LOGINJam delapan kurang lima menit Shania baru sampai di kantor. Seluruh karyawan sudah datang kecuali dirinya.
"Kamu kesiangan, Shania?" tanya Fiersa yang sudah duduk di kursi kerjanya seraya mengaplikasikan lip stick di bibirnya. "He-em. Aku bangun kesiangan." "Kenapa? Begadang?" tanya wanita itu lagi sembari menatap Shania yang tengah menyalakan komputer. "Enggak sengaja begadang. Semalam tumben aku enggak bisa tidur." "Lagi ada masalah?" tanya Fiersa yang melihat keanehan di mata Shania, tetapi tidak ingin menanyakan hal tersebut sebab hubungan mereka yang belum dekat. Ia takut Shania tak enak hati. Shania menggeleng. "Enggak." "Kok bisa? Apa kamu punya penyakit insomnia?" "Enggak juga," jawab Shania kembali menggeleng. "Mungkin emang lagi enggak capek saja," lanjut Shania tersenyum. Fiersa pun mengangguk dan memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. "Ya, mungkin." "Ngomong-ngomong, apa Pak Ethan sudah datang?" "Sudah." "Aduh! Mati aku." Shania terlihat panik. "Kenapa kamu mati?" Fiersa menatap heran. "Ya, malu saja. Masa aku yang karyawan baru bisa datang terlambat. Kalah sama yang punya perusahaan." Fiersa tertawa mendengar jawaban Shania. "Enggak apa-apa. Lagian kamu enggak terlambat, kok. Pak Ethan-nya saja yang datangnya kepagian." "Apa beliau memang selalu datang pagi?" "Enggak juga. Cuma karena lagi ada lelang proyek saja, jadinya Pak Ethan fokus urusin itu." "Oh," sahut Shania paham. "Apa sudah ada tim yang diminta untuk ngerjain proyek itu? Kamu kepilih?" "Enggak. Aku 'kan masih junior. Beberapa karyawan senior yang diminta untuk buat desain." Lagi-lagi Shania mengangguk. "Perusahaan bonafit, ya, yang mau diikuti sama perusahaan kita?" "Iya." Fiersa mengangguk. Tatapannya sudah fokus ke layar komputer. "PT. A yang ngadain lelangnya." "PT. A?" "Iya." Fiersa mengalihkan pandangannya menatap Shania. "Kayanya waktu acara makan-makan di kafe Pak Ethan udah bilang, deh, kalau kita dapatin proyek PT. A beliau akan kasih kita bonus," lanjutnya senang. Shania mencoba mengingat. Tapi, ia lupa sebab saking bahagianya bisa diterima dengan baik di tempatnya bekerja itu. "Ini PT. A mana, sih, yang dimaksud?" "Masa kamu enggak tahu, Shania? Itu loh salah satu perusahaan milik keluarga Sebastian." "Apa? PT. A milik keluarga Sebastian?" tanya Shania memastikan kalau dirinya tidak salah dengar. "Iya." Fiersa melihat ekspresi Shania yang terlihat kaget. "Kenapa kamu?" Shania tampak salah tingkah. Ia lalu meminta maaf tanpa sadar. "Kenapa kamu minta maaf? Memang kamu salah apa?" Kawan di sebelahnya itu semakin heran. "Enggak. Cuma aku kaget saja." Shania tersenyum canggung. Fiersa mengangkat kedua bahunya. "Ya, bukan kamu saja yang kaget. Kami seluruh karyawan juga kaget waktu dengar rencana Pak Ethan yang mau ikut lelang proyek PT. A. Ya ... bukan apa-apa, tapi kamu tahu 'kan perusahaan seperti apa milik keluarga konglomerat itu? Sedangkan perusahaan kita belum pernah menangani proyek besar." "Kenapa? Padahal yang aku lihat perusahaan ini sudah lama. Para karyawannya juga sepertinya sudah berpengalaman." "Memang benar, tapi kamu mungkin tahu perusahaan besar seperti PT. A atau lainnya, pasti akan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan yang seperti apa?" Shania cukup mengerti dengan penjelasan yang Fiersa sampaikan. Baginya tak masalah jika Ethan mau ikut lelang, karena itu akan menjadi sebuah pencapaian dalam mendirikan perusahaannya. Namun, masalahnya adalah bagaimana jika Ethan benar-benar mendapatkan lelang proyek itu? 