LOGINAlex marah karena merasa telah dihina oleh Shania. "Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan? Senang-senang di kafe dan tersenyum bahagia dengan laki-laki lain?"
Shania terkejut. "Kamu memata-matai aku?" tanyanya tak percaya. "Kau pikir aku tidak ada kerjaan selain memata-matai kamu." "Lantas, dari mana kamu bisa tahu kalau aku ada acara di kafe?" "Brian tidak sengaja melihat kamu di sana." Alex menjawab kesal. "Heh! Anak buahmu ada di sana, lantas di mana bos-nya berada? Apakah sudah ada di rumah? Atau sedang di tempat wanita lain?" tanya Shania menyindir. Shania tidak asal bicara atau menuduh. Ia mulai curiga kalau Alex kerap bersama seorang wanita sebab dari aroma parfum di kemeja kerjanya yang tak sengaja pernah tercium. "Apa maksudmu wanita lain? Tentu saja aku sudah pulang. Kamu lihat sendiri aku sudah ada di sini ketika istrinya baru kembali dari luar." Alex terlihat menyembunyikan sesuatu. "Mana aku tahu. Entahlah, terlalu sulit mempercayai ucapan seorang lelaki yang bahkan tak pernah menganggap istrinya ada." Setelah berkata demikian, Shania memilih pergi. Ia berjalan menaiki tangga, menuju kamarnya. Shania tak tahu kalau Alex mengejarnya. "Apa-apaan kamu, Alex?" Terkejut Shania ketika suaminya itu berdiri di belakangnya saat ia baru saja melepas pakaian. Alex terdiam saat melihat punggung mulus istrinya. "Kau pikir aku berselera melihatmu?" ucap Alex menghina. "Lagipula untuk apa bersikap sok polos begitu. Aku ini suamimu. Kita bahkan pernah melakukan hubungan suami istri." "Jangan mengungkit satu kejadian yang bahkan aku tak mau mengingatnya." "Tak mau, bukan berarti tak pernah terjadi. Mau bagaimana pun juga itu bukan hal tabu yang tidak boleh kita lakukan." "Tapi, kamu melakukannya dalam keadaan mabuk." Seketika ada seringai yang hadir di bibir Alex. Lelaki itu kemudian mendekat saat sang istri menutupi tubuhnya dengan handuk. "Apa yang kamu lakukan? Aku mau mandi!" seru Shania ketika tiba-tiba Alex mendekat dan mendorongnya. Alex diam saja. Ia lalu menarik kedua tangan Shania ke atas kepala. "Le-lepasin aku, Lex?" Suara Shania mendadak bergetar. Antara perasaan takut dan gugup menjadi satu. "Waktu itu aku mabuk dan kamu terus menerus mengingatnya. Apakah itu berarti kamu mau kita mengulangi hal tersebut dalam keadaan sadar seperti sekarang?" tanya Alex yang entah ada angin apa tiba-tiba peduli dan mau menghampiri Shania di kamarnya. Selama ini mereka memang tidur terpisah. Alex yang sejak awal tidak serius menikahi Shania, memilih untuk tidur sendiri dan membiarkan Shania tidur di kamar yang lain. "Kamu mau melakukan ini bukan?" tanya Alex yang kemudian menempelkan bibirnya ke bibir Shania. Shania jelas menolak, tapi tak bisa berbuat apa-apa sebab kedua tangannya yang dipegang erat. Alex lalu melepas ciumannya. Seringai kembali hadir di bibirnya. "Jangan pura-pura!Kamu senang aku menciummu seperti tadi bukan?" "Tidak. Sama sekali tidak." Namun, penolakan Shania justru mendapat serangan. Alex kembali mencium istrinya bahkan mendorongnya, membawa ke tempat tidur. "Alex, lepaskan!" seru Shania dalam kesempatannya melepas pagutan. Tapi, lagi-lagi Alex tak peduli. Ia bahkan sudah mendorong istrinya itu ke atas ranjang. "Jangan macam-macam, Lex! Aku enggak akan pernah maafin kamu kalau sampai, ehm!" Tak ada lanjutan kemarahan Shania sebab Alex yang sudah kembali membungkam mulut