Malvin duduk di meja kerjanya, memandang tumpukan uang yang baru saja dihitungnya. Sebagai seorang mafia, pekerjaan apapun bisa ia jalankan, baik yang baik maupun yang buruk. Bahkan, ia tidak ragu untuk menghapus nyawa seseorang jika diperlukan. Meskipun wajahnya sudah dikenali oleh banyak polisi, mereka tidak memiliki kuasa untuk menangkapnya, kecuali jika Malvin sendiri yang menyerahkan diri.
Tok! Tok! "Masuk," perintah Malvin dengan suara datar, masih fokus pada uang di hadapannya. Kevin, anak buahnya yang masuk, tampak ragu. Malvin menatapnya, menunggu untuk mendengarkan apa yang ingin disampaikan. "Ada apa, Kevin?" "Tuan, bolehkah saya izin keluar markas?" tanya Kevin, suaranya terdengar penuh kehati-hatian. "Kenapa kau masih bertanya padaku? Pergilah." jawab Malvin, tidak terlalu mempedulikan hal itu. Namun, Kevin tetap berdiri, matanya tertuju pada tumpukan uang yang sedang dihitung Malvin. Malvin mendongak, menatapnya. "Berapa yang kau butuhkan?" Kevin terkejut dengan pertanyaan itu. "Tidak banyak, hanya satu juta saja." Malvin meraih uang yang sudah ia ikat dengan rapi dan menyerahkannya pada Kevin. "Ambil ini." "Terima kasih, Tuan," kata Kevin, dengan nada penuh hormat. "Pergilah, dan jangan pernah mengecewakan Jessie," Malvin melanjutkan, suaranya terdengar seperti peringatan. Kevin sedikit terkejut. "Bagaimana Anda tahu kalau saya akan bertemu dengan Jessie?" "Matamu yang memberitahuku." jawab Malvin sambil tersenyum tipis. Kevin menunduk malu, dan sebelum pergi, ia berkata, "Aku permisi dulu." Malvin mengangguk, kemudian kembali fokus pada pekerjaan. Saat pintu ditutup, ia membuka laci meja dan mengambil sebuah bingkai foto yang tersimpan di dalamnya. Foto itu adalah kenangan lama, kenangan yang tidak ingin ia lupakan. "Maafkan aku," bisiknya, sebelum meletakkan foto itu kembali ke tempatnya semula, seperti tidak ada yang berubah. "Selamat pagi, Tuan Mafioso," sapa seorang wanita dengan senyuman ramah. "Pagi, Linda. Bisa tidak kau berhenti memanggilku seperti itu? Aku punya nama." jawab Malvin, sedikit mengerutkan kening. "Ah, tidak, itu lebih aman. Lagipula, kamu memang pria terhormat," jawab Linda dengan senyum nakal. Malvin hanya tersenyum kecil. Ia tahu Linda tidak akan pernah berhenti memperlakukannya seperti itu, tetapi dia tidak bisa memaksanya untuk berubah. "Tuan, Anda ingin ke mana?" tanya Linda. "Pergi berjalan-jalan sebentar." jawab Malvin. "Semoga saja kamu bertemu dengan wanita yang cocok." canda Linda. "Maksudmu?" Malvin menatap Linda, bingung. "Ya, seorang wanita, seorang istri. Kamu pasti akan menikah, kan?" Linda berkata sambil berusaha menggoda. Malvin menggeleng. "Aku tidak tahu." Linda terkekeh. "Bagaimana dengan Kak Rose? Dia cantik, kalian serasi." Malvin tidak terlalu peduli dengan obrolan Linda. Gadis muda itu memang aktif berbicara, namun dia sama sekali tidak tahu siapa diri Malvin sebenarnya. Linda bekerja di klub sebagai pelacur, meskipun ia pandai sekali memainkan peran, menyembunyikan kenyataan yang pahit di balik senyum manisnya. Malvin tahu betul betapa banyak pria yang telah menggaulinya, dan Linda tidak pernah merasa bersalah. Malvin melangkah menaiki tangga menuju klub, yang terletak di atas markasnya. Klub ini didirikan oleh ayahnya, dan markasnya sendiri terletak di ruang bawah tanah. Malvin tidak ingin membicarakan masa lalu, setidaknya tidak hari ini. Semua orang yang ada di klub menatapnya ketika ia melangkah masuk. "Selamat pagi, Tuan Mafioso." sapa seorang