"Kamu ini gimana sih, kenapa tadi diam saja dan nggak minta tolong? Apa kamu nggak takut jika Nyonya Monica melakukan hal lebih sama kamu?" Kepala pelayan mengomeli Nadia selagi dirinya mengobati tangan gadis itu. “Lihat ini, lukanya dalam sekali!”Nadia pun tertawa dengan canggung. Jujur saja, dirinya di zaman sekolah dulu adalah seorang berandal, suka berkelahi, bahkan dengan para laki-laki. Luka yang Nadia derita sekarang bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan luka bekas tawuran dulu."Saya lebih takut jika dipecat dari sini sih, Kak,” balas Nadia sembari menggaruk kepalanya. “Ibu masih butuh banyak uang untuk bisa kembali sehat," jawabnya sembari tertawa untuk menceriakan suasana.Akan tetapi, ucapan Nadia malah membuat Kepala Pelayan menjadi semakin tidak enak. Dia pun menasehati, “Lain kali, kalau Bu Monica datang, jangan biarkan masuk tanpa seizin Pak Daniel. Selain itu, kalau ada yang berani bersikap seperti ini lagi atau kurang ajar sama kamu, teriak aja. Kami semua yang di s
Nadia membuka matanya perlahan. Gadis itu merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, tapi rasa nyeri yang paling kentara berasal dari area intimnya."Ugh … sakit," lirihnya.Samar, dia menatap ruangan yang tak asing, namun juga tak terlalu akrab. Suara deru napas seseorang membuatnya menoleh ke samping. Seketika, matanya membulat.Pria tampan itu masih memejamkan matanya rapat. Jantung Nadia berdetak semakin kencang. Apa ini semua? Pikirnya.Dia bukan gadis bodoh. Mereka kini berada di ranjang yang sama!Wajah Nadia mulai memucat seolah darah dikuras habis dari tubuhnya. Dia lantas memeriksa tubuhnya dan kembali terkejut ketika sadar tak ada sehelai benang pun yang melekat di kulitnya.Wajah Nadia seketika jadi pias. Ingatan kemarin malam kembali muncul dan membuatnya hampir berteriak.'Ini nggak mungkin,' batinnya lagi sambil menggigit bibirnya.Perlahan, Nadia menyibakkan selimut dan duduk di sisi ranjang. Dia meremas sprei dengan perasaan yang campur aduk. Bisa dilihat, kulitnya kini dihi
Bab 9“Papa!” seru Sean yang turun dengan Nadia ke ruang makan.Melihat sosok Nadia yang berada di samping Sean, jantung Daniel berdetak kencang. Dia hanya menganggukkan kepala kepada putranya dan terdiam setelah meminta anaknya untuk duduk.Sesekali, netra hitam Daniel mendarat pada sosok Nadia. Mengingat kembali akan kesalahannya semalam, juga dengan kenyataan dia telah merenggut kesucian gadis tersebut, rasa bersalah pria itu menjadi semakin besar.Akan tetapi, ketenangan Nadia membuat Daniel bertanya-tanya. 'Kenapa … dia tidak membuat keributan dan meminta pertanggungjawaban?' batin Daniel. Sejak bangun tadi, Daniel sudah bersiap akan keributan yang mungkin saja terjadi. Tapi apa ini? Nadia malah lebih sibuk mengurus Sean dibandingkan mencari penyelesaian masalah mereka?!Nadia yang tengah sibuk menyuapi Sean, juga merasa seseorang sejak tadi meliriknya. Tapi, gadis ini pura-pura tak tahu. Tidak Daniel ketahui, dalam pikiran gadis itu, hanya ada satu pertanyaan penting. Apa dirin
“Operasi ibumu berhasil. Sekarang, kita hanya perlu menunggu kapan beliau sadar,” jelas seorang dokter yang di sampingnya ditemani seorang suster. “Seharusnya, tidak lama lagi.”Mendengar hal itu, senyuman merekah di wajah Nadia dan matanya berkaca-kaca. Dia membungkuk hormat kepada sang dokter seraya berkata, “Terima kasih, Dok! Terima kasih!”Ketika dokter keluar dari ruangan, Nadia pun duduk di samping tempat tidur sang ibu. Dia menggenggam tangan ibunya yang begitu kurus sampai tulang terlihat menonjol.“Ibu dengar kata dokter, ‘kan? Ibu sudah baik-baik saja,” ucapnya dengan suara rendah sembari mengelus wajah sang ibu. “Ibu akan segera sadar."Setelah sekian lama ibunya berada dalam keadaan koma, hari ini adalah hari pertama dia mendapatkan kabar baik mengenai sang ibu. Ibunya akan sadar, dan Nadia percaya itu.Walau memang operasi ini berlangsung setelah sebuah malapetaka terjadi, tapi Nadia rela. Demi sang ibu, bahkan harga diri rela gadis itu jual.Tanpa Nadia ketahui, ada sepa
