Share

Chapter 8

Author: Lia.F
last update Last Updated: 2025-06-17 17:41:38

Langit di atas Blackvale Manor tampak kelabu, seperti tahu bahwa pria pemiliknya telah kembali.

Begitu mobil hitam berhenti di pelataran depan, para pelayan sudah berbaris. Tak ada yang berani bicara lebih dulu.

Langkah Jaiden menggema di lantai marmer saat ia masuk, menyapu interior manor seperti badai dalam bentuk manusia.

Langit-langit tinggi. Pilar batu hitam. Dinding gelap dihiasi lukisan keluarga berwajah dingin.

Rumah itu seperti makam bangsawan. Megah, tapi dingin. Dan ia adalah rajanya.

Dominic, kepala pelayan, melangkah cepat menghampirinya.

“Tuan, Nona Juliete belum makan seharian. Alice bilang… dia sedang demam.”

Langkah Jaiden terhenti.

Alisnya perlahan terangkat, dan matanya menyipit. Seolah tak percaya pada kata yang baru saja ia dengar.

“Sakit?”

Napasnya pelan tapi berat. “Dia bahkan belum 24 jam di sini…”

Nada suaranya tidak peduli—tapi setiap kata mengandung rasa terganggu yang tak bisa ia sembunyikan.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Jaiden langsung menaiki tangga spiral besar menuju lantai atas.

Langkahnya cepat. Beraturan. Tapi penuh tekanan.

Di tengah tangga, ia menoleh ke belakang tanpa menghentikan langkahnya.

“Dominic.”

“Ya, Tuan?”

“Katakan pada Benjamin untuk membawa surat yang kuminta. Suruh dia ke kamar Juliete. Sekarang.”

“Segera, Tuan.”

Tiga ketukan terdengar.

Jaiden masuk.

Dia tahu sopan santun adalah bagian dari darah bangsawan.

Langkah-langkahnya pelan namun pasti mendekat ke tempat tidur besar dengan tiang ukiran hitam. Matanya langsung tertambat pada sosok kecil yang meringkuk di sana. Juliete.

Tubuhnya menggigil pelan, dibungkus selimut dan gaun tidur putih satin. Warna itu membuatnya tampak seperti tawanan surgawi di neraka Cavendish.

Tanpa bicara, Jaiden duduk di sisi tempat tidur. Sepi. Tenang. Terlalu dekat.

Lalu dengan punggung tangannya, ia menyentuh dahi Juliete.

Kulit dingin bertemu panas tubuh yang terbakar.

Juliete tersentak bangun, langsung terduduk, panik dan gemetar. Mungkin takut.

“Jangan sentuh aku!” katanya hampir berbisik, tapi penuh tekanan.

Jaiden tak menjawab. Sorot matanya justru berpindah, memperhatikan sesuatu di bahu Juliete.

Bekas gigitan. Biru. Meradang. Masih baru.

Ah, jadi itu alasannya dia demam…

Senyumnya perlahan muncul. Hampir seperti tawa kecil yang tertahan di tenggorokan.

“Apa kau sakit, Juliete… karena gigitan ku?”

Nada suaranya ringan. Tapi penuh racun.

Tatapannya tak melepaskan milik Juliete, seolah ingin tahu berapa jauh luka itu mengganggu tubuhnya.

Juliete menatap balik—bukan takut, tapi marah.

Tatapan benci. Jijik. Dan muak.

“Kau seperti vampir,” desisnya, pelan dan tajam.

Jaiden terkekeh. Tawa itu pelan. Dalam. Bukan karena geli… tapi karena puas.

“Ya… katakan aku vampir atau semacamnya. Karena, sejujurnya…”

“Aku mulai menyukai darahmu yang manis itu, Juliete.”

Juliete mencengkeram selimut lebih erat. Tidak karena malu. Tapi karena ingin mengusir sensasi aneh yang menjalar di tubuhnya—antara jijik dan… rasa yang tak ingin ia akui. Juliete akui pria ini terlalu tampan untuk menjadi seorang monster.

Ketukan kembali terdengar.

Juliete belum sempat memproses ucapan Jaiden barusan ketika pintu kembali terbuka.

Benjamin masuk. Membawa satu amplop coklat tebal, rapi. Formal.

“Ini, Tuan. Surat yang Anda minta.”

Benjamin menyerahkannya tanpa suara tambahan. Tatapannya lurus, tapi sorot matanya menyimpan rasa tidak nyaman—seperti orang yang tahu bahwa apa yang ia bawa… akan menghancurkan seseorang.

Jaiden mengambil amplop itu dan menatap Juliete yang masih duduk, wajahnya setengah pucat, mata setengah kosong.

“Juliete Finnigan,” ucapnya, suaranya nyaris seperti pembaca vonis.

“Tinggal di apartemen kecil pinggiran kota London. Mahasiswi tingkat akhir Magister Hukum. Oxford.”

“Bekerja di Ocean Club selama… dua minggu.”

Ia berhenti, lalu melanjutkan dengan nada yang berubah jadi lebih tajam. Lebih pribadi. Lebih menusuk.

