Emma benar-benar terkejut melihat pria yang akan menjadi majikannya, ternyata adalah pria yang semalam tak sengaja tidur dengannya!
Gadis itu meremas erat tali tas yang menyilang di depan dada.
Haruskah dia mundur?
Tapi, bagaimana dengan kaki palsu yang dia janjikan untuk adiknya?
‘Apa dia mengingat wajahku? Bagaimana kalau aku dituntut karena sudah masuk kamarnya semalam?’ batin Emma menjerit panik.
Ethan berdiri saat melihat Emma hanya mematung. Pria bertubuh tegap tinggi dengan rahang tegas dan bola mata berwarna cokelat begitu tajam itu kini berjalan ke arahnya.
“Perkenalkan dirimu pada Tuan Ethan,” bisik kepala pelayan.
Emma tersadar dari kepanikannya, lalu menelan ludah kasar. Ia menatap Ethan sejenak lalu menurunkan pandangannya.
“Selamat pagi, Tuan. Perkenalkan, saya Emma. Mulai hari ini saya akan bekerja sebagai baby sitter,” ucapnya, tak berani menatap pada Ethan yang kini berdiri di hadapannya.
Ethan mengamati Emma yang terus menunduk. Dia menatap cukup lama wanita itu lalu bertanya, “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Tubuh Emma bergetar hebat. Dia mencoba tenang, tapi tetap saja kedua kakinya terasa lemas karena panik.
“Ti-tidak, Tuan,” jawab Emma.
Semalam Emma yang salah karena sudah masuk ke kamar pria di depannya ini.
Dia tidak mau terkena masalah, apalagi mengubur impian memberikan kaki palsu untuk sang adik.
Meski pria itulah yang merenggut kesuciannya, Emma memilih mengubur kepahitan itu sendiri. Bersyukur Ethan tak mengenalinya.
“Kamu sudah diberitahu tugasmu?” tanya Ethan dengan suara begitu dalam.
“Sudah, Tuan,” jawab Emma, masih tak berani menatap Ethan.
“Terus berada di sampingnya, kamu harus menjaganya ke mana pun dia pergi,” ucap Ethan lagi.
Emma mengangguk pelan.
Ethan menatap sejenak pada kepala pelayan, lalu pria itu pergi begitu saja.
Emma langsung bernapas lega setelah Ethan berlalu. Dia hampir saja lupa cara bernapas saat berhadapan pria itu.
Bayangan kejadian semalam saat pria itu menyentuhnya, membuat seluruh tubuhnya menegang dan ketakutan luar biasa menyergah dirinya.
Namun, Emma harus kuat, dia harus bertahan demi sang adik dan kehidupan mereka agar lebih baik lagi.
“Ikut denganku, kuantar ke kamarmu dulu. Kemudian pergi ke kamar Nona Ellen setelah kamu mengganti pakaianmu dengan seragam,” ucap pelayan paruh baya.
Emma mengangguk, lalu berjalan mengikuti pelayan itu.
Dia mendapat kamarnya, juga mendapat seragam yang ternyata sudah disiapkan. Bahkan ukuran seragam itu sangat pas, meskipun sedikit menonjol di bagian dada.
Emma diantar ke kamar Ellen. Pelayan paruh baya itu mengajak Emma masuk lalu memperkenalkannya pada Ellen.
“Nona Ellen mulai saat ini akan dijaga oleh Kakak Emma,” ucap pelayan itu.
Gadis kecil berumur lima tahun itu melipat kedua tangan di depan dada. Dia naik ke atas ranjang agar tingginya sejajar dengan pelayan keluarganya, lalu menatap Emma dengan wajah suram.
“Apa Papa sudah tahu?” tanya Ellen dengan gaya seperti bos cilik.
“Tentu saja sudah, Nona,” jawab pelayan itu, lalu menoleh pada Emma, “urus semua kebutuhan Nona Ellen, aku harus mengerjakan pekerjaan lain.”
Emma mengangguk, lalu memandang pada pelayan yang berjalan menuju pintu.
Baru saja pintu kamar tertutup, Emma terkejut karena sebuah bantal menghantam kepalanya. Dia menatap pada Ellen yang menatap tak senang padanya.
“Aku tidak suka kamu! Pergi!” perintah Ellen.
Bukannya marah, Emma malah tersenyum lalu mengambil bantal yang tergeletak di lantai.
“Tapi saya bertugas menjaga Anda, Nona. Jadi saya tidak bisa pergi,” balas Emma dengan suara lembut.
Ellen memasang wajah cemberut.
“Tidak mau. Aku tidak mau pengasuh!” teriak Ellen.
Emma berusaha sabar menghadapi tingkah Ellen. Dia terus tersenyum lalu mengajaknya bicara.
“Wah, Nona Ellen pernah pergi ke kebun binatang?” tanya Emma saat melihat foto di bingkai yang ada di atas nakas.
