Maya mendorong kursi roda nyonya besar ke kamarnya. Pintu ia buka. Dan menempatkan kursi roda di dekat pembaringan. Nyonya besar turun.
"Aku mau ke kamar kecil dulu, Maya," ujar nyonya besar.
Maya memapahnya ke arah kamar kecil yang berjarak lima langkah. Maya ikut masuk ke dalam. Ia mengira, tugasnya termasuk membersihkan kotoran setelah nyonya besar buang hajat.
"Kamu tunggu di luar saja Maya. Aku bukan anak kecil yang harus diceboki," tolak nyonya besar.
"Maafkan saya, Nyonya," ujar Maya seraya keluar dari pintu. Ia menutupnya kembali.
Tentu saja Maya lebih senang, setidaknya tugasnya tidak berat. Lebih ringan dibandingkan ekspektasinya. Padahal melamar pekerjaan ini, bayangannya merawat orang tua yang tidak bisa apa-apa. Hanya bisa tiduran di kasur.
Saat datang ia membayangkan akan mengerjakan semua pekerjaan yang berkaitan dengan nyonya besar. Mulai memandikan, menyuapi makan, mengganti baju hingga membersihkan kotoran
"Maksud Nyonya?" tanya Maya heran."Kematian anakku yang kedua lebih tragis lagi," ujar nyonya besar. Lagi, air matanys tumpah."Nyonya, kalau mengingat semua itu akan membuat Nyonya bersedih. Nyonya tidak usah memaksakan diri bercerita kepada saya," ujar Maya."Tidak Maya, justru dengan cara bercerita seperti ini aku lebih tenang. Karena tidak ada satu pun yang tahu tentang ini selain aku, mendiang suamiku dan ART. Dan ART itu kini juga sudah meninggal," ujar nyonya besar."Termasuk nyonya Mulia tidak tahu?" tanya Maya.Nyonya besar menggeleng pasti. "Tidak. Aku tidak pernah menceritakan kepadanya. Aki malu kalau dianggap ibu yang tidak bertanggung jawab," ucap nyonya besar."Kalau begitu terserah Nyonya saja. Mau bercerita kepada saya juga boleh. Saya akan menjadi pendengar setia buat Nyonya," ujar Maya selanjutnya.Nyonya besar tampak mengambil nafas panjang. Ada rasa bersalah yang ingin sekali ditebusnya. Namun akhirnya mengalir c
Tok tok tokPintu kamar nyonya besar diketuk seseorang dari luar."Ya masuk. Pintu tidak dikunci kok," kata nyonya besar lantang.Ternyata yang datang adalah anaknya sendiri, Katarina. Alias nyonya Mulia, mama Jonathan. Tampak wajah sembab Katarina seperti usai menangis. Tidak lama kemudian ia memeluk mamanya dengan berderai air mata."Aku ikut mendengarkan cerita Mama dari balik pintu," ujar nyonya Mulia pelan."Kau, kau," ujar nyonya besar terbata-bata."Aku mendengar semuanya, Ma. Mama tidak salah. Mengapa mama harus menyimpan semua ini sendiri?" tanya nyonya Mulia.Nyonya besar ikut menangis dalam pelukan anaknya sendiri. "Mama malu Katarina. Mama merasa bersalah, sudah menjadi ibu yang tidak bisa menjaga anak-anaknya," ujar nyonya besar, seraya mengurai pelukan anaknya."Tidak, Ma. Mama tetap menjadi ibu terbaik buat aku dan kakak-kakakku," ujar nyonya Mulia lagi."Kalau Mama bisa menjaga mereka. Mereka masih
Sudah hampir tiga minggu Maya bekerja di keluarga besar Mulia. Sudah banyak perubahan Yeng terjadi pada kesehatan nyonya besar. Baik kesehatan fisik maupun psikisnya. Yang belum berubah hanya masalah Jonathan. Sampai saat ini ia masih menunjukkan tatapan tidak suka kepada Maya. Padahal Maya sendiri sudah sedapat mungkin menghindar dari cucu kesayangan nyonya besar itu. "Kelihatannya kamu tidak menyukai cucuku Jonathan, Maya," ujar nyonya besar pada suatu pagi. "Saya bukannya tidak suka Nyonya. Saya hanya tidak biasa berteman dengan laki-laki," ujar Maya. "Beberapa kali saya lihat kamu berusaha menghindar," ujar nyonya besar lagi. Maya bingung mau memberikan alasan apa lagi. "Mungkin itu hanya perasaan Nyonya saja," ujar Maya akhirnya. Memang sesuai kesepakatan dengan Jonathan, Maya harus menghindar dari Jonathan. Maya juga harus menyelesaikan pekerjaannya di rumah ini cukup satu bulan saja. Ini pula yang menjadi ganjalan bagi May
Jonathan bersungut. Ia meninggalkan ruangan dokter Faisal tanpa pamit. Entah apa yang menjadi kemarahannya. Nyonya besar juga tidak tahu."Memang anak itu begitu. Kadang emosinya tidak terduga," ujar nyonya besar kepada dokter Faisal."Saya sudah paham Oma. Dia teman saya sejak muda. Tidak masalah. Nanti akan membaik sendiri," ujar dokter tersebut.Setelah berpamitan, Maya segera mendorong kursi roda ke arah depan. Mengikuti Jonathan yang sudah menjauh menuju pintu utama rumah sakit.Ternyata Jonathan mendahului untuk mengambil mobil di parkiran. Sedangkan Maya dan nyonya besar menunggu di depan lobby."Ayo naik," ujar Jonathan di depan lobi. Ia membuka bagasi belakang, untuk menyimpan kembali kursi roda yang sudah dilipat.Nyonya besar naik di kursi tengah. Maya di kursi depan. Seperti formasi saat mereka berangkat. "Bulan depan kamu tidak usah ikut saja. Biar saya saja yang antar Oma. Menjengkelkan tuh si Faisal," ujar Jonathan