“Dan… ibumu, Sofiya Darmaseeh. Seorang imigran gelap dari Afghanistan.”

“Meninggal delapan tahun lalu… karena dibunuh oleh ayah sambungmu.”

Senyum perlahan muncul di bibir Jaiden. Bukan senyum bahagia. Tapi senyum predator yang baru saja mencium darah luka lama.

“Rapi, ya? Semuanya terdokumentasi dengan baik. Bahkan kebohongan-kebohongan yang kau simpan rapat-rapat.”

Juliete membeku.

Pandangannya tak bisa lari. Tubuhnya menggigil bukan karena demam, tapi karena rasa telanjang.

Karena seluruh rahasia paling busuk dalam hidupnya kini tergenggam di tangan pria yang… menginginkannya bukan karena cinta, tapi karena dominasi.

Ia menatap Jaiden dengan campuran takut, marah, dan hancur.

“Bayangkan, Juliete…”

Suara Jaiden terdengar pelan. Tenang. Santai.

Tapi seperti belati tipis yang menusuk tepat di ulu hati.

“Jika para pembesar kampusmu tahu… tentang ibumu, tentang masa lalumu, tentang pekerjaanmu di Ocean Club…”

“Mungkinkah mereka akan menggagalkan gelarmu yang sebentar lagi akan kau sandang?”

Juliete membeku.

Kata-katanya seperti palu godam. Bukan karena teriakan, tapi karena kenyataan dingin yang ia tahu… bisa jadi kenyataan.

“Tidak…” pikirnya dalam hati. “Bukan gelarku. Bukan impianku. Yang lain boleh hancur, tapi bukan itu.”

Matanya membelalak, jantungnya berdetak cepat.

“Apa maksudmu, Jaiden?” tanyanya. Suaranya pecah, goyah, seolah dibisikkan dari balik jurang.

Jaiden tak langsung menjawab.

Dia hanya membuka kembali amplop coklat yang masih ia genggam, dan menarik satu lembar kertas tebal berisi cetakan rapi, dengan kop dan simbol keluarga Cavendish di bagian atasnya.

“Aku ingin kau bermain denganku, Juliete,” ucapnya, pelan. “Tanda tangani ini.”

Ia menyerahkan dokumen itu ke pangkuan Juliete—dengan ketenangan seorang algojo yang menaruh pedang di altar persembahan.

Juliete meraih kertas itu dengan tangan gemetar. Matanya menelusuri tulisan-tulisan legal yang sangat ia pahami. Tapi satu baris di bagian tengah membuat napasnya tercekat.

Kontrak Persetujuan Pernikahan antara:

Jaiden Alastair Cavendish & Juliete Finnigan

Ia menelan salivanya. Tangannya bergetar. Tubuhnya terasa dingin tapi mulutnya kering.

Bukan cinta. Bukan lamaran. Ini… penaklukan.

Dengan cara yang paling elegan dan berbahaya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 104

    Pagi itu langit cerah. Matahari baru saja naik di ufuk timur, menyebarkan cahaya oranye yang menyapu jendela-jendela besar di Petrovka. Di balik sinar hangat yang menari di kaca, seorang gadis melangkah pelan menyusuri koridor utama. Malam tadi, dia dikenal dengan nama Juliete—nama samaran yang baru diberikan oleh kepala penjaga. Padahal, nama aslinya adalah Maria. Setelah sarapan, Maria tidak ikut bergabung bersama para tahanan wanita lain yang berkumpul di aula makan. Dia menyelinap pergi, diam-diam menyusuri lorong-lorong yang sunyi di sayap utama gedung. Ada satu tujuan dalam pikirannya yaitu menemukan wanita bernama Juliete, seperti yang diperintahkan langsung oleh Tuan Volkov. Langkahnya ringan, tubuhnya menunduk setiap kali suara langkah penjaga terdengar dari kejauhan. Dia tahu, ini bukan waktunya berkeliaran. Seharusnya sekarang adalah jadwal latihan—latihan yang kejam, terstruktur, dan tak mengenal belas kasihan. Latihan untuk menjadi wanita penghibur sekaligus mata-ma

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 103

    “Jadi… Nona Juliete,” Jaiden bersandar di sofa, menyesap wiski pelan, pandangannya tajam seperti pisau. “Kau berasal dari Petrovka?” Wanita itu tersenyum samar. “Ya, bisa dibilang begitu, Tuan Volkov.” “Mengapa kau melakukan pekerjaan seperti ini? Kau butuh uang?” Juliete terkekeh pelan. “Siapa yang tidak menyukai uang, Tuan? Bahkan harga diri bisa dijual dengan harga yang tepat.” Jaiden menatap kosong ke arah gelasnya. “Kalau begitu, mari bicara soal harga. Aku akan memberimu lebih banyak dari yang pernah kau terima… Tapi aku ingin sesuatu sebagai gantinya.” “Apa itu?” matanya menyipit curiga. “Aku ingin masuk ke Petrovka.” Suasana langsung berubah dingin. Wanita itu menegang. “Petrovka bukan tempat untuk ‘tamu’ seperti Anda, Tuan…” “Bukan itu pertanyaanku.” Jaiden bersandar ke depan, meletakkan gelasnya di meja. “Aku bertanya: berapa harga yang kau minta agar bisa membantuku masuk ke sana?” Wanita itu terlihat berpikir keras. “Itu… tidak mudah. Tempat itu dijaga

