Di sebuah hotel berbintang, resepsi pernikahan Arini Azhara Alister dan Dave Nero digelar. Banyak tamu dari kalangan atas yang diundang terutama rekan bisnis grup Alister dan Nero. Juga tidak terlupakan tiga pewaris perusahaan besar yakni sahabat-sahabat Dave. Ada juga sahabat Arini turut hadir.
"Arini!" teriak Keysia dan Morgan seraya berlari kecil menghampiri kawan mereka.
"Ah! Keisya, Morgan."
Keisya dan Morgan memeluk Arini secara bergantian. Sejenak, Keisya begitu kagum dengan kecantikan sahabatnya itu. Terlebih lagi, Arini mengenakan gaun pengantin putih yang begitu indah. Gaun yang dihiasi dengan payet bunga-bunga kristal kecil melekat pada gaun itu. Rambutnya disangul mengenakan sebuah bando berwana putih. Tidak lupa sebuah kain transparan berwana putih menggantung di rambut gadis itu yang membuatnya menjadi semakin cantik dan anggun.
"Cantik sekali kamu hari ini, Arini," puji Morgan.
"Terima kasih atas pujianmu, Morgan."
"Maaf, Arini. Aku tidak sempat hadir di acara ijab kabulmu," sela Keisya.
"Ada baiknya kamu tidak hadir, Key," kata Arini menundukkan kepala.
"Kenapa?" tanya Keisya bingung.
"Sudahlah. Nanti akan kuceritakan. Di sini bukan tempatnya."
Tak lama, seorang lelaki dengan kesan dingin dan memancarkan aura maskulin, mendekati Arini dan sahabatnya. Seketika dua sahabat itu terdiam seperti tertekan akan kedatangan pria yang terlihat tampan dan memukau serta berkesan mendominasi.
"Apa yang kau lakukan di sini, Arini?" tanya Dave seraya melirik ke arah kedua sahabat sang istri. "Acara sebentar lagi dimulai," katanya lagi.
"Arin. Siapa pria ini?" tanya Keysia. Nada bicaranya penuh pertanyaan.
"Oh. Kenalkan, aku suaminya. Dave Nero."
Morgan dan Keisya jadi bingung. Bukankah waktu itu Arini bilang pada mereka kalau nama calon suaminnya adalah Marvin Nero. Kenapa tiba-tiba berubah jadi Dave Nero? Morgan dan Keysia bahkan mengira kalau mereka salah dengar. Namun, Dave menekankan kalau mereka tidak salah dengar. Dave juga mengatakan kalau mempelai prianya kabur dengan wanita lain. Dialah yang menggantikannya untuk menikahi Arini.
Betapa terkejutnya Keysia dan Morgan mendengar apa yang keluar dari bibir tipis Dave. Akan tetapi, mereka berusaha unuk menyembunyikannya. Takut kalau-kalau Arini akan marah pada mereka. Arini meninggalkan dua kawannya dengan hati yang berat. Gadis cantik itu naik ke panggung pelaminan bersama Dave. Dia menggandeng tangan Dave melewati meja-meja yang tertata rapi. Di atasnya dipenuhi makanan dan minuman untuk menyambut para tamu yang hadir.
Di atas panggung resepsi, Lina Nero meberikan sebuah cincin berlian pada Dave untuk dikenakan di jari manis Arini.
"Pakaikan di jari istrimu, Dave," kata Lina lembut.
Lelaki itu memakaikan cincin di jari manis Arini seperti yang diminta ibunya. Begitupun sebaliknya, Arini memakaikan cincin pernikahan ke jari manis Dave. Acara tukar cincin telah selesai. Selanjutnya adalah tradisi melempar bunga. Dave dan Arini membelakangi para peserta lalu melemparkan bunga pernikahan mereka. Bunga itu jatuh ke tangan Keysia dan Morgan.
"Wah ... sebentar lagi kita nyusul ya, Key," celetuk Morgan.
"Nikah sama kamu? Jangan mimpi."
"Jangan berpikir demikan dulu. Siapa juga yang mau menikah denganmu. Mimpi saja kamu. Kan kamu tau sendiri, kalau aku suka yang berbadan kekar seperti pria yang ada di sana," kata Morgan genit seraya menuding ke arah salah satu dari tiga penerus perusahaan besar yang tak lain adalah sahabat Dave.
Keysia terkekeh geli karena sahabat lelakinya itu sangat centil layaknya perempuan. Meski demikian, dia tetap menyukai lawan jenis. Setelah dua jam resepsi diselenggarakan, acara sudah hampir selesai. Dave meninggalkan Arini. Dia pergi menyapa rekan-rekan bisnisnya.
