Selamat membaca.
"Ya mungkin orang itu hanya halusinasimu saja!" kata kakek itu mengiyakan perkataan dari Emabell.Tetapi Emabell malah terlihat takut, itu membuat sang kakek mengerutkan keningnya bingung."Tapi bagaimana jika itu benar-benar hantu sang raja ke dua utara, yang mengintai, dan bersiap untuk membalas dendam?!" tanya Emabell lagi yang membuat sang kakek tak habis pikir dengan ucapa gadis itu barusan."EMABELL!" namanya dipanggil dengan kuat. Emabell pun segera bergegas untuk pulang.Sedang kakek itu hanya terus menaruh tatapan penuh tanyanya pada Emabell. Yang bisa begitu santai dan akrap dengab orang yang baru saja ia kenal. "Orang yang selalu melihat ke jembatan ya? Yang mulia, mungkin akan tertarik pada manusia itu.Setelahnya kakek itu menghilang begitu saja seperti angin.***Di balik sumur, aku bersembunyi agar tak ketahuan ayah dan ibuku karena terlambat pulang lagi. Demi apapun, Aku hanya tidak ingin mendengar cermah yang diulang mengenai sikapku. "Kan aku sudah besar!" belaku pada diriku sendiri."Emabell!"Ibu menemukanku, dan aku hanya mencoba tersenyum padanya. Tapi ibu malah menjewer telingaku. "Aduh, sakit bu....""Anak nakal, kamu itu perempuan. Kenapa tidak pernah betah berada di rumah?" tanya ibu marah, sedang aku hanya bisa meringis saat di bawa pulang.Para warga malah tertawa saat melihatku di jewer ibu."Ibu aku malu...."Sampai ke rumah, ayah datang membantu. "Sayang, sudahlah. Kasihan Emabell!" bela ayah, aku menganggukan kepalaku. Lalu bersembunyi di belakang ayah."Ayah dan anak memang saja! tidak bisa di atur." marah ibu. "Malam ini tidur di luar!""Emabellkan perempuan!" ujarku. Karena tak ingin tidur di luar. "Ayah saja ya?"Ayahku mengerutkan keningnya saat aku meninggalkan ayah sendirian begitu saja, bersama ibu yang marah kembali ke kamarku.***Istana hitam, di utara. Seorang kakek, dampak tengah memasuki istana. Namun wujudnya berubah menjadi sosok pria tampan nan rupawan, Almosa. Tangan kanan raja, yang memang memiliki kemampuan berubah wujud. Tangan kanan yang handal dan setia.Dan karena kemampuannya itu, beberapa kerajaan takut padanya. Sebab dapat meniru wujud dan suara mereka sedetail mungkin."Salam hamba kepada cahaya dari utara!" ucapnya, menundukan kepala pada king Darka Askalar lll. King of Erydra, the Cruelty of Septentrionalis. Kegelapan dari utara.Yang dengan hentakan kakinya saja, dapat membela 3 pulau, dan menenggelamkan seratus ribu dataran di dunia dengan kegelapan total."Almosa!""Ya yang mulia?""Apa, yang membuatmu kembali?" tanya Darka dengan tatapan tajam dan dingin, yang ia tujukan pada Almosa yang tak pernah betah berada diistana hitam.Tak basa-basi. Almosa langsung mengatakan niatnya kembali. "Emabell dari Clossiana Frigga, gadis berumur sekitaran 20 tahunan, seorang manusia bermata Hazel dan Brown. Dapat melihat istana hitam juga...." Ia menjeda, lalu mengangkat kepalanya menatap Darka yang tengah duduk di singgah sananya yang agung. Sebelum melanjutkan kalimatnya. "Dapat melihat Anda yang mulia!"DEG! Darka terkejut dalam hatinya. Tapi ia tak memperlihatkan itu pada Almosa, hanya duduk dengan tenang di singgasananya."E, Ma, Bell?!" eja Darka mengulang. Sembari memainkan jari telunjuknya pada pegangan tempat duduk di sampungnya pelan. Darka seolah berpikir, lalu tatapannya kembali kepada Almosa."Ya yang mulia."Serigai kemudian terukir di sudut bibir Darka. "Menarik," katanya terdengar penuh arti. "Tapi, saya tidak tertarik untuk menangkapnya. Justru...lebih tertarik pada Almosa, yang mau