"Nggak, Ra. Mbak jahat. Mbak benci pada diri Mbak yang tak kuat iman ini. Bisa-bisanya ingin menghilangkan nyawa anak dari adik Mbak sendiri, yang notabenenya merupakan anak Mbak juga."
"Iya, iya, Mbak. Sudah, ya. Ayo duduk." Kugiring tubuhnya untuk duduk kembali di sampingku. "Aku maafkan Mbak, aku juga nggak akan bilang sama Mas Nasrul dan Ibu. Kuanggap yang kemarin hanyalah kekhilafan semata. Asal Mbak janji, nggak akan ngulangin lagi. Itu perbuatan kriminal, Mbak."Sudahlah. Tak ada gunanya juga aku mengacaukan suasana di keluarga ini. Biarlah ini menjadi rahasiaku dan Mbak Nira. Sebaiknya kuanggap semua ini sudah selesai, meski demikian waspada sudah tentu kulakukan setelah ini. Titik."Aku punya informasi buat Mbak. Aku kirim ke hape Mbak, ya." Kubuka galeri foto di ponselku, memilih foto tangkapan layar tadi siang, lantas mengirimnya pada Mbak Nira.Mbak Nira membuka ponselnya, lalu menutup mulutnya dengan sebelah tangan."Ra … te"Dara! Kamu apa-apaan, sih?! Ibu itu lagi sakit, kenapa kamu suruh Ibu ngasuh Nada? Ini hari libur Dara, harusnya Nada sama kamu." Mas Nasrul yang baru pulang dari gotong-royong masuk ke kamar sambil bersungut-sungut."Biasa aja kali, Mas. Aku udah capek kerja seminggu full, mumpung libur gini, ya wajarlah kalau aku me time." Dengan santai kujawab perkataan Mas Nasrul sambil memainkan benda pipih di tanganku."Wajar itu kalau kita belum punya anak, Ra. Ibu itu udah tua, beliau selama seminggu ini udah capek ngasuh Nada yang semakin aktif. Ibu ju-""Aduh! Udah deh, Mas. Nggak usah lebay gitu kenapa? Ibu yang mau, kok Mas yang sewot." Kupotong langsung ocehan Mas Nasrul sebelum melebar kemana-mana. Lebih baik aku siap-siap pergi ke arisan daripada mendengar ceramah basi Mas Nasrul.Mas Nasrul menghela napas kasar, lalu meraih handuk yang bergantung di belakang pintu. "Ya udah, siapin Mas sarapan, tadi di balai desa cuma ngemil ubi goreng," titah Mas Nasrul."Mas liat aja di dapur, Ibu u
Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku.Bab 2"Astaga! Mas, kenapa Nada kamu taruh di lantai kayak gitu? Itu kotor, jorok tau!" Kuraih tubuh Nada yang masih meraung-raung. Duh! Ingusnya kena bajuku, alamat bau semua ini. Ck!"Matamu picek, hah! Nggak liat? Ibu pingsan. Buruan telepon Sarah! Suruh ke sini." Mas Nasrul membopong tubuh Ibu memasuki kamar setelah sebelumnya menyuruhku menelepon bidan desa, Sarah."Gimana mau telepon, kan, hapeku udah jadi sampah!" Sungutku jengkel, kalau ingat benda pipihku itu sudah hancur ingin rasanya kucekik laki-laki yang dua tahun ini menjadi suamiku.Terdengar decak dari mulut Mas Nasrul. "Pakai hape Mas." Dilemparnya ponsel dengan tiba-tiba, untung tanganku lihai menangkapnya.Kuutak-atik ponsel ketinggalan zaman milik Mas Nasrul, setelah selesai kukembalikan padanya yang sedang memijit tubuh Ibu. Duh! Pakai pingsan segala lagi, aku bisa telat ke arisan kalau begini. Kulirik jam tangan pink di pergelanganku. Tuh, kan! Udah telat 10 menit. Ck!"Telepon Mbak
