Emma berjalan tanpa arah, bingung harus ke mana.
Ia tidak punya saudara di kota itu. Noah satu-satunya harapan untuknya, tapi pria itu menghilang dan tak bisa dihubungi lagi.
“Bagaimana ini?”
Emma terduduk di kursi yang ada di trotoar, memandangi mobil yang berlalu-lalang di jalanan.
Ia tidak memegang uang sepeser pun, bagaimana caranya bertahan hidup atau pulang ke kampung halamannya?
“Noah, kenapa kamu meninggalkanku seperti ini?” Emma meratap, tidak tahu kenapa kekasihnya itu meninggalkannya begitu saja.
Apalagi, semua uang yang dibawanya dari kampung, semalam diambil Noah untuk menyewa kontrakan di kota itu. Tapi nyatanya Emma malah ditipu.
Emma sudah tak punya apa-apa lagi, sampai dia teringat pada satu-satunya perhiasan yang dia miliki.
Dia menyentuh antingnya dan berniat ingin menjualnya agar bisa pulang lebih dulu. Tapi alangkah terkejutnya dia saat menyadari kalau antingnya hilang sebelah.
“Ke mana yang sebelah?” Emma mencari di sekitar, tapi tidak menemukannya.
Emma mengerang frustasi sambil menatap sebelah anting miliknya yang masih tertinggal, lalu memilih menyimpannya di tas.
Emma memejamkan mata sejenak, lalu akhirnya mengeluarkan ponsel. Benda pipih itu satu-satunya benda berharga yang dimilikinya sekarang.
“Tapi, kalau aku jual, bagaimana kalau Ivan menghubungiku?”
Emma ragu. Ia pergi ke kota untuk bekerja karena membutuhkan uang agar bisa membelikan kaki palsu untuk Ivan—adiknya yang cacat karena mengalami kecelakaan beberapa tahun silam.
Namun, niatnya malah dimanfaatkan Noah yang sekarang entah pergi ke mana.
Emma mengecek nomor sahabatnya yang bekerja di kota, lalu mencoba menghubunginya.
“Halo, Emma?”
Emma bernapas lega karena sahabatnya menjawab panggilan darinya.
“Sesil, syukurlah. Apa kamu ada lowongan pekerjaan? Aku benar-benar butuh pekerjaan. Noah membohongiku, dia meninggalkanku,” ucap Emma sambil menyugar rambutnya kasar.
“Kamu masih memercayai Noah? Bukankah sudah kubilang, Noah itu brengsek, Emma.”
Emma mendengar suara temannya marah, tapi semua sudah terlanjur.
“Aku butuh pekerjaan, Sesil. Aku tidak mungkin pulang dengan tangan kosong, apalagi aku sekarang sudah tak punya uang sama sekali.”
Emma mendengar Sesil menghela napas kasar, lalu meminta Emma untuk menunggu sebentar.
Tak beberapa lama kemudian, Sesil memberi informasi kalau ada pekerjaan tapi sebagai pengasuh anak kecil berumur lima tahun.
“Tidak masalah, yang penting aku bisa kerja. Aku juga suka anak-anak,” ucap Emma dengan cepat, tak mau menyia-nyiakan kesempatan.
Sesil memberikan alamat rumah yang mencari pengasuh, dia juga memberitahu Emma untuk menyebut namanya agar bisa diterima dengan mudah.
Emma begitu lega, setelah mendapat alamat dan meminjam sejumlah uang untuk naik transportasi, akhirnya Emma memutuskan langsung pergi ke alamat yang dimaksud.
Gadis itu tiba di alamat rumah yang Sesil berikan. Rumah itu sangat besar dan mewah, gerbangnya pun begitu tinggi.
Emma menarik napas panjang lalu menghelanya kasar.
Saat berjalan mendekat, Emma melihat mobil mewah memasuki gerbang yang terbuka.
Emma bergegas menghampiri security yang hendak menutup gerbang itu lagi.
“Maaf, Pak, Permisi.” Emma menyapa ramah.
“Iya?” balas pria paruh baya itu sambil menatap Emma.
“Apa benar di sini sedang mencari pengasuh? Saya mendapat rekomendasi dari Sesil untuk datang melamar ke sini,” kata Emma.
Security itu memerhatikan penampilan Emma, lalu diminta untuk menunggu. Setelah beberapa saat, Emma diajak masuk lalu bertemu dengan kepala pelayan di sana.
“Lulusan apa?” tanya wanita paruh baya itu.
“Saya lulusan D3 bahasa,” jawab Emma.
“Apa sebelumnya pernah mengasuh anak kecil?” tanya wanita itu lagi.
“Tidak secara langsung, tapi saya yang ikut mengasuh adik saya. Sekarang usianya sudah lima belas tahun,” jawab Emma.
“Nona kami sedikit susah diatur, apa kamu sanggup menghadapinya tanpa membalas sikapnya dengan kekerasan? Jika tidak sanggup, lebih baik mundur dari sekarang,” ucap wanita itu lagi. Nadanya terdengar tegas.