Meskipun Dave masih berusia dua puluh delapan tahun, tapi dia sudah terjun ke dunia bisnis sejak usianya masih delapan belas tahun. Dia menjalankan perusahaan Nero dengan baik. Bahkan, selama dia menjadi pemimpin di perusahaan Nero, perusahaan itu berkembang pesat dan banyak memiliki cabang. Perusahaan juga dapat bekerja sama dengan perusahaan asing dengan baik dan terdapat banyak anak perusahaan di bawah pimpinan Perusahaan Nero.
Di sisi lain, Keysia dan Morgan kembali menghampiri Arini. Mereka masih penasaran dengan apa yang terjadi pada acara ijab kabul kemarin. Lalu keduanya menarik Arini sedikit menjauh dari kerumunan tamu.
"Arini. Bisakah kamu ceritakan lebih detail apa yang terjadi kemarin?"
Melihat wajah kedua sahabatnya yang penuh pertanyaan, mau tidak mau Arini harus menjelaskannya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam lalu memperdengarkan suaranya.
"Kemarin adalah peristiwa paling menyakitkan untukku. Rasaya aku ingin mati saja."
"Memangnya kemarin kenapa?" tanya Morgan.
"Pria yang seharusnya menjadi suamiku kabur demi wanita lain."
"What?" pekik Morgan dan Keisya terkejut. Arini kembali melanjutkan kata-katanya.
"Ya. Seperti yang kalian tahu. Dave adalah lelaki pengantin pengganti. Dia menikahiku supaya keluarga kami tidak menanggung malu atas kaburnya Marvin dari pernikahan."
Air mata Arini mulai menetes pada saat menjelaskan peristiwa yang menimpanya kemarin kepada kedua sahabatnya itu. Perih sekali rasanya. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima.
"Arini, sudahlah. Semua sudah terjadi. Jalani saja pernikahanmu dan semoga kamu bahagia," kata Morgan memcoba memberi kekuatan pada Arini lalu memeluk sahabatnya itu.
"Heii!! What's happening here?" Terdengar suara yang mengejutkan mereka. Arini, Morgan dan juga Keysia berbalik. Mereka melihat tiga lelaki tampan menghampiri dengan senyum terkembang.
"Oh ... inikah Istri Dave? Your beautifull," kata salah satu lelaki itu yang memuji kecantikan Arini.
"Kenalkan, aku Arvin Damian. Dia Diandra Davin dan lelaki yang menyapamu tadi adalah Raditya Celio. Kami sahabat Dave," kata Arvin memperkenalkkan diri dan juga kedua sahabatnya itu.
"Hai juga," Arini membalas dengan senyum yang menawan.
"Bodohnya Marvin meninggalkan gadis secantik kau, Arini," kata Raditya Celio yang memang wataknya ceplas ceplos.
Arini yang tadinya tersenyum, kini senyum itu hilang hanya karena satu perkataan yang keluar dari bibir Raditya. Melihat ada perubahan pada ekspresi Airini, Diandra mencoba mencairkan suasana.
"Ah, kau ini. Mungkin mulutmu butuh minuman. Ayo, kita ke sana!" seru Diandra sembari menarik Raditya menjauh dari Arini.
"Hei!" teriaknya mencoba melepaskan diri dari Diandra. "What happend? Please don't pull me. Aku masih ingin berbincang dengan istri Dave."
"Berhenti menganggunya. Kau ikut saja dengan kami," sambung Arvin.
Setelah Arvin, Diandra dan Raditya berlalu, Dave menghampiri Arini yang sedang murung. Sementra Keysia dan Morgan juga sudah berlalu meninggalkan Arini sendiri demi mengisi perut mereka.
"Arini," sapa Dave. "Are you ok?"
"Ya. Saya baik-baik saja."
"Lantas mengapa kau menagis? Hapuslah air matamu. Aku tidak mau rekan-rekan bisnisku melihatmu seperti ini," ucapnya dengan wajah serius. "Meskipun mereka tahu kalau aku menikahimu karena Marvin melarikan diri dan agar keluarga kita tidak menanggung malu, kau tetap harus bersikap baik dan terlihat bahagia atas penikahan ini."
Mendengar kata-kata Dave, hati Arini semakin sakit bagaikan terkoyak sebilah pedang yang sangat tajam. Ia tak menyangaka bahwa dia menikahi lelaki yang begitu dingin dan seperti tak berperasaan terhadapnya. Wajahnya bahkan terlihat kaku meski begitu tampan.
"Baik," sahut Arini, suaranya sedikit parau.
Sakit sekali rasanya ketika Dave sering kali menekankan kalau dia menikahi Arini hanya demi menutupi rasa malu keluarga. Betapa hancurnya perasaan Arini. Akan tetapi, dia tetap berusaha agar air matanya tak jatuh. Dia hanya mengigit bibir bawahnya dan meremas-remas gaunnya.
"Ini kenalkan istri saya," kata Dave memperkenalkan Arini kepada rekan bisnisnya.