'Semoga saja ini bukan sebuah masalah. Aku bekerja bukan karena ingin bertemu dengannya, tapi justru karena ingin menghindarinya,' batin Shania membayangkan jika sampai Ethan lolos lelang, ia khawatir akan bertemu dengan Alex. Mengingat sosok Alex, pikiran Shania kembali ke sebuah poto yang ia lihat tadi pagi. 'Itu menyakitkan,' gumamnya. "Kamu bicara apa, Shania?" tanya Fiersa yang tidak sengaja mendengar gumaman Shania. "Eh, bukan apa-apa." ** Shania tiba di rumah. Setelah lelah seharian bekerja, dia berharap suaminya akan menyambutnya dengan normal. Tapi, tak ada Alex di manapun di dalam rumah itu. "Seharusnya kamu jangan banyak berharap, Shania." Perempuan itu bicara pada dirinya sendiri. Shania lantas berjalan menuju kamar. Terdengar suara pintu ketika kakinya sudah akan menaiki anak tangga. Tampak Alex masuk dengan wajahnya yang juga sama lelah. Satu keanehan bagi Shania karena jarang sekali suaminya itu pulang kantor di waktu masih senja. "Hai, Lex!" sapa Shania saat suaminya itu berjalan mendekat. Tapi, Alex hanya melihatnya sebentar tanpa membalas sapaan dari istrinya itu. Lelaki itu berjalan melewati, lalu mendahului menaiki tangga. Meski sudah berusaha untuk memantapkan hati, tapi rasa sakit di hati Shania masih saja hadir sebab melihat sikap acuh suaminya itu. Dia kemudian memilih untuk berjalan menyusul, dan masuk ke kamar, menangis. Shania masih menangis meski saat ini ia sudah berada di dalam bath tub. Perempuan itu merasa sakit hati dan kesepian. Dia merasa benar-benar tidak dicintai atau pun dihargai oleh suaminya. Alex memandangnya sebentar, lalu berpaling dan meninggalkan kamar. Sungguh menyakitkan baginya. "Setidaknya anggap aku ada. Aku tidak meminta banyak. Bersikap normal saja seperti ketika kita masih berteman." Shania berbicara pada dirinya sendiri, air matanya terus mengalir. Shania sudah memutuskan untuk tidak peduli lagi dan mengurus dirinya sendiri sejak seminggu dirinya berstatus istri Alex. Namun, rasa itu tidaklah mudah. Sikap Alex selalu membuatnya sakit hati, hingga membuatnya menangis. "Apa salahku padamu, sampai kamu tega melakukan hal ini padaku? Kalau memang kamu tidak suka menikah denganku, tolong kembalikan aku pada keluargaku," ucap Shania yang pada akhirnya tertidur setelah ritual mandinya selesai. Namun, tidak ada yang tahan ketika tidur dalam keadaan perut kosong. Itulah yang Shania rasakan setelah satu jam tertidur. Ia terbangun dengan perutnya yang keroncongan. Dengan muka kusut setelah bangun tidur, Shania berjalan menuju dapur. Seperti biasa, tak ada makanan di atas meja makan kecuali roti dan selai. Karena memang dua pelayan yang Alex pekerjakan hanya diminta untuk mengurus rumah. Urusan makanan, itu menjadi urusan Shania. "Lagipula kamu hanya makan sendiri. Aku tidak akan ada di rumah saat makan malam. Sarapan, mereka masih bisa membuatkan aku kopi atau sekedar menyiapkan roti bakar." Meski Alex berkata demikian, tetap saja Shania masak untuk dua porsi. Walau akhirnya sering makanan yang ia buat berujung di tangan satpam rumah atau satpam perumahan. Seperti malam ini, Shania yang tidak tahu apakah Alex sudah makan malam atau belum, memilih untuk memasak sedikit lebih banyak. Saat memasak, kembali Shania merasakan kesedihan sebab sikap Alex kepadanya yang tak pernah berubah. Mungkin kedua matanya masih