pelayan. "Pagi, Ziah," jawab Malvin dengan acuh tak acuh. "Aku mencari Rose. Dia ada di atas panggung?" "Ya, Tuan, dia ada di sana. Boleh saya panggilkan?" Ziah menawarkan. "Tentu saja." jawab Malvin. Ziah segera meninggalkan Malvin dan masuk ke ruang belakang. Malvin tahu, Ziah adalah wanita yang nakal, suka menggoda tamu dengan cara yang menggairahkan. Namun, dia tidak pernah berani bertindak seperti itu di depan Malvin. Malvin memiliki reputasi yang keras, dan semua orang tahu bahwa menggoda pria seperti dia bisa berakhir buruk bagi siapa saja yang melakukannya. Malvin pernah sekali melempar seorang wanita yang mencoba merayunya hingga tewas di depan umum, dan kejadian itu membuat semua orang tahu bahwa ia bukan pria sembarangan. Tak lama, Ziah kembali bersama Rose, yang turun dari panggung dengan langkah anggun. Para pengunjung terlihat kecewa, tetapi mereka segera berbisik satu sama lain, penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Tuan, Tuan Raja ingin bertemu denganmu," kata Ziah sambil tersenyum nakal. Rose hanya tersenyum dan melangkah menuju pintu kamar. Malvin mengikutinya, tanpa berkata apa pun. Begitu mereka sampai di kamar, Rose membuka pintu dan melihat ke dalam, merasa kecewa karena Malvin tidak ada di sana. "Malvin?" panggil Rose dengan suara lembut. Tiba-tiba, Malvin muncul dari belakang dan memeluknya erat. "Kau merindukanku?" bisiknya. Rose hanya tersenyum, merasa nyaman dengan pelukan itu. "Semua wanita pasti merindukanmu," jawabnya, sedikit menggoda. Malvin mencium leher Rose dengan gemas, meski ia tahu bahwa hubungan mereka sudah terlalu rumit untuk dipertahankan. Rose adalah teman lama, dan mereka sering dicibir oleh orang-orang sekitar mereka. Seorang pelacur dan seorang mafia. Dunia mereka selalu berseberangan, dan itu membuat semuanya menjadi lebih sulit. "Malvin, aku lemas," ucap Rose manja, merasakan tubuhnya kelelahan. Namun, Malvin tidak memberikan perhatian lebih. Ia mulai menjamah tubuh Rose dengan lebih berani, membuat wanita itu mendesah. Tapi kemudian, ketika Rose mengajukan pertanyaan yang lebih jauh, nafsu Malvin tiba-tiba menghilang. Malvin berdiri dan mengambil jasnya. "Malvin, tolong jangan marah, aku mohon," kata Rose, dengan nada memohon. Rose berusaha menghentikan langkahnya, tapi Malvin tetap berjalan tanpa menoleh ke arahnya. Semua pengunjung klub menyaksikan kejadian itu, dan beberapa dari mereka mulai memberikan sindiran kasar kepada Rose, menyindirnya tidak mampu menaklukkan tamunya. Malvin tidak peduli dengan pandangan mereka. Bagi Malvin, ini bukan tentang siapa yang bisa menaklukkan siapa, ini tentang kekuatan dan kendali. "Jangan pernah meminta lebih dariku," bisik Malvin tanpa menoleh. Rose hanya bisa menangis, memeluk Ziah yang mendekat untuk menghiburnya. ---🥀--- Malvin berjalan menyusuri jalanan kota yang sibuk, di mana bangunan-bangunan dari batu bata merah menjulang tinggi. Kota ini penuh dengan gaya Eropa kuno, dan hanya mereka yang cukup kaya yang mampu membangun rumah dengan batu hitam yang lebih mahal. Setiap orang yang lewat memandangi langkah Malvin, berbisik tentang dia di antara desas-desus kota. "Berapa harga rokok ini?" tanya Malvin kepada seorang pedagang, sambil merogoh dompetnya. "Bagi Tuan, ini gratis," jawab remaja laki-laki itu dengan senyuman malu. Malvin menatapnya, melihat harapan yang tergambar di wajah remaja itu. "Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Malvin, mengangkat alisnya. Remaja itu menunduk, jelas malu dan tidak