti biasa, dengan rambut blonde, mengenakan setelan krem dengan syal sutra warna biru gelap melingkar santai di lehernya. Zelda menyambut dengan senyum kecil, satu alisnya terangkat menyapa Jaiden dengan cuek seperti biasa. Dan di kepala meja, August menanti. Dengan tongkat di satu sisi dan pandangan tajam yang tak pernah benar-benar menua. “Akhirnya, pewaris kita datang,” suara August dalam, tenang, tapi membawa beban yang membuat semua percakapan di meja berhenti. Jaiden menarik kursinya sendiri dan duduk. Satu alisnya sedikit terangkat. “Mari kita mulai.”Juliete duduk di Bathub membelakangi Jaiden. Punggungnya menghadap lelaki itu. Seolah tak ingin membuang kesempatan Jaiden mendaratkan kecupan-kecupan lembut di sisi leher, bahu dan tulang selangka Juliete. Tangannya melingkar pinggang Juliete erat. Juliete hanya memejamkan mata, membiarkan tubuhnya bersandar pada dada bidang Jaiden. Uap air hangat yang mengepul membuat suasana makin intim. Ia masih diam, meski hatinya berdebar hebat merasakan bibir Jaiden yang terus bergerilya di sepanjang leher dan bahunya. “Betapa aku merindukan aroma tubuhmu, sayang…” bisik Jaiden, suaranya parau dan bergetar. Pelan, tangannya yang melingkari pinggang Juliete bergerak naik, menyusuri lekuk tubuh istrinya, seolah ingin memastikan dirinya tidak sedang bermimpi. Juliete menarik napas dalam, tubuhnya menegang sejenak, lalu ia membiarkannya. “Hukuman apa yang harus kuberikan padamu?” Jaiden terkekeh pelan di telinganya, lalu semakin menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Juliete, menghisapnya
“George… Lily… apa lagi keributan yang kalian buat di sekolah hari ini?” suara Juliete terdengar tegas. Ia duduk di kursi ruang keluarga sambil melipat tangan di dada. Dua anak kembar itu berdiri di depannya dengan kepala menunduk, saling melirik sekilas. Tatapan mereka sama persis—nakal, seperti sedang menahan tawa. Juliete menghela napas panjang. “Kepala sekolah bilang kalian memasukkan sampah ke dalam tas teman kalian. Astaga…” tangannya refleks mengusap pelipisnya. “Kalian ini benar-benar… kalau Papa tahu, habislah kalian.” George spontan membuka mulut, berusaha membela diri. “Itu cuma… eksperimen, Mommy.” “Eksperimen?!” Juliete menaikkan alisnya. “Ya, eksperimen… kami ingin lihat apakah sampah-sampah itu sama beratnya dengan isi buku pelajaran.” Lily menambahkan, berusaha terdengar serius. “Lalu kenapa tidak kalian masukkan sendiri sampah itu ke tas kalian.” Juliete melotot hampir kehilangan kesabaran. “Itu tidak mungkin, mommy akan marah jika kami melakukan itu.” L
Malam di Thornvale Court terasa begitu damai. Selepas makan malam, Juliete langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Perutnya masih terasa tidak nyaman sejak siang tadi. Sementara di sampingnya, Jaiden duduk santai, menatap layar iPad sambil membaca beberapa jurnal. Tiba-tiba Juliete bangkit tergesa, menahan mulas yang datang lagi. Jaiden hanya sempat mengernyit, sebelum mendengar suara istrinya muntah di kamar mandi. Ia segera menaruh iPad dan bergegas menghampiri. “Sayang, kau baik-baik saja?” Jaiden menahan bahu Juliete, khawatir melihat wajah pucat itu. Juliete membasuh wajahnya dengan air, lalu berkumur sebelum menggeleng lemah. “Seharian ini aku sudah muntah tiga kali…” bisiknya. Jaiden menatap penuh tanya. “Ada apa sebenarnya?” Juliete menggigit bibirnya, lalu mengembuskan napas pelan. “Aku sudah telat menstruasi… hampir tiga minggu.” Mata Jaiden langsung berbinar, tubuhnya mendekat cepat. “Apa itu artinya… kau—?” “Aku belum tahu pasti. Belum sempat mem
