Selamat membaca.
Namun saat aku menoleh ke arah orang yang dengan berani-beraninya menyentuh, seorang Emabell dengan lancangnya."Anda siapa?" tanyaku dengan satu alis terangkat saat melihat, kakek tua—yang ku yakini sebagai penjelajah (satu-satunya kaum yang di berikan wewenang untuk keluar masuk territory tanpa jaminan hukum dan keselamatan) bisa dibilang mereka adalah orang-orang yang tidak di lindungi raja, tetapi mematuhui perintah raja utama. Mereka cenderung tak memiliki identitas seperti layaknya nama ataupun rumah."Sedang mencari jamur ya?" kakek itu bertanya sembari melepas cekalan tangannya dari leganku, lalu berduri dengan postur tegap dan bertata krama.Aku yang diperlakukan baik lantas tersenyum padanya, lalu menganggukan kepalaku sebagai jawaban atas pertanyaannya. Sembari menatap penuh ingin ke arah jamur putih yang ada di sebelah pohon pinus.Melangkah—kakek penjelajah itu, dengan baik hatinya mencabut jamur putih tersebut dan di berikannya padaku."Anggaplah kamu sedang beruntung!"Aku menerima jamur itu dengan senang hati, lalu tersenyum pada kakek tua kuat yang terlihat mencurigakan. "Terima kasih!" kataku senang. "Kamu manusia?""Terlihat jelas ya?" tanyaku balik. Lalu kembali tersenyum padanya, "Clossiana Frigga adalah tempatnya para manusia, jadi aku adalah manusia karena lahir dan tinggal disini!" jelasku sok pintar.Sedang kakek itu terlihat tersenyum kecil padaku. "Sepertinya, kamu cukup pintar ya. Siapa namamu gadis muda?" tanyanya penasaran.Dengan polos dan senang hati. Aku menjawab, "Emabell!" riangku.***"Emabell ya." Kakek tua itu berpikir untuk mengetes kejujuran Emabell. "Di dalam hutan banyak jamur! Mengapa tak mencari lebih dalam?!" tanya kakek itu di akhir.Emabell tersenyum. Lalu menjawab, "iya. Tahu, tapi seperti kata kakek. Itu bukan bagian dari Clossiana Frigga! Lagi pula, Emabell masih sayang nyawa. Masih ingin hidup di Clossiana Frigga lebih lama lagi!" kata Emabell, menjadi sosok yang patuh akan peraturan."Tetapi tak akan ada yang tahu. Bukankah mencoba adalah pilihan yang terbaik?!""Memang, tapi Raja akan memotong leherku.""Raja tak sekejam itu!" kata kakek itu lagi—sebenarnya, kakek itu adalah Almosa. Tangan kanan Raja utara, dengan kekuataannya yang dapat berubah wujud.Emabell kembali mengulas sebuah senyuman. Sembari mencari jamur di balik lumut, Emabell berkata, "tapi tak ada yang mempercayai perkataan, selama tidak melihat secara langsung!""Jadi, seperti apa nama raja bagi Clossiana Frigga?"Emabell berpikir. "Emmmm!" sebelum menoleh ke arah kakek itu singkat. Lalu menjawab, "bagai mimpi buruk yang cukup untuk membuatmu menjadi gila dan ketakutan setiap harinya."Jawaban yang begitu jujur."Seburuk itukah Raja dimata manusia?" tanya Almosa—sedikit tersingung dengan tuduhan yang di jatuhkan untuk rajanya itu.Untuk beberapa saat, Emabell menatap kakek itu dalam. Menatap lekat ke manik mata kakek itu, sebelum dia kembali tersenyum. "Jika tidak, lantas jika suatu hari nanti. Manusia yang kecil ini bisa meminta sesuatu padanya?"Almosa terpaku. Secara tak langsung ia menjawab, "ya. Mintalah!"Tetapi kali ini Emabell malah tersenyum remeh. Menambahi, "kalau begitu. Emabell juga ingin tahu tentang mata-mata yang mengawasi di balik pohon pinus, bayangan di dasar laut dan...."Emabell menjeda."Dan?" ulang Almosa bertanya penasaran.Mengakat tangannya, menunjuk ke arah gurung utara. Dengan senyuman dan mata berkaca-kacanya, Emabell melanjutkan kalimatnya. "Dan istana hitam, juga sosok yang selalu melihat ke arah jembatan Clossiana Frigga?!"DEG!Almosa berpikir. Tentang—bagaimana bisa seorang manusia biasa dapat melihat istana yang sangat jauh, tenggelap di balik awan, dan tutupi tembok gunung batu yang terlihat mencapai langit?!Tetapi jujurnya pertanyaan Emabell tak bisa membuat Almosa curiga kalau Emabella adalah orang yang jahat. "Setiap arwah dan mahkluk di kunci di istana hitam, rakyat utara juga tinggal di bawah gunung dengan perlindungan raja. Meski abadi dan kuat, tetapi setiap bangsa diutara tidak dianugrahi kemampuan untuk terbang di atas tanah. Begitu juga dengan pengikutnya! Dan satu-satunya