Share

Pengantin Titipan
Pengantin Titipan
Author: Adny Ummi

Bab 1 : Perkenalan yang Tidak Sesuai Harapan

"Kamu yang bener aja, Dion ... gadis kampung kayak gitu kamu kenalin sama papa?"

Suara bernada menyindir itu terdengar dari balik lemari besar penyekat ruangan. Walaupun tidak berteriak, cukup jelas di telinga kami. Ya, di sini aku dan Kak Mirna—kakakku—bermaksud berkenalan dengan keluarga Bang Dion, seorang pemuda yang menarik hatiku.

Kak Mirna menatapku lekat, tampak ia tersenyum sinis kepadaku. Dia memang sudah memperingatkan untuk tidak melanjutkan hubungan dengan Bang Dion yang kukenal di kampung kami, ketika lelaki berwajah manis tersebut bersama teman-temannya melakukan kegiatan KKN enam bulan yang lalu. Hanya saja Bang Dion selalu menguatkan, ia berkata akan memperjuangkan hubungan kami. Aku percaya padanya.

"Tapi, Pa ... Dion cinta sama Mila. Dion berniat serius dengannya!" tegas suara Bang Dion.

"Sudah kakak bilang, 'kan? Kamu gak mau denger, sih!" bisik Kak Mirna geram.

Mataku terasa panas. Begitu juga dada ini, terasa bergemuruh kencang.

"Cinta ... cinta! Tahu apa kamu soal cinta? Selama ini gak pernah bawa perempuan jalan! Balik KKN malah minta kawin! Kuliah kamu aja belum selesai!"

Suara berat yang tadinya datar itu berubah jadi bentakan keras.

"Pa ... sabar, Pa ...." Itu suara Bu Rosa, mamanya Bang Dion.

"Mama lihat anak kesayangan Mama ini! Kenapa jadi pembangkang begini?"

"Pa, please ... selama ini Dion selalu menuruti keinginan papa dan mama. Kali ini Dion hanya minta papa dan mama ngertiin perasaan Dion. Dion mau menikah dengan Mila segera. Dan Dion sudah melamarnya." Lelakiku masih terus membujuk orang tuanya.

"Gini aja, Nak. Selesaikan dulu kuliah kamu. Soal nikah nanti kita bicarakan lagi," kata Bu Rosa lembut.

"Gak bisa, Ma. Dion harus nikahin Mila bulan ini!"

Tentu saja. Kamu sudah janji sama ayah, Bang. Debaran jantungku semakin kencang.

"Kamu ini kenapa, hah?! Kebelet kawin banget!" sergah Pak Herlan.

Hening ....

"Mmm ... Mila ... Mila hamil ...," lirih suara Bang Dion di sana.

Mataku yang sudah terasa basah membulat sempurna. Begitu juga Kak Mirna. Dia menatapku tajam. "Yang bener, Mila?!" desisnya.

Bulir air yang dari tadi menggantung di pelupuk mata pun mengalir.

"Mi–la ...?" Kak Mirna kembali MELAFALKAN namaku dengan tatapan tajam penuh tanda tanya.

Dengan refleks kepalaku menggeleng ... pelan.

Di dalam sana kembali hening.

Plak!

Tiba-tiba terdengar suara tamparan keras.

"Anak kurang ajar!"

Bunyi derap langkah mendekat. "Perempuan murahan!" Suara Pak Herlan menggelegar, beliau berdiri di hadapan kami sambil menatap nanar. Wajah itu tampak memerah karena emosi.

Aku dan Kak Mirna spontan bangkit dari duduk. Lututku terasa gemetar, lemas.

"Pa, ini salah Dion. Bukan Mila." Bang Dion menyusul papanya. Begitu juga Bu Rosa yang langsung menahan lengan sang suami yang ingin maju mendekatiku.

"Kamu sengaja 'kan, menggoda anak saya? Berjilbab hanya kedok saja! Padahal murahan!" cerca bapak tua itu. Hatiku perih mendengarnya.

"Sa–saya ... ti–tidak ...." Lidahku terasa kelu, bingung mau menjawab apa.

"Kamu mau apa? Uang?" cecar Pak Herlan, "jawab!" bentaknya.

Aku berjenggit, terkejut.

"Oooh ... cukup ... cukup ... kita pulang, Mila!" Kak Mirna menyentak lenganku dan langsung menyeretku keluar dari ruangan itu.

"Mila! Tunggu!" teriak Bang Dion.

Aku dan Kak Mirna menghentikan langkah yang hampir melewati teras rumah besar tersebut. Lelaki itu lalu melangkah hendak menyusul kami.

"Dion!"

Kulihat Bang Dion menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.

"Selangkah kamu keluar dari rumah ini ... jangan pernah kamu kembali lagi dan jangan anggap papa sebagai orang tua kamu lagi." Suara itu terdengar datar, tapi jelas ada tekanan ketegasan di sana.

