“Kak, kan Aga yang jatuh, kenapa Kakak nangis juga?”
Pertanyaan yang diajukan membuat Claudia mendongak, air mata yang membasahi pipinya membuat wajah wanita itu terlihat berantakan. Entah sejak kapan anak yang memanggil dirinya dengan Aga itu sudah tidak lagi menangis, matanya tampak dipenuhi pertanyaan.
“Kakak cuma–”
“Raga!”
Teriakan itu membuat Claudia terkejut dan tidak bisa melanjutkan perkataannya, apalagi setelah anak bernama Aga langsung memeluk lehernya dengan erat. Pelukan itu juga membuat Claudia tidak bisa menoleh ke belakang, pada derap langkah cepat yang mendekat.
“Raga, ayo pulang sama Papa.”
Claudia mendongak saat sosok yang memanggil Raga sudah berdiri di sisinya.
Rambut hitam kelam, rahang tegas, hidung mancung dan tatapan segelap malam itu membuat Claudia terhenyak. Melihat tetesan air dari rambut hitamnya, juga kemeja putih yang basah hingga mencetak otot-otot keras di baliknya membuat Claudia tidak bisa mengalihkan pandangan.
“Ehm, permisi … apa Anda mengenal anak ini?”
Pertanyaan Claudia membuat pria itu mengernyit, tatapannya lebih dingin dari udara yang sedang berhembus, membuat Claudia menggigil.
“Maaf karena Papa sudah berteriak padamu, Raga. Ayo pulang, kita akan ke makam Mama besok,” ucap pria itu lagi, suaranya terdengar sangat lembut. Sikapnya sangat jauh berbeda dengan saat ia bersitatap dengan Claudia tadi.
Ah, ternyata ibu anak ini juga sudah meninggal, pikir Claudia.
“Tapi Papa mau kasih aku Mama baru.” Si anak kecil kembali berucap.
Pria asing itu menggeleng. Ia mengulurkan tangannya ke arah Raga. “Papa tidak mungkin melakukan itu pada mamamu,” ucap sosok tampan itu dengan sorot mata penuh kasih.
Entah bagaimana, dari cara pria itu berucap, Claudia merasakan hatinya seperti diremas.
Di sini, Claudia menyaksikan bahwa ada pria yang begitu setia pada istrinya, sekalipun sang istri sudah meninggal. Namun, di sisi Claudia, ia baru saja mendapati seorang pria mengutamakan nafsunya dan berselingkuh di belakang Claudia, hanya beberapa hari sebelum pernikahan dilangsungkan.
Sungguh miris!
Fokus Claudia kembali saat anak itu menolak uluran tangan pria asing di hadapannya dan justru memeluk leher Claudia makin erat. Membuatnya kesulitan berdiri.
“Bohong,” gumam Aga pelan. “ … Papa selalu bohong soal Mama.”
Perlahan, Claudia melirik ke arah pria asing tersebut dan menyaksikan betapa nyatanya ekspresi penyesalan di wajah tampan itu.
Merasa simpati, Claudia dengan hati menarik tubuh Aga menjauh dari dirinya sembari berkata lembut, “Raga, kalau papa kamu janji tidak akan bohong lagi, apakah kamu mau ikut pulang?”
Anak berusia 4 tahun itu menatap Claudia dengan matanya yang besar.
“Tapi Papa selalu ingkar janji ke aku.” Aga berbisik lirih.
“Hm … kalau begitu, bagaimana kalau Papa janjinya ke Kakak? Nanti kalau Papa ingkar janji lagi, Kakak akan datang.”
Aga mengernyit, tampak berpikir. Bocah itu menatap sang ayah dengan ragu, sebelum kemudian mengangguk.
“Papa janji ke Kakak, kalau besok kita ke Mama,” titah anak kecil tersebut.
Mendapat kesempatan, pria asing itu buru-buru mengangguk. “Papa janji.”
“Ke Kakak!”
Pria bermata tajam itu menatap Claudia selama beberapa saat, sebelum bergumam, “Janji.”