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 102

    “Sudah lebih dari seminggu kita mengintai Petrovka, Tuan…” Benjamin membuka suara, nada suaranya lelah namun tetap penuh rasa hormat. “Tapi tak ada satu pun celah. Tidak ada jaringan internet, sinyal telepon diblokir, dan perimeter sekelilingnya dipenuhi ranjau aktif. Kamera pengintai pun tak mampu menembus pagar-pagar seng dan pohon pinus yang mengelilinginya.” Mereka duduk melingkar di ruang suite hotel yang tertutup rapat. Malam telah larut, namun tidak ada satu pun dari mereka yang menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Jaiden duduk bersandar, wajahnya gelap, tatapannya dingin, tangannya mengepal di pangkuannya. Di hadapannya: Benjamin, Marvis, dan Daniel. “Tapi ada satu informasi tambahan dari Alex,” kata Daniel, menyelipkan sebatang rokok di antara bibirnya, lalu menyalakan api. “Setiap Sabtu malam, ada satu mobil van berwarna hitam keluar dari gerbang barat Petrovka. Mobil itu selalu membawa dua atau tiga wanita… mereka dikirim ke sebuah hotel di Moskow, lalu diperdagangkan dal

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 101

    Meja makan besar dari kayu ek itu dipenuhi hidangan hangat yang masih mengepul. Lampu gantung kristal menggantung indah di atasnya, namun suasana di ruangan itu lebih dingin dari salju di luar sana. Juliete duduk dengan tubuh tegak, sendoknya nyaris tak menyentuh piring. Sekilas ia berusaha terlihat tenang, namun matanya merah, lelah menahan rindu dan gejolak di dadanya. Setiap gerak napas terasa berat—ada kehampaan yang sulit dijelaskan. Julian, di ujung meja, menyendok makanannya dengan tenang, meski sesekali melirik adik perempuannya itu. Sheila di sisi lain memperhatikan mereka berdua dengan raut resah yang disembunyikan di balik senyum tipis. “Zamira…” suara Julian terdengar halus, tapi menyentuh seperti belati. “Kau tidak makan?” Juliete mendongak sedikit. Ia mencoba tersenyum, tapi tak berhasil. “Aku tidak lapar,” jawabnya pelan, matanya menunduk lagi ke arah sup yang sudah dingin. Julian menaruh sendoknya perlahan. “Kau harus jaga dirimu. Apalagi sekarang…” Kal

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 100

    Mereka dituntun langsung ke ruang VIP, melewati lantai dansa yang dipenuhi gemerlap lampu strobo dan dentuman musik EDM. Aroma alkohol mahal dan parfum mahal bercampur dengan bau samar asap rokok yang membumbung di udara. Erica masih menggamit lengan Marvis seolah pria itu miliknya. Sejak dari bandara hingga hotel, Erica tak pernah melepaskan Marvis barang sedetik. Bahkan kini, mereka diketahui berbagi kamar. Ruangan VIP itu lebih senyap—dindingnya dilapisi beludru hitam, pencahayaannya remang dengan lampu gantung kristal bergaya art deco. Lima gelas kristal bening telah disiapkan, berisi vodka premium. Enam wanita penghibur berdiri di sisi ruangan, sebagian mulai menghampiri Benjamin dan Daniel yang duduk tak banyak bicara. Dan akhirnya, seorang pria berbadan besar duduk di hadapan mereka. Rudolf. Rambutnya sudah mulai menipis, tapi kekuasaan terpancar dari cara ia bersandar santai di sofa dengan dua wanita menggelayut di sisinya. Cerutu mahal mengepul di tangannya, dan tatapannya

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 99

    Julian menyugar rambutnya kasar, jemarinya berulang kali mencengkeram rambut ikalnya seperti ingin merobek kepalanya sendiri. Di hadapannya, meja kerja penuh dengan berkas, peta pengawasan, dan laporan misi yang bahkan tak sempat ia sentuh sejak Juliete datang. Dentuman telapak tangannya menghantam permukaan meja. Sheila mendekat pelan, lalu meletakkan kedua tangannya di punggung Julian. Dengan lembut, ia mengelus punggung pria itu, mencoba menyalurkan ketenangan meski ia sendiri merasakan badai yang akan datang. “Kenapa kau begitu marah, sayang?” bisiknya pelan, suaranya penuh pengertian. Julian mendongak perlahan, matanya merah karena menahan luapan emosi. “Karena Zamira mengandung bayi dari pria brengsek itu…” Sheila menghela napas pelan, tetap berdiri di belakangnya. “Tapi mereka sudah menikah, Julian. Kau tahu itu. Apa kau sungguh membenci Jaiden Cavendish sampai sejauh ini?” Julian tertawa dingin, bukan karena geli, melainkan karena frustasi. “Aku tidak membencinya s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status