"C--Claudia?!"
Keterkejutan di wajah tampan yang berkeringat itu membuat Claudia gemetar. Ia masih bisa melihat sisa-sisa gairah di mata lelakinya. Lelaki yang harusnya mengucap janji suci untuknya beberapa hari lagi.Wanita itu mengunjungi kekasihnya untuk merayakan tujuh tahun hari jadi mereka, tapi bukannya bahagia, nyatanya yang dilihat Claudia di apartement lelaki itu adalah rasa sakit dari pengkhianatan. Tidak pernah sekali pun Claudia berpikir kekasihnya akan berselingkuh, apalagi dengan sepupunya sendiri."Cla, aku--!" Pria itu dengan tergesa mengenakan bokser hitam yang terletak di lantai dan menghampiri Claudia.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan lelaki yang mengisi hati Claudia selama tujuh tahun terakhir. Tangan wanita itu terasa sakit dan panas, bersamaan dengan gemetar di seluruh tubuhnya."Kita putus," ucapnya final, berbalik dan langsung bergegas keluar dari kamar yang membuatnya muak."Claudia! Dengarkan aku dulu, Sayang!""Jangan memanggilku 'Sayang' dengan mulut kotormu!!!" ujar Claudia setengah berteriak, menghempaskan tangan yang menahan pergerakannya. Air mata wanita itu luruh dengan deras, luka dan kekecewaan yang tidak bisa ditutupi terlihat sangat jelas di matanya.Lelaki itu--Deon--tertegun, jantungnya mencelos melihat rasa sakit yang terpancar di wajah wanita tersayangnya. Wanitanya."Aku minta maaf, Cla! Aku khilaf," ucap Deon lirih, sambil mencoba untuk meraih tangan pujaan hatinya.Claudia terkekeh pahit, menatap kecewa pria yang selama tujuh tahun menjadi salah satu alasannya bahagia."Khilaf?" Suara wanita itu bergetar seraya kembali menghempaskan tangan yang mencoba meraihnya. "Khilaf itu kalau kamu hanya bertukar pesan atau kencan di kafe, tapi ini--!" Claudia menatap tajam pria di hadapannya, "Kamu melakukannya sampai akhir, dan itu tidak hanya sekali," lanjutnya sembari menggertakkan gigi, menahan sesak yang menghimpit, apalagi setelah melihat beberapa kondom bekas yang ada di lantai kamar Deon."Aku dijebak--!""DEMI TUHAN, DEON!!!" Claudia berteriak, menghentikan segala penjelasan tidak masuk akal yang akan dikatakan lelaki di hadapannya. "Aku tidak gila hingga tidak bisa membedakan keadaanmu tadi, saat kamu mengejar pelepasanmu dan sekarang ... ketika kamu dalam keadaan sangat sadar. Kamu tidak sedang mabuk atau dalam pengaruh obat apa pun, bagian mana yang jebakan?!"Wanita itu menarik napas panjang, menghapus air mata yang tidak berhenti menetes entah berapa kali pun ia menghapusnya."Aku tidak akan pernah memaafkan pengkhianatan, Deon. Kamu pasti mengenalku dengan sangat baik selama tujuh tahun ini. Kita selesai ... dan alasan berakhirnya hubungan ini adalah karena kamu!"Memilih untuk segera berbalik dan keluar dari apartement yang sering dikunjunginya, Claudia berlari menuju lift, menghela napas panjang untuk menghentikan tangisnya. Wanita itu menggigit bibir, menahan diri agar tidak berteriak dan menangis dengan keras.Keluar dari gedung apartement yang mungkin tidak akan pernah dikunjunginya lagi, Claudia yang datang tanpa membawa mobil nyaris mengumpat. Terlalu percaya jika calon suaminya akan mengantarnya pulang, Claudia meninggalkan mobilnya di kantor dan memilih naik taksi."Sialan!" umpat wanita itu ketika merasakan tetes demi tetes dari langit mulai membasahi kepalanya. "Bahkan langit pun tidak mendukungku?" Kekehannya terdengar, bersamaan dengan hujan yang semakin deras, menutupi air matanya yang kembali menggenang.Claudia berjalan pelan menyusuri trotoar, terlalu lelah hanya untuk mencari taksi. Wanita itu mendongak, melihat langit yang gelap. Matahari sudah terbenam sejak beberapa saat lalu dan Claudia tidak bisa melihat awan jingga seperti kemarin, seolah seperti mengikuti bagaimana hatinya, bahkan langit pun tampak kelam.Wanita itu berhenti di pemberhentian bus, memilih duduk di bangku besi panjang dan kembali terisak. Dunianya hancur berserakan. Claudia tidak tahu bagaimana harus menyusunnya kembali.Tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Terlalu banyak kenangan dan mimpi-mimpi serta