kembali, hanya karena seorang gadis!" ucap Darka, sembari menekankan 4 kata terakhirnya dengan mata yang menyipit sempurna."Yang mulia maksud saya....""Saya tahu, Almosa, kamu hanya curiga. Tetapi jika memang itu benar, maka carilah tahulah siapa gadis itu. Karena jika ia bukan manusia, maka akan ada kerajaan yang akan hancur menjadi debu!" ancam Darka. Tak sabar mengetahui, kaum mana yang tinggal berbaur dengan manusia.Tetapi Almosa tak yakin kalau Emabell adalah seorang mata-mata, karena jika benar. Tidak mungkin, ia berkata sejujur itu.***Malamnya, di desa Clossiana Frigga. Di rumahku yang ramai. Aku jatuh sakit, nafasku sesak, dan jantungku berdetak sangat lambat. Dan ibu serta ayah terlihat sangat cemas."Berhentilah menangis bu, aku cuma demam. Sakit biasa, mengapa seserius itu?" tanyaku pada ibu yang berada di sampungku, mengengam tanganku erat. Dengan senyuman yang bermaksud untuk menghiburnya.Tetapi ucapanku justru membuat ibu marah. Kata ibu, "bagaimana bisa, putri ibu berkata hanya demam biasa saat hidupmu tinggal di ujung tanduk!"Aku yang Kerala sekarang. "Ibu, aku belum mati!" lalu menatap ke arah sang tabib. Bertanya, "masih ada beberapa hari lagi kan?" sang tabib menganggukan kepalanya sebagai jawaban."Anak ini!""Ayah, ibu. Bubarkan warga, aku mau tidur. Tidur sebentar, panggil lagi kalau nanti Emabell akan tidur selamanya." Candaku. Yang malah membuat ibu semakin menangis. "Emabell hanya bercanda.Tiba-tiba saja, aku melihat sesuatu di luar jendela. Asap hitam pekat. "Memangnya ada yang sedang membakar sampah?" batinku berpikir dengan kepala yang memiring bingung.Bersanbung....Selamat membaca. Tabir pelindung yang terbentuk di atas dunia Elydra itu mampu menyerap setiap api kemarahan Darka, meski terlambat. Tapi kekuataan itu begitu besar sampai setiap kaki yang berdiri akhirnya tak mampu lagi untuk berdiri—semua mahkluk akhirnya menghormati Emabell, bahkan para tetua yang tersisa menundukan kepalanya.Bukan karena kekuataan lagi. Tapi karena pengorbanan seorang manusia biasa pada dunia yang dengan hebatnya menolaknya sebagai ratu, tapi dengan sangat luar biasanya ia bela dengan mengorbankan nyawanya sendiri."Mungkin agak terlambat, tapi kini kau akan menjadi ratu kami. Satu-satunya ratu kami, Emabell kami."Aku menang. Tapi tunggu, aku kewalahan karena menahan kekuataan Darka. Keringat dingin memenuhi tubuhku, tapi tidak apa-apa. Ini bukan pertama kalinya aku di panggang!WUSH!Lenyap. Ah, rupanya aku juga tumbang. Baginda…tolong aku?!Gelap.***Beberapa hari kemudian, akhirnya aku sadar. Seolah tersadar dari mimpi, atau terbangun di dalam mimpi.Aku me
Selamat membaca.Raja dan Ratu, dan setiap makhluk yang mengisi aula utama Gratarus yang mengag dan indah saling tatap. Mereka kebingungan dengan alis yang mengerut sempurna—bagaimana tidak, pasalnya aku yang sudah seperti kehilangan kendali akan dirinya sendiri tiba-tiba saja menjadi tenang."Kau baik-baik saja Nak?" tanya ayah. Melirik ke arahku yang sedang berjalan menuju altar. "Emabell?""Ya ayah? Aku baik. Sangat baik." ucapku sembari tersenyum. Meski hatiku sangat ragu sekarang—"ternyata benar ya ayah, memilih itu sangat mudah. Yang susah itu, adalah bertahan." Kataku sambil mengumbar senyuman khas seorang Emabell dari Clossiana Frigga.Dan yah. Mata ayahku berbinar, dapat ku rasakan kalau hatinya tergetar atas perkataanku yang sepertinya sangat menyentuh hatinya. "Kau a-akhirnya mengerti Emabell?""Iya.""Ayah bangga padamu."Aku tersenyum. "Ayah akan semakin bangga. Karena kini aku mencintai Dunia Elydra.""Kenapa?" Karena dunia ini mencintai Bagindaku, rajaku, pilihan hatiku