orang mampu melakukan itu hanyalah....""Halusianasi! Ya, mungkin otakku menciptakan ketidakmungkinan lagi!" sambung Emabell.Yang malah di setujui Almosa. Meski pria itu tahu, kalau jawaban Emabell adalah salah—sebab yang ia maksud, adalah sang raja sendiri.Bersambung....Selamat membaca. "Ya mungkin orang itu hanya halusinasimu saja!" kata kakek itu mengiyakan perkataan dari Emabell. Tetapi Emabell malah terlihat takut, itu membuat sang kakek mengerutkan keningnya bingung."Tapi bagaimana jika itu benar-benar hantu sang raja ke dua utara, yang mengintai, dan bersiap untuk membalas dendam?!" tanya Emabell lagi yang membuat sang kakek tak habis pikir dengan ucapa gadis itu barusan. "EMABELL!" namanya dipanggil dengan kuat. Emabell pun segera bergegas untuk pulang. Sedang kakek itu hanya terus menaruh tatapan penuh tanyanya pada Emabell. Yang bisa begitu santai dan akrap dengab orang yang baru saja ia kenal. "Orang yang selalu melihat ke jembatan ya? Yang mulia, mungkin akan tertarik pada manusia itu. Setelahnya kakek itu menghilang begitu saja seperti angin. ***Di balik sumur, aku bersembunyi agar tak ketahuan ayah dan ibuku karena terlambat pulang lagi. Demi apapun, Aku hanya tidak ingin mendengar cermah yang diulang mengenai sikapku. "Kan aku s
Selamat membaca. Dari kerumunan paling belakang, seorang wanita dengan tudungnya mendekat. "Apa yang terjadi disini?"Kaget. Pria paru baya berkumis itu menyapu dadanya karena ada yang bertanya secara tiba-tiba, tapi saat di lihat dari asing wajahnya wanita bertudung itu. Pria paru baya berkumis belah dua itu sadar, kalau itu hanyalah penjelajah yang lewat. "Itu, ada seorang putri yang terkena penyakit langkah. Kasihan sekali!" jelasnya. "Dan siapa nama putri itu?"Entah mengapa, Almosa yang sedang menyamar berharap kalau bukan nama Emabell yang akan pria itu sebutkan nantinya. "Anda tidak mungkin mengenalnya, tapi namanya Emabell!"Positive thingking saja. Mungkin bukan Emabell yang itu, mungkin Emabell yang lain. "Emabell?" ulang Almosa, hanya bisa melihat dari tempatnya tampa mengatakan apa-apa. Pria paru baya itu berubah sendu, mulutnya merapar dan matanya berkaca-kaca seakan sangatlah terluka dengan kabar sakitnya Emabell. Lalu dengan berat hati, ia menganggukan kepalanya.
Selamat membaca. Di kereta tua. Nike menandangku penuh tanya, tetapi aku juga tahu. Kalau sebenarnya ia juga cemas pada kondisiku. "Jadi bagaimana kamu bisa sampai terkena penyakit itu?" tanya Nike akhirnya. "Aku takut loh Emabell?"Aku lantas tersenyum. "Sama aku?""Bukan, kapan sih kamu pernah serius?" kesal Nike karena aku malah mengajaknya berkelahi dengan kata-kata. "Iya, maaf-maaf!" ucapku meminta maaf. Sebelum aku menjelaskan asal mula mengapa aku bisa sampai sakit seperti ini, sembari membalik lebaran demi lembaran kertas pada sebuah buku besar, yang ada pangkuanku. Tapi mataku berhenti pada sebuah kalimat sederaha namun bermakna. "Darah sang turunan penguasa utara!" Pikirku membatin."Jadi mana penjelasannya?" tuntut Nike. "Iya." jawabku singkat, sebelum kembali membalik buku dan menjelaskan. "Untuk mendapatkan batu karang perak, aku menyelam sampai ke kedalaman lautan terdalam. Aku hampir gagal karena sulit bernafas, tapi seekor ikan pari membantuku. Selama beberapa saa
Selamat membaca. Informasi yang Almosa dapatkan langsung ia sampaikan pada sang raja, dengan detail."Jadi apakah kita harus menangkap gadis itu karena melanggar territory? Almosa?" saran Darka pada Almosa yang sedang menundukkan kepalanya. "Tetapi Almosa, kita bukanlah pihak yang rugikan. Bangsa Pilatasus dari hutan pinuslah yang harus melapor, karena mereka yang dirugikan.""Tapi yang mulia, mereka tak melaporkan apapun selama lebih dari 20 tahun terakhir. Di hitung semenjak Emabell lahir.""Kalau begitu biarkan saja, dia mati ataupun tidak. Bukanlah urusan saya!" ungkap Darka dengan kejamnya. "Tapi yang mulia....""Kamu tidak terlihat seperti Almosa yang kukenal?" sambung Darka. Kali ini Almosa terdiam. Benar, selama melayani Darka. Perasaan seperti ini tak pernah ada, bukan cinta. Tapi rasa penasaran, dan juga rasa untuk menolong dan melindungi. Entah mengapa, Emabell membuat rasa penasaran tergerak. Seolah ada magnet pada diri Emabell. "Baik yang mulia, hamba mengerti!"Dark
