Langit di atas Blackvale Manor tampak kelabu, seperti tahu bahwa pria pemiliknya telah kembali.
Begitu mobil hitam berhenti di pelataran depan, para pelayan sudah berbaris. Tak ada yang berani bicara lebih dulu. Langkah Jaiden menggema di lantai marmer saat ia masuk, menyapu interior manor seperti badai dalam bentuk manusia. Langit-langit tinggi. Pilar batu hitam. Dinding gelap dihiasi lukisan keluarga berwajah dingin. Rumah itu seperti makam bangsawan. Megah, tapi dingin. Dan ia adalah rajanya. Dominic, kepala pelayan, melangkah cepat menghampirinya. “Tuan, Nona Juliete belum makan seharian. Alice bilang… dia sedang demam.” Langkah Jaiden terhenti. Alisnya perlahan terangkat, dan matanya menyipit. Seolah tak percaya pada kata yang baru saja ia dengar. “Sakit?” Napasnya pelan tapi berat. “Dia bahkan belum 24 jam di sini…” Nada suaranya tidak peduli—tapi setiap kata mengandung rasa terganggu yang tak bisa ia sembunyikan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Jaiden langsung menaiki tangga spiral besar menuju lantai atas. Langkahnya cepat. Beraturan. Tapi penuh tekanan. Di tengah tangga, ia menoleh ke belakang tanpa menghentikan langkahnya. “Dominic.” “Ya, Tuan?” “Katakan pada Benjamin untuk membawa surat yang kuminta. Suruh dia ke kamar Juliete. Sekarang.” “Segera, Tuan.” Tiga ketukan terdengar. Jaiden masuk. Dia tahu sopan santun adalah bagian dari darah bangsawan. Langkah-langkahnya pelan namun pasti mendekat ke tempat tidur besar dengan tiang ukiran hitam. Matanya langsung tertambat pada sosok kecil yang meringkuk di sana. Juliete. Tubuhnya menggigil pelan, dibungkus selimut dan gaun tidur putih satin. Warna itu membuatnya tampak seperti tawanan surgawi di neraka Cavendish. Tanpa bicara, Jaiden duduk di sisi tempat tidur. Sepi. Tenang. Terlalu dekat. Lalu dengan punggung tangannya, ia menyentuh dahi Juliete. Kulit dingin bertemu panas tubuh yang terbakar. Juliete tersentak bangun, langsung terduduk, panik dan gemetar. Mungkin takut. “Jangan sentuh aku!” katanya hampir berbisik, tapi penuh tekanan. Jaiden tak menjawab. Sorot matanya justru berpindah, memperhatikan sesuatu di bahu Juliete. Bekas gigitan. Biru. Meradang. Masih baru. Ah, jadi itu alasannya dia demam… Senyumnya perlahan muncul. Hampir seperti tawa kecil yang tertahan di tenggorokan. “Apa kau sakit, Juliete… karena gigitan ku?” Nada suaranya ringan. Tapi penuh racun. Tatapannya tak melepaskan milik Juliete, seolah ingin tahu berapa jauh luka itu mengganggu tubuhnya. Juliete menatap balik—bukan takut, tapi marah. Tatapan benci. Jijik. Dan muak. “Kau seperti vampir,” desisnya, pelan dan tajam. Jaiden terkekeh. Tawa itu pelan. Dalam. Bukan karena geli… tapi karena puas. “Ya… katakan aku vampir atau semacamnya. Karena, sejujurnya…” “Aku mulai menyukai darahmu yang manis itu, Juliete.” Juliete mencengkeram selimut lebih erat. Tidak karena malu. Tapi karena ingin mengusir sensasi aneh yang menjalar di tubuhnya—antara jijik dan… rasa yang tak ingin ia akui. Juliete akui pria ini terlalu tampan untuk menjadi seorang monster. Ketukan kembali terdengar. Juliete belum sempat memproses ucapan Jaiden barusan ketika pintu kembali terbuka. Benjamin masuk. Membawa satu amplop coklat tebal, rapi. Formal. “Ini, Tuan. Surat yang Anda minta.” Benjamin menyerahkannya tanpa suara tambahan. Tatapannya lurus, tapi sorot matanya menyimpan rasa tidak nyaman—seperti orang yang tahu bahwa apa yang ia bawa… akan menghancurkan seseorang. Jaiden mengambil amplop itu dan menatap Juliete yang masih duduk, wajahnya setengah pucat, mata setengah kosong. “Juliete Finnigan,” ucapnya, suaranya nyaris seperti pembaca vonis. “Tinggal di apartemen kecil pinggiran kota London. Mahasiswi tingkat akhir Magister Hukum. Oxford.” “Bekerja di Ocean Club selama… dua minggu.” Ia berhenti, lalu melanjutkan dengan nada yang berubah jadi lebih tajam. Lebih pribadi. Lebih menusuk. “Dan… ibumu, Sofiya Darmaseeh. Seorang imigran gelap dari Afghanistan.” “Meninggal delapan tahun lalu… karena dibunuh oleh ayah sambungmu.” Senyum