bengkak sekarang, tapi Shania tampak tak peduli. Di tengah kegiatan masak dan pikirannya yang sedang sedih, tiba-tiba Shania mendengar suara Alex dari arah ruang makan. "Aku lapar. Apakah kamu masak banyak malam ini?" tanyanya seraya mengambil air dingin dalam lemari es. "Ya. Sebentar lagi siap," jawabnya pelan. Mungkin Alex tak peduli sebab setelahnya lelaki itu tidak merespon jawaban Shania barusan. Ia malah kembali ke ruang makan, duduk dan memainkan gadget yang selalu dibawanya kemana pun ia berjalan. Shania membawa makanan ke ruang makan dan meletakkannya di depan Alex. Perempuan itu tidak menoleh atau pun bicara. Alex melihat makanan yang disajikan, lalu menatap punggung Shania yang sudah menjauh. Sedangkan Shania sendiri memilih kembali ke dapur dan memutuskan untuk tidak makan bersama Alex. 'Aku yakin kamu tak akan peduli, Lex,' gumam Shania. ***Pagi terakhir di rumah sakit terasa berbeda. Bukan lagi ruang sakit, melainkan ruang peralihan —antara masa lalu yang penuh luka dan masa depan yang perlahan disusun ulang. Shania duduk di kursi roda kecil, mengenakan baju hangat yang dipilihkan Hanum semalam. Rambutnya diikat sederhana, wajahnya jauh lebih segar.Keanan berada dalam gendongan Alex, terlihat sangat bahagia dan rewel sekaligus, seolah tahu hari ini adalah hari besar.Nina, Hanum, Jimmy, dan Lian berdiri di sisi lorong, membentuk jalur kecil yang terasa seperti penyambutan keluarga untuk seseorang yang pulang dari perjalanan panjang.“Pelan-pelan, ya,” kata Alex sambil mendorong kursi roda Shania dengan hati-hati.Shania menengok ke belakang dan tersenyum. “Aku bisa jalan sendiri, tahu.”“Bisa,” Alex mengangguk. “Tapi, aku ingin kamu bersandar padaku dulu. Setidaknya hari ini.”Shania tertawa kecil. “Oke.”Mereka berhenti sejenak di depan pintu keluar rumah sakit. Udara luar menyapa —sejuk, tidak sekeras malam-malam yan
Keesokan harinya, matahari pagi jatuh lembut ke lantai marmar kamar VIP. Shania sudah duduk menghadap jendela, rambutnya dibiarkan tergerai, wajahnya jauh lebih cerah daripada hari-hari sebelumnya. Ia mengenakan pakaian longgar yang dibawakan ibunya —pertanda bahwa hari ini ia akhirnya pulang.Alex masuk sambil membawa tas kecil.“Semua sudah siap,” katanya dengan senyum hangat. “Dokter juga sudah tanda tangan. Kita bisa keluar sebentar lagi.”Shania mengangguk, menatap siluet langit cerah di luar. “Rasanya lega, tapi aneh. Seperti tiba-tiba semuanya bergerak maju lagi.”Alex mendekat, meraih tangannya. “Karena mulai hari ini, kamu tidak lagi terjebak di antara rasa sakit dan ketakutan. Kamu pulang. Bersama kami.”Sebelum Shania menjawab, pintu diketuk. Nina, Hanum, dan Brian masuk hampir bersamaan seperti rombongan keluarga yang hendak menjemput seseorang yang pulang dari perjalanan jauh.Keanan berada di gendongan Hanum, tertawa dan meninju-ninju udara seolah tahu hari ini adalah mo
Siang hari itu, kamar rumah sakit terasa hangat oleh cahaya matahari yang menembus jendela besar. Shania baru saja selesai makan siang ketika pintu diketuk pelan. Alex yang sedang merapikan meja kecil menoleh, dan masuklah Rachel sambil menggendong Keanan yang mengoceh riang.Shania langsung tersenyum —senyum yang paling tulus dalam tiga hari terakhir.“Sayang…” suaranya bergetar begitu melihat buah hatinya.Rachel buru-buru mendekat, dan Shania merentangkan kedua tangan. Keanan menyambut dengan tawa kecil, langsung menempel di dada ibunya seolah ia memang tahu siapa yang paling dirindukan.Air mata Shania jatuh tanpa bisa ditahan.Alex mematung, tersenyum tipis sambil menyaksikan momen itu —momen yang sempat ia takut tidak akan pernah ada lagi.“Aduh, Nak…” Shania menciumi kepala Keanan berulang kali. “Mama kangen banget sama kamu…”Keanan memegang wajah Shania dengan jemari mungil, lalu mengeluarkan suara manja, membuat Shania kembali menangis.Rachel dan Ethan berdiri di pojok ruan
