"Papa mau jodohin aku sama perempuan pilihan Papa?"
Atala terkejut mendengar penuturan papanya. Sebelumnya, papanya memanggilnya ke ruang kerja karena ada hal penting yang ingin dibahas. Ternyata papanya memintanya menikah.
Dan tak hanya itu, yang membuat Atala lebih terkejut adalah papanya ingin menikahinya dengan Citra, cewek yang tidak pernah menyukainya sekaligus anak mendiang sahabat papanya dulu.
"Iya, kenapa? Kamu mau bantah?" tanya Johan yang duduk di kursi kerjanya sejak tadi.
Atala tertawa culas. "Papa nggak salah? Umurku masih sembilan belas tahun lho, Pa. Aku belum siap nikah. Aku masih pengin senang-senang, Pa. Lagian ini bukan zamannya Siti Nurbaya lagi, Pa. Astaga." Atala kehilangan kata-kata.
"Dengerin Papa selesai ngomong!" sergah Johan.
Atala terdiam.
"Duduk!" Johan menunjuk kursi di depannya.
Atala pun duduk dengan malas-malasan.
"Kamu itu satu-satunya anak Papa, Atala. Tapi kamu sama sekali nggak pernah buat Papa bangga. Selama masa sekolah, kamu hanya memberi Papa kabar buruk. Entah berapa kali Papa mendapat surat peringatan dari sekolah. Itu semua karena kamu yang suka buat masalah, senang menambah kasus. Berantem lah, tawuran lah, dan nggak hanya itu, nilai raport kamu anjlok! Sekarang sudah dikuliahkan, malah di DO. Mau jadi apa kamu, Atala, Atala." Johan menggeleng-geleng tak habis pikir.
"Papa harusnya tahu di mana kapasitas otak anaknya. Papa harusnya nggak maksain aku buat kuliah." Atala tak mau kalah.
"Lalu mau jadi apa kamu, Atala? Mau sampai kapan kamu begini terus?" Jeda sejenak. "Orang-orang di luar sana banyak yang pengin di posisi kamu. Menjadi calon pewaris tahta, lahir di keluarga kaya raya. Orang-orang di luar sana menghormati kamu hanya karena kamu anak Papa. Anak orang kaya. Kalau nggak ...." Papanya menggeleng. "Papa nggak tahu bagaimana nasibmu. Dan mereka nggak tahu kelakuan kamu yang sebenarnya karena selama ini Papa mati-matian menutup aib kamu. Menutupi kelakuan buruk kamu dari media. Tapi apa balasanmu? Kamu nggak pernah bikin Papa bangga." Johan menepuk-nepuk dadanya. "Papa malu punya anak seperti kamu, Atala, asal kamu tahu!"
Sesungguhnya Atala sakit hati mendengar omongan papanya itu. Meskipun apa yang papanya katakan itu benar. Tentunya dia juga punya alasan kenapa dia bersikap seperti itu selama ini dan papanya tak pernah tahu alasan itu.
"Dikuliahin nggak bisa. Kerja di luar juga nggak mau. Maunya kamu apa, Atala?" Lagi papanya bicara. "Kerjaan kamu cuman ngabisin harta orang tua, keluyuran nggak jelas. Kalau kamu begini terus, terpaksa Papa menikahkan kamu dengan perempuan pilihan Papa. Dan Papa harap kali ini kamu menurut, biar kamu bisa bersikap dewasa, biar kamu tahu bagaimana menjalani kehidupan dengan benar, biar kamu tahu kalau hidup ini keras. Paham kamu?"
"Jadi alasan Papa mau nikahkan aku cuman karena itu?"
Papa menggeleng. "Nggak hanya karena itu. Ada banyak alasan yang nggak bisa Papa kasih tahu kamu. Yang pasti Papa mau kamu harus menikah."
