"Hmmm ... kamu kenapa, sih, Sayang? Seperti banyak pikiran gitu." Bang Aldin mengecup rahangku setelah hajatnya terpenuhi.Aku menggeleng, kemudian menenggelamkan diri di dadanya. "Ya sudah, kita tidur. Abang juga ngantuk banget," ucapnya lirih.Aku hanya berdeham menjawab suamiku. Ya Allah, apa yang harus aku katakan ke Bang Aldin? Bagaimana kalau Bang Dion nekat memperlihatkan foto-foto itu kepadanya? Aku tidak mau kehilangan dirinya juga Ivan. Aku sangat mencintai mereka ya, Rabb ....***Sudah tiga hari semenjak Bang Dion mengirimkan foto-foto itu. Ia beberapa kali menghubungi dengan nomor baru. Tiap nomor barunya masuk, pasti langsung aku blokir.Akan tetapi, pria itu seperti tidak kenal dengan yang namanya lelah. Terus saja menerorku. Diri ini benar-benar stress dibuatnya.Sering aku kehilangan fokus ketika melakukan sesuatu. Beberapa kali Bang Aldin, Ivan, atau Bi Imah mengajak bicara, tetapi aku tidak
Tiba-tiba ia merenggangkan pelukannya. Sesaat kemudian terasa ranjang ini bergerak, pasti ia duduk. Aku masih membelakangi pria itu. "Lihat Abang!" Suara itu terdengar tegas menyuruhku.Aku bergeming."Mila! Lihat Abang sini!" ulangnya lebih tegas.Mau tidak mau aku pun membalikkan badan. Kutatap matanya dengan sendu. Yaa Allah, kuatkan hamba. "Aku mau cerai," ulangku sembari bangkit dan ikut duduk. Aku menyenderkan punggung ke kepala ranjang, menarik bantal ke atas pangkuan.Hening.Ia menatapku dengan sorot heran. Ya, tentu saja. Ia pasti merasakan perubahan sikap dan ia pasti memahami bahwa beberapa waktu ini aku sudah membuka hati untuknya. Bahkan aku memang telah jatuh hati kepada lelaki ini ... beserta sang anak. Aku menyayangi mereka berdua.Sebelah ujung bibirnya terangkat. "Tidak ... nggak akan pernah." Lelaki itu menyeringai, "jangan ajak Abang bercanda soal ini."Aku menatap denga
Sontak saja aku bangkit berdiri. Dada ini terasa mau pecah karena degupan kerasnya.Bang Dion terkekeh. Wajahnya terkesan mengejek.Bugh!"Kyaaaaaa!" teriakku histeris."Aakh ...." Bang Dion tampak kesakitan, karena baru saja menerima pukulan dari Bang Aldin di wajahnya. Darah segar pun mengalir dari sudut bibir pria itu, "sorry, Bang. Kami memang saling mencintai."Masih sanggup dia menyeringai! Ah!Kaca-kaca bening memburamkan pandangan mata ini.Dada Bang Aldin naik turun karena napas yang tersengal menahan emosi. Tiba-tiba matanya bersorot nyalang ke arahku. "Jadi ini alasan kamu ingin bercerai, hah?!" sergahnya padaku.Aku tidak mampu menjawab. Lidah ini terasa kelu. Ya Rabb ... aku ... aku harus bagaimana? Aku mengarahkan pandangan ke arah Bang Dion. Lelaki yang membawa masalah itu menyunggingkan senyuman sinis sembari mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Lelaki itu kemudian bangkit berdiri. "Wah ... jadi Mila sudah meminta cerai?" Wajah itu tampak sangat memuakkan."A-ada ap
"Kamu makan yang banyak. Biar bayi kita sehat," ucap Bang Aldin dengan menyunggingkan senyuman. Tangannya terulur memegang sendok, menyuapiku bubur ayam buatan Bi Imah.Kami sudah di rumah dan kini tengah duduk bersama di ruang tengah. Ivan masih akan menginap beberapa hari bersama sang ibu.Walaupun benar-benar tidak berselera, tetapi aku tetap membuka mulut dengan terpaksa karena mengingat janin ini perlu asupan nutrisi. Anak ini tidak bersalah. Entah dari mana keyakinan itu datang. Mengapa Bang Aldin begitu percaya kalau janin yang baru berusia empat pekan ini anaknya? Bahkan aku sendiri bingung menentukan ... aku takut kalau yang dikatakan Bang Dion itu benar."Cukup, Bang," ujarku sembari mengalihkan wajah ketika ia kembali mengulurkan bubur itu untuk ke sekian kalinya."Cukup?" tanyanya sambil menautkan alis lebatnya.Aku mengangguk."Ya udah. Nanti kamu makan buah-buahan ini, ya," suruhnya seraya menunjuk ke arah
