"Dia bakal ke sini nanti. Dia bilang, dia akan tetap mengusahakan pernikahan."
Aku berusaha tersenyum mendengar itu ... walau terasa getir.***Air mataku kembali mengalir ketika mendengar Bang Dion menyatakan harus menunda pernikahan kami. Apa yang harus aku katakan pada ayah?"Ber*ngsek lu!" sembur Kak Mirna sambil bangkit berdiri."Kak, aku juga bingung harus bagaimana." Wajah Bang Dion tampak kalut. Ia juga ikut bangkit dari duduknya."Gue udah tahu bakalan begini jadinya! Elu hanya maenin perasaan adek gue, 'kan?! Mana lu bilang adek gue hamil lagi!" Kak Mirna mulai tersulut emosi, makanya ia ber-gue-elu dengan Bang Dion sekarang."Gak gitu, Kak! Aku serius dengan Mila. Tapi mama dan papaku belum bisa menerima semua ini! Dan soal Mila yang hamil, maksudku cuma biar papa mengizinkan. Ternyata ...." Bang Dion tertunduk."Ayah gue udah cetak undangan dan udah ngabarin tetangga juga kerabat! Hari pernikahan tinggal dua pekan lagi. Mau ditaroh mana muka kami, hah?!" Kak Mirna semakin sengit.Bang Dion menatap nanar ke arahku. Ia meremas rambut kepalanya.Air mataku mengalir semakin deras. "I–iya, Bang ... ayah pasti malu kalau pernikahan gak jadi. Dan ... dan ini alasan ayah menolak Mas Sugeng," ucapku sembari menahan isak.Kami terdiam beberapa saat.Tiba-tiba Bang Dion berkata, "Ada jalan keluar ... ada jalan keluar ....""Apa?" tanya Kak Mirna menyambar."Tunggu ... tunggu sebentar. Aku nanti balik lagi." Bang Dion langsung melenggang pergi dengan langkah lebar."Apalagi yang mau dilakukan cecunguk itu?" Kak Mirna tampak sangat kesal.Aku menggeleng lemah, lalu bangkit dan masuk ke kamar. Tenggelam dalam renungan panjang dan berlinang air mata. Benarkah ini cinta sejatiku, ya Rabb?Aku hanya ingin membahagiakan ayah. Semenjak ibu meninggal, ayah terlihat sedih dan lebih pendiam. Bisakah aku membahagiakan orang tua yang tinggal satu-satunya ini, ya Allah?***Kubuka pintu. Tampaklah Bang Dion dengan seorang pria cukup tampan. Wajahnya diselimuti bulu tajam yang baru tumbuh di sekitar pipi dan dagunya. Postur tubuhnya lebih tinggi dan lebih atletis daripada Bang Dion. Otot lengan atas dan dadanya tercetak jelas dari balik kemeja biru muda itu."Ini cewekmu?" Matanya yang bersorot tajam memindaiku dari atas ke bawah. Membuatku risih. Untung hanya sebentar saja.Aku mengernyitkan dahi melihat pria yang dibawa Bang Dion di hadapan. Kemudian mereka kupersilakan masuk ke ruang tamu."Iya, Bang," jawab Bang Dion sembari mengarahkan pria asing itu ke sofa tua di rumah kontrakan Kak Mirna ini."Siapa ini, Bang?" tanyaku kepada Bang Dion.Pria yang dipanggil abang oleh Bang Dion lalu duduk tanpa diminta. Dia mengeluarkan sebuah kotak rokok dan mengambil sebatang dari dalamnya. Aaah, aku benci dengan benda itu!Tampak lelaki itu sejenak menghidu batang rokok tersebut, lalu menyelipkan di antara kedua bibirnya. Akan tetapi, yang membuatku heran ... dia tidak menyalakan rokok tersebut."Duduk dulu, Mila," ucap Bang Dion."Aku ambilkan minum dulu, Bang," ujarku.Bang Dion pun mengangguk.Aku lalu melenggang pergi ke arah dapur kecil Kakakku."Hanya beberapa waktu, Bang." Terdengar suara Bang Dion berbicara dengan temannya."Kamu gak jelas banget. Beberapa waktu itu berapa lama?" Suara lelaki itu terdengar berat."Skripsiku dua bulan lagi rampung. Setelah wisuda aku bakalan menyelesaikan semua, Bang," jawab Bang Dion."Kalo dua bulan lagi kamu selesai ujian skripsi, maka kamu wisuda tiga bulan kemudian. Idemu ini gak masuk akal. Abang ke sini pengen tahu aja, penasaran sama cewek yang kamu taksir." Pria