perlahan muncul di bibir Jaiden. Bukan senyum bahagia. Tapi senyum predator yang baru saja mencium darah luka lama. “Rapi, ya? Semuanya terdokumentasi dengan baik. Bahkan kebohongan-kebohongan yang kau simpan rapat-rapat.” Juliete membeku. Pandangannya tak bisa lari. Tubuhnya menggigil bukan karena demam, tapi karena rasa telanjang. Karena seluruh rahasia paling busuk dalam hidupnya kini tergenggam di tangan pria yang… menginginkannya bukan karena cinta, tapi karena dominasi. Ia menatap Jaiden dengan campuran takut, marah, dan hancur. “Bayangkan, Juliete…” Suara Jaiden terdengar pelan. Tenang. Santai. Tapi seperti belati tipis yang menusuk tepat di ulu hati. “Jika para pembesar kampusmu tahu… tentang ibumu, tentang masa lalumu, tentang pekerjaanmu di Ocean Club…” “Mungkinkah mereka akan menggagalkan gelarmu yang sebentar lagi akan kau sandang?” Juliete membeku. Kata-katanya seperti palu godam. Bukan karena teriakan, tapi karena kenyataan dingin yang ia tahu… bisa jadi kenyataan. “Tidak…” pikirnya dalam hati. “Bukan gelarku. Bukan impianku. Yang lain boleh hancur, tapi bukan itu.” Matanya membelalak, jantungnya berdetak cepat. “Apa maksudmu, Jaiden?” tanyanya. Suaranya pecah, goyah, seolah dibisikkan dari balik jurang. Jaiden tak langsung menjawab. Dia hanya membuka kembali amplop coklat yang masih ia genggam, dan menarik satu lembar kertas tebal berisi cetakan rapi, dengan kop dan simbol keluarga Cavendish di bagian atasnya. “Aku ingin kau bermain denganku, Juliete,” ucapnya, pelan. “Tanda tangani ini.” Ia menyerahkan dokumen itu ke pangkuan Juliete—dengan ketenangan seorang algojo yang menaruh pedang di altar persembahan. Juliete meraih kertas itu dengan tangan gemetar. Matanya menelusuri tulisan-tulisan legal yang sangat ia pahami. Tapi satu baris di bagian tengah membuat napasnya tercekat. Kontrak Persetujuan Pernikahan antara: Jaiden Alastair Cavendish & Juliete Finnigan Ia menelan salivanya. Tangannya bergetar. Tubuhnya terasa dingin tapi mulutnya kering. Bukan cinta. Bukan lamaran. Ini… penaklukan. Dengan cara yang paling elegan dan berbahaya.Hari-hari berlalu di Blackvale Manor. Lambat. Nyaris tak bergerak. Segalanya berjalan seperti putaran jam yang terlalu hati-hati. Dan Juliete… mulai bosan.Sangat bosan.Ia makan, tidur, berjalan menyusuri lorong-lorong panjang yang sepi, menatap lukisan keluarga Cavendish yang tak pernah berhenti menatap balik. Sesekali ia membuka media sosial dari ponselnya, tapi semua itu terasa seperti melihat dunia lain yang tak lagi relevan.Juliete bukan tipe gadis yang tahan hidup dalam ketenangan. Biasanya, hari-harinya dipenuhi jadwal ketat, kuliah, bekerja, dan kadang pelarian karena tunggakan sewa apartemen. Ia tumbuh dalam kekacauan, dan baginya, kekosongan adalah bentuk lain dari siksaan.Sudah hampir seminggu sejak ia menandatangani kontrak itu.Dan Jaiden belum sekali pun menemuinya.Tidak satu ketukan di pintu. Tidak satu panggilan. Tidak satu catatan.Apakah dia sibuk?Apakah ini bentuk lain dari dominasi: membuatnya menunggu sampai runtuh dari dalam?Juliete tak tahu.Tapi yang past
“Kau… mengancamku!!” Suara Juliete pecah. Matanya membara, tubuhnya gemetar bukan karena sakit—tapi karena kemarahan yang menggelegak. Tangannya masih memegang lembaran kontrak itu. Jaiden tidak bergeming. Mata hitamnya menatap dalam. Tenang. Menilai. Lalu ia bicara, dengan suara rendah yang tak perlu ditinggikan untuk melukai. “Tergantung sudut pandangmu.” “Tapi bagiku… ini bukan ancaman, Juliete. Ini—justru kartu keberuntunganmu.” Dia bersandar sedikit ke depan. Wajahnya mendekat. Nafasnya nyaris menyentuh kulit Juliete. “Menikah denganku… dan kau akan mendapatkan semua ini.” Ia melambaikan tangan kecil ke sekeliling kamar. “Kekuasaan. Kemewahan. Nama keluarga yang membuat semua orang tunduk.” Juliete membalas tatapannya dengan penuh kebencian, tapi sorot matanya tak bisa membohongi bahwa kata-kata itu mengguncangnya. “Kehormatan yang tak pernah bisa kau bayangkan…” Jaiden melanjutkan. “Dan tentu saja, akses. Koneksi. Jalur cepat menuju ruang sidang, gelar keho