Emma mengangguk-angguk cepat. Sanggup atau tidak, akan dia pikirkan nanti, yang terpenting sekarang dia mendapat pekerjaan.
“Saya bisa, saya sanggup. Saya akan menjaga Nona dengan baik,” ucap Emma dengan cepat.
Wanita paruh baya itu mengangguk-angguk, lalu berkata, “Baiklah, kamu diterima. Tapi apa bisa bekerja mulai sekarang?”
Senyum Emma merekah lebar. “Tentu, tentu saja saya bisa bekerja mulai sekarang,” jawabnya dengan cepat.
“Baiklah, Emma. Tugasmu mengurus kebutuhan Nona Ellen. Dia tuan putri di sini, jangan membuatnya menangis, dan seperti yang kukatakan tadi, meskipun Nona sulit diatur, kamu tidak boleh main tangan padanya,” ucap pelayan paruh baya menjelaskan.
“Ba-baik, saya akan bekerja sebaik mungkin,” balas Emma.
“Kamu akan diberi cuti dua hari dalam sebulan, apa kamu keberatan? Tapi jika ada hal mendesak, mungkin kamu tidak akan mendapat jatah libur, tapi tenang saja, ada kompensasi yang akan kamu terima,” ujar wanita itu lagi.
“Iya, saya terima syaratnya,” balas Emma dengan cepat agar kepala pelayan itu tidak berubah pikiran.
Pelayan itu mengangguk-angguk, lalu mengajak Emma pergi menemui majikan mereka.
Emma diajak masuk ke rumah mewah itu, setelah tadi menjalani interview di taman samping.
Dia memandang seluruh bangungan yang dilewatinya, semua terlihat megah dan begitu mewah.
Hingga sampailah mereka di ruang keluarga. Emma berjalan di belakang pelayan paruh baya, sehingga tak melihat siapa yang sekarang duduk di sofa ruangan itu.
“Tuan, saya mendapatkan pengasuh untuk Nona Ellen,” ucap pelayan itu.
“Hm.”
Emma mendengar suara deheman berat dan dalam. Dia mencoba mengintip dari balik punggung pelayan di depannya.
Namun, pelayan di depannya sudah lebih dulu menyingkir dari hadapannya sampai membuat Emma tersentak.
Belum pulih dari keterkejutannya, Emma kembali dibuat terpaku saat melihat siapa yang sekarang duduk di sofa sedang menatap ke arahnya.
‘Di-dia …!’
Duduk di kursi belakang mobil ditemani Emma, Ethan hanya duduk diam sepanjang perjalanan mereka meninggalkan rumah.Emma menoleh pada Ethan yang hanya diam, menunggu sopir membawa mereka tiba di tujuan.“Apa kamu menyesali apa yang terjadi?” tanya Emma setelah hampir setengah perjalanan mereka lewati.“Tidak.”Jawaban singkat Ethan membuat Emma menatap cukup lama wajah suaminya sebelum kembali menatap ke depan lalu mengembuskan napas pelan.“Kita juga tidak tahu kalau akan seperti ini. Seperti katamu, jika Naomi lebih bisa mengontrol dirinya, tidak akan terjadi kejadian seperti ini. Dia yang memulainya.”Ethan akhirnya menoleh Emma, lalu dia berkata, “Aku tak menyesalkan apa pun, hanya saja bagaimana caraku menjawab nantinya saat Ellen bertanya di mana Naomi atau saat dia ingin bertemu dengannya?”Emma terdiam sejenak, lalu dia meraih telapak tangan Ethan dengan erat. “Kalau begitu, kita usahakan agar dia tak kekurangan kasih sayang sedikit pun, setelahnya dia takkan pernah bertanya ka
Sesaat sebelumnya.Naomi begitu emosi sampai memarahi pengacaranya sebelum pergi. Dia melangkah menuju area parkir sambil menghubungi Kelvin, tapi sayangnya pria itu tak menjawab panggilannya, bahkan menolak panggilan yang membuatnya begitu emosi.“Sialan!” umpat Naomi tak terkendali.Naomi berhenti di dekat mobilnya yang terparkir. Saat itu tatapannya tertuju pada Ethan yang berjalan sambil menggendong Emma menuju mobil Ethan.Amarah Naomi tak terbendung lagi. Dia begitu geram dan emosi karena Ethan mendapatkan segala-galanya sedangkan dia kehilangan semuanya.“Apa kamu pikir bisa bahagia begitu saja? Lihat saja, apa yang akan aku lakukan pada kalian.”Naomi segera masuk ke dalam mobil. Dia menyalakan mesin mobilnya lalu menyeringai lebar.Memasukkan persneling kemudian mulai memacu mobilnya ke arah Ethan dan Emma berada. Naomi melihat Ethan yang berdiri bersama Emma di samping mobil. Melihat senyum Emma, Naomi begitu muak hingga dia dengan nekat menginjak pedal gas dalam-dalam, mela