“Kamu pasti tidak pernah, kan? Makanya terkagum-kagum!” ketus Ellen.
Gadis kecil ini memang sedikit bermulut pedas.
Emma hanya tersenyum mendengar ejekan Ellen.
“Non Ellen harus ke sekolah, kan? Bagaimana kalau saya siapkan air panas, lalu Non Ellen segera mandi?” ujar Emma lagi.
Ellen tiba-tiba melompat dari ranjang, membuat Emma terkejut karena takut Ellen jatuh.
Emma mengira Ellen mau pergi ke kamar mandi, tapi ternyata gadis kecil itu malah berlari keluar dari kamar.
“Nona mau ke mana?” tanya Emma sambil mengejar Ellen.
Emma melihat Ellen berlari dengan gesit. Dia harus mengejarnya untuk dimandikan, tapi Ellen sudah lebih dulu masuk ke salah satu kamar di lantai dua itu.
“Non Ellen, ayo mandi,” ajak Emma.
Ia berhenti di depan kamar dengan pintu besar di depannya. Dia tak berani langsung masuk karena tidak tahu itu kamar siapa.
“Non Ellen, ayo keluar dan mandi,” bujuk Emma lagi.
Emma menunggu, tapi tidak ada tanda-tanda Ellen keluar dari sana.
“Bagaimana ini?” Emma menggigit bibir bawahnya.
Emma mendekat ke pintu, lalu mengetuk perlahan pintu kamar itu.
“Permisi, saya mau mengajak Non Ellen mandi,” ucap Emma meminta izin sebelum masuk.
Tidak ada jawaban dari dalam. Emma bingung, tapi juga tak bisa mengabaikan tugasnya. Emma tidak mau terkena masalah.
Akhirnya ia mencoba membuka pintu itu perlahan. Setelah memastikan tidak ada siapa pun, Emma masuk dan mencoba mencari Ellen.
“Non Ellen, ayo mandi,” ucap Emma sambil mencari-cari keberadaan Ellen.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Belum juga Emma menemukan Ellen, dia mendengar suara suara menginterupsi.
Saat menoleh ke arah sumber suara, Emma langsung menurunkan pandangan dari Ethan yang keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk yang melilit di pinggang. Dada bidang pria itu terpampang jelas memiliki otot perut yang begitu sempurna.
“Sa-saya ….” Emma tercekat.
Jantungnya berdegup sangat cepat saat pria itu berjalan mendekatinya.
Duduk di kursi belakang mobil ditemani Emma, Ethan hanya duduk diam sepanjang perjalanan mereka meninggalkan rumah.Emma menoleh pada Ethan yang hanya diam, menunggu sopir membawa mereka tiba di tujuan.“Apa kamu menyesali apa yang terjadi?” tanya Emma setelah hampir setengah perjalanan mereka lewati.“Tidak.”Jawaban singkat Ethan membuat Emma menatap cukup lama wajah suaminya sebelum kembali menatap ke depan lalu mengembuskan napas pelan.“Kita juga tidak tahu kalau akan seperti ini. Seperti katamu, jika Naomi lebih bisa mengontrol dirinya, tidak akan terjadi kejadian seperti ini. Dia yang memulainya.”Ethan akhirnya menoleh Emma, lalu dia berkata, “Aku tak menyesalkan apa pun, hanya saja bagaimana caraku menjawab nantinya saat Ellen bertanya di mana Naomi atau saat dia ingin bertemu dengannya?”Emma terdiam sejenak, lalu dia meraih telapak tangan Ethan dengan erat. “Kalau begitu, kita usahakan agar dia tak kekurangan kasih sayang sedikit pun, setelahnya dia takkan pernah bertanya ka
Sesaat sebelumnya.Naomi begitu emosi sampai memarahi pengacaranya sebelum pergi. Dia melangkah menuju area parkir sambil menghubungi Kelvin, tapi sayangnya pria itu tak menjawab panggilannya, bahkan menolak panggilan yang membuatnya begitu emosi.“Sialan!” umpat Naomi tak terkendali.Naomi berhenti di dekat mobilnya yang terparkir. Saat itu tatapannya tertuju pada Ethan yang berjalan sambil menggendong Emma menuju mobil Ethan.Amarah Naomi tak terbendung lagi. Dia begitu geram dan emosi karena Ethan mendapatkan segala-galanya sedangkan dia kehilangan semuanya.“Apa kamu pikir bisa bahagia begitu saja? Lihat saja, apa yang akan aku lakukan pada kalian.”Naomi segera masuk ke dalam mobil. Dia menyalakan mesin mobilnya lalu menyeringai lebar.Memasukkan persneling kemudian mulai memacu mobilnya ke arah Ethan dan Emma berada. Naomi melihat Ethan yang berdiri bersama Emma di samping mobil. Melihat senyum Emma, Naomi begitu muak hingga dia dengan nekat menginjak pedal gas dalam-dalam, mela