“Jaiden… kumohon, jangan buat aku menunggu lagi…” suaranya bergetar, penuh permohonan. Senyum miring muncul di wajah Jaiden. Pria itu menatap istrinya dengan tatapan intens yang membuat darah Juliete berdesir liar. “Katakan kau menyukai ini, ketika aku menidurimu...” “Ya aku suka, aku suka setiap sentuhanmu…”Juliete nyaris berteriak mengatakannya. Mendengar itu, Jaiden tak lagi menahan diri. Dorongannya kembali menghantam dengan ritme cepat dan keras, membuat tubuh Juliete tak kuasa menahan desahan panjang. “Ohhh—Jaiden!” teriaknya pecah, tubuhnya bergetar hebat. Jaiden menggertakkan rahang, menahan teriakan sendiri, tapi tak lama tubuhnya juga bergetar, melepaskan seluruh gairah yang menumpuk sejak awal. Napas mereka sama-sama tersengal, tubuh berkeringat menempel erat satu sama lain. Juliete terkulai di pelukan Jaiden, masih gemetar lemah, sementara Jaiden mengecup keningnya lembut. Juliete hanya bisa tersenyum lemah, matanya masih berkaca-kaca oleh intensitas momen
Di halaman depan Petrovka, suasana terasa haru. Semua keluarga sudah berkumpul, menatap kepergian Jaiden, Juliete, dan Luka yang sebentar lagi akan kembali ke London. Juliete tak mampu menahan air matanya saat memeluk erat sang kakak. Tangisnya pecah, tubuhnya bergetar di pelukan Julian. “Tenanglah, kau punya jet pribadi untuk bisa mengunjungiku kapan pun,” Julian menenangkan dengan senyum kecil. Tangannya mengelus puncak kepala Juliete, penuh kasih sayang seorang kakak. “Aku akan merindukanmu, kak…” suara Juliete bergetar, matanya basah memandang Julian. Dari samping, Jaiden hanya tersenyum geli melihat pemandangan itu. Ada rasa lega sekaligus bahagia, karena kini Juliete punya tempat pulang, dan sebuah keluarga yang nyata. Luka ikut mendekat, dengan wajah sendunya yang polos. “Paman, nanti sering-sering temui Luka ya… bibi Sheila juga,” ucapnya sambil memeluk Julian dan Sheila satu per satu. Sheila tersenyum, matanya ikut berkaca. “Tentu, sayang… bibi janji.” Ketika se
Juliete hanya memejamkan mata pun sesekali mendesah liar, kala Jaiden dengan lembut mengecupi bagian-bagian tubuhnya yang lain. Garis rahang, leher , tulang selangka hingga di bagian atas dada Juliete. Tangannya pun bergerilya menjalar kebagian balik punggung Juliete, melepaskan pengait Bra-nya. Hingga terbuka jelaslah bagian atas sang istri. Mata Jaiden menggelap, ketika pandangannya tertuju pada payudara milik Juliete. Jaiden menarik napas panjang, seakan berusaha menahan diri, namun jelas sekali matanya tak bisa lepas dari pemandangan di hadapannya. “I promise, I’ll fuck you harder tonight, Miss Cavendish.” bisiknya serak. Juliete masih memejamkan mata, tubuhnya menegang karena tiap sentuhan terasa menggetarkan. Ia hanya mampu menggigit bibir, menahan gelombang sensasi yang semakin menguasai dirinya. Jaiden menunduk, bibirnya menyentuh lembut kulit Juliete yang kini terekspos, lalu menelusuri dengan ciuman panjang penuh klaim. Tangannya tak kalah agresif, menggenggam pin