"Kalau pun Papa mau aku menikah, aku bisa cari pilihan sendiri. Aku udah punya pilihan sendiri, Pa. Nggak harus dengan pilihan Papa juga."
Johan menggeleng. "Pilihan kamu nggak benar, Atala. Kamu harus nurut kali ini. Pilihannya hanya dua. Menikah dengan gadis pilihan Papa atau harta warisan buat kamu Papa hibahkan ke yayasan dan nama kamu Papa coret dari daftar kartu keluarga!"
Hasil perdebatan tempo hari itu berakhir dengan Atala yang terpaksa menerima perjodohan papanya. Karena tak mau harta warisannya di hibahkan dan dia tak dapat harta sepesar pun.
Berhari-hari dia mengharapkan keajaiban. Keajaiban yang membuat papanya berubah pikiran. Dia masih berharap papanya itu tak serius dengan niatnya menjodohkannya, tapi ternyata ... hari ini semuanya terjawab.
Langkah Atala terhenti kala melihat perempuan itu duduk di ruang tunggu bersama temannya, Tasya.
Dia coba melangkah lagi lebih dekat. Berdeham lalu memanggil nama cewek itu.
Cewek itu menoleh. Tasya juga. "Ngapain lo ke sini?!"
Lihatlah, cewek itu memang tak pernah bersikap baik padanya. Atala tahu setelah ini cewek itu akan marah-marah bahkan mungkin menuduhnya yang mengusulkan rencana perjodohan ini.
"Gue mau ngomong." Atala memberanikan diri bicara baik-baik dengan gadis itu. Entahlah, di depan khalayak umum begini, di dekat keluarganya, Atala tak berani bersikap buruk pada gadis itu. Biarlah gadis itu saja yang kasar padanya. Atala tak ingin citranya di depan papanya dan di depan keluarga Citra terlihat buruk.
"Ngomong apa?" Meski terlihat tak senang, gadis itu mau meresponsnya.
"Boleh gue duduk di samping lo?" tanya Atala dengan hati-hati.
Citra hanya diam. Tak mengiyakan, tapi tak juga melarang.
Lalu tiba-tiba Tasya berkata. "Hmm gue pulang dulu, ya, kalau gitu. Cit, gue pulang sekarang boleh kan?"
Tapi Citra diam saja dan Tasya menganggap itu sebagai jawaban 'iya'.
Tasya berdiri. "Kalau gitu gue pulang. Lo yang sabar. Jalani takdir apa adanya dengan ikhlas." Gadis itu lalu melirik Atala yang hanya dibalas anggukan oleh cowok itu.
Sepeninggal Tasya, Atala memberanikan diri duduk di samping Citra. "Lo pasti kaget, ya, mendengar perjodohan ini?" Atala membuka percakapan dengan pertanyaan yang mungkin terdengar basa-basi. Citra diam saja. "Sama, gue juga." Lagi Citra hanya diam. Dan Atala memilih melanjutkan bicaranya. "Gue tahu lo nggak mau nikah sama gue--"
"Siapa juga yang mau nikah sama lo, bego!"
Sejak tadi gadis itu hanya diam. Tiba-tiba menyahut dengan kata-kata demikian pedas.
"Iya, gue emang bego, tahu diri, kok," jawab Atala kemudian. Dan Citra kembali diam. "Gue juga nggak mau nikah sama lo. Gue udah punya pacar yang kelak gue nobatkan sebagai istri gue. Ya, intinya kita emang nggak mungkin nikah. Tapi lo liat sendiri gimana keluarga gue dan keluarga lo maksain kita buat nikah. Keluarga lo dan keluarga gue akrab dari dulu. Walau pun kita nggak bisa akrab kayak mereka."
Citra menoleh. "Jadi lo mau nurutin keinginan mereka?"
"Menurut lo?"
"Lo gila?!"