tahu harus berkata apa. Malvin menyadari apa yang terjadi. Itu adalah kode untuk meminta bantuan, sebuah permohonan untuk diangkat menjadi anak buah. "Ikut denganku." perintah Malvin sambil melangkah pergi. Remaja itu segera mengemas dagangannya dan mengejar langkah Malvin. Mereka duduk di sebuah kafe yang penuh, namun pemilik kafe sudah tahu siapa Malvin dan memberi mereka ruang khusus. Seorang pelayan wanita meletakkan termos di meja mereka. "Pesanan Anda, Tuan," kata pelayan itu, dengan sedikit ketakutan melihat remaja laki-laki yang duduk di sebelah Malvin. "Siapa namamu?" tanya Malvin dengan nada datar. "Semua orang memanggilku Zico." jawab remaja itu, mencoba berbicara dengan penuh keberanian. "Bagaimana kau tahu tentang aku?" tanya Malvin lagi, suaranya tak terbaca. Zico menggigit bibirnya, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menjawab. Malvin meletakkan sebuah pistol di atas meja, dan Zico terkejut, matanya terbuka lebar. Malvin tersenyum tipis.Malam itu, langit dipenuhi bintang, namun hati Vinka tetap gelap gulita. Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, mengelus liontin kecil peninggalan ayahnya. Hatinya berdebar tanpa alasan. Ada sesuatu yang terasa janggal, meski ia tak bisa menjelaskannya. Sementara itu, di ruang tamu, Monica duduk bersama Hans. Perempuan itu melirik suaminya dari sudut mata, tersenyum tipis sambil memutar cincinnya. "Hans, kamu yakin semua ini perlu?" tanya Monica pelan. "Aku sebenarnya tidak ingin terlibat sejauh ini. Aku hanya... ingin memastikan warisan Vinka tidak jatuh ke tangan yang salah." Hans mendengus pendek. "Kau tidak perlu munafik, Monica. Kau tahu, selama ini kau hanya mengincar kekayaan Panduwinata. Aku yang berusaha memastikan keselamatan Vinka, bukan hanya harta." Monica tertawa kecil, memiringkan kepalanya. "Oh, Hans, kau terlalu serius. Aku ini istrimu, bukan musuhmu. Lagipula, James yang memulai semua kekacauan ini, bukan aku. Dia yang mendorong semua rencana gila itu."
Senja semakin tenggelam di balik barisan pepohonan. Taman itu mulai sepi, hanya suara daun bergesekan pelan dan angin yang membawa aroma tanah lembap. Hans menatap lurus ke depan, tangan-tangannya menyatu di pangkuannya. Ia menunggu, sabar, meski pikirannya berputar penuh tanda tanya. Di sampingnya, Malvin duduk kaku, menunduk, menahan napas panjang. “Aku menunggumu, Malvin,” ucap Hans tenang, tapi nadanya jelas memberi tekanan. “Aku butuh kau jujur sekarang.” Malvin mengusap wajahnya kasar, rambut hitamnya berantakan. “Saya… saya kenal James,” suaranya serak. “Bukan cuma kenal. Dia yang menyewa saya untuk membunuh Tuan Panduwinata, istrinya dan Vinka.” Hans memejamkan mata sejenak, seperti sudah menduga. “Lalu kenapa kau tidak melakukannya?” Malvin tertawa kecil, getir. “Karena ayah saya. Karena ayah saya dulu pengawal pribadi keluarga Panduwinata… termasuk Nona Vinka.” Hans menoleh cepat. “Ayahmu…? Kau anaknya Michael?” Malvin mengangguk pelan. “Saya tidak pernah menceritakan
“Siapa? Siapa orang yang harus dirahasiakan dariku?” bisik Vinka dalam hati, kebingungan. Begitu mendengar langkah kaki menjauh, ia akhirnya berani keluar dari ruangan itu, berniat menemui Hans. “Paman.” panggilnya pelan. Hans yang tengah sibuk menata dokumen mendongak, lalu tersenyum begitu melihat siapa yang datang. Vinka perlahan mendekat, duduk di kursi tamu di hadapannya. “Vinka? Wah, tumben sekali.” ujar Hans sambil melipat tangannya di meja. Ruangan itu masih meninggalkan jejak menyakitkan di benak Vinka. Di sinilah kedua orang tuanya terbunuh. Ia masih mengingat jelas dentuman pistol, suara teriakan ibunya dan tawa dingin si pembunuh. “Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka tiba-tiba, suaranya getir. Hans terdiam, matanya menunduk. Ia tahu, kebencian itu tak pernah padam dalam diri keponakannya. Sarah dan Malvin pun tahu, sebanyak apa pun mereka menolong, luka di hati Vinka selalu menganga. “Kau… belum bisa menerimanya?” tanya Hans pelan. Vinka mengg