Shania. Lalu, masih dalam pagutan dengan penolakan yang istrinya berikan, Alex melepas lilitan handuk yang menutupi tubuh sang istri. "Lex!" seru Shania berekspresi tak percaya saat Alex membuatnya telanjang untuk kedua kalinya. Momen malam pengantin yang berakhir kesakitan Shania, kembali membuat perempuan itu merasakan kengerian. Namun, ketika Alex akan kembali menyerang, ponsel di sakunya tiba-tiba berdering. Alex berhenti dan memilih untuk memeriksa gadget-nya. Lalu, "Iya, halo!" sapa Alex seraya melepas pegangan di kedua tangan Shania. Serta merta istrinya itu melepaskan diri dan menjauh. "Ada apa?" tanya Alex dengan suara lembut. Ia fokus dengan si penelepon, tapi tatapannya tajam mengawasi gerakan Shania. "Aku akan kesana sekarang." Setelah berkata demikian, Alex bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan Shania yang terlihat lega. Tapi, lagi-lagi ia kecewa karena kepergian Alex yang selalu tiba-tiba. "Kemana sebenarnya kamu pergi, Lex?" Shania bertanya pada dirinya sendiri. Melupakan Alex yang tadi hampir kembali melecehkannya, Shania melanjutkan rencananya untuk membersihkan diri. Nyeri di hatinya saat melihat sang suami langsung berubah tak peduli demi seseorang yang tidak ia tahu. ** Pagi hari Shania bangun kesiangan. Ia tidak bisa tidur semalaman karena terus menangis meratapi pernikahannya yang tidak sesuai kenyataan. "Ah, kenapa jadi begini?" tanya Shania ketika ia melihat wajahnya di cermin. Kedua matanya tampak bengkak sisa tangisannya semalam. Sekarang, ia bingung bagaimana cara menutupinya. "Bagaimana aku pergi bekerja dengan muka seperti ini," ucapnya kesal. Sejenak ia berpikir, lalu ia tersenyum seolah menemukan solusi. "Kita coba cara itu dulu," ucapnya kemudian pergi keluar kamar. Ia berjalan menuju dapur untuk mencari sesuatu. Tas kerja sudah ia bawa sekalian. Jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh, mau tak mau membuat Shania harus melakukannya dengan cepat. "Ada yang Ibu butuhkan?" Seorang pelayan bertanya ketika Shania muncul di dapur. "Iya," jawabnya. "Tapi, saya bisa ambil sendiri." "Oh, iya." Pelayan itu lalu undur diri untuk melanjutkan pekerjaannya. Shania berjalan menuju kulkas. Di dalam sana ada sesuatu yang dicarinya. "Semoga ini berhasil," ucap Shania seraya mengambil sepotong timun dari dalam kulkas. Shania lalu mengiris tipis timun tersebut menjadi beberapa lembar. Setelah itu, ia menempelkannya di kedua mata. "Segarnya," ucap Shania sembari duduk di kursi ruang makan. Beberapa menit berlalu, Shania baru menyadari jika tidak ada orang lain di ruangan tersebut selain dirinya. 'Mungkin ia tidak pulang semalam,' batin Shania membicarakan Alex. Ada rasa nyeri yang kembali hadir demi membayangkan kondisi pernikahannya yang menyedihkan. Perasaan menjadi orang asing di kehidupan pernikahannya sendiri, membuatnya terkadang ingin melepaskan diri. Tapi, Shania teringat kedua orang tuanya. Bagaimana pun pernikahannya baru seumur jagung. Apa kata orang nanti mengenai kehidupan rumah tangganya yang hancur karena keegoisannya. Ya, tak bisa dipungkiri, pernikahan yang seharusnya tidak terjadi itu, juga karena perasaan cinta yang Shania miliki terhadap Alex. Ia yang merasa bahagia karena tiba-tiba mendapat lamaran dari kawan baiknya itu, langsung menerima lamaran tersebut tanpa pikir panjang. Padahal Shania tahu dengan pasti jika cinta Alex hanya untuk Maura seorang. 