Air mataku terus mengalir dengan derasnya, bayangan Mas Nasrul tengah merangkul Sarah kian menambah sesak di dadaku. Meski Mas Nasrul suka marah-marah, tak bisa dipungkiri kalau aku sangat mencintainya. Mas Nasrul itu cinta pertama dan akan menjadi cinta terakhir bagiku. Bantu doa ya, kawan. Aamiin … Nah, gitu!"Dara, buka pintunya, Sayang. Dengarkan penjelasan Mas dulu," pinta Mas Nasrul sambil terus mengetok pintu kamar kami.Aku masih bergeming. Sakit hatiku, Mas. Ibu juga, kenapa malah mendiamkan kelakuan mereka. Apa diam-diam Ibu justru menyukai Sarah? Karena kalau kuperhatikan, Ibu cukup dekat dengannya. Apa-apa selalu minta tolong Sarah."Dara kenapa, Rul?" Terdengar suara Mbak Nira mendekat."Salah paham, Mbak. Pas Dara masuk ke kamar Ibu tadi, dia melihatku sedang merangkul Sarah—" "Pantes aja Dara marah, Mbak juga bakal marah kalau gitu kondisinya." Mbak Nira memotong penjelasan adiknya dengan nada gregetan."Denger dulu, Mbak. Tadi itu Sarah ingin memberikan minum pada Ib
Aku yang tengah memacu motor dengan kecepatan cukup tinggi, mau tidak mau menarik pedal rem secara penuh ketika sebuah mobil menghantam keras seekor kambing yang tiba-tiba melintas di sampingku. Hal itu tentu membuat motor yang kukendarai berhenti secara tiba-tiba, ban motor bagian belakang bergesekan dengan bebatuan hingga menghasilkan debu dan kerikil yang beterbangan. Karena kaget, keseimbanganku menjadi oleng, akhirnya aku jatuh bersamaan dengan motor. Lalu, semuanya gelap."Dara. Sayang, bangun." Samar kudengar suara Mas Nasrul memanggilku dengan cemas, menepuk-nepuk pelan pipi kananku.Perlahan kubuka kedua mataku, menyipit silau akan sinar yang masuk dari jendela."Mas ….""Alhamdulillah … Kamu udah siuman, Sayang. Ada yang sakit? Pusing?" Mas Nasrul membelai rambutku dengan sayang, lalu mengecup keningku."Nggak ada, Mas. Tadi aku kaget, terus lemes. Ini kita di mana?" Kupandangi sekeliling ruangan tempatku berada, bukan di kantor pun di kamar kami."Di praktik bidan Sarah. Ta
Tangis Nada melengking kesakitan. Sebuah benjolan sebesar kelereng menghiasi keningnya. Sarah yang sedang menggendongnya terus menimang-nimang agar tenang. Cewek gesrek! Kenapa pula sudah ada di sini, bukannya tadi masih di rumahnya?Kuambil Nada dengan emosi yang kian bercokol di hati. Sudahlah anakku kesakitan, ada Sara pula. Apes!"Nada kenapa?" tanyaku ketus. Kukusuk benjolan Nada dengan rambutku, konon hal itu dapat menenangkan sang anak."Em … Itu, Mbak, tadi Nada mau aku ajak beli jajan di warung seberang. Tiba-tiba ada motor lewat cukup ngebut, lalu Nada menangis. Mungkin ada kerikil yang terpelanting mengenai keningnya ini." Sarah menjelaskan dengan tak enak."Kenapa pula kamu ajak Nada jajan? Apa Ibu nggak pernah kasih tau kamu kalau aku nggak mau anakku jajan sembarangan? Lain kali jangan sotoy sama anak orang." Kutinggalkan dia yang seketika mematung mendengar ocehanku."Ibu, liat! Ini kenapa aku cuma mau Ibu yang ngasuh Nada. Orang lain nggak setelaten Ibu, mereka cuma m