Selamat membaca.Kau mengurungku. Lalu memintaku untuk melangsungkan upacara pernikahan yang tidak seharusnya terjadi Vardiantura? Baik, lakukan. "Aku akan mengukur waktu!"Mataku berubah warna menjadi keemasan, dan darah keluar dari mataku meski hanya sedikit. Itu karena Sakana mencoba melakukan lelepati denganku yang ternyata berhasil—baginda, hanya menyuruhku untuk menunggu sampai ia datang."Kalau kau tidak bisa bersabar, Baginda bersumpah akan memperkosaku setiap malam dan membunuh kami di depanmu! Jadi jangan lakukan hal gila. Kau mengerti!" tegas Sakana mengingatkan.Mataku membulat sempurna. Dan dengan susah payah aku menelan salivaku, "iya a-aku mengerti." jawabku.Karena semakin pusing. Jadi Sakana memutuskan telepati.Setelahnya, aku menatap ke arah pintu. Tapi percuma, pintu itu dikunci dari depan. 'hah' aku tidak suka di paksa—runtukku dalam hati.***-sementara itu, istana hitam. Utara yang membeku. Terjadi penangkapan besar-besaran di empat wilayah di Utara. Kota Devika
Selamat membaca.Berkat kecurigaan yang sepenuhnya benar. Aku di sidang di hadapan raja Vardiantura, di temani pangeran Edanosa dan Raja Nesessbula sebagai saksi atas kesalahanku."Bagaimana bisa rasa rindu menjadi kesalahan? Rindu itu tidak menyakitiku maka itu bukanlah sebuah kesalahan." Aku membela diriku sendiri. Tidak peduli seberapa hebatnya para ratu serta ibu dan ayahku yang terus memberiku kode agar aku diam saja tak mengatakan apapun—maaf tapi dia bukan Bagindaku, dan aku tidak akan pernah tunduk padanya."Berarti kamu berkomunikasi dengannya." ucapnya dingin."Itu hakku!" "Sejak kapan kamu memiliki hak Emabell?""Dan sejak kapan kau memiliki hak untuk bertanya padaku?" balasku tak ingin kalah. karena aku benar, ini adalah hakku.Edanosa menatapku dengan alis yang mengerut ke atas lagi. Tapi aku tidak bisa diam lagi, aku menatapnya sekali lalu tersenyum padanya seolah mengatakan kalau aku akan baik-baik saja meski hasilnya."Lihat aku!" Titah Vardiantura. Dan aku menatapnya
Selamat membaca.Gartarus. Kerajaan yang yang akan menjadi yang utama setelah Utara, indah, asri dan sangat nyaman namun sedikit mencekam.Orang-orangnya berkulit sawo matang dan hampir dari 99% warganya adalah pengendali tumbuh-tumbuhan. Merekalah yang membuat tumbuhan dapat bergerak, tapi ada juga tumbuh-tumbuhan yang sudah memiliki nyawa sejak lahir.Dedaunan yang jatuh bahkan bisa terbang kembali ke udara seperti ribuan burung-burung.Mereka ramah, dan alami saat tersenyum padaku."Huh! Senang rasanya melihat semua saling bahu membahu dalam mengurus kerajaan. Tamu tak diundang bahkan di sambut dengan baik," Ucapku sambil tersenyum manis menghirup udara segar menyambut hari pernikahanku. "Anehnya hanya Raja Nesessbula yang berbeda." Tambahku."Apa maksud Anda Emabell?!""Kau seperti orang mati, berkulit pucat, dingin dan terlihat seperti bukan berasal dari wilayah ini."Dia tersenyum smirk. "Timur. Tidak selalu tentang warna kulit. Dan lagi, aku adalah keturunan asli kerajaan Grata
