Share

Bab 7. Merasa Bersalah

"Kamu ini gimana sih, kenapa tadi diam saja dan nggak minta tolong? Apa kamu nggak takut jika Nyonya Monica melakukan hal lebih sama kamu?" Kepala pelayan mengomeli Nadia selagi dirinya mengobati tangan gadis itu. “Lihat ini, lukanya dalam sekali!”

Nadia pun tertawa dengan canggung. Jujur saja, dirinya di zaman sekolah dulu adalah seorang berandal, suka berkelahi, bahkan dengan para laki-laki. Luka yang Nadia derita sekarang bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan luka bekas tawuran dulu.

"Saya lebih takut jika dipecat dari sini sih, Kak,” balas Nadia sembari menggaruk kepalanya. “Ibu masih butuh banyak uang untuk bisa kembali sehat," jawabnya sembari tertawa untuk menceriakan suasana.

Akan tetapi, ucapan Nadia malah membuat Kepala Pelayan menjadi semakin tidak enak. Dia pun menasehati, “Lain kali, kalau Bu Monica datang, jangan biarkan masuk tanpa seizin Pak Daniel. Selain itu, kalau ada yang berani bersikap seperti ini lagi atau kurang ajar sama kamu, teriak aja. Kami semua yang di sini pasti akan sebisa mungkin bantu.”

Nadia hanya mengangguk-angguk mendengar omongan sang kepala pelayan. Namun, mendengar wanita tersebut mengungkit soal izin yang harus didapatkan dari Daniel apabila Monica ingin menemui Sean membuatnya penasaran.

"Kepala Pelayan–”

“Panggil saya Kak Anggun,” potong sang kepala pelayan, merasa aneh semakin sering Nadia memanggilnya demikian.

“O-oh, baik Kak Anggun,” balas Nadia. “Kalau boleh tahu, apa sebenarnya yang terjadi dengan Tuan Daniel sama Nyonya Monica? Kenapa sampai harus minta izin segala untuk ketemu Sean?” Walau memang harus Nadia akui kalau Monica terlewat keras kepada Sean, tapi bagaimana pun, wanita itu adalah ibunya. “Masa ketemu anaknya saja harus minta izin?”

Kepala pelayan terlihat kesulitan. Sebelumnya, dia berpikir akan lebih baik kalau Nadia tidak tahu apa pun. Akan tetapi, karena memang pertemuan dengan Monica tidak dapat dihindari, dan ada kemungkinan wanita itu akan datang lagi, dia pun mengambil satu keputusan.

"Nyonya Monica itu punya ambisi yang besar soal karier, dan hal itu berlangsung bahkan setelah dia menikah,” ucap kepala pelayan, membuat Nadia sedikit bingung dengan maksudnya. “Oleh karena itu, walau dia tahu Tuan Daniel sangat mengharapkan seorang anak, dia diam-diam meminum pil anti-kehamilan dan terus menggugurkan kandungannya ketika mengetahui dirinya hamil.”

Mata Nadia seketika membulat. "Apa?"

Anggun mengangguk pelan. "Sewaktu Tuan Daniel tahu soal ini, dia marah besar. Akan tetapi, Nyonya Monica enggan mengalah dengan alasan kariernya sedang berada di puncak.” Helaan napas terdengar dari sisi wanita itu. “Pada akhirnya, kalau bukan karena Tuan Daniel menjamin soal pekerjaan modelling besar yang bisa dia berikan kepada Nyonya Monica, Tuan Muda Sean nggak akan ada di dunia ini.”

Nadia mengernyitkan dahinya. ‘Kenapa jadi lebih ke transaksi daripada hubungan suami-istri?’ batinnya.

Melihat ekspresi Nadia, Anggun pun tersenyum pahit, tahu apa yang dipikirkan gadis itu. “Saat Tuan Muda Sean berusia dua tahun … sebuah insiden terjadi,” jelasnya dengan wajah suram. “Nyonya Monica tertangkap oleh Tuan Daniel sedang berusaha mencekik Tuan Muda Sean.”

Nadia terkesiap. “Apa dia sudah gila?!” Gadis itu tak mampu menahan keterkejutannya. “Kenapa dia begitu tega?!”

“Setelah melahirkan Sean, bahkan dengan bantuan Tuan Daniel, pekerjaan modelling Nyonya Monica tidak selancar dulu. Bentuk tubuhnya sulit untuk dipertahankan dan sering kali dia dituding sebagai model gagal oleh orang sekeliling.” Kepala pelayan melanjutkan, “Alhasil, dia melampiaskan amarahnya kepada Tuan Muda Sean dan berujung diceraikan oleh Tuan Daniel.”

Nadia terdiam membisu setelah mengetahui hal ini. Ternyata, alasan dibalik perintah Daniel tidak mengizinkan Monica bertemu dengan Sean adalah … karena itu.

‘Astaga, aku bahkan menganggap Daniel orang yang egois karena menghalangi seorang ibu bertemu anaknya.’ Nadia merasa begitu bersalah. Jika saja dia mengetahui cerita itu sebelumnya, jelas Nadia tidak akan membukakan pintu untuk Monica. Menelan egonya, gadis itu membatin, ‘Aku … harus minta maaf.’