"Apa ini?" Nadia tampak kebingungan saat menerima sebuah surat dari Daniel di ruang kerja pria itu. Dia mendongakkan kepalanya dan menatap sosok pria yang memasang wajah datar itu."Mulai minggu depan kamu akan kuliah khusus di hari Sabtu dan Minggu."Mata Nadia membulat dengan sempurna. Apa telinganya tak salah dengar? Kuliah? Kenapa sangat mendadak?"A-apa? Kenapa Anda tiba-tiba--""Tak ada alasan khusus. Aku hanya ingin baby sitter anakku tidak bersikap memalukan dan mengajarkan kata-kata yang tidak benar," kilahnya penuh kebohongan. Daniel tak ingin mengatakan yang sebenarnya. Cukup dia seorang saja yang tahu alasannya.Nadia tersentak kaget. Kata-kata Daniel barusan terkesan menyinggungnya sebagai gadis yang 'bodoh' dan tak berpendidikan.Gadis itu pun menurunkan pandangannya, lalu terkejut dengan jurusan yang didaftarkan Daniel untuknya. “Sastra?” Matanya berbinar, dan tangan Nadia menutup mulutnya. Dia melirik pria di hadapannya. ‘Bagaimana … bisa dia tahu aku–’Sebelum dirinya
"Oh, jadi maksud kamu saya nggak pantas jadi suami kamu?"DEG!Detik itu juga, tubuh Nadia membeku. Suara bariton familier itu mengakibatkan mata gadis itu membulat, mulutnya bahkan menganga lebar. Perlahan, pandangan Nadia terangkat, melihat sosok Daniel kini sudah bersandar tepat di kusen pintu kamar Sean dengan kedua tangannya terlipat di depan dada.‘Sejak kapan pria dingin itu ada di sini? Seberapa banyak yang dia dengar? Ya Tuhan! Habis sudah!’Dengan tatapan tajam netra hitamnya, Daniel mengulangi pertanyaannya, “Gimana Nadia, saya nggak layak jadi suami kamu? Gitu maksud kamu?”"A-anu itu … saya cuma bicara tentang fakta, Tuan.” Nadia memutar otak. “S-saya ‘kan bawel, Tuan ‘kan jutek– Eh! Maksudnya kalem, jadi nggak cocok.” Dia menutup mata rapat dan berbicara cepat setengah berseru, “Intinya, nggak kebayang deh kalau kita nikah!”Semakin Nadia mencoba menjelaskan, dia malah menggali masalah makin dalam. Gadis itu bisa melihat tatapan tajam Daniel seolah-olah ingin mengulitiny
Bab 13“Kenapa kamu bisa kenal ayah saya?”Di saat pertanyaan Daniel terlontar, Nadia menjawab, "Ayah Tuan langganan di minimarket saya bekerja dulu." Gadis itu tersenyum sumringah pada ayah Daniel."Benarkah?" tanya Daniel sedikit kaget dengan alis kanannya terangkat, terlihat mempertahankan kebenaran ucapan Nadia. Netra coklatnya tampak mengarah pada sang ayah, meminta konfirmasi.“Itu benar,” jawab ayah daniel, Hendrawan Adhitama, dengan sebuah senyuman ramah. Pria itu pun menoleh kepada sang istri dan berkata, “Dia gadis yang aku bilang selalu berceramah tentang cokelat yang kubeli.”Martha Nugroho, istri dari Hendrawan dan ibu dari Daniel, tertawa kecil. “Oh, jadi ini.” Dia pun menepuk kecil pundak suaminya. “Memang Bapak bandel, harusnya nggak boleh makan cokelat masih makan,” ucapnya membuat Nadia terkekeh selagi Hendrawan memasang wajah tak berdaya.Melihat keakraban Nadia dengan kedua orang tuanya membuat Daniel merasa aneh. Kenapa sepertinya orang-orang di sekelilingnya selal
"Nek, Kak Nadia baik-baik saja, kan?" Sean–yang sekarang berada di ruang tunggu bersama ayah dan kakek-neneknya–menatap lekat Martha. Walau telah berhenti menangis karena keterkejutannya tadi, mata bulat bocah kecil itu masih terlihat berkaca-kaca. Martha yang tengah memangku cucunya Itu tampak mengelus pelan puncak kepala Sean dengan lembut. "Semuanya pasti baik-baik saja, kita tunggu kabar dari dokter ya, Sean."Daniel yang duduk tak jauh dari ibunya Itu tampak menatap lekat anaknya yang sejak tadi menangis, tampak sangat khawatir pada Nadia. Dia bisa merasakan perasaan sang putra karena dia pun merasakan hal yang sama.'Apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu?' batin Daniel dengan kening berkerut. Dia menjatuhkan pandangan dan menatap tangannya. Tubuh gadis itu terasa begitu ringan dan mungil, Baru saja pertanyaan tersebut dilontarkan dalam benaknya, tiba-tiba saja pintu ruangan pemeriksaan terbuka. Sosok dokter yang tadi masuk untuk memeriksa keadaan Nadia tampak keluar dari r