janji yang ia ukir bersama Deon. Claudia tidak pernah membayangkan jika hubungan yang dilandasi kepercayaan selama bertahun-tahun harus hancur karena sebuah pengkhianatan.Lucunya ... pria itu masih berani berkata jika itu adalah kesalahan tidak disengaja!"Dasar brengsek!"Menyedihkan! Bagaimana bisa Claudia yang selalu bangga pada setiap hal yang ada pada dirinya dan mengangkat wajah dengan penuh kepercayaan diri, berakhir menangis patah hati karena dikhianati?"Kenapa harus Selena? Dari miliaran wanita di muka bumi, kenapa harus Selena?!" Claudia menutup wajah, dadanya sesak oleh rasa sakit dari pengkhianatan. Tidak hanya dikhianati tunangannya, Claudia juga harus menelan pahit ketika sepupu yang paling dia percaya juga turut menorehkan luka.Claudia tidak menatap Selena dan melampiaskan amarahnya hanya pada Deon, semata untuk menutupi rasa sakit yang lebih besar. Bagaimana dia harus menghadapi Selena nantinya?Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api, tapi Claudia bahkan tidak berani untuk menebak sejak kapan sepupu tersayangnya memiliki minat lain pada Deon.Hujan turun lebih deras, tempiasnya memercik pada Claudia yang memang sudah basah. Tidak ada siapa pun di sekitarnya, seolah sepi yang mencekik ini juga dipersiapkan takdir untuknya.Tring!Notifikasi dari ponsel di tas tangannya membuat Claudia tersentak.Tangan wanita itu gemetar ketika mengeluarkan ponsel, harapan dan ketakutan bercampur menjadi satu. Lalu, saat sebuah pesan terpampang di layar ponselnya, hati Claudia mencelos. Padahal Claudia mungkin akan berbalik dan menemui Deon lagi jika pria itu berniat mengejar atau setidaknya mengirim pesan berisi permintaan maaf.Tapi, tidak ada apa pun, seolah pria itu memang menanti saat yang tepat untuk mengakhiri hubungan mereka."Luka yang kalian goreskan terlalu sempurna sampai aku tidak tahu bagaimana harus menyikapinya." Claudia bergumam serak, mengembalikan ponselnya tanpa berniat membalas pesan dari pemilik wedding organizer yang disewanya."Tidak akan ada pernikahan ... bukan aku yang akan menikah." Mata Claudia kembali basah, tanpa bisa mencegah lagi air matanya yang tumbah mendanau.Bukankah obat dari luka adalah air mata? Claudia akan menangis sebentar sekarang, sebelum mulai menata hidupnya lagi."ADUH!!!"Claudia terkesiap ketika sesuatu jatuh di depannya, seseorang lebih tepatnya."Hey, kamu baik-baik saja?" Claudia segera membantu sosok kecil yang baru saja terjerembab dan mendudukkannya di bangku halte. Sama seperti dirinya, anak itu juga tampak berantakan dengan pakaian basah dan air mata menggenang."Di mana orang tuamu? Kenapa kamu sendirian di sini?" Claudia berlutut dan bertanya dengan lembut, seolah kesedihannya beberapa waktu lalu hilang begitu saja. "Ya Tuhan ... kamu berdarah!"Claudia menatap ngeri lutut anak kecil yang duduk di hadapannya. Melihat bagaimana anak itu tidak menangis dengan keras meski matanya sudah berkaca-kaca membuat perasaan Claudia tidak senang."Pasti sakit, ya? Katakan saja kalau sakit ... jangan menahannya. Tidak baik menahan luka sendirian, jadi kamu bisa membaginya denganku.""Sakit ... lutut Aga perih, tapi Aga nggak boleh nangis. Mama bilang akan jemput kalau Aga menjadi laki-laki yang bisa diandalkan."Kata-kata bocah berusia sekitar empat tahun itu membuat Claudia tertegun, air mata yang sempat berhenti, kembali berurai tak terbendung. Claudia menumpukan kepalanya di paha anak lelaki itu, menangis dengan keras."Mama juga ... Mamaku juga bilang begitu. Katanya kalau aku tidak cengeng, dia akan datang dan membawaku. Tapi ..., Mama tidak pernah kembali ...."Claudia menangis semakin deras saat anak lelaki di hadapannya juga turut terisak, keduanya menangis bersama di tengah hujan, berbagi rasa sakit dengan orang asing yang baru pertama kali ditemui.Luka yang Claudia terima hari ini terlalu menyakitkan untuknya tetap berdiri dengan tegar. Tidak peduli sekuat apa seorang Claudia, dikhianati kekasih yang paling dipercayai membuatnya benar-benar hancur.Tanpa wanita itu sadari, ponsel di tasnya berdenting, tanda sebuah pesan masuk.