"Cantik ya? Bodohnya Marvin itu," kata Aliandro, salah satu rekan bisnis Dave.
Arini hanya diam. Ia tidak mampu untuk berkata-kata. Dia hanya bisa berkata dalam hati. 'Oh Tuhan ... mengapa semua orang menekankan bahwa aku adalah istri yang ditinggalkan Marvin. Seolah-olah mereka memberitahu kalau Dave hanya membatu agar keluarga tidak menanggung malu. Apakah ini sudah yang ditentukan untukku?' jeritnya dalam hati.
Sampai pada akhirnya, Arini sudah tidak kuasa lagi untuk menahan. Air matanya sudah hampir menetes.
"Maaf, Pak. Saya ingin minum. Saya tinggal dulu ya," ucapnya mencoba tersenyum hangat, meskipun hatinya hancur. "Silakan dilanjutkan percakapannya," kata Arini. Baru kemudian ia meninggalkan Dave dan rekan bisnisnya.
Dengan perasaan yang begitu tersiksa pada diri Arini, gadis itu menagis terduduk di sebuah kursi yang ada di pojokan ruangan. Tak lama, wanita separu baya yang cantik menghampirinya.
"Kenapa kamu menagis, Arini?" tanya Lina kepada menantunya. Namun, Arini masih diam terisak dalam tangisnya. "Maafkan kami, Arini." Lina meraih jari-jari Arini. "Karena Marvin, kamu melalui semua penderitaan ini. Maafkan kami jika kamu tidak bahagia dengan pernikahan ini. Umi janji akan menebusnya dengan memperlakukan dirimu sebaik mungkin."
Lina Nero lalu memeluk menantunya. Wanita paruh baya itu dapat merasakan apa yang dirasakan gadis cantik yang dipeluknya. Dalam usianya yang masih muda, dia harus menanggunga sebuah pernikahan yang menurutnya adalah mimpi buruk. Pernikahsn yang seharunya berjalan tidak seperti itu. Pernikahan yang diimpikan akan bahagia, rupanya hanya angan-angan saja.
******
Di perusahaan Dave bekerja seperti biasanya. Tiba-tiba daun pintu ruangan terbuka, Arvin masuk dan menyapa Dave. Dave membalasnya. Namun, laki-laki itu tetap sibuk dengan dokumen-dokumen yang ada di tangannya."Apa yang membwamu kali ini?" Dave menghentikan pekerjaannya, lalu bertanya pada Arvin."Hanya ingin berkunjung saja," jawab Arvin sembari langsung duduk di sofa yang ada di ruang kerja Dave."Oo ...." Dave kembali bertanya "Bagaimana dengan rumah sakit ayahmu?""Sebagai satu-satunya pewaris perusahaan, tentunya rumah sakit Damian akan menjadi tanggung jawabku." Arvin Damian menjawab sambil menghela napas panjang. Sebenarnya laki-laki itu datang untuk mencurahkan keluh kesahnya pada Dave. Dan sebagai sahabat, Dave menjadi pendengar yang setia.Sebentar, Arvin pamit setelah puas meluahkan isi hatinya, terlebih saat ini Arvin adalah salah satu dokter terkenal dan juga satu-satunya pewaris perusahaan Damian. Perusahaan itu juga memiliki sebuah rumah sakit terbesar di kota Metropoli
Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Dave, Arini tersipu. Wajahnya semakin merona, jantungnya berdetak tidak menentu."Tapi, jika Arini tidak mengijinkan Mas, Mas akan ber-." Arini memotong perkataan Dave. "Huss! Arini istri Mas, Mas berhak atas Arini," ucap Arini seraya membungkam bibir Dave dengan telunjuknya."Sungguh Arini tidak keberatan?" tanya Dave. Arini tidak menjawab, dia hanya tersenyum sambil mengangguk pelan menandakan bahwa dia mengijinkan Dave untuk melakukan apa saja yang Dave inginkan. Toh dia adalah seorang istri, dan harus melakukan tugas dan kewajibannya. "Jika Arini terpaksa, Mas tidak akan melakukannya.""Mas, lakukanlah. Arini ikhlas sepenuh hati."Setelah mendapat persetujuan Arini, Dave yang sudah berusaha menjaga kewarasannya sejak tadi akhirnya jatuh juga. Laki-laki itu, menjatuhkan ciuman di bibir Arini. Gadis itu hanya diam. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Ada sebuah desiran yang mengalir di aliran darahnya."Pertama kali Mas Deve menyentuh bibir