Ethan langsung bernapas lega, bahkan matanya kini memanas karena menahan air mata yang sudah membendung luar biasa.Ethan menoleh pada Emma, tatapannya tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang luar biasa.Ellen bukan anak kandungnya, tapi dia yang sudah menggendongnya, memberinya susu, sampai menidurkannya setiap malam. Dia menyayangi Ellen seperti menyayangi dirinya sendiri, kini semua terbayar lunas. Dia benar-benar bisa mendapatkan Ellen untuknya.Di pangkuan Emma, Ellen bingung dengan yang Hakim ucapkan lalu ibunya ucapkan. Dia mendongak menatap Emma dan melihat mata Emma berair.“Mama Emma nangis?” tanya Ellen, “terus kenapa Mama Naomi marah-marah?”Emma menggeleng. Dia memeluk erat Ellen lalu menciuminya karena ketakutan akan kehilangan Ellen tak terbukti.“Tidak apa-apa, Ellen. Mama Emma sedang sangat bahagia,” katanya.Ethan segera melangkah meninggalkan mejanya untuk menghampiri Emma dan Ellen.Sedangkan Naomi, dia begitu emosi karena hak asuh Ellen malah diberikan pada Ethan
Emma dan Ethan berada di ruang tunggu sampai persidangan kembali di lanjutkan.Di ruangan itu, Ethan terus memeluk erat Ellen dan tidak mau melepas walau hanya sesaat.“Papa, kenapa Nenek Hakim tadi tanya Ellen lebih sayang siapa? Memangnya kenapa kita di sini?” tanya Ellen dengan polosnya.Ethan tak mampu menjawab pertanyaan Ellen. Dia semakin memeluk sambil menyembunyikan wajah sedihnya agar tidak terlihat Ellen.Emma diam memandang Ethan, lalu dia mencoba bicara pada Ellen. “Tidak apa-apa. Nenek Hakim hanya mau tahu, jika disuruh memilih, Ellen mau memilih siapa.”Ellen diam mencerna maksud ucapan Emma, lalu membalas, “Tentu saja aku mau sama Papa dan Mama Emma.”Mendengar ucapan Ellen, Ethan semakin menitikkan air mata yang buru-buru disekanya.Emma tak bisa berbuat apa-apa, sekarang dia membayangkan bagaimana jadinya jika hak asuh jatuh ke tangan Naomi lalu Ellen tak bisa menerimanya. Ellen pasti akan sangat bingung.Setengah jam berlalu. Persidangan akan kembali dimulai dan seka
Emma mondar-mandir di kamarnya. Sesekali dia memandang ke luar jendela, menunggu Ethan pulang karena suaminya pergi tanpa pamit.Bahkan saat Emma mencoba menghubungi, Ethan sama sekali tak membalas panggilannya.“Pergi ke mana dia?” Emma meremas jemarinya, wajahnya begitu panik dan cemas.Tak lama kemudian, Emma melihat sebuah cahaya bergerak menembus kaca jendela kamar. Dia segera melongok ke bawah dan melihat mobil Ethan baru saja berhenti di dekat garasi.Memilih tetap menunggu di kamar, Emma berdiri di dekat pintu dengan waswas, apa penyebab suaminya pergi tak memberitahunya.Beberapa detik berlalu, pintu kamar terbuka dan tatapan Emma langsung tertuju pada Ethan. Seketika Emma melontarkan pertanyaan.“Kamu dari mana? Kenapa pergi tak memberiku kabar?”Melihat kecemasan di mata Emma, Ethan menutup pintu dengan rapat lalu melangkah menghampiri Emma. Begitu sampai di depan istrinya itu, Ethan berkata, “Aku baru saja menemui Naomi. Aku benar-benar tidak bisa diam saja melihat apa yan
Ethan masih memeluk erat Emma. Dia benar-benar tak menyangka akan hampir kehilangan Emma jika saja istrinya tak mau terbuka soal adu domba yang Naomi gaungkan, mungkin hubungan Ethan dan Emma akan berakhir.Dia sangat bersyukur karena Emma memiliki banyak kesabaran dan tak suka membuat keputusan gegabah.“Terima kasih kamu lebih memercayaiku, Emma. Aku benar-benar tidak akan tahu bagaimana jadinya kalau kamu terhasut dengan informasi itu. Jika kamu masih tidak yakin kalau aku bukan pelakunya, kamu bisa tanya Samuel atau pengacaraku.”Emma melepas pelukan lalu menatap pada Ethan yang tampak begitu sedih.“Jika memang kamu memberikan uang kompensasi untuk keluargaku, kenapa Bibi tidak pernah cerita? Dan kenapa dia tidak ingat kamu saat kalian bertemu?” tanya Emma dengan tatapan penasaran.“Bukan aku yang datang langsung menemui keluargamu. Aku meminta tolong pengacara tapi tetap menggunakan tandatanganku, aku memberikan kompensasi cukup banyak, karena itu aku sempat terkejut saat menget