[Aku akan beri kamu waktu untuk menenangkan diri, Cla. Ayo bicara dan dengarkan penjelasanku besok.]“Sebenarnya kenapa … kenapa dia melakukan itu? Apa dia tidak bisa menunggu sebentar lagi? Kami akan menikah, tinggal beberapa hari lagi, tapi kenapa dia … kenapa … apa salahku ….”Sakit. Ia bahkan tidak tahu bagaimana menggambarkan rasa sakitnya. Kehadiran Deon selama hampir sepuluh tahun di hidupnya membuat Claudia nyaris bergantung pada pria itu.“Aku harus bagaimana sekarang … aku harus apa ….”“Kak, kan Aga yang jatuh, kenapa Kakak nangis juga?”Pertanyaan yang diajukan membuat Claudia mendongak, air mata yang membasahi pipinya membuat wajah wanita itu terlihat berantakan. Entah sejak kapan anak yang memanggil dirinya dengan Aga itu sudah tidak lagi menangis, matanya tampak dipenuhi pertanyaan.“Kakak cuma--”“Raga!”Teriakan itu membuat Claudia terkejut dan tidak bisa melanjutkan perkataannya, apalagi setelah anak bernama Aga langsung memeluk lehernya dengan erat. Pelukan itu juga membuat Claudia tidak bisa menoleh ke belakang, pada derap langkah cepat yang mendekat.“Raga, ayo p
Claudia berteriak, air matanya tumpah deras, dadanya sesak oleh rasa sakit yang entah bagaimana cara menyembuhkannya. “Jangan pernah muncul di hadapanku lagi mulai sekarang. Kita benar-benar selesai! Terima kasih karena telah menunjukkan dirimu yang asli sebelum kita menikah, selamat tinggal!”“Claudia!”Claudia langsung berlari menuju tangga, ke kamarnya di lantai dua lebih tepatnya, mengabaikan ayahnya yang menunggu dengan cemas di ruang keluarga. Untungnya Deon tidak nekat mengejar, karena meski sudah tujuh tahun berpacaran pun, Deon tidak pernah mendapat izin untuk melangkah ke lantai dua di mana kamar Claudia berada.Mengunci pintu kamar, Claudia akhirnya jatuh terduduk di lantai, kakinya lemas dan seluruh tubuhnya gemetar. Ia berusaha sangat keras untuk tidak memukul Deon, berteriak dan bertanya apa salahnya hingga diperlakukan seperti orang bodoh. Claudia mencintai Deon, pria itu adalah cinta pertamanya, sosok yang selalu membuat Claudia berbunga. Tapi, kenapa? Apa tidak cukup
Pranaja merupakan salah satu keluarga terpandang yang namanya dikenal hampir seluruh orang di Indonesia, lebih tepatnya keberadaan perusahaan milik keluarga itu yang sering menduduki puncak dunia bisnis di Asia, merambah hingga Amerika dan Eropa, juga beberapa kali mendapat penghargaan internasional, membuat Pranaja menjadi salah satu keluarga yang selalu menjadi topik hangat.Presiden Direktur Pranaja Grup sudah membuat permintaan pengiriman pengasuh profesional beberapa kali, tapi semuanya dikembalikan dengan alasan yang tidak diketahui. Claudia sering mendengar para karyawan dan guru di perusahaannya mengumpamakan jika penggantian pengasuh di keluarga Pranaja seperti seseorang yang setiap dua jam berganti baju karena telalu sering."Kurasa itu bukan ide buruk, aku juga harus mencari tahu alasan sebenarnya para pengasuh itu dikembalikan. Tolong kirim pemberitahuan ke Pranaja jika pengasuh baru akan datang besok. Lalu, selama aku menjadi babysitter, kirimkan pekerjaanku ke email saja
Claudia segera menurunkan tangannya yang dengan lancang menunjuk pada pria berjas hitam di depannya, baru saja keluar dari kediaman Pranaja. Pria itu adalah seseorang yang memberikan tatapan tajam dan sinis pada Claudia malam itu, seseorang yang mengaku sebagai ayah Raga.“Jangan kurang ajar, Cla, dia calon majikanmu. Memangnya kamu tidak pernah lihat fotonya di majalah bisnis?” Aira berbisik sembari menyenggol pelan lengan Claudia. “Apa ada masalah?”Pertanyaan pria di depannya membuat Claudia langsung membungkukkan tubuh, meminta maaf atas ketidaksopanannya.“Sa-saya pikir Tuan mirip dengan aktor korea kesayangan saya, ja-jadi ....” Suara Claudia bergetar, menunjukkan bahwa ia takut dan permintaan maafnya tulus.Kalau ini situasi normal, Aira pasti akan mengejek dan menertawakan kebodohan Claudia, karena dilihat dari sisi mana pun, pria tampan di hadapan mereka tidak ada wajah-wajah korea-nya sama sekali.“Saya harus segera ke kantor, jadi kenalannya nanti saja. Saya sudah menerima