“Mana kelingkingnya?” ucap Aga lagi.
Sang ayah mengernyit, tapi ia pasrah saja ketika sang putra membuat kelingkingnya bertaut dengan milik Claudia. Begitupun Claudia.
“Kakak nanti datang ke rumah ya!” ucap Aga dalam gendongan pria asing itu sembari melambaikan tangannya pada Claudia. “Jangan lupa!”
“Eh, iya,” jawab Claudia, ragu karena dia tidak tahu rumah si bocah dan mengakui bahwa dirinya lah yang sebenarnya berbohong.
Namun, melihat bocah kecil itu dalam pelukan, lalu pada sosok dingin yang menggumamkan ucapan terima kasih sebelum pergi, Claudia tidak berpikir terlalu jauh.
Setelah itu, Claudia menghela napas panjang. Ia kembali sendirian.
“Tidak ada yang tertinggal, kan?”Claudia menoleh ke arah pintu saat Malven datang. “Sepertinya tidak ada, aku sudah memeriksa berkali-kali agar barang-barang penting Asya tidak tertinggal.”Malven yang tampak formal dengan kemeja putih yang dibalut jas hitam, mendekat ke arah istrinya. “Kalau begitu ayo pergi. Tuan Putri kecil itu sejak tadi sudah bertanya ratusan kali pada Raga kapan kita akan berangkat,” ucap Malven sembari menarik tubuh Claudia, mencium pipi wanita yang kini mengenakan gaun hitam panjang tanpa lengan.Rambut Claudia ditata rapi, hasil pekerjaan pelayan sejak subuh, jadi saat Malven mulai mengendus lehernya, Claudia segera menjauh. “Tolong jangan merusak riasan dan rambuttku,” peringat Claudia seraya berjalan menjauhi Malven.Malven mendengus, agak tidak suka membayangkan istrinya yang seksi dan cantik itu dilihat orang lain, tapi kalau Malven melarang Claudia untuk berpenampilan menawan seperti itu di hari penting ini, maka pria itu pasti sudah mendapat cubitan ‘sa
“Momma!”Claudia mendongak saat Raga membuka pintu ruang kerjanya, tersenyum lembut pada putranya yang baru saja pulang dari sekolahnya.“Halo, jagoan! Gimana sekolahnya hari ini?” Claudia bangkit dari kursi kerjanya, pindah ke sofa dan merentangkan tangan untuk memeluk Raga.“Seru banget!” ujar Raga sembari mendekat dengan cepat, memeluk leher Claudia dan menghela napas lega—seolah benar-benar sedang beristirahat di rumah. Sekarang bagi Raga, rumah adalah tempat dimana Claudia berada.“Wah, Momma jadi penasaran nih! Sini duduk, cerita sama Momma hari ini Raga melakukan apa saja di sekolah.”Raga menurut, duduk di sisi Claudia dan mulai berceloteh, menceritakan setiap detail aktivitasnya di sekolah hari ini. Sepanjang Raga bercerita, Claudia tidak pernah mengalihkan tatapannya, juga senyumnya yang selalu terukir saat melihat Raga.Sejak usia kandungannya memasuki tujuh bulan, Claudia mulai mengurangi aktivitasnya. Selain karena kakinya membengkak, Claudia juga sering mengalami keram d
Ting! Suara khas itu terdengar saat pintu kafe didorong dari luar. Beberapa remaja masuk ke dalam kafe yang sedang ramai, suara mereka terdengar ceria dan penuh tawa. Tidak hanya para remaja itu, kafe memang dipenuhi dengan berbagai obrolan santai dari para pengunjungnya yang beragam.Salah satu pengunjung di sana adalah Claudia yang sedang termenung di sudut, menatap pada jendela yang memperlihatkan padatnya lalu lintas. Cuaca di luar sangat cerah dan panas, tidak sesuai dengan raut wajah Claudia yang murung. Hari ini adalah sidang akhir untuk Deon, dan entah bagaimana Malven menemukan berbagai kecurangan dan kejahatan yang pernah Deon lakukan selama di perusahaannya, juga perlakuan semena-mena terhadap bawahan dan mendapatkan kesaksian dari banyak orang hingga Claudia maupun Raga tidak perlu menunjukkan wajah di pengadilan. Malven mengatakan jika Deon akan dihukum maksimal delapan tahun penjara dengan tuntutan utama kekerasan dan upaya penculikan terhadap Ragava Lintang Pranaja.