"Kenapa, Mbak?" tanyaku melihat Mbak Nira menangis semakin kencang."Huaaa … hiks hiks …" Semakin deras air yang ke luar dari kedua mata beloknya."Istighfar, Nduk. Kenapa?" Ibu mengelus pundak anak sulungnya."Iya, Mbak, ada apa? Coba yang tenang dulu biar bisa cerita. Ra, ambil minum buat Mbak." Mas Nasrul menitahku sambil menggendong Nada.Aku melirik Ibu. Kenapa tak Ibu saja, sih? Anak wedhoknya, lho, ini yang nangis-nangis. Aku masih kekenyangan, susah bergerak. Huh!Dengan malas aku beranjak ke dapur, menuang air putih ke dalam gelas souvenir pernikahan yang kuperoleh dua minggu lalu."Minum dulu, Mbak." Kusodorkan gelas air pada Mbak Nira.Glek! Glek! Glek! Mbak Nira menenggak minumnya hingga habis.Ini orang nangis karena kehausan atau apa? Segitunya. Aku meraih gelas yang telah kosong dan membawanya kembali ke dapur. Kulirik wastafel, sudah menumpuk piring kotor. Huh!"Sudah tenang? Sekarang cerita, kamu kenapa?" tanya Ibu setelah melihat Mbak Nira tak lagi menangis kejer."
"Tanpa mempertimbangkan perasaanku? Sebenarnya aku dianggap apa di keluarga ini? Mbak pasti sadar, kan, kalau kedekatan Sarah dan Ibu itu melebihi kedekatan denganku? Mbak juga. Menantu di rumah ini, tuh, siapa, sih?""Ra, kamu ngomong apa? Kenapa pembahasannya jadi ngelantur kemana-mana?" Mas Nasrul muncul setelah selesai menunaikan sholat dzuhur."Fakta, Mas. Semakin ke sini aku semakin sadar, Ibu dan Mbak Nira memilih lebih dekat dengan Sarah daripada denganku. Padahal apa kurangnya aku?" Ya, apa kurangnya aku? Aku sudah berusaha untuk menyayangi keluarga ini. Di saat banyak menantu di luar sana menjepit dompetnya dengan erat agar uang suaminya tak mengucur ke keluarga mertua, aku dengan royal mencukupi kebutuhan rumah ini dengan uang dari Mas Nasrul. Belanja bulananku selalu melimpah, mulai dari kebutuhan makan, kesehatan, peralatan cuci dan mandi, keperluan pribadi Ibu, semuanya. Yang jarang kulakukan hanyalah mengurus rumah dan Nada. Tapi alasannya cukup jelas, aku kerja, waktu
Mbak Nira mematung, air matanya mengalir perlahan, lalu terisak. Ibu menatap padaku dengan raut entah, mungkin kecewa atau apa. Dipeluknya sang anak sambil mengelus pundaknya pelan.Brak!Mas Nasrul meninju sisi lemari Tv dengan keras hingga membuat Nada terperanjat dan membenamkan kepalanya di dadaku. Rahangnya mengeras sampai urat besar di pelipisnya terlihat jelas. Dada itu naik turum dengan cepat, pun hidungnya yang kembang-kempis.Mas Nasrul memejamkan mata. Kedua tangannya terkepal kuat hingga urat tangan pun berlomba ke memperlihatkan diri."Dara, selama ini Mas nggak pernah ikut campur bukan karena takut, tapi Mas ingin kamu belajar menyesuaikan diri dengan bertahap. Mas diam juga bukan nggak tahu apa-apa. Belajarlah untuk dewasa, nggak semua yang terjadi harus sesuai dengan keinginanmu." Mas Nasrul mengalihkan tatapan tajamnya padaku. Suara laki-laki yang dulu tak kenal lelah mengejar cintaku itu terdengar menggeram.Dia sedang marah, tapi berusaha untuk tidak lepas kendali.