Ethan langsung bernapas lega, bahkan matanya kini memanas karena menahan air mata yang sudah membendung luar biasa.Ethan menoleh pada Emma, tatapannya tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang luar biasa.Ellen bukan anak kandungnya, tapi dia yang sudah menggendongnya, memberinya susu, sampai menidurkannya setiap malam. Dia menyayangi Ellen seperti menyayangi dirinya sendiri, kini semua terbayar lunas. Dia benar-benar bisa mendapatkan Ellen untuknya.Di pangkuan Emma, Ellen bingung dengan yang Hakim ucapkan lalu ibunya ucapkan. Dia mendongak menatap Emma dan melihat mata Emma berair.“Mama Emma nangis?” tanya Ellen, “terus kenapa Mama Naomi marah-marah?”Emma menggeleng. Dia memeluk erat Ellen lalu menciuminya karena ketakutan akan kehilangan Ellen tak terbukti.“Tidak apa-apa, Ellen. Mama Emma sedang sangat bahagia,” katanya.Ethan segera melangkah meninggalkan mejanya untuk menghampiri Emma dan Ellen.Sedangkan Naomi, dia begitu emosi karena hak asuh Ellen malah diberikan pada Ethan
Emma dan Ethan berada di ruang tunggu sampai persidangan kembali di lanjutkan.Di ruangan itu, Ethan terus memeluk erat Ellen dan tidak mau melepas walau hanya sesaat.“Papa, kenapa Nenek Hakim tadi tanya Ellen lebih sayang siapa? Memangnya kenapa kita di sini?” tanya Ellen dengan polosnya.Ethan tak mampu menjawab pertanyaan Ellen. Dia semakin memeluk sambil menyembunyikan wajah sedihnya agar tidak terlihat Ellen.Emma diam memandang Ethan, lalu dia mencoba bicara pada Ellen. “Tidak apa-apa. Nenek Hakim hanya mau tahu, jika disuruh memilih, Ellen mau memilih siapa.”Ellen diam mencerna maksud ucapan Emma, lalu membalas, “Tentu saja aku mau sama Papa dan Mama Emma.”Mendengar ucapan Ellen, Ethan semakin menitikkan air mata yang buru-buru disekanya.Emma tak bisa berbuat apa-apa, sekarang dia membayangkan bagaimana jadinya jika hak asuh jatuh ke tangan Naomi lalu Ellen tak bisa menerimanya. Ellen pasti akan sangat bingung.Setengah jam berlalu. Persidangan akan kembali dimulai dan seka
Emma mondar-mandir di kamarnya. Sesekali dia memandang ke luar jendela, menunggu Ethan pulang karena suaminya pergi tanpa pamit.Bahkan saat Emma mencoba menghubungi, Ethan sama sekali tak membalas panggilannya.“Pergi ke mana dia?” Emma meremas jemarinya, wajahnya begitu panik dan cemas.Tak lama kemudian, Emma melihat sebuah cahaya bergerak menembus kaca jendela kamar. Dia segera melongok ke bawah dan melihat mobil Ethan baru saja berhenti di dekat garasi.Memilih tetap menunggu di kamar, Emma berdiri di dekat pintu dengan waswas, apa penyebab suaminya pergi tak memberitahunya.Beberapa detik berlalu, pintu kamar terbuka dan tatapan Emma langsung tertuju pada Ethan. Seketika Emma melontarkan pertanyaan.“Kamu dari mana? Kenapa pergi tak memberiku kabar?”Melihat kecemasan di mata Emma, Ethan menutup pintu dengan rapat lalu melangkah menghampiri Emma. Begitu sampai di depan istrinya itu, Ethan berkata, “Aku baru saja menemui Naomi. Aku benar-benar tidak bisa diam saja melihat apa yan
Ethan masih memeluk erat Emma. Dia benar-benar tak menyangka akan hampir kehilangan Emma jika saja istrinya tak mau terbuka soal adu domba yang Naomi gaungkan, mungkin hubungan Ethan dan Emma akan berakhir.Dia sangat bersyukur karena Emma memiliki banyak kesabaran dan tak suka membuat keputusan gegabah.“Terima kasih kamu lebih memercayaiku, Emma. Aku benar-benar tidak akan tahu bagaimana jadinya kalau kamu terhasut dengan informasi itu. Jika kamu masih tidak yakin kalau aku bukan pelakunya, kamu bisa tanya Samuel atau pengacaraku.”Emma melepas pelukan lalu menatap pada Ethan yang tampak begitu sedih.“Jika memang kamu memberikan uang kompensasi untuk keluargaku, kenapa Bibi tidak pernah cerita? Dan kenapa dia tidak ingat kamu saat kalian bertemu?” tanya Emma dengan tatapan penasaran.“Bukan aku yang datang langsung menemui keluargamu. Aku meminta tolong pengacara tapi tetap menggunakan tandatanganku, aku memberikan kompensasi cukup banyak, karena itu aku sempat terkejut saat menget