'Aku harus terima ini, bukan?' gumam Shania pilu. Masih dalam kegiatannya menempelkan irisan timun di kedua mata, tiba-tiba ada bulir air mata yang terjatuh. 'Kenapa aku cengeng sekali, Tuhan?' batin Shania kemudian mencoba menghentikan tangisnya. Tak lama kemudian Shania melepaskan irisan timun dari kedua matanya. Lalu, ia ambil cermin kecil untuk melihat kondisi wajahnya sekarang. "Bagaimana bisa hilang kalau aku terus menangis," ucap Shania sembari menepuk-nepuk kedua pipinya. Shania berusaha melupakan Alex. Meski sulit, ia harus melakukannya. Namun, ketika perempuan itu bertekad untuk melupakan apa yang terjadi, tiba-tiba ia harus menahan rasa sesak dan nyeri di dadanya saat melihat sebuah gambar di ponselnya. "Benar dugaanku, bukan?" ***Pagi terakhir di rumah sakit terasa berbeda. Bukan lagi ruang sakit, melainkan ruang peralihan —antara masa lalu yang penuh luka dan masa depan yang perlahan disusun ulang. Shania duduk di kursi roda kecil, mengenakan baju hangat yang dipilihkan Hanum semalam. Rambutnya diikat sederhana, wajahnya jauh lebih segar.Keanan berada dalam gendongan Alex, terlihat sangat bahagia dan rewel sekaligus, seolah tahu hari ini adalah hari besar.Nina, Hanum, Jimmy, dan Lian berdiri di sisi lorong, membentuk jalur kecil yang terasa seperti penyambutan keluarga untuk seseorang yang pulang dari perjalanan panjang.“Pelan-pelan, ya,” kata Alex sambil mendorong kursi roda Shania dengan hati-hati.Shania menengok ke belakang dan tersenyum. “Aku bisa jalan sendiri, tahu.”“Bisa,” Alex mengangguk. “Tapi, aku ingin kamu bersandar padaku dulu. Setidaknya hari ini.”Shania tertawa kecil. “Oke.”Mereka berhenti sejenak di depan pintu keluar rumah sakit. Udara luar menyapa —sejuk, tidak sekeras malam-malam yan
Keesokan harinya, matahari pagi jatuh lembut ke lantai marmar kamar VIP. Shania sudah duduk menghadap jendela, rambutnya dibiarkan tergerai, wajahnya jauh lebih cerah daripada hari-hari sebelumnya. Ia mengenakan pakaian longgar yang dibawakan ibunya —pertanda bahwa hari ini ia akhirnya pulang.Alex masuk sambil membawa tas kecil.“Semua sudah siap,” katanya dengan senyum hangat. “Dokter juga sudah tanda tangan. Kita bisa keluar sebentar lagi.”Shania mengangguk, menatap siluet langit cerah di luar. “Rasanya lega, tapi aneh. Seperti tiba-tiba semuanya bergerak maju lagi.”Alex mendekat, meraih tangannya. “Karena mulai hari ini, kamu tidak lagi terjebak di antara rasa sakit dan ketakutan. Kamu pulang. Bersama kami.”Sebelum Shania menjawab, pintu diketuk. Nina, Hanum, dan Brian masuk hampir bersamaan seperti rombongan keluarga yang hendak menjemput seseorang yang pulang dari perjalanan jauh.Keanan berada di gendongan Hanum, tertawa dan meninju-ninju udara seolah tahu hari ini adalah mo
Siang hari itu, kamar rumah sakit terasa hangat oleh cahaya matahari yang menembus jendela besar. Shania baru saja selesai makan siang ketika pintu diketuk pelan. Alex yang sedang merapikan meja kecil menoleh, dan masuklah Rachel sambil menggendong Keanan yang mengoceh riang.Shania langsung tersenyum —senyum yang paling tulus dalam tiga hari terakhir.“Sayang…” suaranya bergetar begitu melihat buah hatinya.Rachel buru-buru mendekat, dan Shania merentangkan kedua tangan. Keanan menyambut dengan tawa kecil, langsung menempel di dada ibunya seolah ia memang tahu siapa yang paling dirindukan.Air mata Shania jatuh tanpa bisa ditahan.Alex mematung, tersenyum tipis sambil menyaksikan momen itu —momen yang sempat ia takut tidak akan pernah ada lagi.“Aduh, Nak…” Shania menciumi kepala Keanan berulang kali. “Mama kangen banget sama kamu…”Keanan memegang wajah Shania dengan jemari mungil, lalu mengeluarkan suara manja, membuat Shania kembali menangis.Rachel dan Ethan berdiri di pojok ruan