Sarah bergegas ke kamar Vinka begitu mendengar panggilan. “Nona memanggil saya?” tanyanya, suara lembut namun penasaran. Vinka menoleh perlahan. “Sarah, kau tahu di mana Malvin tinggal?” tanyanya pelan, tapi sorot matanya menuntut jawaban. Sarah terdiam, otaknya berputar cepat mencari alasan. Ia tahu Malvin mempercayakan rahasia ini padanya, tapi ia juga tak ingin mengecewakan Vinka. “Sarah?” desak Vinka, suaranya melembut, seolah bisa merasakan kebimbangan pelayannya. Sarah menunduk, menarik napas panjang. “Nona… maafkan saya. Saya tidak bisa memberitahu. Malvin sendiri yang memintanya.” Suaranya terdengar pelan, seperti memohon pengertian dari majikannya itu. Vinka menatapnya lama. Sarah bisa melihat mata majikannya mulai berkaca-kaca, berusaha keras menahan sesuatu yang mengganjal di dadanya. “Baiklah…” ucap Vinka akhirnya, berusaha tetap tegar. Ia bangkit perlahan, berjalan menuju ranjang. “Kau boleh keluar. Aku ingin sendiri.” Sarah menggigit bibirnya, hati kecilnya menjeri
“Paman.” panggil seorang wanita pelan. Hans menoleh, senyumnya samar. “Iya, Vinka?” Vinka mendekat, duduk di samping Hans. Tatapannya penuh rindu dan keraguan. “Apa Paman… rindu pada Ayah?” Pertanyaan itu membuat dada Hans sesak. Ia menghela napas panjang, mencoba tersenyum walau getir. “Maafkan aku, Vinka. Seharusnya dulu aku tidak pergi bertugas, seharusnya aku tetap di rumah, mendampingi dia… ke mana pun langkahnya.” Vinka menunduk, meremas jemarinya sendiri. “Kalau benar semua ini rencana Paman James… apa yang harus kulakukan?” suaranya lirih, nyaris berbisik. Hans terdiam, matanya menerawang. “Apa Paman tahu siapa yang bekerja sama dengan Paman James?” tanya Vinka lagi, nada suaranya sedikit memaksa. Hans menarik napas panjang. Sebenarnya ia tahu, tapi orang itu pernah menolong Vinka, dan lidahnya terasa berat untuk mengatakannya. “Vinka, ini sudah malam. Kita bicarakan besok saja, ya? Ayo.” Hans berdiri, mengusap kepala ponakannya pelan, lalu berjalan meninggalkan gadis it
Monica meletakkan satu piring besar di atas meja, senyumnya melebar penuh kemenangan. Para pelayan hanya saling melirik, membisikkan sesuatu diam-diam. Mereka penasaran, ada apa dengan nyonya mereka kali ini, Monica yang biasanya dingin kini tampak begitu senang. Tapi tentu saja, mereka bukan siapa-siapa untuk ikut menggoda atau mempertanyakan kegembiraan majikannya. “Wow, Mam, Mama masak semua ini sendiri?” tanya Adellia sambil mengedarkan pandangan ke meja makan. Monica mengangguk pelan, senyum masih terlukis di wajahnya. Adellia dan Aldo saling melirik, perasaan aneh menggelitik hati mereka. Mereka tak pernah melihat ibunya sesenang ini, bahkan ketika ayah mereka pulang dari luar kota. “Tentu saja ini untuk kemenangan Mami,” jawab Monica riang. “Kemenangan? Maksud Mama, kemenangan apa?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan, bingung. Suara bel pintu terdengar dari ruang depan. Monica segera berdiri, langkahnya ringan, membayangkan menyambut sang suami yang baru pulang. Tapi begi