Selamat membaca.Akhirnya hari itu tiba juga. Aku dan gaun pengantin di hadapanku, perhiasan bahkan mahkota yang akan ku kenakan terpajang dalam lemari kaca yang begitu mewah.Pernikahanku dan Vardiantura. Mereka berpikir kami akan menjadi 'lawan mencintai lawan' harusnya begitu. Tapi aku sudah mencintai lawanku yang sebenarnya—pria brengsek itu bukan Vardiantura tapi Baginda.Aku tersenyum membayangkan. "Kau tersenyum?" Edanosa muncul di sampingku. "Kau suka gaunnya?""Ya.""Aku mengenal guruku Emabell, dia memiliki dua senyuman. Yang satunya tulus, dan yang satunya lagi tulus dengan rencana.""Hm?" Ku kerutkan keningku pada pangeran Edanosa yang ada di sampingku. Sebelum tersenyum padanya. "Benarkah? Jadi, apa arti senyumanku ini?!" "Tulus dengan rencana." Aku tersenyum senang. "Emabell. Aku mohon!" Dia mengerutkan keningnya padaku. Mengandeng tanganku dengan mata berkaca-kaca."Lepas.""Alasan kau koma, bukan karena kekuataan misterius yang membutakan. Tapi karena…." Aku buru-bu
Selamat membaca.Aku tersenyum senang. Lalu menatap ke arah Nesessbula yang ingin menyampaikan informasi ini. "Sekalian, katakan padanya, aku masih menunggu." Terangku yang membuat Sih Vardiantura sialan itu tersenyum sinis."Apa yang kau harapkan?""Sampaikan saja!" Potongku. Tak peduli pada wajah angkuh seakan tak terkalahkan padahal cuma mayat hidup, aku jadi merindukan dia yang ku ciptakan dalam benakku. "Ini perintah!" Deg!"Kau….""Kau ingin aku menjadi ratu, akan ku lakukan sesuai yang kau inginkan. Dan kalian akan hidup!" Tegasku sembari tersenyum sampai mataku tidak lagi terbuka—meski artinya adalah sindiran.Mereka saling tatap. Tersenyum satu sama lainnya. "kau mau menikah denganku?" tanya Vardiantura."Hm." Jawabku sembari terus mengunyah."Kau mau menjadi ratu kami tanpa Baginda tercinta mu itu?""Hm." "Kau ingin memberikanku cinta.""Tentu.""Bagaimana dengan keturunan.""Tidak buruk."Mereka semakin bingung. "Kau masih waras Emabell?""Tidak. Setengah gila. YAH WARASL
Selamat membaca.Aku berjalan seperti orang bodoh diantara dinginnya malam, menikmati luasnya taman yang di bangun hanya untukku. Emabell dari Clossiana Frigga, bahkan nama taman ini adalah namaku. TAMAN EMABELL. Semuanya lengkap, kasih sayang, cinta, perhatian bahkan makanan sudah tersedia. Hanya saja, mengapa? Aku terus menatap ke arah tembok raksasa yang menghalangi duniaku."Baginda?" Sadar kalau ada langkah yang terus mengikutiku sedari tadi—Kubiarkan karena Baginda juga diam saja sedari tadi.Tiba-tiba. Ia memelukku dari belakang. "Tidak dingin?" tanyanya—Bisa kurasakan dengan jelas hembusan nafasnya yang menyentuh leher jenjangku. "Em.""Em?" Ulangnya.Aku tidak bersemangat sampai aku bisa membaca isi pikirannya. "Baginda mereka mengadakan pertemuan dan akhirnya Utara diundang….""Kita tidak akan pergi!""Mereka memilihku sebagai perwakilan." Aku sangat bersemangat sampai lupa akan sesuatu. "Ini…" tak melanjutkan ucapanku, kepalaku malah tertunduk ke bawah. Dan tak kusadari k
Selamat membaca.Ribuan panah amarah penuh penolakan di tengah kedamaian tanpa Utara. Dari orang-orang yang pernah tersenyum padaku—Tetapi Dia, Baginda. Dengan cepat menerjang ribuan anak panah itu seperti meteor yang kembali naik ke atas langit tanpa rasa takut.WUSH!Angin berhembus menerpa ku dengan sangat kuat, membuat surai dan pakaian kami beterbangan ke mana-mana. Tapi mata kami seakan menatap biasa saja ke arah Baginda.Zurra menatapku. "Nah Emabell, kita pulang?" Ia mengulurkan tangannya. Membuat aku tergetar, tersentak kagum. Melihat senyuman mereka yang berdiri di hadapanku, dengan ribuan prajurit Utara yang mendekat. Seolah menjemput kami untuk kembali pulang.Meski hanya kumpulan tengkorak dan mayat hidup. Mengapa rasanya bisa sangat hangat? Kegerian dan ketakutan yang pernah ada, sekarang ada dimana? Dan tekad untuk pulang ke Clossiana Frigga yang membuat banyak sekali rasa sakit. Terbang ke angkasa mana?"Ayo kita pulang." Senyumku sembari meraih tangan Zurra.Namun seb