**

Tok! Tok! Tok!

“Tuan, ini Nadia, boleh saya masuk?” tanya Nadia dengan jantung berdebar, merasa sedikit takut bertemu dengan Daniel.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi Nadia masih belum bisa tidur karena dihantui perasaan bersalah kepada majikannya itu. Alhasil, ketika berkeliaran di taman depan, dia malah bertemu dengan kepala pelayan dan dititipkan sebuah dokumen untuk diantarkan ke ruangan Daniel.

Sudah berapa kali Nadia mengetuk pintu, tapi tidak ada balasan dari dalam. Nadia curiga Daniel mengenali suaranya dan enggan membukakan pintu karena marah.

"Tuan, saya datang untuk mengantarkan dokumen," ulang Nadia lagi, mulai tidak sabar dan mempercepat ketukannya. ‘Masa harus kukembalikan ke Kak Anggun sih dokumennya? Nanti dibilangnya aku nggak kompeten lagi sama si Tuan Kulkas!’ gerutu Nadia dalam hati, mulai memaki Daniel karena menyimpan dendam padanya.

Dengan kekesalan yang menumpuk, Nadia pun menggedor pintu dengan kencang.

“Tuan Daniel, ini dokumennya–”

Ucapan Nadia terhenti lantaran pintu mendadak terbuka. Wajah Daniel muncul dan tampak menatapnya dengan pandangan tajam. Aura yang mengelilingi pria tersebut terasa sangat dingin, membuat Nadia seketika membeku di tempat tanpa bicara.

Apa Daniel marah padanya?

Saat mendapatkan kembali suaranya, Nadia berkata dengan tergagap, “A-anu, Tuan … maaf ganggu.” Karena begitu terintimidasi dengan pandangan Daniel, gadis itu pun menjatuhkan pandangannya ke lantai sembari menyodorkan dokumen ke arah majikannya tersebut. “S-saya ke sini mau antar dokumen sekaligus minta maaf karena sudah buka pintu untuk Nyonya Monica!”

Selama sesaat, hanya keheningan yang menyambut Nadia. Daniel tidak membalasnya. Hal tersebut membuat gadis itu tersebut menangis dalam hati.

‘Dia pasti marah besa–’

Tidak sempat Nadia menuntaskan percakapan batinnya, mendadak tangannya ditarik seseorang. Saat gadis itu tersadar dari keterkejutannya, dia mendapati dirinya telah berada dalam ruangan Daniel dengan pintu tertutup rapat di belakangnya.

Nadia yang kebingungan hanya bisa berakhir menatap wajah Daniel. "T-Tuan?! Apa yang Anda lakukan?" teriaknya dengan bingung. Apa Daniel akan meninjunya?!

Namun, detik berikutnya, Nadia menyadari ada yang aneh dari pandangan pria di depannya. Netra hitam Daniel yang biasa memancarkan aura dingin terlihat tidak fokus, seakan pikirannya sedang mengawang entah ke mana. Tidak hanya itu, napas pria itu terdengar pendek, seperti terengah-engah.

Khawatir ada yang salah, Nadia bertanya, “Tuan … apa Anda baik-baik sa– Ah!”

Tanpa menunggu Nadia menyelesaikan ucapannya, Daniel menarik gadis itu dan melemparkannya ke atas kasur.

Nadia meringis kesakitan, pandangannya pun membuyar karena benturan yang dialami kepalanya dengan kepala ranjang.

“Monica, kamu ….”

Suara parau dan rendah milik Daniel bisa terdengar. Hal itu membuat fokus Nadia kembali.

Mendapati Daniel telah berada di atas tubuhnya, Nadia mencoba untuk mendorong pria itu menjauh. "Tuan! Saya bukan Nyonya Monica! Saya Nadi– umh!”

Sebelum Nadia bisa mengatakan semuanya, Daniel sudah lebih dulu membekap mulut gadis itu dengan bibirnya. Mata Nadia membulat. Pria yang mengungkungnya saat ini jelas tidak berada di dalam akal sehatnya.

‘Ini … bau alkohol!’ pekik Nadia dalam hati.

Sekuat tenaga Nadia mencoba mendorong Daniel untuk menjauh, tapi dia tidak mampu. Dia mencoba menggunakan kemahirannya dalam beladiri, tapi tidak berhasil lantaran Daniel berakhir mengunci kedua tangannya di atas kepala.

Netra hitam yang menghipnotis itu memandang Nadia lurus, terlihat buas dan liar. “Jangan menolakku,” desisnya dengan hawa napas panas yang membuat darah Nadia berdesir. “Kamu harus … menolongku ….”

Komen (20)
goodnovel comment avatar
Asreyanah Debby Tina
knpa harus pakai koin utk membuka cerita
goodnovel comment avatar
Hairiahdzulkifli Dzulkifli
terbaikkk... Daniel telah jatuh cinta
goodnovel comment avatar
nepi norhayati
mesti beli koin ternyata
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status