Butuh waktu cukup lama untuk menenangkan Raga. Untungnya saat anak itu menangis dan menjelek-jelekkan ayahnya, tidak ada satu pun yang datang ke kamar, dan Claudia bersyukur tidak ada kamera pengawas di sana, karena selama menemani Raga menangis, Claudia menyetujui dan mengiyakan apa pun hal-hal buruk yang anak itu katakan tentang Malven.Siapa sangka pria seksi yang menjadi buah bibir setiap wanita itu ternyata memiliki nilai yang sangat mines di mata putranya sendiri."Kakak," Raga memanggil pelan setelah tangisnya agak reda."Ya?" Claudia membersihkan jejak ingus dan air mata di pipi Raga. "Kamu lapar? Mau makan sekarang?" Raga menggeleng perlahan. "Itu ... yang aku bilang tentang Papa, bisa nggak jadi rahasia kita berdua aja? Na-nanti kalau sampai ada berita buruk tentang Papa--""Oke, Sayang!" Claudia langsung menunjukkan jari kelingkingnya, "Pembicaraan kita akan selalu jadi rahasia, entah sekarang atau pun nanti. Raga juga mau janji untuk tidak cerita pada siapa pun tentang Ka
Hal pertama yang Claudia lihat setelah memasuki ruangan adalah seorang pria yang diberkahi dengan ketampanan bak dewa yunani sedang duduk tegak sambil memegang sebuah berkas.Cara pria itu memegang berkas di tangan, dengan jari-jari panjang yang terlihat indah membuat Claudia sempat menahan napas, bagaimana pun pesona yang dipancarkan Malven meski ia hanya duduk diam sungguh sangat tidak bisa diabaikan."Selamat malam, Pak, saya Claudia, yang dikirim ke sini untuk menjadi pengasuh tuan muda." Claudia menyapa dengan sopan, tubuhnya sedikit membungkuk saat sudah berada di hadapan Malven.Mata sehitam arang itu menatap Claudia perlahan. "Silakan duduk," ucapnya mempersilakan.Claudia segera mengambil tempat di sofa seberang Malven, duduk tegak sembari bersiap menjawab pertanyaan yang mungkin akan diajukan Malven--pengganti sesi interview yang belum sempat dilakukan. "Ini adalah kontrakmu. Sekretarisku sudah mengurusnya dengan agensimu, tapi kupikir kamu memerlukan salinannya. Baca dan p
Pesan itu dikirim oleh nomor asing, tidak hanya satu, Claudia bahkan tidak mau menghitungnya, belum lagi panggilan tidak terjawab. Meski Claudia sudah memblokir nomor Deon, nyatanya pria itu masih berusaha menghubunginya dengan nomor lain.Sebagai seorang direktur sebuah yayasan yang nomornya sudah diketahui banyak kolega membuat Claudia tidak bisa mengganti nomor ponselnya. Ia hanya sempat berharap Deon menyerah dan tidak lagi mengganggu setelah Claudia memblokirnya, tapi nyatanya pria itu masih saja egois dan tidak tahu malu.Sama seperti Deon yang melakukan usaha sia-sia dengan terus menghubungi, Claudia juga akan terus memblokir pria itu dari hidupnya entah berapa kali pun Deon berusaha mendekat."Ayo tidur, aku harus bangun pagi dan memastikan Raga sarapan bersama ayahnya!" Mengembalikan ponselnya ke tas tanpa berniat mengisi dayanya, Claudia segera berbaring dan menarik selimut. Wanita itu berulang kali menarik napas, menenangkan diri dari hatinya yang kembali teringat luka. T
Claudia menghela napas lega saat Malven membuat fokus Raga berpindah ke makanannya, karena kalau tidak, Claudia mungkin akan menangis saat ini juga. Meski anak itu terlihat sedikit merengut, tapi ia tidak mengatakan apa pun dan memakan sarapannya tanpa banyak protes.Awalnya Claudia ingin menyuapi Raga makan, karena seingatnya dulu ia selalu disuapi oleh ibunya saat masih sesusia Raga, tapi mengingat peraturan yang Dera beritahukan kemarin membuatnya urung. Raga harus makan di meja makan sendiri, tugas Claudia hanya ikut makan di sampingnya atau menemaninya saja tanpa harus membantu.Meski sedikit tidak terbiasa dengan cara Raga dididik, Claudia harus mengikuti aturan yang diberikan demi memperpanjang pekerjaannya di sini. Hingga pagi ini Claudia masih belum bisa menebak alasan para pengasuh sebelumnya dipulangkan, padahal tempat ini sangat bagus, lingkungan nyaman dan fasilitas memadai.'Bahkan pekerjaan menjaga Raga pun terbilang mudah, tapi kenapa tidak ada yang bertahan lama?' "H