itu tertawa kecil. Entah apa yang mereka bicarakan?Es teh sudah jadi, kutaruh gelas-gelas itu ke atas nampan. Aku lalu melangkah menuju ruang tamu yang tidak jauh dari ruang makan kami.Makanya aku mendengar percakapan mereka, karena rumah kontrakan kakakku ini memang tidak seberapa besar. Bahkan ruang makan sekaligus difungsikan sebagai dapur."Minumnya, Bang," tawarku sambil meletakkan dua gelas es teh di atas meja, "Kak Mirna lagi keluar sebentar," lanjutku. Aku kemudian mendudukkan bokong di sofa tua di situ."Mila ... ini Bang Aldin. Bang, ini Kamila." Bang Dion memperkenalkan kami."Hemm ...." Pria yang bernama Aldin itu hanya berdeham menjawab Bang Dion. Ia lalu meraih gelas dan menenggak air es teh tersebut dengan tegukan besar. Setelah itu, batang rokok yang sebentar tadi ia lepas, kembali diselipkan lagi di kedua bibirnya. Aneh.Aku pun mengangguk pelan dan mengulas senyum kecil tanda menegurnya."Bang Aldin ini yang akan membantu kita," ujar Bang Dion.Aku mengernyitkan dahi. "Bagaimana caranya, Bang?" tanyaku penasaran."Bang Aldin akan menikahi kamu. Menggantikanku," jawab Bang Dion agak lirih, aku tidak yakin mendengar perkataannya dengan jelas. Hal itu membuatku menautkan alis."Mak–maksud Abang gimana?" tekanku."Abang yang nikahin kamu. Biar bapakmu gak malu," sambar Bang Aldin."Ap–apa?!" Aku sangat terkejut, sontak aku bangkit dari duduk."Kamu makan yang banyak. Biar bayi kita sehat," ucap Bang Aldin dengan menyunggingkan senyuman. Tangannya terulur memegang sendok, menyuapiku bubur ayam buatan Bi Imah.Kami sudah di rumah dan kini tengah duduk bersama di ruang tengah. Ivan masih akan menginap beberapa hari bersama sang ibu.Walaupun benar-benar tidak berselera, tetapi aku tetap membuka mulut dengan terpaksa karena mengingat janin ini perlu asupan nutrisi. Anak ini tidak bersalah. Entah dari mana keyakinan itu datang. Mengapa Bang Aldin begitu percaya kalau janin yang baru berusia empat pekan ini anaknya? Bahkan aku sendiri bingung menentukan ... aku takut kalau yang dikatakan Bang Dion itu benar."Cukup, Bang," ujarku sembari mengalihkan wajah ketika ia kembali mengulurkan bubur itu untuk ke sekian kalinya."Cukup?" tanyanya sambil menautkan alis lebatnya.Aku mengangguk."Ya udah. Nanti kamu makan buah-buahan ini, ya," suruhnya seraya menunjuk ke arah
Sontak saja aku bangkit berdiri. Dada ini terasa mau pecah karena degupan kerasnya.Bang Dion terkekeh. Wajahnya terkesan mengejek.Bugh!"Kyaaaaaa!" teriakku histeris."Aakh ...." Bang Dion tampak kesakitan, karena baru saja menerima pukulan dari Bang Aldin di wajahnya. Darah segar pun mengalir dari sudut bibir pria itu, "sorry, Bang. Kami memang saling mencintai."Masih sanggup dia menyeringai! Ah!Kaca-kaca bening memburamkan pandangan mata ini.Dada Bang Aldin naik turun karena napas yang tersengal menahan emosi. Tiba-tiba matanya bersorot nyalang ke arahku. "Jadi ini alasan kamu ingin bercerai, hah?!" sergahnya padaku.Aku tidak mampu menjawab. Lidah ini terasa kelu. Ya Rabb ... aku ... aku harus bagaimana? Aku mengarahkan pandangan ke arah Bang Dion. Lelaki yang membawa masalah itu menyunggingkan senyuman sinis sembari mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Lelaki itu kemudian bangkit berdiri. "Wah ... jadi Mila sudah meminta cerai?" Wajah itu tampak sangat memuakkan."A-ada ap