"Eh, Cupu. Bisa dengerin gue dulu nggak?" Atala sedikit berbisik dengan geram, tidak tahan untuk tidak membully cewek songong itu. "Gue punya rencana, nih. Gimana caranya biar kita bisa nikah tapi--"
"Ngomongnya to the point aja deh. Jadi sebenarnya rencana lo apaan?!"
"Gimana kalau kita bikin perjanjian?"
"Perjanjian gimana maksudnya?" Citra tertarik.
***
Enam tahun kemudian.Tok! Tok! Tok!Pintu ruang CEO itu terdengar diketuk, sebelum akhirnya sang CEO yang duduk di atas singgasananya menyahut."Ya, masuk!"Pintu di buka, memunculkan seorang wanita cantik mengenakan pakaian kantor. Terlihat begitu elegan. Sepatu hak tingginya terdengar menggema mengetuk lantai ketika dia berjalan mendekat sembari meninting paper bag. Sang CEO tersenyum senang melihat kehadiran wanita itu. "Makan siangnya sudah datang, Pak," beritahu sang sekretaris itu, lalu meletakkan paper bagnya ke atas meja."Terima kasih," sahut sang CEO. Ya, baru saja dia meminta sang sekretaris pribadinya itu memesankan makanan online untuknya. "Eh, kamu mau ke mana?" tanyanya ketika sang sekretaris terlihat beranjak pergi.Wanita berambut pendek itu menatapnya. "Keluar, Pak.""Duduk di sini, temanin saya makan, seperti biasa, dong." Sang CEO tersenyum penuh arti saat menutup laptopnya. "Maaf, saya belum lapar, Pak. Lagian masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan,
Citra tersenyum saat dia tak sengaja masuk ke stan baju bayi dan balita, dan melihat beberapa baju bayi yang bergantungan itu. Baju-baju bayi itu membuatnya teringat dengan bayinya yang sempat singgah di perutnya. Dia bahkan belum sempat membelikan bayi itu baju, tapi bayi itu sudah pergi. "Hei, kamu di sini ternyata." Teguran itu menyadarkan lamunan Citra. Wanita itu sontak menoleh ke sampingnya. Atala menegurnya sambil menatapnya heran. Lalu Atala ikut memandang ke arah pandang Citra. "Udah jangan sedih-sedih lagi, jangan ingat-ingat lagi," ucapnya menghibur sambil mengusap kepala istrinya.Citra tersenyum. "Iya.""Udah selesai pilih bajunya?"Citra menggeleng. "Ya udah, ayok pilih lagi."Atala benar-benar mengajak Citra jalan ke Mall demi menghibur istrinya itu. Walau sepertinya hal itu tak banyak membantu. Karena Atala masih sering mendapati Citra murung memikirkan sesuatu.Citra kembali mendorong trolinya, kembali memasuki stan pakaian dewasa, bersama Atala juga. Saat Citr
"Aku ... aku punya kabar duka, Eyang," ucap Citra pada eyang ditelepon setelah eyang bertanya ada apa."Kabar duka apa, Nduk?" Suara Eyang terdengar cemas. "Aku ... keguguran, Eyang." Air mata Citra sontak menetes bersamaan dengan dia mengucapkan kalimat itu. Masih sedih saja hatinya mengingat ketiadaan bayinya padahal kemarin bayinya masih ada dalam kandungannya. Dadanya juga terasa sesak. "Bayiku udah nggak ada.""Ya Allah Gusti ...." Suara Eyang terdengar sedih. Dan sepertinya eyang putri menangis di seberang sana. "Ini semua ...." Citra berhenti ketika hendak mengucapkan kata-kata 'ini semua salahku, aku nggak becus jaga kandungan, aku nggak bisa jadi ibu yang baik'.Dia berhenti mengucapkannya karena ingat pesan Atala yang mengatakan seharusnya dia tak boleh menyalahi diri. "Apa, Nduk?""Enggak, Eyang. Mungkin ini semua udah takdir Allah, ya, Eyang. Eyang jangan sedih, ya. Nanti aku pasti bisa hamil lagi, kok." Citra tersenyum. Sejatinya dia tengah menghibur dirinya sendiri."