“Malven?” Claudia memanggil pelan saat tidak menemukan suaminya di sisi tempat tidur. Wanita itu melihat jam dan mengernyit. Ke mana Malven pergi dini hari begini? Melihat suasana yang hening, sepertinya Malven juga tidak ada di kamar mandi.Rasa kantuk yang terlanjur hilang membuat Claudia memutuskan untuk turun dari ranjang, menarik luaran baju tidurnya sebelum berjalan menuju pintu. Claudia sempat memeriksa kamar Raga, tapi tidak ada Malven di sana, hanya ada Raga yang tidur lelap.“Apa dia di bawah?” Claudia bergumam sembari menyusuri koridor dan menuruni tangga, cukup yakin suaminya ada di lantai satu ketika melihat seluruh lampu yang menyala.“Malven?” Claudia memanggil saat mendengar sebuah suara.Wanita itu semakin mengernyit saat menyadari arah suara yang cukup berisik itu berasal dari dapur. Ada dua dapur di kediaman Pranaja. Satu berada di luar rumah utama yang biasa digunakan oleh para pelayan untuk memasak, satu lagi berada tidak jauh dari ruang makan, dibuat khusus untuk
"MOMMA!" Claudia yang mendengar teriakan itu langsung berlari, menghampiri Raga yang melambai sambil melompat di dekat gerbang arrival hall, bersama Sean dan Vall di sisinya. "Sayangnya Momma!" Raga langsung melompat ke pelukan Claudia saat wanita itu akhirnya tiba di depannya. "Aku kangen Momma! Kenapa lama banget perginya?" "Momma juga kangen Raga, kangeen banget! Maaf ya sudah meninggalkan kamu sendirian, nanti kita main ke banyak tempat berdua sebagai gantinya." "Digandeng saja," Malven segera menyela saat melihat Claudia hampir menggendong Raga. Pria yang ditinggalkan sejak Raga berteriak itu, ikut berjongkok di samping Claudia. "Momma sedang tidak bisa mengangkat sesuatu yang berat, jadi kalau kamu mau digendong, dengan Papa saja."Raga mengerjap, baru ingat jika saat ini ada bayi yang harus dijaga dalam perut Claudia. "Mau dituntun Momma aja, nggak mau sama Papa."Mendengar jawaban putranya, Malven tanpa sadar mengernyit. Sejak kehadiran Claudia, rasanya ia tidak lagi menj
Malven tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke minibar, menuang segelas kecil anggur putih dan menyeduh teh mawar lalu menyerahkannya pada Claudia. Claudia menerima tehnya, lalu mereka duduk berdampingan di sofa. Tangan besar Malven melingkar di bahu Claudia. Ia sepenuhnya mengerti karena salah satu orang yang membuat ketakutan itu tercipta adalah dirinya sendiri. Malven meninggalkan Claudia tanpa kabar setelah mereka kembali dari Vietnam. “Sepertinya aku juga takut,” katanya pelan. “Tapi, bukan karena hal-hal indah akan pergi. Aku takut kalau aku tidak cukup untuk membuat kamu yang bersamaku merasa bahagia.” Claudia menoleh, menatap dalam pada Malven. Wajah Malven tampak jujur, terbuka, dan untuk sesaat, Claudia bisa melihat dirinya sendiri dalam keraguan laki-laki itu. Bukan sebagai dua orang yang sedang jatuh cinta di Paris, tapi sebagai dua manusia yang sama-sama sedang mencoba. “Aku tidak tahu masa depan akan jadi seperti apa,” Claudia berbisik, “Tapi hari ini ... kamu cukup.