Tiba-tiba ia merenggangkan pelukannya. Sesaat kemudian terasa ranjang ini bergerak, pasti ia duduk. Aku masih membelakangi pria itu. "Lihat Abang!" Suara itu terdengar tegas menyuruhku.Aku bergeming."Mila! Lihat Abang sini!" ulangnya lebih tegas.Mau tidak mau aku pun membalikkan badan. Kutatap matanya dengan sendu. Yaa Allah, kuatkan hamba. "Aku mau cerai," ulangku sembari bangkit dan ikut duduk. Aku menyenderkan punggung ke kepala ranjang, menarik bantal ke atas pangkuan.Hening.Ia menatapku dengan sorot heran. Ya, tentu saja. Ia pasti merasakan perubahan sikap dan ia pasti memahami bahwa beberapa waktu ini aku sudah membuka hati untuknya. Bahkan aku memang telah jatuh hati kepada lelaki ini ... beserta sang anak. Aku menyayangi mereka berdua.Sebelah ujung bibirnya terangkat. "Tidak ... nggak akan pernah." Lelaki itu menyeringai, "jangan ajak Abang bercanda soal ini."Aku menatap denga
"Hmmm ... kamu kenapa, sih, Sayang? Seperti banyak pikiran gitu." Bang Aldin mengecup rahangku setelah hajatnya terpenuhi.Aku menggeleng, kemudian menenggelamkan diri di dadanya. "Ya sudah, kita tidur. Abang juga ngantuk banget," ucapnya lirih.Aku hanya berdeham menjawab suamiku. Ya Allah, apa yang harus aku katakan ke Bang Aldin? Bagaimana kalau Bang Dion nekat memperlihatkan foto-foto itu kepadanya? Aku tidak mau kehilangan dirinya juga Ivan. Aku sangat mencintai mereka ya, Rabb ....***Sudah tiga hari semenjak Bang Dion mengirimkan foto-foto itu. Ia beberapa kali menghubungi dengan nomor baru. Tiap nomor barunya masuk, pasti langsung aku blokir.Akan tetapi, pria itu seperti tidak kenal dengan yang namanya lelah. Terus saja menerorku. Diri ini benar-benar stress dibuatnya.Sering aku kehilangan fokus ketika melakukan sesuatu. Beberapa kali Bang Aldin, Ivan, atau Bi Imah mengajak bicara, tetapi aku tidak
[Alhamdulillah baik, Bang,] balasku singkat.[Bang Aldin lagi keluar kota, ya?]Dahiku mengernyit. Tahu dari mana dia?[Iya. Kok, Abang tahu?][Tahulaah. Hehehe ....][Abang ada perlu apa?] Malas berbasa-basi, aku to the point saja.[Gak ada apa-apa. Abang cuma kangen sama kamu.]Kembali aku mengernyitkan dahi. [Maaf, Bang. Kalau gak ada yang penting, tolong gak usah menghubungi, ya ....] [Kamu kok, sombong sekarang, Mil? Kamu gak kangen sama Abang?]Huuuftt ... aku menghela napas panjang. Mengapa dengan lelaki satu ini? Dari dulu juga aku nggak pernah mau chatingan tidak jelas seperti ini. Aku tidak mau membalasnya lagi. Sudah mulai melantur dan tidak penting untuk dijawab.[Mil.] Masih kubaca.[Mil, ngomong dong!] Huh! Aku meletakkan ponsel ke atas nakas dan kubiarkan berbunyi dan bergetar. Ting! Ting! Ting!Berulangkali bunyi pesan masuk. Bahkan bertubi-tubi.Apa-apaan sih, Bang Dion ini? Akhirnya aku meraih benda segi empat itu lagi. Tampak beberapa foto dikirim olehnya. Foto-fo
Tiba-tiba pundakku dipijat olehnya. Aku sedikit terkejut dan begidik. "Rileks," ujarnya dengan terus memijat lembut pundakku. Ya Allah ... ini enak banget ....Terdengar seperti laci yang digeser. Aku melirik ke belakang sebentar. Rupanya Bang Aldin mengambil minyak zaitun dengan aroma terapi yang waktu itu. Setelah membubuhkan beberapa tetes ketelapak tangannya, ia meletakkan tangan ke tengkukku. Ada desiran hangat di aliran darah ini. Akan tetapi, aku sungguh menikmati pijatannya. Benar-benar nyaman ....Ia menyingkap sedikit jubah handukku dan ... aku membiarkannya. Kupejamkan kelopak mata demi menikmati sensasi pijatan lembutnya. Tangannya menyusuri tengkuk, pundak, lengan atas, hingga ke punggung telanjangku. Entah mengapa aku membiarkannya. Makin lama jubah mandiku semakin terbuka. Napas di belakangku terdengar sedikit tersengal. Ia masih membelai dan memijat tubuh ini. Ranjang terasa bergerak. Perlahan terasa Bang Aldin mengecup