Langit di atas Blackvale Manor tampak kelabu, seperti tahu bahwa pria pemiliknya telah kembali. Begitu mobil hitam berhenti di pelataran depan, para pelayan sudah berbaris. Tak ada yang berani bicara lebih dulu. Langkah Jaiden menggema di lantai marmer saat ia masuk, menyapu interior manor seperti badai dalam bentuk manusia. Langit-langit tinggi. Pilar batu hitam. Dinding gelap dihiasi lukisan keluarga berwajah dingin. Rumah itu seperti makam bangsawan. Megah, tapi dingin. Dan ia adalah rajanya. Dominic, kepala pelayan, melangkah cepat menghampirinya. “Tuan, Nona Juliete belum makan seharian. Alice bilang… dia sedang demam.” Langkah Jaiden terhenti. Alisnya perlahan terangkat, dan matanya menyipit. Seolah tak percaya pada kata yang baru saja ia dengar. “Sakit?” Napasnya pelan tapi berat. “Dia bahkan belum 24 jam di sini…” Nada suaranya tidak peduli—tapi setiap kata mengandung rasa terganggu yang tak bisa ia sembunyikan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Jaiden langsung menaiki t
Udara ruang makan perlahan menebal. Setelah piring-piring hidangan utama disingkirkan, hanya tersisa wine merah tua dan napas yang saling menunggu giliran bicara. Kakek August menyandarkan tubuhnya ke kursi. Jemarinya mengetuk meja kayu gelap tiga kali—lambang bahwa waktu basa-basi telah habis. “Jaiden,” katanya, pelan tapi tajam seperti belati. Semua kepala secara otomatis menoleh. Jaiden tidak. Ia hanya meneguk anggurnya pelan, menunggu dengan malas. “Kau tahu kenapa kau dipanggil hari ini.” Jaiden mengangkat bahu sedikit. “Karena anda suka mengatur hidup orang lain?” Zelda terkekeh. Marvish tersenyum seperti sedang menonton opera mahal. Margaret pura-pura sibuk mengusap bibir dengan serbet. August tidak terganggu. Ia menatap cucu sulungnya seperti menatap jenderal yang sedang lupa posisi. “Karena waktumu hampir habis.” Keheningan turun. “Usiamu sudah cukup. Nama Cavendish butuh pewaris sah. Butuh stabilitas. Dan sudah waktunya kita perkenalkan seorang istri untu
Langit di atas Morgrave Estate, hotel bintang lima milik keluarga Cavnedish—tertutup awan kelabu. Di dalam kantor dengan jendela besar dan tirai beludru hitam, aroma espresso baru terseduh mengisi ruangan seperti pembuka dari sebuah pertempuran yang belum dimulai. Benjamin berdiri tegak di sisi ruangan, tubuhnya tegak tapi tak santai. “Bos, siang ini Tuan August mengadakan jamuan makan di Thornvale. Anda diminta hadir. Katanya ada hal yang perlu didiskusikan...” Jaiden tak langsung merespons. Duduk bersandar di kursi hitam berlapis kulit, ia seperti patung yang hanya hidup di balik sorot mata tajamnya. Di hadapannya, sebuah map dokumen terbuka. Namanya jelas terbaca: Juliete Finnigan. Tempat tanggal lahir, alamat lengkap, data akademik, hingga beberapa foto. Benjamin baru saja menyerahkannya. Jaiden membaca dengan diam. Tatapannya tak berkedip. Tangannya terlipat, tenang, tapi aura di sekelilingnya cukup untuk membuat siapa pun berpikir dua kali sebelum membuka mulut. “Oxford.
POV Jaiden, Suara tamparan itu keras. Tajam. Dan menggema lama di aula batu yang sunyi ini—seolah tembok pun terhenyak mendengarnya.Untuk sesaat, waktu berhenti. Bahkan kedua bodyguard-ku—yang biasanya dingin dan tak tergoyahkan—ikut membeku. Mereka tahu siapa aku. Jaiden Alastair Cavendish. Nama yang tak disebut dalam suara keras, hanya dalam bisik-bisik takut. Malaikat maut di balik lambang kejayaan keluarga Cavendish. Tapi gadis ini… dia menamparku. Dengan tangan kosong. Tanpa rasa bersalah. Tanpa ragu. Gila. Dari puluhan wanita yang dikirim ke hadapanku—dipoles, dipaksa, dipuja—tak satu pun yang berani melawanku. Karena aku memang membenci perlawanan. Dan mereka tahu… apa yang terjadi pada orang yang melawan. Tapi tikus kecil ini—Juliete Finnigan—berani menunjukkan taring. Kemarahan memancar dari mataku. Itu pasti. Tapi di balik itu—lebih dalam, lebih panas—ada sesuatu yang lain. Penasaran. Ketertarikan. Obsesi. “Juliete Finnigan…” Aku menggeram, suaraku nyaris berbisi