Tampak Bang Dion menunduk dan terdiam. Dia terlihat rapuh.

"Yuk!" Kak Mirna kembali menarik tanganku, kami pun semakin menjauh.

Air mataku mengalir deras. Kaki ini tersaruk-saruk diseret Kak Mirna. Tak terasa aku sudah di dalam sebuah angkot. Tak kupedulikan pandangan orang-orang yang mungkin heran menatap.

***

Aku menangis sejadi-jadinya di atas tempat tidur. Di antara isakan kudengar Kak Mirna mengomel.

"Kakak sudah bilang berkali-kali! Dion itu anak orang kaya! Kamu gak pantes sama dia! Keluarga kita gak pantes buat mereka!"

Mendengar hal itu aku semakin menyesali diri. Mengapa dengan begitu mudah memberikan hati kepada pemuda yang baru beberapa bulan dikenal. Bang Dion ... awalnya dia hanya menggoda kami, aku dan kawan-kawan sesama remaja masjid di kampung. Lama-kelamaan dia semakin mendekatiku dan bilang jatuh cinta kepadaku. Wajahnya manis, ini pertama kalinya aku ... jatuh cinta.

Bang Dion bilang semenjak berkenalan denganku, dia menjadi lebih baik. Tidak lagi shalat bolong-bolong. Dia lebih semangat untuk mempelajari Islam. Hal itu membuatku terkesan.

Ketika dia datang ke rumah, ayah bilang bahwa sebenarnya aku sudah dipinang oleh Mas Sugeng, seorang pedagang sukses, duda beranak dua. Dia pernah meminjamkan sejumlah uang dulu ketika ibu masuk rumah sakit. Sampai saat ini, hutang itu belum lunas. Sehingga ayah sebenarnya bingung ingin beralasan apa, agar Mas Sugeng memaklumi penolakannya. Ayah minta waktu untuk bicara padaku, kata beliau.

Kuceritakan hal itu kepada Bang Dion sepekan lalu sebelum lelaki itu berangkat kembali ke kota. Dia pun bilang kepada ayah, kalau akan menikahiku.

Aku bahagia mendengar keseriusannya. Karena aku juga tidak mau berhubungan dengan lelaki dalam status tidak jelas. Aku tidak pernah berniat pacaran. Karena itu tidak diperbolehkan dalam agama, kata Pak Ustadz.

Bang Dion pun membantu mencicil hutang ayah dengan uang tabungannya. Belum lunas sepenuhnya, hanya sebagian kecil. Namun, itu cukup memberikan harapan dan membuat aku semakin percaya atas keseriusannya. Itu juga menjadikan alasan ayah menolak Mas Sugeng. Beliau bilang kepada pria beranak dua itu, bahwa putrinya ini sudah ada calon rupanya dan sudah berniat menikah akhir bulan ini.

***

Pintu kamar berderit. Terdengar bunyi langkah mendekat.

"Kamu belum makan dari tadi siang. Ini makanlah," suruh Kak Mirna.

Aku bergeming, tertelungkup dengan kepala di atas bantal. Sejak kembali dari rumah Bang Dion aku mengurung diri di kamar ini. Tangis sudah mereda.

"Kamu ini masih terlalu muda, Mila .... Ini hanya cinta monyet."

Huh ... cinta monyet? Aku sudah hampir sembilan belas tahun! Ya ... mungkin ini memang cinta pertamaku. Akan tetapi, ini cintaku yang sejati.

"Hei ...." Kak Mirna membelai punggungku.

Aku beringsut dan bangkit duduk berhadapan dengannya. Kutundukkan dalam-dalam kepala ini.

"Kalau dia memang jodohmu, dia pasti datang. Kalau dia beneran cinta, dia pasti menghubungi." Kak Mirna mengangkat daguku, bibirnya dilipat, kemudian tersenyum kecil.

Aku pun mengangguk. Pasrah.

"Makan!" suruhnya lagi sembari bangkit dan melirik sepiring nasi yang tergeletak di atas meja di samping tempat tidur.

Kutatap setumpuk nasi dan sepotong ayam goreng krispi di sana.

Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel Kak Mirna. Aku terkesiap. Mungkin itu ....

"Dion," bisik Kak Mirna kepadaku.

Sontak aku berdiri. Namun, kakakku menunjukkan lima jarinya. "Sshhh ...!"

Aku menahan langkah.

"Halo, Dion!" seru Kak Mirna.

" .... "

"Oke, selesaikan dulu urusanmu di sana."

Aku melihat dengan cemas ke arah Kak Mirna yang tengah bercakap dengan lelakiku. Tak berapa lama, Kak Mirna menutup sambungan teleponnya.

Kembali kutatap wanita cantik di hadapanku itu dengan lekat, berharap tanggapannya. Apa yang dikatakan Bang Dion?

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status