Tiga hari setelah Shania benar-benar sadar, suasana di bangsal VIP itu berubah jauh. Tidak lagi terdengar langkah terburu-buru dokter atau bisik panik keluarga yang memenuhi lorong. Yang tersisa hanyalah rutinitas lembut, suara langkah perawat yang halus, dan aroma antiseptik yang tidak lagi membuat Shania sesak.Ketegangan perlahan diganti rasa syukur.Tapi di balik ketenangan itu … dunia di luar masih bekerja. Termasuk proses hukum yang kini bergerak cepat untuk menindak perbuatan Maura.Siang itu, ketika perawat baru saja selesai mengganti perban di lengan Shania, Alex kembali dari panggilan telepon dengan penyidik. Wajahnya serius, tetapi tidak lagi sesuram beberapa hari lalu.Shania bisa membaca sesuatu dari ekspresi itu. “Ada kabar?”Alex duduk di tepi ranjang —posisi yang hampir menjadi kebiasaan barunya— lalu menggenggam tangan Shania.“Ada laporan lanjutan dari penyidik,” ucap Alex pelan. “Kasusnya sudah resmi naik ke tahap penyusunan berkas kejaksaan. Mereka mempercepat kare
Sudah tiga hari berlalu sejak Shania sadar sepenuhnya.Rumah sakit mulai terasa seperti ruang singgah yang lebih damai dibanding hari pertama ia dibawa masuk —tidak lagi penuh tangis, teriakan panik, atau wajah-wajah keluarga yang dipenuhi ketakutan. Fase gawat itu telah lewat. Yang tersisa sekarang adalah masa tenang, masa ketika luka sudah berangsur pulih, dan janji mulai ditagih.Pagi itu, Shania duduk bersandar pada tumpukan bantal, selimut menutupi kaki, rambutnya diikat sederhana. Wajahnya sehat, tapi matanya masih membawa bayang-bayang ketakutan yang tidak hilang dalam semalam.Alex baru kembali dari mengurus proses pembatalan gugatan cerai. Begitu masuk ke ruangan, ia melihat Shania memalingkan wajah dari TV yang menampilkan berita pagi.Satu nama muncul di layar.Maura Adeline.Dengan rompi tahanan. Kepala menunduk. Dikawal polisi.Alex langsung mematikan TV.“Kamu tidak harus melihat itu,” ujarnya lembut, duduk di tepian ranjang.Shania menelan ludah. “Aku hanya penasaran ap
Suasana tenang di kamar rumah sakit perlahan berubah menjadi lebih hidup ketika suster datang memeriksa kondisi Shania, sementara Rachel dan Ethan membereskan sisa sarapan. Alex tetap berada di sisi Shania, tidak pernah benar-benar melepas genggamannya.Namun, begitu pemeriksaan selesai dan ruangan kembali lengang, Alex menatap Shania dengan ekspresi yang selama ini ia pendam, campuran cinta, ketakutan, dan rasa kehilangan yang sempat membuatnya nyaris hancur.“Shania,” suara Alex serak. “Aku boleh nanya sesuatu?”Shania menaikkan alis lembut. “Apa?”Alex menatapnya seperti seseorang yang melihat sesuatu rapuh namun sangat berharga.“Kamu … masih takut sama aku?”Pertanyaan itu membuat ruangan terasa lebih sempit.Shania menelan ludah, mengingat malam penculikan itu—bagaimana Alex memeluknya erat, bagaimana suaranya pecah saat memanggil namanya, bagaimana raut panik di wajah pria itu tidak pernah bisa ia lupakan.Perlahan, ia menggeleng. “Aku tidak takut kamu menyakitiku,” ujarnya lem