Jonathan bersungut. Ia meninggalkan ruangan dokter Faizal tanpa pamit. Entah apa yang menjadi kemarahannya. Nyonya besar juga tidak tahu. "Memang anak itu begitu. Kadang emosinya tidak terduga," ujar nyonya besar kepada dokter Faizal. "Saya sudah paham Oma. Dia teman saya sejak muda. Tidak masalah. Nanti akan membaik sendiri," ujar dokter tersebut. Setelah berpamitan, Maya segera mendorong kursi roda ke arah depan. Mengikuti Jonathan yang sudah menjauh menuju pintu utama rumah sakit. Ternyata Jonathan mendahului untuk mengambil mobil di parkiran. Sedangkan Maya dan nyonya besar menunggu di depan lobby. "Ayo naik," ujar Jonathan di depan lobi. Ia membuka bagasi belakang, untuk menyimpan kembali kursi roda yang sudah dilipat. Nyonya besar naik di kursi tengah. Maya di kursi depan. Seperti formasi saat mereka berangkat. "Bulan depan kamu tidak usah ikut saja. Biar saya saja yang antar Oma. Menjengkelkan tuh si Faizal," ujar Jo
"Memangnya ada apa dengan Nona Luna, Nyonya?" tanya Maya penasaran."Sebetulnya aku males menyebut nama anak itu. Dia yang sudah menyebabkan cucuku tidak mau menikah sampai saat ini. Padahal usia Jo, sudah 29 tahun," kata nyonya besar."Begitu cintanya kah tuan muda pada Nona Luna?" tanya Maya lagi.Maya seperti ingin mengulik kisah cinta anak para sultan. Dalam bayangannya kisah cinta mereka pasti mulus. Karena pastinya secara materi anak para sultan ini pasti berlebihan. Tidak seperti dirinya.Ia jadi ingat kisah cintanya sendiri yang harus ambyar gara-gara materi. Dengan alasan untuk mendapatkan materi yang cukup Maya rela menjadi TKI. Tiga tahun dia bekerja di Hongkong. Namun kepergiannya ini membuat kekasihnya berpaling, menikahi adiknya sendiri."Mengapa kamu melamun Maya?" tanya nyonya besar."Oh tidak Nyonya. Saya hanya membayangkan kalau misalnya tuan muda jadi menikah dengan Nona Luna pasti anaknya cantik-cantik dan tampan ta
"Maya, sini!"" teriak Jonathan di pintu dapur.Suaranya menggelegar seperti halilintar di siang bolong. Membuat kaget para ART yang sedang makan siang bersama di dapur.Maya beringsut menuju pintu dapur. Para ART yang menyaksikan kejadian ini menjadi kasihan kepada Maya. Barusan saja mereka bergurau bersama dan makan makanan lezat yang dibawa Maya. Kini Maya dapat masalah.Jonathan dengan kasar menarik tangan Maya. Menyeretnya ke kursi rotan dekat kolam renang. Tempatnya yang ajak jauh dari lalu larang orang membuat pembicaraan di situ tidak bisa didengar."Duduk," titah Jonathan.Seperti robot, Maya duduk dengan patuh. Jonathan duduk di depan Maya. Namun Maya sama sekali tidak berani menatap laki-laki tampan di depannya itu"Mengapa kalian malah memperbincangkan yaLuna. Dia hanya masa laluku," ujar Jonathan.Maya merasa aneh. Tidak seharusnya hal itu yang dibahas Jonathan saat ini. Dia membayangkan Jonathan akan marah bes
Jonathan dan Maya akhirnya berangkat. Berdua di satu mobil tanpa ada orang lain membuat keduanya canggung. Apalagi hubungan keduanya selama ini tidak baik-baik saja. Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut mereka.Sampai kemudian mobil memasuki sebuah butik. Terlihat beberapa stell baju pengantin di-display di lantai dua. Dengan dinding full kaca dan lampu sorot yang terang membuat butik tersebut berkelas."Apa kita akan pesan baju pengantin?" tanya Maya polos."Hahahaha jangan GR kamu ya. Siapa juga yang akan pesankan kamu baju pengantin?" tanya Surya tertawa terbahak-bahak.Maya sangat malu mendengarnya. Belum sempat ia berkata apapun, Jonathan melanjutkan kalimatnya. "Kamu jangan Gar ya, siapa juga yang mau jadi pengantin prianu hahahaha."Rasa malu yang semula dirasakan Maya, berubah jadi rasa geram kesal. "Sieps juga yang mau jadi pengantin wanitamu," protes Maya lagi.Jonathan malah tertawa dalam hati. Ternyata seru juga b