Tiga hari setelah Shania benar-benar sadar, suasana di bangsal VIP itu berubah jauh. Tidak lagi terdengar langkah terburu-buru dokter atau bisik panik keluarga yang memenuhi lorong. Yang tersisa hanyalah rutinitas lembut, suara langkah perawat yang halus, dan aroma antiseptik yang tidak lagi membuat Shania sesak.Ketegangan perlahan diganti rasa syukur.Tapi di balik ketenangan itu … dunia di luar masih bekerja. Termasuk proses hukum yang kini bergerak cepat untuk menindak perbuatan Maura.Siang itu, ketika perawat baru saja selesai mengganti perban di lengan Shania, Alex kembali dari panggilan telepon dengan penyidik. Wajahnya serius, tetapi tidak lagi sesuram beberapa hari lalu.Shania bisa membaca sesuatu dari ekspresi itu. “Ada kabar?”Alex duduk di tepi ranjang —posisi yang hampir menjadi kebiasaan barunya— lalu menggenggam tangan Shania.“Ada laporan lanjutan dari penyidik,” ucap Alex pelan. “Kasusnya sudah resmi naik ke tahap penyusunan berkas kejaksaan. Mereka mempercepat kare
Sudah tiga hari berlalu sejak Shania sadar sepenuhnya.Rumah sakit mulai terasa seperti ruang singgah yang lebih damai dibanding hari pertama ia dibawa masuk —tidak lagi penuh tangis, teriakan panik, atau wajah-wajah keluarga yang dipenuhi ketakutan. Fase gawat itu telah lewat. Yang tersisa sekarang adalah masa tenang, masa ketika luka sudah berangsur pulih, dan janji mulai ditagih.Pagi itu, Shania duduk bersandar pada tumpukan bantal, selimut menutupi kaki, rambutnya diikat sederhana. Wajahnya sehat, tapi matanya masih membawa bayang-bayang ketakutan yang tidak hilang dalam semalam.Alex baru kembali dari mengurus proses pembatalan gugatan cerai. Begitu masuk ke ruangan, ia melihat Shania memalingkan wajah dari TV yang menampilkan berita pagi.Satu nama muncul di layar.Maura Adeline.Dengan rompi tahanan. Kepala menunduk. Dikawal polisi.Alex langsung mematikan TV.“Kamu tidak harus melihat itu,” ujarnya lembut, duduk di tepian ranjang.Shania menelan ludah. “Aku hanya penasaran ap
Suasana tenang di kamar rumah sakit perlahan berubah menjadi lebih hidup ketika suster datang memeriksa kondisi Shania, sementara Rachel dan Ethan membereskan sisa sarapan. Alex tetap berada di sisi Shania, tidak pernah benar-benar melepas genggamannya.Namun, begitu pemeriksaan selesai dan ruangan kembali lengang, Alex menatap Shania dengan ekspresi yang selama ini ia pendam, campuran cinta, ketakutan, dan rasa kehilangan yang sempat membuatnya nyaris hancur.“Shania,” suara Alex serak. “Aku boleh nanya sesuatu?”Shania menaikkan alis lembut. “Apa?”Alex menatapnya seperti seseorang yang melihat sesuatu rapuh namun sangat berharga.“Kamu … masih takut sama aku?”Pertanyaan itu membuat ruangan terasa lebih sempit.Shania menelan ludah, mengingat malam penculikan itu—bagaimana Alex memeluknya erat, bagaimana suaranya pecah saat memanggil namanya, bagaimana raut panik di wajah pria itu tidak pernah bisa ia lupakan.Perlahan, ia menggeleng. “Aku tidak takut kamu menyakitiku,” ujarnya lem