Perkataan Arini membuat Dave tersadar akan prilakunya. Dave mengatur napas dan meredam emosinya, baru berbalik menatap gadis di sampingnya yang terlihat seperti kebingungan bahkan sedikit takut padanya.Saat Dave mencoba meraih pipi Arini, gadis itu sedikit mundur."Ma-Mas Dave," ucap Arini terbata-bata."Maafkan Mas, Arini." Kata maaf yang keluar dari bibir Dave tidak membuat Arini berdelik sedikitpun. Gadis itu diam dan terus menatap Dave dengan tatapan seolah takut terhadap laki-laki itu.Dave sendiri tidak igin larut dalam situasi yang seperti itu, maka dia langsung saja mengemudikan mobil untuk pulang ke rumah. Dan selama di perjalanan, Arini tidak berucap apapun. Dia hanya menatap wajah Dave yang begitu serius mengemudi seakan mencari tahu mengapa Dave tiba-tiba marah.Setibanya di rumah, Arini langsung turun dari mobil tanpa mengucap sepata kata pun pada Dave. Meski Dave mencoba untuk mamnggilnya, tetap saja gadis itu berlalu.Di kamar Arini merabahkan tubuhnya. Gadis itu masih
"Mas Dave," kata Arini lembut seperti biasa."Ada apa, Arini?""Boleh Arini bertanya?""Apa itu, Arini.""Mas Dave," kata Arini sedikit ragu. "Siapa tamu itu?" tanyanya kemudian."Bukan siapa-siapa," jawab Dave singkat dengan nada datar."Tapi.""Arini, aku sudah selesai, Arini lanjut sarapan sendiri." Dave beranjak meninggalkan Arini sendiri. Sedangkan mbok Ijah yang sejak tadi menunggu di di pintu masuk ruang dapur segera menghampiri Arini setelah memastikan kalau Dave sudah pergi. Wanita paruh baya itu mendekati Arini seraya meraih jemari Arini, dia tahu kalau Arini sedikit kesal lantaran Dave menjawab pertanyaannya dengan nada datar. Laki-laki itu bahkan meninggalkannya sendiri di meja makan."Sabar, Nona Arini," ucap mbok Ijah."Mbok." Arini mendongak menatap mbok Ijah. "Memangnya siapa yang datang, Mbok? Kenapa Mas Dave tiba-tiba berubah seperti itu?" tanyanya kemudian."Maafkan Mbok, Non. Mbok tidak berani, sebaiknya nona Arini jangan bertanya lagi." Mbok Ijiah tidak ingin ikut
Malam hari, seperti biasa Arini menunggu kedatangan Dave dari perusahaan sambil menyiapkan makan malam, lalu Arini duduk di meja makan. Namun, beberapa waktu berlalu, Dave tidak kunjung datang. Arini juga sudah menghubungi Dave, tetapi tidak ada jawaban.Malam kian larut. Dave belum juga pulang. 'Mas Deve, ke mana kamu, kenapa belum pulang?' Batin Arini begitu khawatir. Gadis itu melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul 22:10 malam.Mbok Ijah yang melihat Arini menunggu merasa prihatin, terlebih makanan di meja juga sudah dingin."Mbok, nanti kalau Mas Dave kembali, panaskan saja makanannya. Arini ngantuk, Mbok. Sudah kepengen tidur," kata Arini kepada mbok Ijah."Baik, Nona Arini," jawab mbok Ijah.Arini beranjak dari duduknya lalu masuk ke kamar. Sungguhpun dia sudah lelah menunggu begitu lama. Namun, Dave tidak juga muncul. 'Semoga suamiku dalam lidungan Sang Pencipta,' ucap Arini dalam hati sembari menghela napas, baru dia merebahkan diri di pembaringan.Sementara itu, di w
Pagi hari Dave cepat-cepat ke perusahaan dan tidak sempat sarapan meski Arini sudah menawarinya. Dave hanya memberikan satu kecupan yang melayang di kening Arini.Entah apa yang membuat Dave begitu terburu-buru seperti itu, Arini juga tidak bertanya, 'mungkin hanya masalah pekerjaan yang mendesak,' pikir Arini.~Love is the way you want me, jangan kau pergi jauh, L.o.v.e is the way yo want me, tak perlu kau ulang-ulang lagi.~ (Dering ponsel Arini)."Assalamualaikum, Umi,' sapa Arini ketika panggilan tersambung."Waalaikumsalam, Apa kabar, Arini. Arini sehat?" sahut Lina di ujung telfon."Arini sehat, Umi!""Bagaimana? Bahagia kah, tidak kah, Arini menikah dengan anak Umi?""Arini bahagia, Umi. Mas Dave baik terhadap Arini.""Umi minta maaf pada Arini""Sudahlah, Umi. Tidak perlu dibahas lagi. Arini tidak mempermasalahkannya. Kapan Umi dan Abah kembali?""Umi belum tahu, Abah dan Umi berencana tinggal lebih lama sampai anak Umi yang kabur itu ditemukan."Arini terdiam sejenak, dan perc