"Kamu yang bener aja, Dion ... gadis kampung kayak gitu kamu kenalin sama papa?" Suara bernada menyindir itu terdengar dari balik lemari besar penyekat ruangan. Walaupun tidak berteriak, cukup jelas di telinga kami. Ya, di sini aku dan Kak Mirna—kakakku—bermaksud berkenalan dengan keluarga Bang Dion, seorang pemuda yang menarik hatiku.Kak Mirna menatapku lekat, tampak ia tersenyum sinis kepadaku. Dia memang sudah memperingatkan untuk tidak melanjutkan hubungan dengan Bang Dion yang kukenal di kampung kami, ketika lelaki berwajah manis tersebut bersama teman-temannya melakukan kegiatan KKN enam bulan yang lalu. Hanya saja Bang Dion selalu menguatkan, ia berkata akan memperjuangkan hubungan kami. Aku percaya padanya."Tapi, Pa ... Dion cinta sama Mila. Dion berniat serius dengannya!" tegas suara Bang Dion."Sudah kakak bilang, 'kan? Kamu gak mau denger, sih!" bisik Kak Mirna geram.Mataku terasa panas. Begitu juga dada ini, terasa bergemuruh kencang."Cinta ... cinta! Tahu apa kamu so
"Dia bakal ke sini nanti. Dia bilang, dia akan tetap mengusahakan pernikahan."Aku berusaha tersenyum mendengar itu ... walau terasa getir.***Air mataku kembali mengalir ketika mendengar Bang Dion menyatakan harus menunda pernikahan kami. Apa yang harus aku katakan pada ayah?"Ber*ngsek lu!" sembur Kak Mirna sambil bangkit berdiri."Kak, aku juga bingung harus bagaimana." Wajah Bang Dion tampak kalut. Ia juga ikut bangkit dari duduknya."Gue udah tahu bakalan begini jadinya! Elu hanya maenin perasaan adek gue, 'kan?! Mana lu bilang adek gue hamil lagi!" Kak Mirna mulai tersulut emosi, makanya ia ber-gue-elu dengan Bang Dion sekarang."Gak gitu, Kak! Aku serius dengan Mila. Tapi mama dan papaku belum bisa menerima semua ini! Dan soal Mila yang hamil, maksudku cuma biar papa mengizinkan. Ternyata ...." Bang Dion tertunduk."Ayah gue udah cetak undangan dan udah ngabarin tetangga juga kerabat! Hari pernikahan tinggal dua pekan lagi. Mau ditaroh mana muka kami, hah?!" Kak Mirna semakin
"Mila ... ini hanya sementara ...." Bang Dion ikut bangkit dan mencoba menjelaskan."Abang udah gila?!" jeritku sembari menatap nanar ke arah pria itu."Abang bilang juga apa ...?" tukas Bang Aldin santai dengan rokok yang terus dimainkan di bibirnya. Dia menyeringai."Mila, i–ini terpaksa!" Tampak sorot putus asa dari mata Bang Dion.Aku terduduk, mencoba mencerna ide gila ini. "Assalamualaikum!" Tiba-tiba terdengar suara Kak Mirna yang baru datang. Kami pun menjawab salamnya dengan lirih. Terlihat senyum tipis dari bibir Kakak perempuanku itu kepada kami."Hei ... Dion!" tegurnya, "hmm ... siapa si ganteng ini?" tanya Kak Mirna ketika melihat Bang Aldin. Matanya mengerling.Aku mendengkus malas."Eh, iya. Ini Bang Aldin, temenku, Kak. Bang, ini Kak Mirna, kakaknya Mila," ujar Bang Dion memperkenalkan.Bang Aldin hanya mengangkat sebelah ujung bibirnya. Entah mengapa wajah tampan itu terlihat begitu menyebalkan. Dan Kak Mirna, ayolaaah ... bukan waktunya menggoda. Lagian sudah puny
Akhirnya kami sampai di kampung. Di pinggir Kota Bekasi. Ayah menyambut aku dan Kak Mirna dengan wajah cerah ceria. "Apa kabar, Yah?" tanya Kak Mirna sembari mencium tangan ayah."Alhamdulillah, Mirna. Ayah sehat! Suamimu gak ikut?" tanya ayah dengan bibir yang terus tersenyum.Giliranku mencium punggung tangan ayah sembari mencoba mengukir sebuah senyuman di bibir. Ayah mengusap kepalaku yang tertutup hijab berwarna salem."Mas Andri masih ada kerjaan di Bandung, Yah. Nanti dia nyusul, kok. Tenang aja," ucap Kak Mirna seraya tersenyum tipis.Kakakku sudah lama tinggal di kota. Dia putus sekolah sejak tamat SMP. Dia bilang kerja di pabrik sepatu waktu itu. Sejak menikah dengan Mas Andri dua tahun lalu, dia tidak lagi bekerja. Mas Andri kerja di Bandung, katanya jadi karyawan bagian administrasi di sebuah perusahaan advertising. Sedangkan aku, aku sempat menyelesaikan sekolah hingga jenjang Madrasah Aliyah. Tamat sekolah, aku hanya mengajar mengaji anak-anak TPA di kampung bersama te