Selamat membaca. "Clossiana Frigga!" sebut Kafkan, sembari menutup matanya. Menghirup aroma pedesaan, yang kaya akan danging manudia dan darah manusia yang begitu lekat dirasakannya. Dari bawah gunung batu, perbatasan Clossiana Frigga dan wilayah kerajaan utara. Ia membuka matanya. Lalu berkata. "Haruskah ku bakar saja Desa ini, agar gadis itu keluar dari persembunyiannya?"Pikiran yang mungkin akan membuat Darka dan Almosa murka. Karena kalau sampai gadis itu tak selamat, maka ia juga sudah di pastikan tak selamat. Kafkan hanya bisa mendengus pasrah. Sebelum suara tawa lembut menyambut. ***Beberapa saat sebelumnya.Aku Emabell, menyatakan kalau aku bukanlah orang yang sedang sakit parah sampai keluar pun tidak boleh. Lalu, dengan kesalnya aku keluar alias melarikan diri dari rumah dengan secarik surat yang ku letakan di atas meja. Isinya: "jangan ganggu aku!"Singkat padat dan jelas, harusnya cukup untuk membuat ayah dan ibu tak mencariku. Kali ini. "Maaf Nike!" aku tahu, kalau
Selamat membaca. "Bukankah memaafkan orang itu baik?" tanya Kafkan balik. Itu membuat Emabell berpikir. "Kan?" desak Kafkan , ingin Emabell setuju. "Benar!" jawab Emabell. Sontak Kafkan langsung menjentikan jarinya bangga, merasa pintar dibandingkan siapapun di dunia ini. "Itu dia maksud saya!""Kalau begitu Emabell minta maaf ya.""Tidak mau!" balas Kafkan dengan senyuman liciknya. Sedang Almosa hanya bisa menggelengkan kepalanya, pada tingkah keduanya. Memilih diam, dan menikmati suara Emabell dalam diam yang baginya sangatlah unik. "Kenapa kamu sangat menyebalkan sebagai seorang laki-laki?" "Aku belajar banyak dari manusia yang sedang mengoceh, di depanku saat ini!" Ledek Kafkan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya pada Emabell. Kafkan merasakan Energi berwarna dan indah dari dalam diri Emabell. Saat gadis itu meresponnya sedari tadi. "EMABELLL!"***Suara memanggil namaku lagi. Seperti suara Nike yang panik. "Aku harus pergi!" Pamitku pada mereka. Tak bisa terus-terus
Selamat membaca. "Emabell, sama seperti kamu membantu saya. Saya juga akan membantu kamu Emabell," kata sang tabib. Dia masih muda, tabib kesayangannya Clossiana itu sudah seperti kakak bagiku. Tapi kali ini, ia tak bisa memabntuku. Lantas, aku menundukan kepalaku. Menatap buram ke arah lantai, menahan rasa sakit di hatiku. "Emabell!""Tapi kamu tidak bisa membantuku Tara!" ujarku padanya senbari menatapnya dengan senyuman penuh pilu. Sedang Tara, sang tabib menatapku sendu. Tak percaya kalau aku akan mengatakan hal itu. Lantas. Tara pun mengangguk-anggukan kepalanya dengan rahang yang mengeras, tangannya juga mengepal dengan kuatnya. "Kamu benar, kakakmu ini. Memang tidak bisa menjadi hebat dari seorang Emabell, jadi tolong sembuhlah!"***Permintaan di sertai isakkan yang terdengar sampai di luar, hanya bisa membuat sang ayah menghembuskan nafasnya kasar karena tak bisa berbuat banyak untuk putrinya yang sedang sakit. Diam, membiarkan Seanoasa Tarascyna. Berbicara sebagai ka
Selamat membaca. Saat hampir pagi, aku terbangun dari tidurku. Lalu berjalan turun melewati anak tangga kayu dengan cepat. "Hati-hati nanti..."Brukkk! 'Awww' ya, karena tidak hati-hati dan terlalu terburu-buru, serta ceroboh. Jadi aku jatuh mencium lantai rumah bibi Anne, lagi! Dan seperti biasa kakiku terluka, namun kali ini cukup menyakitkan. Bibi Anne mengobatiku. "Makanya hati-hati kalau menuruni tangga, sekarang berdarah kan!"Tapi aku hanya terkekeh. "Maaf, dan, terima kasih." Setelah di perban, aku bangkit dari dudukku. Lalu berjalan ke arah cermin lama yang terlihat retak, sampai-sampai wajahku menjadi tiga bayang. Tapi masih bisa dipakai. Dan ya. Mataku tidak bengkak, tidak merah lagi. Dan itulah yang membuat aku takut juga suka saat tinggal di rumah bibi Anne, sebab aku kembali menjadi Emabell yang ceria. "Bibi, aku pulang dulu ya. Sampai jumpa, aku mencintaimu bibi!""Hati-hati...."Bukh! Dan lagi. Kepalaku menjedot pintu yang ternyata belum terbuka. Semua karena a