Dua hari berlalu. Citra masih memikirkan kandungannya yang keguguran. Meski Atala berkali-kali mengatakan sebaiknya dia tak perlu menyalahkan dirinya. Tetap saja, Citra merasa bersalah karena kenyataannya memang begitu. Karena dia sadar jauh dalam lubuk hatinya paling dalam, dia belum siap menjadi ibu, dan Atala tak tahu itu. Tak ada yang tahu isi hatinya selain dirinya dan Tuhan. Seketika kenangan dan kejadian lalu itu pun teringat lagi. Dia ingat bagaimana selama ini dia tak begitu menginginkan bayi itu. Percakapannya dengan Bi Rahma waktu pertama kali dia tahu dia hamil pun terngiang. "Aku nggak mau hamil, Bi ...." "Kenapa Non jadi sedih? Harusnya Non bahagia kan? Kan Non sudah menikah dengan Tuan Atala. Memang sudah seharusnya Non hamil." "Tapi, Bi .... Aku belum siap. Aku belum siap mengurus anak, aku takut ...." "Non jangan pesimis begitu .... Ingat, ya, apa pun yang Allah kehendaki itulah yang terbaik. Non ingat kan dulu Non sendiri juga ndak mau menikah dengan Tuan Atala.
Sejak dalam perjalanan hingga sampai ke rumah, Citra hanya berdiam diri. Bahkan dia tak menyahut ketika Bi Rahma menegurnya. Bi Rahma mengalihkan pandang pada Atala yang hanya dibalas gelengan kepala. Atala membiarkan Citra masuk ke kamar. Lantas dia bicara pada Bi Rahma."Ada apa, Tuan? Kenapa Non Citra begitu sedih? Kandungannya baik-baik saja, kan?" Meski sudah tahu apa yang mungkin terjadi, Bi Rahma masih berharap yang baik-baik.Atala terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Citra keguguran, Bi." Dia berterus-terang. Wajahnya tertunduk lesu. Membayangkan bagaimana dia mengatakan berita buruk ini pada keluarga yang lain, terutama papa. "Ke-keguguran, Tuan?" Bi Rahma tampak tak percaya. Atala diam saja. Dan itu cukup menjelaskan."Ya Allah ...." Bi Rahma sampai menutup mulutnya. "Kasihan Non Citra." Art itu bisa langsung membayangkan bagaimana perasaan Citra saat ini. "Non Citra sekarang pasti sedih sekali. Pantas saja tadi banyak diam.""Iya, Bi. Bi aku ke kamar dulu, ya, temeni
Mendengar itu, Atala spontan menoleh. Wajah lelaki itu langsung berubah melihat istrinya kesakitan sambil memegangi perut."Citra!" Dia pun berlari mendatangi istrinya itu. "Perut kamu kenapa?" tanyanya saat memegangi tubuh istrinya. Rasa kesal tadi sontak menguap entah kemana bergantikan rasa khawatir luar biasa."Perut aku sakit banget." Citra merintih. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"Atala langsung membopong istrinya turun ke bawah dengan tergesa. Sebelum pergi, dia meneriaki Bi Rahma untuk memberitahu kalau dia dan Citra akan pergi ke rumah sakit.Meski sempat khawatir melihat keadaan majikannya itu, Bi Rahma menurut. "Ya Allah semoga Non Citra ndak kenapa-kenapa. Semoga kandungannya baik-baik saja," doa sang art itu dengan tulus.***Atala mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang kebidanan. Di balik rasa khawatirnya terhadap kandungan istrinya, dia masih berharap dan berdoa kalau kandungan isrinya yang baru seumur jagung itu baik-baik saja. Begitu pintu ruang itu terbuka